“Kalau aku pribadi tidak sanggup, Mas. Upahku sebagai editor tidak begitu besar. Aku tidak mampu kalau harus membiayai kuliah Navita di kedokteran. Kalau hanya memberinya uang saku bulanan senilai satu juta atau membantu per enam bulan paling banyak sepuluh juta sudah termasuk uang saku dan biaya semesteran, yah akan kuusahakan. Cuma, kalau harus membiayai penuh dan menanggung semua-semuanya, aku tidak mau. Aku juga punya kebutuhan. Kamu juga kan, harus rutin memberi ibumu uang, Mas. Jangan sampai Ibu protes jatahnya berkurang gara-gara membiayai adikku.” Aku berkata dengan nada yang lantang. Semua orang langsung terdiam. Termasuk Bunda yang mulutnya paling cerewet sejak tadi. Muka Mas Refal langsung merah padam. Biar saja orangtuaku tahu kalau suamiku ternyata rutin mengirimkan orangtuanya uang setiap bulan. Ibu memang sudah janda. Anaknya ada tiga dan Mas Refal yang paling kecil. Kakak Mas Refal semuanya laki-laki. Dua-duanya mana ada yang mau peduli untuk masal
Bagian 11: Tidak Ada Ampun “Astaghfirullah, Maya! Kenapa kamu jadi sangat kasar begini, sih?” Bunda terlihat tercengang dengan perubahan drastis pada sikapku. Aku hanya mengecimus sebal. Siapa pun yang telah diinjak-injak, mana mungkin tetap bersifat malaikat? Aku ini hanya manusia biasa! Bukan nabi atau rasul yang memiliki sabar lebih serta hati bersih nan mulia. Ada kalanya aku akan naik pitam, terlebih jika terus menerus ditekan oleh keluargaku sendiri. “Bun, tolong jangan playing victim! Sekali lagi aku tegaskan Bun, aku memberikan masukan kepada Navita untuk kuliah di sini karena aku sayang kepada dia! Apa pun yang pernah Bunda lakukan kepadaku termasuk bersikap cuek dan dingin di saat aku masih kecil, aku tidak mempermasalahkan itu! Aku tidak pernah dendam. Aku malah ingin semakin berbakti kepada kalian dan membahagiakan adikku satu-satunya. Namun, kalau begini caranya, aku minta maaf ya, Bun. Aku tidak sanggup! Apalagi kalau harus membiayai Navita de
Bagian 12POV Author: Rencana Busuk “Bun, kayanya kita harus waspada, deh. Itu Mbak Maya kayanya mulai mengendus niat kita,” bisik Navita kepada Lisa yang tidak lain dan tidak bukanlah adalah ibu kandungnya. Ibu dan anak itu kini tengah berduaan di kamar tamu yang berada tepat di sebelah timurnya kamar Maya. Sedangkan Pambudi—suami Lisa yang juga ayah dari Navita maupun Maya—sekarang sedang tidur di kamar lantai dua sana. “Iya, Nav. Kamu tenang aja pokoknya! Semua biar Bunda yang handle. Dukunnya Bunda kan, ilmunya topcer banget. Dijamin, walaupun si Maya koar-koar, yang penting si Refalnya taat dan tunduk terus sama kita. Kamu lihat kan, Nav, kalau si Refal manut terus sama apa yang Bunda dan Ayah bilang? Semua itu atas bantuan dukun Bunda, Nav! Pak Trisno memang juaranya kalau urusan pelet memelet dan ilmu pengasihan. Kamu nggak usah khawatir, ya,” lirih Lisa kepada Navita sambil tangannya merangkul bahu sang putri. Navita meng
“Tidak hanya itu, Nav! Kamu juga harus membuat mertuanya Maya berubah membenci perempuan itu. Kamu harus rebut hatinya Bu Rini. Buat Bu Rini suka kepadamu dan merestui hubungan kalian nantinya. Namun, kamu harus main cantik sepertinya, Nav. Jangan terlalu agresif dulu, deh.” Lisa menimbang-nimbang. Dia berpikir kalau beberapa waktu ini sepertinya mereka berdua agak terlalu gegabah sehingga membuat Maya keburu sadar dengan tindak tanduk keduanya. “Sebenarnya, agresif itu nggak apa-apa sih, Bun. Asalkan, dukunnya Bunda bisa ngeguna-guna Mbak Maya sekalian. Bikin dia sakit, kek. Atau bikin dia jadi dibenci sama suaminya. Jangan melet Mas Refal doang, Bun. Sekalian kita hancurkan Mbak Maya pakai ilmu hitam biar mereka buru-buru bercerai. Aku juga udah nggak sabar pengen nikah sama Mas Refal, Bun. Kuliah sambil nikah kan, nggak masalah. Malah enak. Nanti pulangnya bisa diantar jemput pakai mobilnya Mas Refal yang bagus.” Navita penuh percaya diri. Dia yakin seribu persen ba
Bagian 13 Berubah Manis “Maya, Ayah dan Bunda pulang dulu, ya. Tolong jaga adikmu baik-baik, Sayang. Ayah sama Bunda minta maaf kalau ada omongan kami yang tidak berkenan di hatinya Maya.” Setelah sarapan bersama, Ayah memeluk tubuhku erat-erat. Kurasakan aroma ketulusan yang begitu kental melekat dari Ayah. Ucapan Ayah yang lembut seketika membuat hati ini luluh dan terenyuh. Sesaat aku melupakan kekesalanku kepada Ayah, Bunda, dan Navita. Sekarang, hanya rindu yang membuncah. Rasanya aku berat sekali untuk melepas kepulangan Ayah. Ingin kusuruh saja beliau yang sudah pensiun itu untuk tinggal bersama di sini. Namun, sepertinya hal itu tidak mungkin. “Iya, Ayah. Aku juga minta maaf kalau ada kata-kataku yang membuat Ayah atau Bunda tidak senang. Insyaallah Navita akan aman bersama kami di sini,” jawabku penuh kasih sayang kepada Ayah. Ayah mengusap-usap puncak kepala dan punggungku beberapa kali.
Bagian 14: Ponsel Rahasia “Mbak biar aku yang cuci piring dan beres-beres dapur. Mbak istirahat aja.” Navita berujar ketika semua orang sudah pergi dari rumah. Aku cukup kaget mendengarkan ucapan Navita. Dia benar-benar menjadi seorang gadis baik yang manis kepada kakaknya. Pertolongan cuma-cuma ini tentu saja tidak akan kusia-siakan. “Ya, sudah. Silakan. Aku tidak menyuruhmu lho, ya. Terus, tesmu bagaimana? Sudah belajar, kan?” tanyaku sambil melirik Navita dengan setengah menyelidik. “Aman, Mbak. Aku sudah belajar jauh-jauh hari.” “Jangan karena kamu kepengen masuk swasta bonafide, kamu jadi sengaja nggak belajar supaya gagal tes, lho!” Aku sengaja menyindir Navita. Gadis itu malah senyum semringah. “Nggak, dong. Usaha belajarku sudah maksimal. Aku juga sekarang udah ngertiin posisi Mbak Maya, kok. Kalau memang aku gagal masuk negri dan akhirnya masuk swasta, masalah biaya nanti aku akan pikirkan, Mb
Tak mau menyerah, aku kembali mencoba memasukan angka demi angka ke dalam ponsel tersebut. Sambil dalam hati aku terus berdoa supaya Tuhan mau memberikan jalan-Nya. Tunjukkan kebenaran itu kalau suamiku memang salah! Aku mau tahu apa yang sebenarnya tersimpan di ponsel ini, Tuhan! Aku mencoba memasukkan tanggal pernikahan kami. Namun, percobaanku gagal tela. Aku tak kehabisan akal. Kucoba kembali memasukkan tanggal lahir ibu mertuaku. Masih gagal juga. Lalu, kuingat-ingat tanggal lahir almarhum bapak mertuaku. Masih salah juga ternyata. “Ya Allah! Ayo, dong! Kasih ilham supaya aku bisa buka password-nya!” gumamku penuh sesak di dada. Entah bagaimana, tiba-tiba aku kepikiran untuk memasukkan tanggal lahirnya Navita. Tanganku gemetar saat mengetik angka tersebut satu per satu. Dan … ponsel itu pun terbuka sempurna kuncinya. Aku kaget. Benar-benar syok dan terhenyak ketika mendapati sebuah kenyataan tak masuk akal tersebut?
Bagian 15POV Author: Kelicikan Wanita Iblis Tok! Tok! Tok! Navita mengetuk pintu kamar kakaknya. Maya yang baru saja selesai salat Zuhur, buru-buru melepas mukenanya sambil berjalan ke arah pintu. Dia sudah menduga bahwa yang mengetuk pintu kamarnya adalah Navita. Maya sebenarnya sangat marah besar kepada perempuan bertubuh ramping dengan bagian dada dan bokong padat berisi itu. Namun, dia tidak boleh gegabah. Maya harus tetap slow and slay di hadapan si perempuan bermuka dua tersebut. Sebelum semua bukti terkumpul, Maya tidak akan terang-terangan mengusik perempuan gatal itu. “Hei, sorry. Aku baru selesai salat,” ucap Maya sambil tersenyum di balik celah pintu yang dia buka tak terlalu lebar. Navita berdiri di depan kakaknya sambil tersenyum manis. Gadis seksi itu sudah berpakaian rapi dan sopan. Celana bahan berwarna hitam dan kemeja polos putih lengan panjang membungkus tubuhnya yang tinggi semampai. Tak lupa, sebuah totebag
Bagian 26: Maaf, Aku Lelah! “Ibu, aku minta maaf yang sebesar-besarnya. Keputusanku sudah bulat. Mungkin kedengarannya sangat kejam, tapi kami berdua sudah sepakat di depan notaris sebelum menikah, bahwa barang siapa yang berselingkuh, maka dialah yang akan keluar dari rumah tanpa membawa harta sekeping pun!” Aku tegas berucap. Tangisan Bu Rini sedikit pun tidak membuat hatiku luluh. Bukan tega atau kejam kepada orangtua, tetapi di sini aku yang tersakiti. Kupegang kedua bahu ibu mertuaku. Susah payah kubantu beliau untuk bangkit dari simpuhnya. Bu Rini masih saja pecah tangisan pilunya. Percuma, pikirku. Menangis sekencang apa pun ibu mertuaku, hal itu tak akan menjadi sebuah alasan bagiku untuk mengurungkan niat semula. Mas Refal harus mendapatkan ganjaran atas apa yang dia perbuat hari ini. “May … Ibu mohon,” pinta Bu Rini seraya memelukku kencang. Di hadapan banyak orang termasuk anaknya sendiri ya
Bagian 25: Darah Lebih Kental Dari Air Benar saja, Mas Refal dan Navita akhirnya diarak oleh para warga komplek dengan berjalan kaki menuju rumahnya ketua RT yang berada di blok F. Aku dan Bu Rini tentu saja ikut serta. Bedanya, kami berdua naik motor. Aku yang membonceng mertuaku tersebut. Beliau dari tadi hanya bisa terisak-isak sambil memelukku dari belakang. Hati Bu Rini pasti hancur berkeping-keping. Di depan sana, arak-arakkan warga terlihat semakin ramai. Sorak sorai penduduk yang bahkan hanya menyaksikan dari teras rumah masing-masing pun terdengar begitu membahana. Komplek perumahan yang biasanya terasa begitu sunyi di malam hari sebab para penduduknya sibuk beraktifitasi di dalam rumah, kini berubah begitu ingar bingar. Semua kehebohan ini disebabkan tak lain dan tak bukan karena perzinahan Mas Refal bersama Navita. Siapa yang tak malu wajahnya jika sang suami bermain gila di depan mata kepala sendiri? Tentu aku sudah begitu malu den
Bagian 24: Matilah Kalian!Flash ponsel kunyalakan. Kini, di tengah kamar yang remang-remang tanpa pencahayaan kecuali lampu flash ponsel serta cahaya dari lorong di depan kamarku, tampak jelas dua insan biadab tengah bercinta tanpa seutas busana pun. Navita berada di atas tubuh polos suamiku. Keduanya tampak sama-sama syok saat aku dan Bu Rini berhasil memergoki mereka. “Refal! Astaghfirullah! Apa yang kamu lakukan? Ya Allah!” Bu Rini berteriak histeris. Beliau sampai terduduk di atas lantai dengan tangisan yang pecah. “Apa-apaan kalian?” Mas Refal panik luar biasa. Tanpa sadar, dia mendorong tubuh Navita yang masih menempel di atas tubuhnya hingga perempuan itu terjatuh di kasur. Bisa kulihat dengan jelas persetubuhan haram tersebut telah terjadi di atas ranjang tidur kami. Lampu kamar pun kunyalakan, Mas Refal dan Navita sama-sama menyipitkan mata. Mereka berdua kalang kabut mencari pakaian demi menutupi tubuh telanjangnya tersebut. Sedangk
Bab 23: Kutemukan Dia dan Dia Berkhianat Makan malam benar-benar aku yang buat dan hidangkan spesial untuk ibu mertuaku. Dengan bahan makanan apa adanya yang tersedia di kulkas, masakan sederhana itu pun berhasil siap di atas meja makan. Bu Rini kulihat begitu senang dengan hasil karyaku malam ini. Berkali-kali dia memujiku. Padahal, hanya tempe goreng, sayur bening, dan telur dadar yang kubuat untuknya. Masyaallah, beliau memang mertua yang selalu memuji dan tak pernah meremehkan apalagi julid kepada mantunya sendiri. Selesai makan malam, Bu Rini lalu mengajakku untuk salat Isya berjamaah terlebih dahulu. Aku menurut. Kata mertuaku, biar kami lebih tenang kalau pergi-pergi. Meninggalkan rumah dalam keadaan sudah salat adalah sebuah kelegaan tersendiri. Begitu ujarnya. Habis salat, Bu Rini hanya zikir sebentar saja. Dia tidak mengaji, karena aku tahu kami harus buru-buru mendatangi rumah Mas Refal. Takutnya kemalaman di jalan. Apalagi jarak te
Bab 22: Air Mata Ibu “Ibu benar-benar tidak percaya kalau sikap Refal bisa berubah sedrastis ini, May. Ibu seperti tidak lagi mengenali suamimu itu. Dia seperti bukan anak Ibu yang dulu Ibu besarkan dengan penuh kasih sayang. Ya Allah, ada apa dengan Refal sebenarnya?” Bu Rini terisak kembali seusai dia memutuskan sambungan telepon sepihak dari anaknya. Ibu mertuaku itu benar-benar terlihat frustrasi. Tega benar Mas Refal. Lelaki itu seperti orang yang kesetanan. Dia sudah lupa daratan, hingga tega-teganya mencaci maki ibu kandungnya sendiri. Biadab! “Bu, sudah, ya. Ibu jangan sedih lagi. Ada Maya di sini, Bu. Kita jangan bahas Mas Refal dulu. Lebih baik kita lupakan sejenak laki-laki itu. Aku tahu kalau Ibu pasti terluka dengan sikapnya, tapi aku yakin, suatu hari nanti Mas Refal pasti akan menyesal dan meminta ampun kepada Ibu atas kejadian tadi.” Lekas kupeluk erat tubuh Bu Rini. Mau berapa kali dia menangis hari ini. Kasihan sekali, pikirk
Bagian 21: Telepon Makian dari SuamikuKutarik napas dalam-dalam. Kupersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi saat aku mengangkat telepon dari suamiku tersebut. Semoga saja, isi telepon ini bukan caci maki lagi, sebab aku sudah capek mengeluarkan ucapan tak senonoh dari mulut untuk membalas segala kalimat yang menyakitkan dari orang apalagi suami sendiri. Kuangkat telepon dari Mas Refal sambil ku-loudspeaker-kan. Biar Bu Rini bisa mendengar kata-kata yang terlontar dari anaknya. “Assalamualaikum,” sapaku lembut pada Mas Refal meskipun sebenarnya hatiku begitu sakit dan dongkol. “Kamu di mana?” Dengar sendiri, bukan? Dia bahkan tidak menjawab salam dariku. Malah bertanya di mana diriku berada. Padahal, sekarang baru pukul empat sore, lho. Mas Refal seharusnya masih berada di meja kerjanya untuk meneruskan pekerjaan meskipun pelayanan di bank sudah ditutup untuk para konsumen. "Di rumah ibu
Bagian 20: Tetes Air Mata “Anak nggak punya otak kamu, Nav!” Setelah memaki Navita, aku pun langsung mematikan sambungan teleponku. Mau ditaruh di mana mukaku di depan Bu Rini sekarang? Aku sebagai menantunya kini tak bisa berkata-kata lagi saat adikku sendiri menghina mertuaku di depannya. Walaupun via telepon dan hinaan itu bukan dari mulutku sendiri, tetapi itu menandakan bahwa aku memiliki keluarga yang tidak beres, kan? Aku sebagai kakak juga sudah gagal besar dalam mendidik adikku. Ya Allah, semoga Bu Rini tidak menaruh kebencian kepadaku juga. Aku takut. Benar-benar takut. “Adikmu benar-benar keterlaluan, May,” ucap Bu Rini. Aku menoleh kepada beliau. Kulihat air mata di pipi beliau ternyata sudah menitik. Gegas aku memeluk Bu Rini dan mengusap-usap pundaknya. “Bu, aku minta maaf, ya. Navita sangat keterlaluan sekali. Mulutnya seperti tidak pernah diajari sopan santun oleh orangtua. Sebagai kakaknya, aku bena
Bagian 19: Jalang Yang Menguji Imanku Selesai makan bakso berduaan dengan Bu Rini, kami pun memutuskan untuk pulang ke rumah beliau. Beliau mengajakku beristirahat sejenak di teras belakang rumahnya sambil menikmati segelas es teh lemon buatan tangannya sendiri. Sudah kutolak sebab perutku masih kenyang akan bakso dan es teh manis di warung Bang Jenggot tadi, tetapi Bu Rini tetap memaksa agar aku meminum es the buatannya. Di teras belakang, kami berdua duduk di kursi rotan tua yang menghadap ke arah taman yang ditanami dengan aneka pohon buah dan bunga-bunga hias dalam pot. Ada pohon nangka dan rambutan, serta ada pula tanaman empon-emponan seperti kunyit, jahe, dan lengkuas. Sedangkan bunga-bunga yang tumbuh di dalam pot-pot hitam didominasi oleh bugenvil dan bunga kenanga. Saat aku tengah duduk sembari menikmati segelas es the lemon buatan Bu Rini, ponsel di dalam celanaku berdering. Sudah kuduga bahwa telepon masuk itu adalah dari adikku,
Bagian 18 B: Kesepakatan Berdua Aku terdiam sejenak. Lanjut memakan baksoku, meskipun di lidah ini rasanya jadi hambar. Seperti kurang bumbu dan garam. Padahal, sepanjang yang aku tahu, bakso buatan warung Bang Jenggot ini adalah bakso terenak yang pernah aku makan di kelurahan tempat Mas Refal tinggal. Ini pasti karena hatiku sedang patah berkeping, makanya makanan enak pun jadi terasa hambar di lidah. “Kamu mau menginap sama Ibu di sini, May?” tanya Bu Rini tiba-tiba sembari mengunyah habis makanan di mulutnya. Aku sontak menggeleng. Lekas kutelan bakso yang sudah lumat akibat kunyahan, lalu kujawab pertanyaan Bu Rini dengan tegas, “Tidak mungkin, Bu. Kalau aku tinggalkan Navita dan Mas Refal berduaan di rumah saja, maka mereka akan kegirangan. Kelakuan mereka pasti akan tambah gila!” “Kalau begitu, coba besok kamu pasang saja CCTV, May. Diam-diam kamu pantau kondisi rumah. Lalu, sesekali kamu ke rumahnya Ibu. Buat alas