"Hallo."
[Benar ini dengan Bapak Ibra Hardiansyah, orang tua dari Farel Hardiansyah?]"Betul, dengan saya sendiri. Ada apa ya, Bu?"[Farel membuat ulah lagi, Pak. Dia berkelahi dengan murid lain di sini. Saya harap Bapak bisa meluangkan waktu untuk datang ke sekolah. Karena kondisi murid yang dipukuli Farel cukup parah.]"Baik, Bu. Saya akan segera ke sana."[Terima kasih, Pak. Selamat siang.]Kuhela napas dengan kasar. Kupijat kening yang terasa pening setelah mendengar laporan dan panggilan dari sekolah untuk yang kesekian kalinya.Farel Hardiansyah. Putra sulungku bersama Farhana, wanita yang sudah membersamai selama tujuh belas tahun. Wanita yang sudah memberiku dua orang anak, Farel si sulung yang kini duduk di bangku kelas 3 SMP dan Azkia si bungsu yang saat ini berusia tujuh tahun.Hana, wanita shaliha berwajah ayu nan teduh. Selalu menjadi penenang dikala gundah menyapa. Usapan tangan lembutnya mampu membiusku hingga diri ini kembali tenang.Hana, seorang istri yang sempurna. Bidadari yang Allah beri untuk menjadi pendamping hidup, tetapi sayang telah aku sia-siakan. Kehadiran cinta masa lalu telah membutakan hati ini. Nafsu berbalut kenangan telah menenggelamkan diri dalam kubangan dosa yang tak akan termaafkan.Rani, wanita dari masa lalu yang kini menggantikan posisi Hana. Wanita yang dulu begitu aku inginkan, sehingga dengan bodohnya diri ini mengambil jalan pintas untuk menikahinya tanpa sepengetahuan Hana.Seketika ingatanku menerawang pada kejadian beberapa tahun yang lalu.Dua tahun menjalani rumah tangga poligami diam-diam, nyatanya telah membuatku berada dalam posisi sulit. Kehamilan Rani yang bermasalah membuatku harus ekstra menjaganya. Dua hari dalam seminggu yang biasa aku berikan untuk Rani, berubah menjadi lima hari sehingga kebersamaanku bersama Hana dan anak-anak makin berkurang.Namun, Hana tak pernah mengeluh. Alasan tugas di luar kota untuk mengurus proyek baru di sana ia percayai begitu saja. Pun saat aku menolak dengan halus ketika ia memberi kode untuk mengajakku bermesraan dengan alasan cape. Hana hanya tersenyum maklum meskipun bisa aku lihat gurat kekecewaan tampak jelas dari wajahnya.Kebohongan demi kebohongan terus aku lakukan demi menutupi bangkai yang aku sembunyikan. Sampai akhirnya, tiba saatnya bangkai itu harus tercium tepat di hari ulang tahun putri kami yang ke lima. Hana terus menghubungiku ketika aku tengah menemani Rani periksa ke Dokter Kandungan. Terpaksa kuabaikan panggilan itu karena sedang fokus mendengarkan penjelasan Dokter. Rani merajuk saat melihatku duduk dengan gelisah. Ia tahu diri ini tengah bimbang antara mengangkat telepon itu atau tidak. Terpaksa ku non aktifkan ponsel demi dia yang tidak ingin waktu kebersamaan kami terganggu.Sampai ... deretan pesan dari Hana yang aku baca ketika waktu sudah hampir pagi, membuat diri ini mengumpat karena kembali telah mengecewakan dan mengabaikan mereka.10.00 WIB.[Abang benar-benar sibuk? Hari ini ulang tahun Kia. Dia ingin merayakannya bersama Abang. Kalau bisa, Abang luangkan waktu sedikit demi putri kita.]17.00 WIB.[Bang, Kia demam. Dia terus-terusan manggil Ayah. Pulanglah sebentar saja, Bang.]21.00 WIB[Kia dibawa ke Rumah Sakit Sastra Medika. Kalau Abang sudah membaca pesan ini, Hana harap Abang langsung menyusul ke sini.]Deretan pesan itu membuatku terperanjat. Gegas kukenakan pakaian kemudian pergi dari apartemen tanpa sepengetahuan Rani yang sedang terlelap. Biarlah nanti saja aku jelaskan padanya. Untuk saat ini, keadaan Kia lebih penting dari segalanya.Kubuka pintu ruang rawat dengan sedikit kasar. Napasku terengah karena berlari dari parkiran sampai ke ruang rawat Kia. Di sana, Hana tengah duduk di samping putri kami seraya membaca mushaf yang selalu ia bawa, sedangkan Farel masih terlelap di sofa yang berada tidak jauh dari ranjang rawat Kia."Hana--"Wanitaku masih berusaha tersenyum meskipun luka itu terlihat jelas dari manik matanya. Tangan ini diciumnya dengan takzim. Namun, saat diri ini mendekat ingin mengecup keningnya, Hana bergerak mundur seraya membuang muka ke arah Kia."Sapalah Kia, Bang. Dari kemarin dia menanyakan Abang terus."Kepala ini mengangguk. Kudekati Kia yang masih terbaring dengan mata yang terpejam. "Kia, Sayang. Ini Ayah, Nak. Maaf Ayah baru datang. Kia bangun, dong. Ayah janji akan ajak Kia jalan-jalan terus membeli apa saja yang Kia mau. Bangun ya, Sayang."Terisak diri ini mendapati dia yang tak merespon. Rasa bersalah semakin mendera setelah mendengar cerita dari Hana kalau Kia merajuk sampai tidak mau makan karena aku tidak datang di hari ulang tahunnya.Dua hari Kia dirawat, sedikit pun diri ini tidak beranjak dari dekatnya. Aku ingin mengganti kesalahan kemarin dan menikmati kebersamaan kami. Kuhubungi Rani untuk memberitahu kondisi Kia yang membuatku tidak bisa meninggalkan gadis kecil itu. Meminta pengertian pada dia untuk memberiku waktu bersama mereka sampai Kia benar-benar sembuh. Beruntung Rani mengerti dan mengizinkanku untuk tidak mengunjunginya beberapa hari ke depan. Namun, ada yang berbeda dari Hana. Dia lebih sering termenung dan menjaga jarak denganku. Aku tahu dia masih memendam kekecewaan karena aku tidak hadir di acara ulang tahun putri kami.Sikap diamnya berlanjut hingga kami telah sampai di rumah. Kudekati dia yang sudah berbaring dengan posisi membelakangiku. Kupeluk tubuh ramping itu seraya mengucapkan kata maaf berkali-kali. Beruntung kali ini tidak ada penolakan darinya. Sampai ... ucapan yang keluar dari mulutnya sontak saja membuatku melepaskan pelukan."Bang ... mari kita berpisah."Bersambung."Bang ... mari kita berpisah."Sontak saja pelukan ini aku lepas. Kubalikkan tubuh Hana hingga kini posisi kami berhadapan. Hatiku mencelos ketika melihat wajahnya sudah bersimbah air mata. Sikapku yang memang sudah sangat keterlaluan, telah melukai hati Farhana begitu dalam."Jangan katakan itu. Abang minta maaf jika selama ini terlalu sering mengabaikan kalian. Abang janji mulai hari ini akan lebih banyak meluangkan waktu untuk kamu dan anak-anak." Kali ini aku bersungguh-sungguh. Kejadian yang menimpa Kia menjadi tamparan keras untukku yang lebih condong kepada Rani. Akan tetapi, sampai saat ini aku belum bisa berkata jujur kepada Hana tentang keberadaan Rani yang hadir di antara kami. Entah sampai kapan aku akan menyembunyikan bangkai ini dari istri pertamaku."Abang tidak perlu berjanji. Keputusan Hana sudah bulat, kita akan tetap berpisah."Dia tetap pada pendirian. Kucoba meraih tubuhnya untuk didekap, tetapi Hana beringsut mundur menjauhiku membuat diri ini gusar dibuatnya."K
Hari itu adalah hari terakhir di mana aku bertemu dan bercakap dengan Hana. Sempat kuberi ancaman supaya dia mengurungkan niat, tetapi sama sekali tidak mempan. Aku meminta hak asuh Farel dan Kia jatuh ke tanganku. Namun lagi-lagi, wajah Hana yang memelas membuat diri ini tidak tega untuk memisahkan dia dengan anak-anak kami. Akhirnya kesepakatan kami ambil. Hana aku perbolehkan membawa Kia sedangkan Farel tetap tinggal denganku dan juga Rani. Dengan berat hati ia pun menyetujui. Aku tahu diri ini terlalu jahat dan egois. Namun mau bagaimana lagi? Sama halnya dengan Hana, aku pun tidak sanggup jika harus berpisah dengan Farel mau pun Kia. Kini dua tahun telah berlalu semenjak kepergian Hana. Rumah tangga bersama Rani yang kukira akan dipenuhi kebahagiaan nyatanya malah terasa hambar. Ditambah sikap Farel yang semakin menjadi pembangkang, menambah penyesalan diri atas kehilangan sosok Farhana.Aku sadar anak itu hanya ingin meluapkan rasa kecewanya padaku. Ia pun kecewa dengan Hana y
"Farel, buka pintunya. Ayah mau bicara!""Farel!"Tetap tak ada sahutan. Sudah hampir satu jam tubuh ini berdiri di depan kamarnya. Dia tetap bergeming meskipun aku mengetuk pintu dan memanggil namanya beberapa kali. Setelah insiden penamparan itu, Farel terpaksa ikut denganku berkat bujukan dari wali kelas yang kebetulan berpapasan dengan kami. Tanpa sepatah kata pun, putraku keluar dari mobil dan langsung mengurung diri di kamar sejak kami sampai di rumah hingga kini waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam."Farel, Ayah minta maaf, Nak. Ayah janji tidak akan mengulanginya lagi. Bilang sama Ayah, apa yang harus Ayah lakukan supaya kamu mau memaafkan?""Farel.""Sudah, Bang. Biarkan dia menenangkan diri dulu."Usapan lembut di bahu aku rasakan ketika diri ini mulai lelah membujuk dia. Rani menuntunku ke ruang keluarga, mengajakku duduk di sana. "Dia belum makan dari siang, Ran. Abang khawatir nanti dia sakit," keluhku seraya meremas rambut dengan kasar. Merasa menjadi Ayah yang
Demi mendapat maaf dari Farel, akhirnya aku menyewa orang suruhan untuk mencari Hana dan juga Kia. Putraku mulai bisa tersenyum ketika aku memberitahunya tentang hal ini. Perlahan sikap Farel mulai melunak, bahkan sudah mau makan satu meja dengan kami, hal yang tidak pernah ia lakukan semenjak Rani tinggal di rumah ini."Makan yang banyak, Nak," ucapku sambil mengusap rambutnya. Farel tidak menolak, membuat senyum bahagia terbit dari bibir ini."Bunda ambilkan lauknya, ya. Farel mau apa? Ayam?" Rani pun ikut menawarkan diri, tetapi sayang respon yang diberikan Farel terhadapnya berbeda."Tidak usah, aku bisa sendiri," ketusnya.Riak sendu tercetak dari wajah cantik itu. Kuusap tangannya dengan lembut, memberi kekuatan padanya agar tidak bersedih atas sikap putraku. Aku tahu kerasnya usaha Rani untuk mendekatkan diri pada Farel. Akan tetapi, anak itu membangun dinding kokoh yang tidak bisa Rani tembus. Bagi Farel, bundanya hanya satu yaitu Hana, meskipun kini Rani sudah menjadi ibu sam
Tiba di rumah sakit, aku langsung menuju ruang IGD setelah mendapatkan keterangan dari seorang perawat. Kaki ini melangkah dengan tergesa bersama rasa cemas yang menyelimuti hati. Mendengar kabar Farel kecelakaan, membuatku sontak menyalahkan diri sendiri. Sebagai seorang Ayah, aku tidak becus menjaga putra sulungku. Apa yang harus aku katakan pada Hana andai dia berada di sini. Mantan istriku pasti merasa kecewa karena aku yang meminta Farel ikut denganku, tetapi kenyataannya akulah penyebab segala kesakitan anak itu.Tiba di depan ruang IGD, salah satu teman Farel yang sering datang ke rumah sedang berdiri bersama seorang Dokter. Gegas kupercepat langkah menghampiri mereka yang sedang terlibat pembicaraan."Bagaimana keadaan Farel?" tanyaku dengan napas yang tersengal. "Anda ayahnya?""Iya.""Farel mengalami retak di tulang lengannya. Untuk bagian tubuh yang lain bisa dikatakan baik-baik saja, hanya terdapat luka ringan. Tapi tetap dia harus menjalani perawatan di sini untuk bebera
"Kok sudah pulang, Bang? Farel sama siapa?""Abang pulang dulu sebentar, cuma mau mandi. Abang titipkan dia sama Suster di sana. Kamu gak keberatan, kan kalau Abang tinggal lagi?""Aku gak papa kok, Bang. Farel, kan sedang butuh Abang." Rani tersenyum. Bisa kurasakan ketulusan dari setiap kata yang ia ucapkan. Aku terharu. Ternyata istriku mau memaklumi keadaan yang mengharuskan diri ini mengutamakan putraku."Maaf ya, Bang. Rani tidak bisa menjadi ibu sambung yang baik buat Farel. Andai dia tidak keberatan, Rani ingin menemani dia di rumah sakit. Tapi Rani tahu pasti Farel tidak mengharapkan kehadiran Rani," keluhnya. "Jangan bicara seperti itu, Sayang. Kamu sudah berusaha menjadi ibu yang baik untuk Farel. Hanya saja dia masih belum bisa menerima keadaan Abang yang sudah berpisah dengan bundanya. Kamu yang sabar, ya." kataku seraya mengelus pipinya. Rani berusaha tersenyum dan mengangguk meskipun sangat kentara ia paksakan."Abang mandi dulu, ya. Harus cepat ke sana lagi. Kasian Fa
Sudah setengah hari Farel pergi dari rumah dan aku belum mendapat informasi lagi dari orang suruhan. Anak itu benar-benar nekat. Ia sampai berani membohongiku demi bisa keluar dari rumah ini. Aku yakin dia pergi untuk mencari keberadaan bundanya. Rasa gelisah membuat diri ini tidak bisa duduk dengan tenang. Apa lagi setelah orang suruhanku akhirnya memberi informasi kalau mereka kehilangan jejak Farel. Sepertinya anak itu sadar jika sedang diikuti. Farel cukup jeli dan pintar dalam mengecoh mereka."Gimana, Mas? Sudah diketahui ke mana tujuan Farel?" Rani datang sambil membawakan segelas teh hangat untukku."Mereka kehilangan jejak. Sepertinya anak itu tahu kalau sedang diikuti," terangku seraya memijat kening yang terasa pusing. Memikirkan Farel dan segala ulahnya membuat diri ini harus ekstra menjaga kesabaran."Apa mungkin dia mencari Mbak Hana?""Sepertinya iya. Dia tidak bisa sabar padahal Abang juga sedang berusaha mencari keberadaan bundanya.""Abang mencari Mbak Hana?" Pertan
Telaga bening di mata ini satu per satu mulai luruh. Melihat interaksi mereka yang begitu akrab, terlihat saling menyayangi layaknya saudara. Seketika perasaan iri merambati hati. Ingin rasanya aku berada di sana, di antara mereka yang saling becanda tawa.Farel terlihat sangat ceria sambil sesekali menggoda Kia dan bocah kecil yang entah siapa. Tawanya begitu lepas, sangat berbeda saat ia berada di rumah bersamaku. Kia ... putri kecilku kini tubuhnya semakin tinggi. Hana begitu pandai mengurusnya hingga Kia tumbuh menjadi gadis kecil yang semakin cantik dan sopan. Bisa dilihat dari penampilan anak itu yang kini memakai jilbab seperti bundanya.Kia ... ini Ayah, Nak. Adakah Kia mengingat dan merindukan Ayah? Andai kondisinya memungkinkan. Ingin kurengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan. Menghujaninya dengan ciuman untuk meluapkan rindu yang selama ini tertahan.Namun, hal itu hanya ada dalam angan semata. Diri ini tidak cukup bernyali untuk menemui mereka setelah apa yang aku lakukan
Extra Part"Kamu yakin, kita akan datang ke sana? Kalau itu hanya akan membuatmu tidak nyaman, sebaiknya jangan. Abang tidak ingin menyakiti perasaanmu lagi," ujarku pada Hana.Saat ini kami berada di kamar, sama-sama berbaring dengan saling berhadapan. Pilow talk, hal yang sering kami lakukan semenjak menikah kembali."Hana yakin. Abang tidak usah khawatir, saat ini sudah tidak ada lagi rasa sakit di hati ini. Hana sudah ikhlas dan mengubur kejadian masa lalu. Bukankah kita sudah sepakat untuk membuka lembaran baru?" terangnya. Kuelus pipinya dengan penuh sayang. "Tapi dengan menemui dia, sama saja kembali menguak masa lalu yang telah kita kubur."Hana tersenyum. "Abang tega mengabaikan permintaan orang yang sedang sakit keras? Kita datang ke sana atas dasar kemanusiaan. Setidaknya dengan menengok dan mengunjungi dia, menambah pahala bagi kita. Bukankah begitu?""Kamu selalu berhasil membuat Abang kagum. Abang beruntung bisa memilikimu kembali. Abang tidak akan pernah bosan mengucap
Satu bulan waktu yang diberikan Hana padaku, nyatanya terasa sangat singkat, tetapi bermanfaat. Aku berguru pada seorang Ustadz rekomendasi dari salah satu teman. Dari beliau aku mulai belajar mendalami ilmu agama. Tak lupa, kuceritakan kisah perjalanan hidupku padanya dan alangkah malunya aku saat beliau memberitahuku tentang hakikat poligami.Aku, manusia serakah yang menggunakan kata poligami sebagai kedok untuk menutupi nafsu. Menikahi lagi secara diam-diam di belakang istriku, memang diperbolehkan, tetapi tidak dianjurkan. Ada adab yang harus dikedepankan untuk menghargai perasaan istriku.Dan jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim.Penggalan surat
"Ibra, ini Hana sama Farel mau pulang, kok gak kamu cegah?"Mama langsung memberiku tatapan tajam ketika aku baru saja sampai di ruang tengah. Beliau duduk berdampingan dengan Laras, sedangkan Hana dan Farel duduk di seberang mereka."Ini juga Ibra mau cegah," kataku sambil mengambil posisi duduk di samping Farel. Anak itu melirik sekilas, kemudian kembali melengos malas."Hana, jangan pulang dulu, Nak. Kita makan malam sama-sama. Kasihan juga anak-anak yang masih kangen sama ayahnya." Mama membujuk Hana. Sedangkan orang yang dibujuk masih setia menundukkan kepala seraya meremas jemarinya. Ciri khas seorang Hana jika sedang dilanda gugup dan gelisah."Tapi sebentar lagi magrib. Hana takut nanti pulangnya kemalaman.""Kalau begitu ya menginap saja di sini," jawabku cepat.Farel mendelik tajam padaku. "Itu mah maunya Ayah," cibirnya. Kuacak rambutnya karena gemas akan sikap anak itu yang senang menyindir ayahnya ini."Ibra betul. Kalau takut kemalaman, kalian menginap saja di sini. Atau
Waktu bergulir terasa sangat lambat. Sudah hampir dua bulan aku berada di Palembang, rasanya seperti sudah dua tahun saja. Rasa rindu pada anak-anak makin menggebu tiap harinya. Pun pada Bunda mereka yang bahkan sama sekali tidak pernah aku lihat dan dengar suaranya. Hanya dari Farel aku mendengar kabar tentang Hana. Mantan istriku masih disibukkan oleh urusan Butik yang makin hari makin ramai, katanya. Andai mengikuti kata hati, ingin rasanya aku pulang ke Jakarta, melepas rindu pada anak-anak yang hanya bisa bersua lewat telepon. Akan tetapi, aku masih harus mengurus masalah perusahaan yang sampai saat ini masih belum selesai."Ibra? Kamu, Ibra, kan?"Aku yang tengah menyantap makan siang di sebuah restoran, terkesiap ketika melihat seorang wanita sudah berdiri di depanku. Mata ini menyipit, mencoba mengingat siapa gerangan perempuan ini."Kamu lupa? Aku Laras, teman SMA kamu. Kita, kan satu kelas," terangnya yang membuat mataku makin menyipit.Laras? "Ya ampun, kamu Laras yang to
Pov IbraBibir ini tak hentinya menyunggingkan senyum kala mengingat kebersamaan dengan Hana dan anak-anak tadi siang. Kebahagiaan yang tidak dapat kulukiskan saat diri ini diberi kesempatan berkumpul dengan mereka. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati ini ketika Hana buru-buru mengajak anak-anak pulang. Ia sepertinya tidak nyaman akan candaan yang kulontarkan padanya. Aku jelas tahu dia sempat merona, tetapi dengan cepat ia mengubah ekspresi itu dengan wajah yang terlihat datar.Huft, rupanya jalanku untuk mendapatkan kembali hatinya masih sangat panjang. Hana masih sulit kutaklukan, meskipun tak kupungkiri, ia sempat tersenyum kecil menanggapi godaan yang kuberikan."Ibra, itu ponsel kamu dari tadi bunyi terus, kok gak diangkat?"Mama tiba-tiba muncul saat aku masih tenggelam dalam lamunan. Sontak saja aku mengambil ponsel yang kuletakkan di atas meja. Nomor yang tak dikenal, kubiarkan saja. Takutnya orang yang sengaja iseng menggangguku. Namun, ponsel kembali berdering, memb
"Oma, Bunda, Ayah sudah sadar!"Aku dan Mama terperanjat. Makanan yang baru saja disentuh pun kami tinggalkan begitu saja setelah mendapat kabar baik ini. Bang Ibra sudah sadar. Itu tandanya ia telah berhasil melewati masa kritis. Kami bergegas mengikuti Farel ke kamar rawat Bang Ibra. Dengan rona bahagia yang kentara dari wajahnya, Farel menghampiri ayahnya yang sudah membuka mata."Ayah, itu Oma sama Bunda."Bang Ibra menoleh ke arah kami. Senyum tipis terukir dari bibirnya yang masih terlihat pucat."Ibra, alhamdullillah kamu sudah sadar, Nak." Mama mendekati putranya. Kristal bening mengalir di kedua pipi beliau. Bukan tangis kesedihan, melainkan ungkapan rasa bahagia menyambut sang putra yang telah sadar dari koma.Aku masih berdiri agak jauh. Menyaksikan kebahagiaan mereka dengan perasaan haru. Sampai ...."Hana, kemarilah, Nak. Kenapa hanya berdiri di situ?""I-iya, Ma." Perlahan, kaki ini mendekat. Bisa kulihat mata Bang Ibra yang menatap diri ini dengan lekat. Aku hanya bisa
Pov Hana"Kia, sabar, Ya. Sebentar lagi Ayah pulang. Ayah gak mungkin lupa ulang tahun Kia."Aku terus membujuk Kia yang menangis ingin bertemu Bang Ibra. Biasanya anak itu tidak pernah serewel ini, tapi saat ini ia sangat ingin Bang Ibra hadir bersama kami. Mungkin karena hari ini ulang tahunnya, Kia ingin merayakannya dengan sang Ayah, seperti biasanya."Bun, coba telepon Ayah lagi." Farel memberi saran."Sudah, tapi ponsel Ayah masih tidak aktif.""Kalau begitu biar Farel yang menyusul Ayah. Farel yakin sekarang Ayah sedang bersama perempuan itu.""Jangan, Nak!" Kucekal lengan Farel yang sudah berdiri. "Jangan ke sana. Di sini saja temani Bunda dan adikmu.""Tapi Bun--"Kugelengkan kepala perlahan. "Farel dengar kata-kata Bunda. Lebih baik sekarang kita mencari cara bagaimana membujuk Kia supaya tidak menangis lagi," bujukku."Baiklah, Bun."Farel akhirnya duduk kembali. Kuperhatikan ia yang tengah susah payah membujuk Kia. Tak terasa air mata sudah mengalir di kedua pipi. Melihat
Ponsel yang berada dalam genggaman hampir terjatuh setelah mendapat keterangan dari Rasya. Diculik? Bagaimana mungkin. Kalau pun iya, lantas siapa pelakunya dan apa motifnya? Satu per satu pertanyaan muncul dalam benak. Tidak habis pikir dengan masalah yang tak berhenti menimpa diri ini. Urusan soal Nana saja belum selesai, kini aku harus dibuat panik oleh Farel yang tiba-tiba menghilang. "Bagaimana? Apa kata teman-temannya?" Mama kembali bertanya saat melihatku terkulai lemas di atas kursi."Mereka tidak ada yang tahu di mana Farel. Jam lima sore mereka sudah pulang ke rumah masing-masing," terangku. "Ya Allah, bagaimana ini, Ibra? Mama khawatir Farel kenapa-napa," ujarnya dengan gelisah."Mama tenang dulu, Ibra akan menyuruh orang untuk mencari keberadaan Farel." Aku berusaha setenang mungkin, padahal hati ini pun sudah didera rasa panik."Bagaimana dengan Hana? Apa kita beritahu dia?""Aku rasa jangan dulu, Ma. Aku takut dia tambah syok," larangku. Sebelum Farel dipastikan keber
"Yah."Farel menghampiriku yang masih termenung di ruang tamu."Ya, Nak? Bagaimana keadaan bunda kamu?""Bunda masih sedikit syok. Tapi sedang ditenangkan sama Oma.""Maafkan Ayah karena telah membuat kekacauan. Ayah hanya ....""Ayah jangan menyalahkan diri sendiri. Menurut aku, tindakan Ayah sudah benar. Aku malah senang pernikahan Bunda dengan Om Sandi dibatalkan. Meskipun hal ini membuat Bunda terpukul, tapi setidaknya Bunda tidak menikah dengan pria seperti Om Sandi." Farel menghela napas. Pasti anak itu pun merasa lega karena akhirnya Hana terlepas dari tipu daya yang telah dilakukan Sandi."Tapi kasihan bundamu. Dia harus menanggung malu pada semua tamu yang hadir karena pernikahannya batal. Dia juga pasti merasa trauma jika suatu saat ada pria yang mendekatinya lagi.""Siapa?""Maksudnya?""Memangnya siapa yang mau mendekati bunda lagi? Ayah?" Farel menaikan satu alis sambil tersenyum jahil. Ah, aku malu karena telah keceplosan bicara di depan anak itu."Ya ... maksud Ayah, bu