Share

Bab 5

Author: Nelda Friska
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Demi mendapat maaf dari Farel, akhirnya aku menyewa orang suruhan untuk mencari Hana dan juga Kia. Putraku mulai bisa tersenyum ketika aku memberitahunya tentang hal ini. Perlahan sikap Farel mulai melunak, bahkan sudah mau makan satu meja dengan kami, hal yang tidak pernah ia lakukan semenjak Rani tinggal di rumah ini.

"Makan yang banyak, Nak," ucapku sambil mengusap rambutnya. Farel tidak menolak, membuat senyum bahagia terbit dari bibir ini.

"Bunda ambilkan lauknya, ya. Farel mau apa? Ayam?" Rani pun ikut menawarkan diri, tetapi sayang respon yang diberikan Farel terhadapnya berbeda.

"Tidak usah, aku bisa sendiri," ketusnya.

Riak sendu tercetak dari wajah cantik itu. Kuusap tangannya dengan lembut, memberi kekuatan padanya agar tidak bersedih atas sikap putraku. Aku tahu kerasnya usaha Rani untuk mendekatkan diri pada Farel. Akan tetapi, anak itu membangun dinding kokoh yang tidak bisa Rani tembus. Bagi Farel, bundanya hanya satu yaitu Hana, meskipun kini Rani sudah menjadi ibu sambungnya.

"Farel mau ikut Ayah ke kantor, gak? Dari pada jenuh di rumah," tawarku.

"Boleh. Aku juga tidak betah kalau harus di rumah terus," jawabnya seraya melirik sekilas ke arah Rani. Aku tahu Farel sengaja menyindir Rani untuk membuat istriku itu kembali sedih.

"Kalau begitu cepat habiskan makanan kamu. Kita langsung berangkat."

Farel menganggukkan kepala. Dengan lahap ia menghabiskan sarapan hingga piring berisi makanan itu tandas tak bersisa.

"Nasi goreng buatan Mbok Tuti enak. Hampir mirip sama buatan Bunda," ujarnya seraya mengelap mulut dengan tisu.

"Aku tunggu di depan, Yah. Jangan lama-lama. Tadi, kan Ayah yang memintaku menghabiskan sarapan dengan cepat." Farel berdiri kemudian berjalan keluar rumah. Setelah tubuhnya menghilang di balik tembok, aku berdiri untuk memberi pelukan hangat pada Rani. Mata bening itu sudah mengembun. Aku tahu ia tersinggung atas ucapan Farel.

"Yang sabar, ya. Abang yakin sebentar lagi sikapnya akan berubah. Buktinya sekarang dia sudah mau sarapan bareng kita," ujarku seraya mengecup pucuk kepalanya berkali-kali.

Rani terisak. Kudekap tubuhnya lebih erat untuk memberinya kekuatan.

"Sampai kapan aku harus bersabar, Bang? Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Aku sudah lelah menghadapi sikap anakmu yang semakin keterlaluan," keluhnya.

"Abang mengerti. Abang mohon bersabarlah sebentar lagi."

Kuurai pelukan, kubingkai wajahnya yang sudah bersimbah air mata. "Abang berangkat dulu, ya. Kamu baik-baik di rumah."

Rani mengangguk. Satu kecupan aku daratkan di keningnya cukup lama.

"Yaelah, ternyata malah bermesraan. Pantesan gak nongol-nongol. Niat kerja gak, sih!"

Farel tiba-tiba muncul dengan wajah yang ditekuk. Aku dan Rani gelagapan karena malu kepergok olehnya.

"Nana, Ayah berangkat dulu. Baik-baik sama Bunda di rumah, jangan nakal."

Gadis kecilku mengangguk lucu. Kuberikan satu kecupan di pipi gembilnya karena gemas.

"Ayok, Nak, kita berangkat."

"Ini juga sudah siap dari tadi," ketusnya sambil berjalan mendahuluiku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil mengikutinya.

🌷🌷🌷

"Tuan!"

Ketukan di pintu dan teriakan Mbok Tuti menghentikan aktifitasku dan Rani yang mulai memanas. Gegas kupunguti pakaian yang sudah berserakan dengan cepat. Rasa khawatir tiba-tiba menyergap mendengar suara Mbok Tuti yang terdengar panik.

"Ada apa, Mbok?" tanyaku ketika sudah membuka pintu. Benar saja, wajah Mbok Tuti terlihat pias. Wanita paruh baya itu meremas ujung daster yang ia kenakan sambil sesekali melirik ke arah kamar Farel.

"Itu, Tuan. Den Farel, tadi Mbok lihat dia keluar rumah sambil ngendap-ngendap," terangnya dengan gugup.

"Mbok yakin? Gak salah lihat?"

"Yakin, Tuan."

Kuhela napas dengan kasar. Anak itu pasti membuat ulah lagi dengan sengaja keluyuran di luar sana.

"Ya sudah. Mbok boleh pergi."

Mbok Tuti mengangguk. Aku pun kembali masuk menghampiri Rani yang duduk di ranjang dengan selimut yang menutupi tubuh polosnya.

"Ada apa sih, Mas? Mengganggu saja," keluhnya jengkel.

"Farel pergi. Dia pasti keluyuran lagi sama teman-temannya," terangku.

"Sudah biarkan saja. Memang sudah biasa, kan dia seperti itu."

"Kamu benar. Tapi perasaan Abang tiba-tiba cemas. Takut terjadi sesuatu yang buruk padanya."

Rani mencebik. Ia baringkan tubuhnya dengan posisi membelakangiku. "Mau bermesraan saja susah. Selalu saja gagal," gerutunya.

"Maaf ya, Sayang. Abang menghubungi Farel dulu. Nanti kita lanjutkan yang sempat tertunda tadi," bisikku.

Kaki ini melangkah keluar kamar seraya mengotak ngatik ponsel menghubungi nomor Farel. Aktif tetapi tidak diangkat. Sepertinya anak itu sengaja mengabaikan panggilanku.

Kamar Farel menjadi tujuanku saat pikiran buruk terlintas begitu saja. Kubuka lemari pakaiannya yang ternyata masih utuh. Kuhela napas lega karena ternyata apa yang aku takutkan tidak terjadi. Aku takut anak itu kabur dari rumah karena sudah tidak betah tinggal di sini.

Kuputuskan kembali ke kamar saja untuk membujuk Rani yang sedang merajuk. Biarlah nanti kucoba menghubungi Farel lagi jika urusan dengan Rani sudah selesai.

Namun, dering ponsel yang kupegang menghentikan kembali langkah ini. Nomor Farel. Akhirnya anak itu menghubungiku juga.

"Hallo, Nak? Kamu di mana?"

[Hallo, apa benar ini dengan ayahnya Farel?]

"Betul. Ini siapa, ya? Kenapa ponsel anak saya bisa ada di Anda?" tanyaku mulai was-was.

[Maaf saya menggunakan ponsel Farel untuk menghubungi keluarganya. Saat ini Farel berada di Rumah Sakit Sastra Medika, dia mengalami kecelakaan.]

"Apa? Oke, saya segera ke sana!"

Bersambung.

Related chapters

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 6

    Tiba di rumah sakit, aku langsung menuju ruang IGD setelah mendapatkan keterangan dari seorang perawat. Kaki ini melangkah dengan tergesa bersama rasa cemas yang menyelimuti hati. Mendengar kabar Farel kecelakaan, membuatku sontak menyalahkan diri sendiri. Sebagai seorang Ayah, aku tidak becus menjaga putra sulungku. Apa yang harus aku katakan pada Hana andai dia berada di sini. Mantan istriku pasti merasa kecewa karena aku yang meminta Farel ikut denganku, tetapi kenyataannya akulah penyebab segala kesakitan anak itu.Tiba di depan ruang IGD, salah satu teman Farel yang sering datang ke rumah sedang berdiri bersama seorang Dokter. Gegas kupercepat langkah menghampiri mereka yang sedang terlibat pembicaraan."Bagaimana keadaan Farel?" tanyaku dengan napas yang tersengal. "Anda ayahnya?""Iya.""Farel mengalami retak di tulang lengannya. Untuk bagian tubuh yang lain bisa dikatakan baik-baik saja, hanya terdapat luka ringan. Tapi tetap dia harus menjalani perawatan di sini untuk bebera

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 7

    "Kok sudah pulang, Bang? Farel sama siapa?""Abang pulang dulu sebentar, cuma mau mandi. Abang titipkan dia sama Suster di sana. Kamu gak keberatan, kan kalau Abang tinggal lagi?""Aku gak papa kok, Bang. Farel, kan sedang butuh Abang." Rani tersenyum. Bisa kurasakan ketulusan dari setiap kata yang ia ucapkan. Aku terharu. Ternyata istriku mau memaklumi keadaan yang mengharuskan diri ini mengutamakan putraku."Maaf ya, Bang. Rani tidak bisa menjadi ibu sambung yang baik buat Farel. Andai dia tidak keberatan, Rani ingin menemani dia di rumah sakit. Tapi Rani tahu pasti Farel tidak mengharapkan kehadiran Rani," keluhnya. "Jangan bicara seperti itu, Sayang. Kamu sudah berusaha menjadi ibu yang baik untuk Farel. Hanya saja dia masih belum bisa menerima keadaan Abang yang sudah berpisah dengan bundanya. Kamu yang sabar, ya." kataku seraya mengelus pipinya. Rani berusaha tersenyum dan mengangguk meskipun sangat kentara ia paksakan."Abang mandi dulu, ya. Harus cepat ke sana lagi. Kasian Fa

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 8

    Sudah setengah hari Farel pergi dari rumah dan aku belum mendapat informasi lagi dari orang suruhan. Anak itu benar-benar nekat. Ia sampai berani membohongiku demi bisa keluar dari rumah ini. Aku yakin dia pergi untuk mencari keberadaan bundanya. Rasa gelisah membuat diri ini tidak bisa duduk dengan tenang. Apa lagi setelah orang suruhanku akhirnya memberi informasi kalau mereka kehilangan jejak Farel. Sepertinya anak itu sadar jika sedang diikuti. Farel cukup jeli dan pintar dalam mengecoh mereka."Gimana, Mas? Sudah diketahui ke mana tujuan Farel?" Rani datang sambil membawakan segelas teh hangat untukku."Mereka kehilangan jejak. Sepertinya anak itu tahu kalau sedang diikuti," terangku seraya memijat kening yang terasa pusing. Memikirkan Farel dan segala ulahnya membuat diri ini harus ekstra menjaga kesabaran."Apa mungkin dia mencari Mbak Hana?""Sepertinya iya. Dia tidak bisa sabar padahal Abang juga sedang berusaha mencari keberadaan bundanya.""Abang mencari Mbak Hana?" Pertan

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 9

    Telaga bening di mata ini satu per satu mulai luruh. Melihat interaksi mereka yang begitu akrab, terlihat saling menyayangi layaknya saudara. Seketika perasaan iri merambati hati. Ingin rasanya aku berada di sana, di antara mereka yang saling becanda tawa.Farel terlihat sangat ceria sambil sesekali menggoda Kia dan bocah kecil yang entah siapa. Tawanya begitu lepas, sangat berbeda saat ia berada di rumah bersamaku. Kia ... putri kecilku kini tubuhnya semakin tinggi. Hana begitu pandai mengurusnya hingga Kia tumbuh menjadi gadis kecil yang semakin cantik dan sopan. Bisa dilihat dari penampilan anak itu yang kini memakai jilbab seperti bundanya.Kia ... ini Ayah, Nak. Adakah Kia mengingat dan merindukan Ayah? Andai kondisinya memungkinkan. Ingin kurengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan. Menghujaninya dengan ciuman untuk meluapkan rindu yang selama ini tertahan.Namun, hal itu hanya ada dalam angan semata. Diri ini tidak cukup bernyali untuk menemui mereka setelah apa yang aku lakukan

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 10

    "Gimana? Abang jadi ngikutin Farel? Kenapa jam segini baru pulang?" Rani mencecarku dengan pertanyaan ketika diri ini baru saja sampai rumah. Jam memang sudah menunjukkan pukul satu malam. Aku kira Rani tidak sudah tidur, ternyata ia masih menungguku di ruang tamu."Abang memang ngikutin dia.""Terus? Dia ke mana? Nyari Mbak Hana? Abang juga ketemu dia, dong," cecarnya lagi yang membuat kepalaku semakin pusing.Tak ingin terjadi pertengkaran, aku beranjak meninggalkan Rani. Namun, istriku itu tak menyerah sebelum rasa penasarannya terjawab. Rani mengikutiku ke kamar sambil terus mencecarku dengan pertanyaan."Kenapa Abang gak jawab pertanyaan aku? Abang ketemu Mbak Hana terus kalian bernostalgia sampai Abang pulang selarut ini?""Bisa gak sih kamu diam!" bentakku. "Abang ini cape, Ran. Baru saja sampai tapi kamu malah terus bertanya macam-macam, pake acara curiga lagi. Ya, Abang memang mengikuti Farel yang ternyata menemui Hana. Tapi Abang sama sekali tidak menemui mereka apa lagi mel

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 11

    "Abang."Tubuh ini berdiri, bergerak mendekati mereka yang masih bergeming. Pandangan mata tak lepas dari Hana yang tengah berusaha menyembunyikan tangisnya. Dengan gerak cepat, tangan itu menghapus jejak air mata yang sempat keluar dari netranya."Apa kabar, Han?" Bibirku bergetar saat mengucapkannya. Hana memaksakan seulas senyum padaku sebelum menjawab, "alhamdullillah baik. Abang sendiri bagaimana?""Abang tidak baik-baik saja tanpa kalian." Ingin rasanya kuucapkan kata itu, tetapi sayang hanya mampu tertahan di tenggorokan."Alhamdullillah, Abang juga baik." Mata ini beralih pada Kia yang kini memegang ujung baju bundanya. Netra bening itu mulai menelaga. Bibirnya bergetar menahan tangis yang sebentar lagi siap keluar."Kia, ini Ayah, Nak. Sini peluk Ayah. Kia gak kangen?"Gadis kecilku menengadah, menatap bundanya seakan meminta persetujuan. Hana menganggukkan kepala sambil tersenyum. "Itu Ayah sekarang sudah datang. Kenapa gak peluk Ayah? Katanya Kia kangen.""Sini, Nak."Gad

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 12

    Permintaan Rani sangat berat untuk kukabulkan. Mempertemukan dia dengan Hana tidak pernah terlintas dalam pikiran ini sedikit pun. Membiarkan mereka berjumpa sama saja menguak luka lama yang dirasakan Hana. Bertemu wanita yang telah menyebabkan hancurnya mahligai rumah tangga kami, pasti akan mengingatkan Hana akan pengkhianatan yang telah kami lakukan.Namun, diri ini tidak bisa menolak ketika Rani memiliki niat baik kepada Hana. Istriku ingin meminta maaf secara langsung atas apa yang telah ia lakukan. Mungkin sudah saatnya kami semua berdamai dengan keadaan. Semoga saja Hana menerima permintaan maaf dari Rani dan mengizinkan jika sewaktu-waktu kami menemui anak-anak dan membawa mereka ke rumah ini, rumah yang seharusnya menjadi hak mereka.Hari minggu waktu yang dipilih kami untuk berangkat ke Bandung. Bukan tanpa alasan, karena aku tahu Hana libur berjualan pada hari itu. Farel sudah lebih dulu berangkat ke sana seperti biasa. Dia masih belum tahu kalau aku sudah bertemu dengan bu

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 13

    "Bang."Suara Rani, menghentikan pukulan tangan ini pada samsak yang menjadi pelampiasan emosi. Bayang-bayang kemarahan Farel, tangisan Hana, dan penolakan anak-anakku membuat amarah dalam diri menggelegak. Ditambah menyaksikan sendiri bagaimana akrabnya Kia dan Arka dengan pria yang bernama Sandi, makin membuatku takut akan kehilangan mereka karena sudah ada orang lain yang menggantikan peranku sebagai seorang ayah.Membayangkan Hana dan anak-anak tertawa bahagia dengan pria lain, sungguh, diri ini tidak rela. Tungkai kaki terasa lemas. Tubuh ini bersimpuh di atas lantai dengan kepala yang tertunduk lemah."Bang."Aku tak menjawab. Terlalu malas jika harus berdebat lagi dengan Rani tentang persoalan di rumah Hana. Aku memang kecewa padanya yang tidak bisa menjaga mulut dan lebih bersabar menghadapi anak-anakku. Apa lagi sikapnya yang seolah ingin menunjukkan kalau dia istriku satu-satunya, bersikap mesra tanpa memikirkan perasaan Hana."Bang--""Keluar, Ran. Abang ingin sendiri.""T

Latest chapter

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 37

    Extra Part"Kamu yakin, kita akan datang ke sana? Kalau itu hanya akan membuatmu tidak nyaman, sebaiknya jangan. Abang tidak ingin menyakiti perasaanmu lagi," ujarku pada Hana.Saat ini kami berada di kamar, sama-sama berbaring dengan saling berhadapan. Pilow talk, hal yang sering kami lakukan semenjak menikah kembali."Hana yakin. Abang tidak usah khawatir, saat ini sudah tidak ada lagi rasa sakit di hati ini. Hana sudah ikhlas dan mengubur kejadian masa lalu. Bukankah kita sudah sepakat untuk membuka lembaran baru?" terangnya. Kuelus pipinya dengan penuh sayang. "Tapi dengan menemui dia, sama saja kembali menguak masa lalu yang telah kita kubur."Hana tersenyum. "Abang tega mengabaikan permintaan orang yang sedang sakit keras? Kita datang ke sana atas dasar kemanusiaan. Setidaknya dengan menengok dan mengunjungi dia, menambah pahala bagi kita. Bukankah begitu?""Kamu selalu berhasil membuat Abang kagum. Abang beruntung bisa memilikimu kembali. Abang tidak akan pernah bosan mengucap

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 36

    Satu bulan waktu yang diberikan Hana padaku, nyatanya terasa sangat singkat, tetapi bermanfaat. Aku berguru pada seorang Ustadz rekomendasi dari salah satu teman. Dari beliau aku mulai belajar mendalami ilmu agama. Tak lupa, kuceritakan kisah perjalanan hidupku padanya dan alangkah malunya aku saat beliau memberitahuku tentang hakikat poligami.Aku, manusia serakah yang menggunakan kata poligami sebagai kedok untuk menutupi nafsu. Menikahi lagi secara diam-diam di belakang istriku, memang diperbolehkan, tetapi tidak dianjurkan. Ada adab yang harus dikedepankan untuk menghargai perasaan istriku.Dan jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim.Penggalan surat

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 35

    "Ibra, ini Hana sama Farel mau pulang, kok gak kamu cegah?"Mama langsung memberiku tatapan tajam ketika aku baru saja sampai di ruang tengah. Beliau duduk berdampingan dengan Laras, sedangkan Hana dan Farel duduk di seberang mereka."Ini juga Ibra mau cegah," kataku sambil mengambil posisi duduk di samping Farel. Anak itu melirik sekilas, kemudian kembali melengos malas."Hana, jangan pulang dulu, Nak. Kita makan malam sama-sama. Kasihan juga anak-anak yang masih kangen sama ayahnya." Mama membujuk Hana. Sedangkan orang yang dibujuk masih setia menundukkan kepala seraya meremas jemarinya. Ciri khas seorang Hana jika sedang dilanda gugup dan gelisah."Tapi sebentar lagi magrib. Hana takut nanti pulangnya kemalaman.""Kalau begitu ya menginap saja di sini," jawabku cepat.Farel mendelik tajam padaku. "Itu mah maunya Ayah," cibirnya. Kuacak rambutnya karena gemas akan sikap anak itu yang senang menyindir ayahnya ini."Ibra betul. Kalau takut kemalaman, kalian menginap saja di sini. Atau

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 34

    Waktu bergulir terasa sangat lambat. Sudah hampir dua bulan aku berada di Palembang, rasanya seperti sudah dua tahun saja. Rasa rindu pada anak-anak makin menggebu tiap harinya. Pun pada Bunda mereka yang bahkan sama sekali tidak pernah aku lihat dan dengar suaranya. Hanya dari Farel aku mendengar kabar tentang Hana. Mantan istriku masih disibukkan oleh urusan Butik yang makin hari makin ramai, katanya. Andai mengikuti kata hati, ingin rasanya aku pulang ke Jakarta, melepas rindu pada anak-anak yang hanya bisa bersua lewat telepon. Akan tetapi, aku masih harus mengurus masalah perusahaan yang sampai saat ini masih belum selesai."Ibra? Kamu, Ibra, kan?"Aku yang tengah menyantap makan siang di sebuah restoran, terkesiap ketika melihat seorang wanita sudah berdiri di depanku. Mata ini menyipit, mencoba mengingat siapa gerangan perempuan ini."Kamu lupa? Aku Laras, teman SMA kamu. Kita, kan satu kelas," terangnya yang membuat mataku makin menyipit.Laras? "Ya ampun, kamu Laras yang to

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 33

    Pov IbraBibir ini tak hentinya menyunggingkan senyum kala mengingat kebersamaan dengan Hana dan anak-anak tadi siang. Kebahagiaan yang tidak dapat kulukiskan saat diri ini diberi kesempatan berkumpul dengan mereka. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati ini ketika Hana buru-buru mengajak anak-anak pulang. Ia sepertinya tidak nyaman akan candaan yang kulontarkan padanya. Aku jelas tahu dia sempat merona, tetapi dengan cepat ia mengubah ekspresi itu dengan wajah yang terlihat datar.Huft, rupanya jalanku untuk mendapatkan kembali hatinya masih sangat panjang. Hana masih sulit kutaklukan, meskipun tak kupungkiri, ia sempat tersenyum kecil menanggapi godaan yang kuberikan."Ibra, itu ponsel kamu dari tadi bunyi terus, kok gak diangkat?"Mama tiba-tiba muncul saat aku masih tenggelam dalam lamunan. Sontak saja aku mengambil ponsel yang kuletakkan di atas meja. Nomor yang tak dikenal, kubiarkan saja. Takutnya orang yang sengaja iseng menggangguku. Namun, ponsel kembali berdering, memb

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 32

    "Oma, Bunda, Ayah sudah sadar!"Aku dan Mama terperanjat. Makanan yang baru saja disentuh pun kami tinggalkan begitu saja setelah mendapat kabar baik ini. Bang Ibra sudah sadar. Itu tandanya ia telah berhasil melewati masa kritis. Kami bergegas mengikuti Farel ke kamar rawat Bang Ibra. Dengan rona bahagia yang kentara dari wajahnya, Farel menghampiri ayahnya yang sudah membuka mata."Ayah, itu Oma sama Bunda."Bang Ibra menoleh ke arah kami. Senyum tipis terukir dari bibirnya yang masih terlihat pucat."Ibra, alhamdullillah kamu sudah sadar, Nak." Mama mendekati putranya. Kristal bening mengalir di kedua pipi beliau. Bukan tangis kesedihan, melainkan ungkapan rasa bahagia menyambut sang putra yang telah sadar dari koma.Aku masih berdiri agak jauh. Menyaksikan kebahagiaan mereka dengan perasaan haru. Sampai ...."Hana, kemarilah, Nak. Kenapa hanya berdiri di situ?""I-iya, Ma." Perlahan, kaki ini mendekat. Bisa kulihat mata Bang Ibra yang menatap diri ini dengan lekat. Aku hanya bisa

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 31

    Pov Hana"Kia, sabar, Ya. Sebentar lagi Ayah pulang. Ayah gak mungkin lupa ulang tahun Kia."Aku terus membujuk Kia yang menangis ingin bertemu Bang Ibra. Biasanya anak itu tidak pernah serewel ini, tapi saat ini ia sangat ingin Bang Ibra hadir bersama kami. Mungkin karena hari ini ulang tahunnya, Kia ingin merayakannya dengan sang Ayah, seperti biasanya."Bun, coba telepon Ayah lagi." Farel memberi saran."Sudah, tapi ponsel Ayah masih tidak aktif.""Kalau begitu biar Farel yang menyusul Ayah. Farel yakin sekarang Ayah sedang bersama perempuan itu.""Jangan, Nak!" Kucekal lengan Farel yang sudah berdiri. "Jangan ke sana. Di sini saja temani Bunda dan adikmu.""Tapi Bun--"Kugelengkan kepala perlahan. "Farel dengar kata-kata Bunda. Lebih baik sekarang kita mencari cara bagaimana membujuk Kia supaya tidak menangis lagi," bujukku."Baiklah, Bun."Farel akhirnya duduk kembali. Kuperhatikan ia yang tengah susah payah membujuk Kia. Tak terasa air mata sudah mengalir di kedua pipi. Melihat

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 30

    Ponsel yang berada dalam genggaman hampir terjatuh setelah mendapat keterangan dari Rasya. Diculik? Bagaimana mungkin. Kalau pun iya, lantas siapa pelakunya dan apa motifnya? Satu per satu pertanyaan muncul dalam benak. Tidak habis pikir dengan masalah yang tak berhenti menimpa diri ini. Urusan soal Nana saja belum selesai, kini aku harus dibuat panik oleh Farel yang tiba-tiba menghilang. "Bagaimana? Apa kata teman-temannya?" Mama kembali bertanya saat melihatku terkulai lemas di atas kursi."Mereka tidak ada yang tahu di mana Farel. Jam lima sore mereka sudah pulang ke rumah masing-masing," terangku. "Ya Allah, bagaimana ini, Ibra? Mama khawatir Farel kenapa-napa," ujarnya dengan gelisah."Mama tenang dulu, Ibra akan menyuruh orang untuk mencari keberadaan Farel." Aku berusaha setenang mungkin, padahal hati ini pun sudah didera rasa panik."Bagaimana dengan Hana? Apa kita beritahu dia?""Aku rasa jangan dulu, Ma. Aku takut dia tambah syok," larangku. Sebelum Farel dipastikan keber

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 29

    "Yah."Farel menghampiriku yang masih termenung di ruang tamu."Ya, Nak? Bagaimana keadaan bunda kamu?""Bunda masih sedikit syok. Tapi sedang ditenangkan sama Oma.""Maafkan Ayah karena telah membuat kekacauan. Ayah hanya ....""Ayah jangan menyalahkan diri sendiri. Menurut aku, tindakan Ayah sudah benar. Aku malah senang pernikahan Bunda dengan Om Sandi dibatalkan. Meskipun hal ini membuat Bunda terpukul, tapi setidaknya Bunda tidak menikah dengan pria seperti Om Sandi." Farel menghela napas. Pasti anak itu pun merasa lega karena akhirnya Hana terlepas dari tipu daya yang telah dilakukan Sandi."Tapi kasihan bundamu. Dia harus menanggung malu pada semua tamu yang hadir karena pernikahannya batal. Dia juga pasti merasa trauma jika suatu saat ada pria yang mendekatinya lagi.""Siapa?""Maksudnya?""Memangnya siapa yang mau mendekati bunda lagi? Ayah?" Farel menaikan satu alis sambil tersenyum jahil. Ah, aku malu karena telah keceplosan bicara di depan anak itu."Ya ... maksud Ayah, bu

DMCA.com Protection Status