Bagian 4: Kena Skak
“Berkat bundamu di rumahlah, kalian bisa seperti ini, Maya. Kamu jadi sarjana yang pernah membanggakan Ayah karena cumlaude serta pernah bekerja di tempat yang bonafide. Sedangkan adikmu, Navita, dia bisa jadi juara tiga umum di sekolahnya saat penerimaan nilai ujian sekolah kemarin. Semua berkat Bunda Lisa hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak ke mana-mana.” Ayah malah memberikan pembelaan. Membuat hatiku jadi perih sendiri.
Walaupun sudah dibela, muka Bunda kulihat tetap merah padam. Pasti karena ucapanku yang sangat nyelekit tadi. Rasakan itu, Bun. Aku bisa lebih pedas lagi kalau dia berani-beraninya menyinggung tentang pekerjaan maupun bentuk fisikku. Lihat saja!
“Besok aku mau jadi ibu rumah tangga juga kaya Bunda. Makanya aku mau cari suami yang kaya raya biar aku nggak perlu capek-capek kerja begadang. Kalau Mas Refal sih, sebenarnya juga udah mapan menurutku. Mungkin karena dari Mbak Mayanya sendiri nggak sih, yang kaya kurang bersyukur gitu?” Navita malah menimpali dengan kalimatnya yang lagi-lagi memojokanku.
Aku membeliakkan mata. Benar-benar keterlaluan bocah ini. Mulutnya ternyata sangat berbisa. Kupikir, kalau sudah berada di rumahku, Navita akan sangat jinak. Soalnya, saat jumpa di rumah Ayah saja, dia lebih banyak diam sambil memasang muka jutek. Kenapa sekarang malah jadi semakin membabi buta begini?
“Nggak kok, bukan karena Maya nggak bersyukur,” tampik Mas Refal. Lelaki tampan itu tengah menikmati hidangan yang kusajikan. Mukanya terbalut senyuman manis. Terarah pas menuju Navita.
“Aku cuma ngisi waktu senggang aja. Punya suami kaya dan mapan juga nggak ada masalahnya kok, kalau ikutan bekerja. Toh, aku bukan mencuri atau menipu orang,” sahutku super ketus.
Navita ikut merah padam mukanya persis Bunda. Mereka berdua kini kompak diam sambil meneruskan makan dengan gerakan yang cepat. Rasakan! Ini rumahku, lho. Bukan rumahnya kalian. Jadi, kalau kalian ingin mempermalukanku di depan suami dan ayahku sendiri, kalian salah alamat!
***
“Semuanya biar aku yang bereskan, Mbak,” ucap Navita sambil merebut piring dari tanganku.
Acara makan malam kami baru saja usai. Bunda, Ayah, dan Mas Refal baru juga bangkit dari tempat duduk masing-masing. Aku pikir, Navita tidak akan mau membantuku karena setahuku di rumah Ayah dia juga jarang beres-beres. Maklum. Ayah menyediakan seorang pembantu di rumah kami. Namanya Bi Wati. Hampir semua pekerjaan rumah tangga dia yang handle. Bunda hanya kebagian jatah masak, menghidangkan makanan untuk Ayah, dan menyiapkan pakaian serta kebutuhan kerja beliau. Plus mengajari Navita seperti guru les. Makanya Navita bisa jadi bintang kelas di setiap jenjang pendidikan. Wajar. Berbeda denganku. Bunda memang pernah sih, mengajariku saat aku masih duduk di bangku SD. Hanya saja, kalau Bunda yang mengajariku, aku jarang paham. Soalnya saat mengajariku, muka Bunda terkadang seperti orang yang kurang senang dan selalu saja terburu-buru. Sekarang aku paham dengan alasannya. Mungkin karena aku bukan anak kandungnya.
“Kamu yakin? Nanti kamu capek,” kataku memperhatikan wajah Navita.
“Nggak, kok. Aku nggak capek sama sekali. Aku akan bereskan piring dan cuci semuanya. Mbak Maya istirahat saja. Barangkali mau ngobrol sama Ayah-Bunda dan Mas Refal di depan.” Navita tersenyum lebar. Kali ini sikapnya manis luar biasa. Piring di tanganku pun sudah beralih ke tangannya.
“Oke. Ya, sudah. Aku nggak nyuruh, lho,” sindirku. Sengaja kutoleh Ayah dan Bunda. Penasaran dengan ekspresi mereka.
“Nggak apa-apa, May. Navita kan, memang anak yang rajin. Di rumah juga dia sudah biasa cuci piring dan cuci pakaian sendiri. Biarkan saja. Bunda nggak marah!” Bunda berkomentar. Beliau senyum enteng sambil mengibaskan tangan ke arahku.
“Anak gadis zaman sekarang langka yang jago beres-beres. Keren, Nav. Pertahankan itu!” Mas Refal malah memuji adik tiriku. Dia mengacungkan dua jempolnya sambil berjalan beriringan dengan Ayah untuk meninggalkan meja makan.
Aku auto cemburu. Hatiku berdesir. Entah kenapa, pujian itu sangat tidak pantas dilayangkan oleh suamiku kepada adik iparnya.
“Ah, itu biasa saja, Mas! Aku masih gadis dulu malah lebih-lebih dari ini. Tinggal di asrama bertahun-tahun, bangun jam tiga pagi, langsung ngosek WC, nyapu halaman asrama segede gaban, bahkan nguras kolam ikan asrama setiap minggunya.” Aku yang keki menjawab ketus. Sambil balik badan dan menyusul langkah Mas Refal, aku memasang muka kesal karena suamiku kunilai terlalu berlebihan.
“Kasihan sekali kamu dulu ternyata, Mbak. Untung aku nggak dikasih masuk asrama! Hihi!” Navita malah ngakak di belakangku. Membuatku semakin keki saja.
“Ya, nggak apa-apa. Yang penting sekarang hidupku seperti ratu!”
Seketika semua orang diam. Aku gegas menggamit lengan Mas Refal. Kutoleh sepintas, muka suamiku entah kenapa malah berubah tak enak hati. Ngapain juga kamu nggak enak hati, Mas? Iparmu itu tidak perlu dibela! Omonganku benar, kok!
***
“May, kamu kenapa kaya ketus banget sih, ke Navita?” tanya Mas Refal tiba-tiba saat kami sudah hendak tidur di ranjang.
Aku yang semula nyaris memejamkan mata, sontak melek, dan menoleh ke arah suamiku. “Ketus? Kata siapa?” Aku balik bertanya. Kurang sreg juga dengan tema pembahasan Mas Refal. Bukannya tadi setelah ngobrol sama orangtuaku di luar, Mas Refal tadinya hanya diam saja sampai kami sama-sama sudah hampir tidur lelap?
“Kataku. Aku agak kurang suka kalau kamu bersikap begitu sama keluargamu, May. Nanti, aku malah dikira ngajarin kamu yang nggak-nggak.” Muka Mas Refal seperti orang yang setengah marah. Dia menatapku serius dan dalam.
Deg! Kenapa Mas Refal jadi begini?
“Itu perasaanmu aja, Mas!” sangkalku. Kukibaskan tanganku di depan Mas Refal. Pria itu malah menangkap lengan tanganku.
“Aku serius, Sayang. Jangan kasar-kasar sama Navita, dong. Aku nggak enak sama Ayah dan Bunda. Mereka bisa tersinggung.”
Aku rasanya jadi manusia yang paling tersisih di muka bumi ini. Tidak Ayah, tidak Bunda, tidak suamiku sendiri. Semuanya seolah-olah hanya memikirkan Navita, Navita, dan Navita saja! Lantas, yang memikirkan perasaanku sendiri siapa?
(Bersambung)
Bagian 5: Terserah Saja! “Kamu aneh, Mas! Udah jelas-jelas kamu dengar sendiri kan, kalau aku pas makan malam tadi habis-habisan dipojokin sama mereka bertiga. Kok, kamu malah bilang aku kasar ke Navita? Kamu serius, Mas?” Mataku langsung membulat sempurna. Aku pun bangkit dari rebahku. Duduk bersila dengan dua bahu yang tegang. Mas Refal pun jadi ikut bangkit dari tidurannya. Terlihat bahwa pria berambut lurus itu menghela napasnya panjang. Tangan Mas Refal lalu mengurut-urut pelipisnya. “Ya, udah. Kalau memang kamu merasa dipojokin, aku rasa cukup kamu dengarkan saja, May. Itu nggak ngaruh buat kehidupanmu, kan? Meskipun dikata-katain sama keluargamu sendiri, apa nggak sebaiknya kamu diam aja? Nggak usah ditanggepin. Toh, kamu tetap jadi Maya yang smart dan punya karier editing bagus. Oke?” Mas Refal meraih dua bahuku. Tatapan manik hitamnya pun dalam ke arah bola mataku. “Jadi, maumu apa setelah menceramahik
Bagian 6: Terkulai Lemah “Maya! Kamu ini kenapa, May?!” Suara bentakan itu menyeruak ke telingaku. Seketika duniaku jadi hening sejenak. Tak lagi ada suara-suara desahan erotis itu lagi. Perlahan aku membuka mataku. Kulihat, Mas Refal sudah duduk sambil menatapku dengan muka yang syok. Matanya membeliak kaget. Astaga! Mimpi buruk lagi! Sudah dua kali aku memimpikan hal yang sangat tidak pantas tentang Mas Refal dan adik tiriku sendiri. Ya Allah, aku ini kenapa? “Kamu kenapa teriak seperti itu, May? Kamu sampai bilang aku berzina segala! Istighfar!” Mas Refal tampak marah. Kedua tangan lelaki itu lalu menarik tanganku agar aku bisa segera bangun. “M-maaf, Mas ….” Aku berucap lirih. Ketika bangun pun, pemandanganku langsung berkunang-kunang. Segera saja aku menutup mata sejenak, tetapi tetap duduk sambil bersandar di kepala ranjang. “Astaga! Kepalamu panas ini, May! Kamu demam. Sampa
Bagian 7: Astaga! “Maya, kamu demam?” Aku terbangun dari lelapku. Kupandangi sosok di sebelah tempat tidur yang berdiri sambil memperhatikanku dengan raut khawatir. Dia adalah Bunda. Wanita kepala empat itu terlihat sudah cantik dan rapi. Rambut sebahu hitamnya dia gelung ke atas seperti pramugari. Sedangkan tubuhnya yang tinggi langsing dia balut dengan blus berwarna hitam dan celana panjang warna krem. Mau ke mana Bunda pagi-pagi begini? “Iya, Bun. Tenggorokanku sakit,” ucapku dengan suara parau. Aku berusaha untuk bangkit dari ranjang. Kepalaku ternyata masih berat. Tumben-tumbenan, pikirku. Biasanya, kalau sudah minum obat pereda nyeri seperti parasetamol, sakit kepalaku akan sembuh dalam waktu singkat. Namun, kali ini malah berbeda. Aneh! “Kata Refal tadi malam badanmu panas dan kena radang. Kasihan Refal tadi pagi. Nggak ada makanan buat sarapan di meja. Jadinya Navita yang inisiatif bikinin nasi goreng b
Bagian 8: Sorry, deh! “Nggak janji, Bun. Aku pikir, Navita ngambil kuliahnya mirip-mirip sama aku. Entah ekonomi atau mungkin akuntansi dan semacamnya. Kalau harus ambil fakultas kedokteran atau farmasi, terus aku diminta untuk membayarkannya secara full apalagi di kampus swasta favorit, aku mohon maaf. Aku nggak sanggup, Bun,” jawabku tegas. Muka Bunda langsung berubah merah. Dia buru-buru menarik genggaman jemarinya dari tanganku. Tentu saja perubahan ekspresi yang begitu tiba-tiba dan drastis tersebut membuatku ikut syok. Bunda, ternyata kemanisannya hanya karena ada mau belaka. “Kamu mau membuat mimpi adikmu kandas, May?” tanya Bunda. Mukanya seperti orang yang sudah kehabisan sabar. “Bukan begitu. Silakan bermimpi setinggi apa pun, Bun. Cuma, kalau aku harus disuruh menanggung semuanya, aku tidak mampu, Bun. Coba Bunda minta tolong ke saudara-saudara Bunda saja. Tante Amel dan Tante Alya kan, suaminya punya pekerjaan bag
Bagian 9: Tak Percaya “Mas, kamu itu kenapa, sih? Kenapa kamu tiba-tiba marah besar untuk hal sepele kaya begini? Aku memangnya salah apa sama kamu?!” Aku yang sudah kehabisan sabar pun akhirnya memuntahkan kemarahanku juga. Tidak bisa dibiarkan, pikirku. Mas Refal seperti orang yang kesetanan kalau menyangkut masalah keluarga dan adikku. Kenapa, sih? Kaya aku ini orang yang paling salah sedunia saja. Hanya karena makan malam, reaksi dia bisa seperti orang yang kebakaran bokong! “May, kamu masih tanya aku kenapa? Astaga, May! Kamu seharusnya mikirlah, May! Aku ini menantu laki-laki pertama dan satu-satunya dari orangtuamu! Apa kamu nggak mikir tanggapan dari orangtuamu ke aku bagaimana? Aku hanya nggak mau dibilang mantu durhaka yang membuat istriku jadi tidak bakti ke orangtua kandungnya sendiri. Come on, Maya! Aku begini karena aku sayang sama kamu. Aku susah untuk meyakinkan ayahmu dulu pas meminang kamu. Beliau kasih restu dengan catata
Bunda, Ayah, dan Navita pun tiga puluh menit kemudian tiba di rumah kami. Begitu girangnya Mas Refal kulihat. Dia yang tadinya murung seperti orang menahan rindu satu ton, akhirnya berseri-seri seakan tengah jatuh cinta. Terlebih saat Navita memberikan oleh-oleh yang dia pinta. “Mas Refal, ini kopi pesanannya. Mau dimasukin ke kulkas dulu apa mau langsung minum?” Adikku yang tinggi semampai dengan pinggang ramping dan bagian bokong berisi itu menawarakan. Tubuhnya yang seksi malam ini dia bungkus dengan sebuah kaus hitam ketat lengan pendek dan celana jins cutbray yang tak kalah ketatnya. Aku yang sesak melihat penampilan Navita. Apa dia tidak risih melihat cetakan bodinya yang begitu ‘nyeplak’? “Mas langsung minum aja. Makasih ya, Nav. Makasih Bun, Ayah, udah kasih oleh-oleh.” Mas Refal langsung menyambar kopi tersebut. Suamiku pun lalu berjalan menuju kursi makan yang berada di seberang tempatku duduk. Dia duduk pas di sebelah Ayah. Tersen
“Kalau aku pribadi tidak sanggup, Mas. Upahku sebagai editor tidak begitu besar. Aku tidak mampu kalau harus membiayai kuliah Navita di kedokteran. Kalau hanya memberinya uang saku bulanan senilai satu juta atau membantu per enam bulan paling banyak sepuluh juta sudah termasuk uang saku dan biaya semesteran, yah akan kuusahakan. Cuma, kalau harus membiayai penuh dan menanggung semua-semuanya, aku tidak mau. Aku juga punya kebutuhan. Kamu juga kan, harus rutin memberi ibumu uang, Mas. Jangan sampai Ibu protes jatahnya berkurang gara-gara membiayai adikku.” Aku berkata dengan nada yang lantang. Semua orang langsung terdiam. Termasuk Bunda yang mulutnya paling cerewet sejak tadi. Muka Mas Refal langsung merah padam. Biar saja orangtuaku tahu kalau suamiku ternyata rutin mengirimkan orangtuanya uang setiap bulan. Ibu memang sudah janda. Anaknya ada tiga dan Mas Refal yang paling kecil. Kakak Mas Refal semuanya laki-laki. Dua-duanya mana ada yang mau peduli untuk masal
Bagian 11: Tidak Ada Ampun “Astaghfirullah, Maya! Kenapa kamu jadi sangat kasar begini, sih?” Bunda terlihat tercengang dengan perubahan drastis pada sikapku. Aku hanya mengecimus sebal. Siapa pun yang telah diinjak-injak, mana mungkin tetap bersifat malaikat? Aku ini hanya manusia biasa! Bukan nabi atau rasul yang memiliki sabar lebih serta hati bersih nan mulia. Ada kalanya aku akan naik pitam, terlebih jika terus menerus ditekan oleh keluargaku sendiri. “Bun, tolong jangan playing victim! Sekali lagi aku tegaskan Bun, aku memberikan masukan kepada Navita untuk kuliah di sini karena aku sayang kepada dia! Apa pun yang pernah Bunda lakukan kepadaku termasuk bersikap cuek dan dingin di saat aku masih kecil, aku tidak mempermasalahkan itu! Aku tidak pernah dendam. Aku malah ingin semakin berbakti kepada kalian dan membahagiakan adikku satu-satunya. Namun, kalau begini caranya, aku minta maaf ya, Bun. Aku tidak sanggup! Apalagi kalau harus membiayai Navita de
Bagian 26: Maaf, Aku Lelah! “Ibu, aku minta maaf yang sebesar-besarnya. Keputusanku sudah bulat. Mungkin kedengarannya sangat kejam, tapi kami berdua sudah sepakat di depan notaris sebelum menikah, bahwa barang siapa yang berselingkuh, maka dialah yang akan keluar dari rumah tanpa membawa harta sekeping pun!” Aku tegas berucap. Tangisan Bu Rini sedikit pun tidak membuat hatiku luluh. Bukan tega atau kejam kepada orangtua, tetapi di sini aku yang tersakiti. Kupegang kedua bahu ibu mertuaku. Susah payah kubantu beliau untuk bangkit dari simpuhnya. Bu Rini masih saja pecah tangisan pilunya. Percuma, pikirku. Menangis sekencang apa pun ibu mertuaku, hal itu tak akan menjadi sebuah alasan bagiku untuk mengurungkan niat semula. Mas Refal harus mendapatkan ganjaran atas apa yang dia perbuat hari ini. “May … Ibu mohon,” pinta Bu Rini seraya memelukku kencang. Di hadapan banyak orang termasuk anaknya sendiri ya
Bagian 25: Darah Lebih Kental Dari Air Benar saja, Mas Refal dan Navita akhirnya diarak oleh para warga komplek dengan berjalan kaki menuju rumahnya ketua RT yang berada di blok F. Aku dan Bu Rini tentu saja ikut serta. Bedanya, kami berdua naik motor. Aku yang membonceng mertuaku tersebut. Beliau dari tadi hanya bisa terisak-isak sambil memelukku dari belakang. Hati Bu Rini pasti hancur berkeping-keping. Di depan sana, arak-arakkan warga terlihat semakin ramai. Sorak sorai penduduk yang bahkan hanya menyaksikan dari teras rumah masing-masing pun terdengar begitu membahana. Komplek perumahan yang biasanya terasa begitu sunyi di malam hari sebab para penduduknya sibuk beraktifitasi di dalam rumah, kini berubah begitu ingar bingar. Semua kehebohan ini disebabkan tak lain dan tak bukan karena perzinahan Mas Refal bersama Navita. Siapa yang tak malu wajahnya jika sang suami bermain gila di depan mata kepala sendiri? Tentu aku sudah begitu malu den
Bagian 24: Matilah Kalian!Flash ponsel kunyalakan. Kini, di tengah kamar yang remang-remang tanpa pencahayaan kecuali lampu flash ponsel serta cahaya dari lorong di depan kamarku, tampak jelas dua insan biadab tengah bercinta tanpa seutas busana pun. Navita berada di atas tubuh polos suamiku. Keduanya tampak sama-sama syok saat aku dan Bu Rini berhasil memergoki mereka. “Refal! Astaghfirullah! Apa yang kamu lakukan? Ya Allah!” Bu Rini berteriak histeris. Beliau sampai terduduk di atas lantai dengan tangisan yang pecah. “Apa-apaan kalian?” Mas Refal panik luar biasa. Tanpa sadar, dia mendorong tubuh Navita yang masih menempel di atas tubuhnya hingga perempuan itu terjatuh di kasur. Bisa kulihat dengan jelas persetubuhan haram tersebut telah terjadi di atas ranjang tidur kami. Lampu kamar pun kunyalakan, Mas Refal dan Navita sama-sama menyipitkan mata. Mereka berdua kalang kabut mencari pakaian demi menutupi tubuh telanjangnya tersebut. Sedangk
Bab 23: Kutemukan Dia dan Dia Berkhianat Makan malam benar-benar aku yang buat dan hidangkan spesial untuk ibu mertuaku. Dengan bahan makanan apa adanya yang tersedia di kulkas, masakan sederhana itu pun berhasil siap di atas meja makan. Bu Rini kulihat begitu senang dengan hasil karyaku malam ini. Berkali-kali dia memujiku. Padahal, hanya tempe goreng, sayur bening, dan telur dadar yang kubuat untuknya. Masyaallah, beliau memang mertua yang selalu memuji dan tak pernah meremehkan apalagi julid kepada mantunya sendiri. Selesai makan malam, Bu Rini lalu mengajakku untuk salat Isya berjamaah terlebih dahulu. Aku menurut. Kata mertuaku, biar kami lebih tenang kalau pergi-pergi. Meninggalkan rumah dalam keadaan sudah salat adalah sebuah kelegaan tersendiri. Begitu ujarnya. Habis salat, Bu Rini hanya zikir sebentar saja. Dia tidak mengaji, karena aku tahu kami harus buru-buru mendatangi rumah Mas Refal. Takutnya kemalaman di jalan. Apalagi jarak te
Bab 22: Air Mata Ibu “Ibu benar-benar tidak percaya kalau sikap Refal bisa berubah sedrastis ini, May. Ibu seperti tidak lagi mengenali suamimu itu. Dia seperti bukan anak Ibu yang dulu Ibu besarkan dengan penuh kasih sayang. Ya Allah, ada apa dengan Refal sebenarnya?” Bu Rini terisak kembali seusai dia memutuskan sambungan telepon sepihak dari anaknya. Ibu mertuaku itu benar-benar terlihat frustrasi. Tega benar Mas Refal. Lelaki itu seperti orang yang kesetanan. Dia sudah lupa daratan, hingga tega-teganya mencaci maki ibu kandungnya sendiri. Biadab! “Bu, sudah, ya. Ibu jangan sedih lagi. Ada Maya di sini, Bu. Kita jangan bahas Mas Refal dulu. Lebih baik kita lupakan sejenak laki-laki itu. Aku tahu kalau Ibu pasti terluka dengan sikapnya, tapi aku yakin, suatu hari nanti Mas Refal pasti akan menyesal dan meminta ampun kepada Ibu atas kejadian tadi.” Lekas kupeluk erat tubuh Bu Rini. Mau berapa kali dia menangis hari ini. Kasihan sekali, pikirk
Bagian 21: Telepon Makian dari SuamikuKutarik napas dalam-dalam. Kupersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi saat aku mengangkat telepon dari suamiku tersebut. Semoga saja, isi telepon ini bukan caci maki lagi, sebab aku sudah capek mengeluarkan ucapan tak senonoh dari mulut untuk membalas segala kalimat yang menyakitkan dari orang apalagi suami sendiri. Kuangkat telepon dari Mas Refal sambil ku-loudspeaker-kan. Biar Bu Rini bisa mendengar kata-kata yang terlontar dari anaknya. “Assalamualaikum,” sapaku lembut pada Mas Refal meskipun sebenarnya hatiku begitu sakit dan dongkol. “Kamu di mana?” Dengar sendiri, bukan? Dia bahkan tidak menjawab salam dariku. Malah bertanya di mana diriku berada. Padahal, sekarang baru pukul empat sore, lho. Mas Refal seharusnya masih berada di meja kerjanya untuk meneruskan pekerjaan meskipun pelayanan di bank sudah ditutup untuk para konsumen. "Di rumah ibu
Bagian 20: Tetes Air Mata “Anak nggak punya otak kamu, Nav!” Setelah memaki Navita, aku pun langsung mematikan sambungan teleponku. Mau ditaruh di mana mukaku di depan Bu Rini sekarang? Aku sebagai menantunya kini tak bisa berkata-kata lagi saat adikku sendiri menghina mertuaku di depannya. Walaupun via telepon dan hinaan itu bukan dari mulutku sendiri, tetapi itu menandakan bahwa aku memiliki keluarga yang tidak beres, kan? Aku sebagai kakak juga sudah gagal besar dalam mendidik adikku. Ya Allah, semoga Bu Rini tidak menaruh kebencian kepadaku juga. Aku takut. Benar-benar takut. “Adikmu benar-benar keterlaluan, May,” ucap Bu Rini. Aku menoleh kepada beliau. Kulihat air mata di pipi beliau ternyata sudah menitik. Gegas aku memeluk Bu Rini dan mengusap-usap pundaknya. “Bu, aku minta maaf, ya. Navita sangat keterlaluan sekali. Mulutnya seperti tidak pernah diajari sopan santun oleh orangtua. Sebagai kakaknya, aku bena
Bagian 19: Jalang Yang Menguji Imanku Selesai makan bakso berduaan dengan Bu Rini, kami pun memutuskan untuk pulang ke rumah beliau. Beliau mengajakku beristirahat sejenak di teras belakang rumahnya sambil menikmati segelas es teh lemon buatan tangannya sendiri. Sudah kutolak sebab perutku masih kenyang akan bakso dan es teh manis di warung Bang Jenggot tadi, tetapi Bu Rini tetap memaksa agar aku meminum es the buatannya. Di teras belakang, kami berdua duduk di kursi rotan tua yang menghadap ke arah taman yang ditanami dengan aneka pohon buah dan bunga-bunga hias dalam pot. Ada pohon nangka dan rambutan, serta ada pula tanaman empon-emponan seperti kunyit, jahe, dan lengkuas. Sedangkan bunga-bunga yang tumbuh di dalam pot-pot hitam didominasi oleh bugenvil dan bunga kenanga. Saat aku tengah duduk sembari menikmati segelas es the lemon buatan Bu Rini, ponsel di dalam celanaku berdering. Sudah kuduga bahwa telepon masuk itu adalah dari adikku,
Bagian 18 B: Kesepakatan Berdua Aku terdiam sejenak. Lanjut memakan baksoku, meskipun di lidah ini rasanya jadi hambar. Seperti kurang bumbu dan garam. Padahal, sepanjang yang aku tahu, bakso buatan warung Bang Jenggot ini adalah bakso terenak yang pernah aku makan di kelurahan tempat Mas Refal tinggal. Ini pasti karena hatiku sedang patah berkeping, makanya makanan enak pun jadi terasa hambar di lidah. “Kamu mau menginap sama Ibu di sini, May?” tanya Bu Rini tiba-tiba sembari mengunyah habis makanan di mulutnya. Aku sontak menggeleng. Lekas kutelan bakso yang sudah lumat akibat kunyahan, lalu kujawab pertanyaan Bu Rini dengan tegas, “Tidak mungkin, Bu. Kalau aku tinggalkan Navita dan Mas Refal berduaan di rumah saja, maka mereka akan kegirangan. Kelakuan mereka pasti akan tambah gila!” “Kalau begitu, coba besok kamu pasang saja CCTV, May. Diam-diam kamu pantau kondisi rumah. Lalu, sesekali kamu ke rumahnya Ibu. Buat alas