Share

Bab 4

Penulis: Nelda Friska
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-28 14:32:20

"Farel, buka pintunya. Ayah mau bicara!"

"Farel!"

Tetap tak ada sahutan. Sudah hampir satu jam tubuh ini berdiri di depan kamarnya. Dia tetap bergeming meskipun aku mengetuk pintu dan memanggil namanya beberapa kali. Setelah insiden penamparan itu, Farel terpaksa ikut denganku berkat bujukan dari wali kelas yang kebetulan berpapasan dengan kami. Tanpa sepatah kata pun, putraku keluar dari mobil dan langsung mengurung diri di kamar sejak kami sampai di rumah hingga kini waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

"Farel, Ayah minta maaf, Nak. Ayah janji tidak akan mengulanginya lagi. Bilang sama Ayah, apa yang harus Ayah lakukan supaya kamu mau memaafkan?"

"Farel."

"Sudah, Bang. Biarkan dia menenangkan diri dulu."

Usapan lembut di bahu aku rasakan ketika diri ini mulai lelah membujuk dia. Rani menuntunku ke ruang keluarga, mengajakku duduk di sana.

"Dia belum makan dari siang, Ran. Abang khawatir nanti dia sakit," keluhku seraya meremas rambut dengan kasar. Merasa menjadi Ayah yang tidak berguna, itu lah yang aku rasakan saat ini. Seharusnya aku bisa lebih bersabar menghadapi sikap Farel.

"Biar aku coba bujuk. Nanti sekalian aku bawakan makanan ke kamarnya."

"Kamu yakin? Abang saja dari tadi berteriak tidak dia gubris, apa lagi kamu," ujarku ragu.

"Namanya juga mau nyoba, siapa tahu berhasil. Abang duduk saja di sini, aku bawain makanan buat dia."

Aku menahan lengan Rani ketika ia sudah berdiri. "Nana mana? Sudah tidur?"

"Sudah. Aku ke atas dulu, ya."

Aku mengangguk. Kepala terasa pening memikirkan sikap Farel dari tadi siang. Menyandarkan tubuh pada sofa, mata ini kupejamkan untuk sekedar mengurangi rasa pusing yang mendera.

Sekelebat bayang Farhana hadir dalam ingatan. Biasanya dia yang akan menenangkan Farel jika putra kami sedang merajuk. Hanya dia yang bisa melakukannya. Namun, saat ini keadaan sudah berbeda. Hana telah pergi dan keberadaannya pun entah di mana. Dua tahun lamanya dia menghilang, belum pernah satu kabar pun aku terima. Dia seakan hilang ditelan bumi bersama putri bungsu kami, Azkia.

Kia ... entah bagaimana keadaan putri kecilku itu. Kini usianya sudah menginjak angka tujuh tahun. Pasti semakin cantik mirip dengan bundanya.

Air mata menetes tanpa bisa aku tahan. Betapa diri ini merindukan keduanya. Andai waktu bisa diulang, tidak akan pernah kesalahan fatal itu aku lakukan terhadap mereka.

Suara benda pecah membuatku terperanjat. Gegas kaki ini berlari ke lantai atas tempat suara itu berasal.

"Farel, apa-apaan kamu!" seruku saat melihat nampan berisi makanan yang dibawa Rani berserakan di lantai. Emosiku kembali naik melihat Rani yang kini tengah tergugu akibat ulah putraku yang pasti telah menyakitinya.

"Jangan membuat kesabaran Ayah habis, Farel. Bunda Rani sudah bersikap baik membawakan kamu makanan. Dia khawatir padamu. Kenapa kamu malah menyakitinya?" geramku.

"Siapa suruh. Aku tidak meminta dia membawakan makanan itu. Aku tidak akan luluh hanya karena sikapnya yang sok perhatian!" bantahnya.

Tangan ini mengepal. Kuredam emosi yang mulai naik agar tidak kembali menamparnya. Farel tidak takut sama sekali akan tatapan mataku yang tajam. Dia menyeringai kemudian menutup pintu dengan kasar.

Blam!

🥀🥀🥀

Dini hari, rasa haus membuatku terpaksa bangun untuk mengambil air minum. Karena tidak ingin mengganggu Rani, kuputuskan turun ke dapur sendiri. Tepat saat melewati kamar Farel, pintunya sedikit terbuka. Kaki ini perlahan melangkah mendekat dan mengintip dari celah.

Putraku tengah duduk termenung seraya memegang segelas air putih di tangan kiri, sedang tangan yang satunya memegang bingkai foto yang begitu aku hafal.

Hatiku mencelos ketika menyaksikan Farel menciumi foto itu seraya menggumamkan kata Bunda. Kaca-kaca di mataku pun mulai luruh. Akibat dari keegoisan diri, putraku harus tersiksa karena berpisah dengan bundanya.

Perlahan kubuka pintu kamar, kemudian masuk dan duduk tepat di sampingnya yang masih bergeming meskipun menyadari keberadaanku. Kuusap pundaknya dengan lembut hingga dia menoleh sesaat, tetapi kembali fokus pada foto itu.

"Apa Ayah tidak rindu pada Bunda juga Kia?" tanyanya lirih.

"Tentu. Tentu saja Ayah sangat merindukan mereka." jawabku sembari mengusap titik bening yang mengalir di pipi.

"Kalau memang rindu, kenapa Ayah tidak mencari mereka? Apakah karena kehadiran Tante Rani dan juga Nana membuat Ayah enggan melakukannya? Apa Ayah tidak pernah berpikir bagaimana keadaan Bunda sekarang? Sudah makan kah mereka? Tinggal di tempat layak kah mereka? Pernahkah Ayah berpikir sampai ke sana?" cecarnya yang membuatku bungkam, tak mampu memberi jawaban.

Tentu saja pemikiran seperti itu sering terlintas dalam benak. Kepergian Hana tanpa membawa apa pun dari rumah ini membuatku sering kali dilanda rasa cemas akan kehidupan yang ia hadapi sekarang. Bukan aku tega, tetapi ego dalam diri ini memerintah untuk mengikuti setiap keinginan Hana karena aku yakin, dia akan kembali setelah merasakan kerasnya hidup di luar sana apa lagi tanpa membawa bekal apa pun.

Akan tetapi perkiraanku salah. Hana tidak pernah kembali jangankan untuk meminta rujuk, sekedar menengok Farel pun ia enggan. Separah itu kah luka yang aku torehkan sampai dia mengabaikan putra yang ditinggalkannya?

"Kenapa Ayah diam? Beri aku alasan kenapa sampai saat ini Ayah tidak pernah mencari keberadaan mereka? Apa benar karena posisi mereka telah terganti oleh Tante Rani dan juga Nana?"

Farel terus mendesakku dengan pertanyaan yang sangat sulit aku jawab. Haruskah aku jujur dan mengatakan yang sebenarnya?

"Salah satunya karena itu," jawabku akhirnya.

Rahang Farel terlihat mengeras. Tangan ini yang masih berada di pundaknya ia hempaskan dengan kasar. "Ayah benar-benar pria tidak berperasaan. Tidak salah kalau saat ini aku begitu membenci Ayah," desisnya.

"Maafkan Ayah, Nak. Katakan apa yang harus Ayah lakukan untuk menebus setiap kesalahan Ayah pada kalian. Katakan ... Ayah pasti akan melakukannya," ujarku penuh keyakinan. Kali ini aku bersungguh-sungguh. Apa pun permintaan Farel akan aku lakukan demi mendapat maaf darinya.

"Sungguh? Ayah akan melakukan apa pun yang aku mau?" tanyanya seraya menyeringai.

"Ayah bersungguh-sungguh."

Wajah Farel begitu serius. Hati ini seketika dilanda rasa cemas, takut ia akan meminta sesuatu yang akan sulit aku kabulkan.

"Kalau aku meminta Ayah meninggalkan Tante Rani dan juga Nana, apa Ayah bersedia?"

"Permintaan macam apa itu?" Tubuh ini sontak berdiri setelah mendengar permintaan konyolnya. Tidak habis pikir pada dia yang mempunyai pikiran sampai ke sana. Meninggalkan Rani? Tentu saja tidak akan pernah aku lakukan. Selain karena mencintainya, aku tidak ingin mengulang kesalahan dengan membuat Rani menderita setelah apa yang aku lakukan pada Hana.

"Tenang, Yah. Aku hanya becanda. Aku tahu kok, Ayah sangat mencintai Tante Rani. Kalau tidak, mana mungkin Ayah sampai tega mengkhianati Bunda demi bisa bersamanya." Farel terkekeh. Ia merebahkan diri ke atas ranjang seraya menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya.

"Tolong tutup pintunya. Aku mau tidur."

"Farel, kita belum selesai bicara," kataku sembari kembali duduk di sisi ranjang.

"Tidak ada lagi yang harus kita bicarakan. Semuanya sudah jelas."

"Mintalah hal yang lain asal jangan itu," lirihku yang masih bisa ia dengar. Terbukti Farel kembali bangun dan duduk menghadapku.

"Baik. Kalau begitu aku minta Ayah mencari keberadaan Bunda. Bawa dia ke sini dan pertemukan aku dengannya. Setelah itu izinkan aku ikut Bunda, barulah Ayah akan aku maafkan."

Bersambung.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Mulyanah Efendi
kasihan bangtt rindu bunda ny..
goodnovel comment avatar
Isabella
baca berulang masih gak bosen sambil mewek kejer
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Ndak perdulian sama anak2nya waktu asik sama selingkuhannya tau2 minta anak conya dia yg bawa asshole bgt loe wajar lha dia jd bandel. Loe kata dia bakalan terima pelakor apa?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 5

    Demi mendapat maaf dari Farel, akhirnya aku menyewa orang suruhan untuk mencari Hana dan juga Kia. Putraku mulai bisa tersenyum ketika aku memberitahunya tentang hal ini. Perlahan sikap Farel mulai melunak, bahkan sudah mau makan satu meja dengan kami, hal yang tidak pernah ia lakukan semenjak Rani tinggal di rumah ini."Makan yang banyak, Nak," ucapku sambil mengusap rambutnya. Farel tidak menolak, membuat senyum bahagia terbit dari bibir ini."Bunda ambilkan lauknya, ya. Farel mau apa? Ayam?" Rani pun ikut menawarkan diri, tetapi sayang respon yang diberikan Farel terhadapnya berbeda."Tidak usah, aku bisa sendiri," ketusnya.Riak sendu tercetak dari wajah cantik itu. Kuusap tangannya dengan lembut, memberi kekuatan padanya agar tidak bersedih atas sikap putraku. Aku tahu kerasnya usaha Rani untuk mendekatkan diri pada Farel. Akan tetapi, anak itu membangun dinding kokoh yang tidak bisa Rani tembus. Bagi Farel, bundanya hanya satu yaitu Hana, meskipun kini Rani sudah menjadi ibu sam

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-28
  • Rindu Untuk Farhana   Bab 6

    Tiba di rumah sakit, aku langsung menuju ruang IGD setelah mendapatkan keterangan dari seorang perawat. Kaki ini melangkah dengan tergesa bersama rasa cemas yang menyelimuti hati. Mendengar kabar Farel kecelakaan, membuatku sontak menyalahkan diri sendiri. Sebagai seorang Ayah, aku tidak becus menjaga putra sulungku. Apa yang harus aku katakan pada Hana andai dia berada di sini. Mantan istriku pasti merasa kecewa karena aku yang meminta Farel ikut denganku, tetapi kenyataannya akulah penyebab segala kesakitan anak itu.Tiba di depan ruang IGD, salah satu teman Farel yang sering datang ke rumah sedang berdiri bersama seorang Dokter. Gegas kupercepat langkah menghampiri mereka yang sedang terlibat pembicaraan."Bagaimana keadaan Farel?" tanyaku dengan napas yang tersengal. "Anda ayahnya?""Iya.""Farel mengalami retak di tulang lengannya. Untuk bagian tubuh yang lain bisa dikatakan baik-baik saja, hanya terdapat luka ringan. Tapi tetap dia harus menjalani perawatan di sini untuk bebera

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-28
  • Rindu Untuk Farhana   Bab 7

    "Kok sudah pulang, Bang? Farel sama siapa?""Abang pulang dulu sebentar, cuma mau mandi. Abang titipkan dia sama Suster di sana. Kamu gak keberatan, kan kalau Abang tinggal lagi?""Aku gak papa kok, Bang. Farel, kan sedang butuh Abang." Rani tersenyum. Bisa kurasakan ketulusan dari setiap kata yang ia ucapkan. Aku terharu. Ternyata istriku mau memaklumi keadaan yang mengharuskan diri ini mengutamakan putraku."Maaf ya, Bang. Rani tidak bisa menjadi ibu sambung yang baik buat Farel. Andai dia tidak keberatan, Rani ingin menemani dia di rumah sakit. Tapi Rani tahu pasti Farel tidak mengharapkan kehadiran Rani," keluhnya. "Jangan bicara seperti itu, Sayang. Kamu sudah berusaha menjadi ibu yang baik untuk Farel. Hanya saja dia masih belum bisa menerima keadaan Abang yang sudah berpisah dengan bundanya. Kamu yang sabar, ya." kataku seraya mengelus pipinya. Rani berusaha tersenyum dan mengangguk meskipun sangat kentara ia paksakan."Abang mandi dulu, ya. Harus cepat ke sana lagi. Kasian Fa

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-13
  • Rindu Untuk Farhana   Bab 8

    Sudah setengah hari Farel pergi dari rumah dan aku belum mendapat informasi lagi dari orang suruhan. Anak itu benar-benar nekat. Ia sampai berani membohongiku demi bisa keluar dari rumah ini. Aku yakin dia pergi untuk mencari keberadaan bundanya. Rasa gelisah membuat diri ini tidak bisa duduk dengan tenang. Apa lagi setelah orang suruhanku akhirnya memberi informasi kalau mereka kehilangan jejak Farel. Sepertinya anak itu sadar jika sedang diikuti. Farel cukup jeli dan pintar dalam mengecoh mereka."Gimana, Mas? Sudah diketahui ke mana tujuan Farel?" Rani datang sambil membawakan segelas teh hangat untukku."Mereka kehilangan jejak. Sepertinya anak itu tahu kalau sedang diikuti," terangku seraya memijat kening yang terasa pusing. Memikirkan Farel dan segala ulahnya membuat diri ini harus ekstra menjaga kesabaran."Apa mungkin dia mencari Mbak Hana?""Sepertinya iya. Dia tidak bisa sabar padahal Abang juga sedang berusaha mencari keberadaan bundanya.""Abang mencari Mbak Hana?" Pertan

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-14
  • Rindu Untuk Farhana   Bab 9

    Telaga bening di mata ini satu per satu mulai luruh. Melihat interaksi mereka yang begitu akrab, terlihat saling menyayangi layaknya saudara. Seketika perasaan iri merambati hati. Ingin rasanya aku berada di sana, di antara mereka yang saling becanda tawa.Farel terlihat sangat ceria sambil sesekali menggoda Kia dan bocah kecil yang entah siapa. Tawanya begitu lepas, sangat berbeda saat ia berada di rumah bersamaku. Kia ... putri kecilku kini tubuhnya semakin tinggi. Hana begitu pandai mengurusnya hingga Kia tumbuh menjadi gadis kecil yang semakin cantik dan sopan. Bisa dilihat dari penampilan anak itu yang kini memakai jilbab seperti bundanya.Kia ... ini Ayah, Nak. Adakah Kia mengingat dan merindukan Ayah? Andai kondisinya memungkinkan. Ingin kurengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan. Menghujaninya dengan ciuman untuk meluapkan rindu yang selama ini tertahan.Namun, hal itu hanya ada dalam angan semata. Diri ini tidak cukup bernyali untuk menemui mereka setelah apa yang aku lakukan

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-15
  • Rindu Untuk Farhana   Bab 10

    "Gimana? Abang jadi ngikutin Farel? Kenapa jam segini baru pulang?" Rani mencecarku dengan pertanyaan ketika diri ini baru saja sampai rumah. Jam memang sudah menunjukkan pukul satu malam. Aku kira Rani tidak sudah tidur, ternyata ia masih menungguku di ruang tamu."Abang memang ngikutin dia.""Terus? Dia ke mana? Nyari Mbak Hana? Abang juga ketemu dia, dong," cecarnya lagi yang membuat kepalaku semakin pusing.Tak ingin terjadi pertengkaran, aku beranjak meninggalkan Rani. Namun, istriku itu tak menyerah sebelum rasa penasarannya terjawab. Rani mengikutiku ke kamar sambil terus mencecarku dengan pertanyaan."Kenapa Abang gak jawab pertanyaan aku? Abang ketemu Mbak Hana terus kalian bernostalgia sampai Abang pulang selarut ini?""Bisa gak sih kamu diam!" bentakku. "Abang ini cape, Ran. Baru saja sampai tapi kamu malah terus bertanya macam-macam, pake acara curiga lagi. Ya, Abang memang mengikuti Farel yang ternyata menemui Hana. Tapi Abang sama sekali tidak menemui mereka apa lagi mel

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-17
  • Rindu Untuk Farhana   Bab 11

    "Abang."Tubuh ini berdiri, bergerak mendekati mereka yang masih bergeming. Pandangan mata tak lepas dari Hana yang tengah berusaha menyembunyikan tangisnya. Dengan gerak cepat, tangan itu menghapus jejak air mata yang sempat keluar dari netranya."Apa kabar, Han?" Bibirku bergetar saat mengucapkannya. Hana memaksakan seulas senyum padaku sebelum menjawab, "alhamdullillah baik. Abang sendiri bagaimana?""Abang tidak baik-baik saja tanpa kalian." Ingin rasanya kuucapkan kata itu, tetapi sayang hanya mampu tertahan di tenggorokan."Alhamdullillah, Abang juga baik." Mata ini beralih pada Kia yang kini memegang ujung baju bundanya. Netra bening itu mulai menelaga. Bibirnya bergetar menahan tangis yang sebentar lagi siap keluar."Kia, ini Ayah, Nak. Sini peluk Ayah. Kia gak kangen?"Gadis kecilku menengadah, menatap bundanya seakan meminta persetujuan. Hana menganggukkan kepala sambil tersenyum. "Itu Ayah sekarang sudah datang. Kenapa gak peluk Ayah? Katanya Kia kangen.""Sini, Nak."Gad

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-18
  • Rindu Untuk Farhana   Bab 12

    Permintaan Rani sangat berat untuk kukabulkan. Mempertemukan dia dengan Hana tidak pernah terlintas dalam pikiran ini sedikit pun. Membiarkan mereka berjumpa sama saja menguak luka lama yang dirasakan Hana. Bertemu wanita yang telah menyebabkan hancurnya mahligai rumah tangga kami, pasti akan mengingatkan Hana akan pengkhianatan yang telah kami lakukan.Namun, diri ini tidak bisa menolak ketika Rani memiliki niat baik kepada Hana. Istriku ingin meminta maaf secara langsung atas apa yang telah ia lakukan. Mungkin sudah saatnya kami semua berdamai dengan keadaan. Semoga saja Hana menerima permintaan maaf dari Rani dan mengizinkan jika sewaktu-waktu kami menemui anak-anak dan membawa mereka ke rumah ini, rumah yang seharusnya menjadi hak mereka.Hari minggu waktu yang dipilih kami untuk berangkat ke Bandung. Bukan tanpa alasan, karena aku tahu Hana libur berjualan pada hari itu. Farel sudah lebih dulu berangkat ke sana seperti biasa. Dia masih belum tahu kalau aku sudah bertemu dengan bu

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-19

Bab terbaru

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 37

    Extra Part"Kamu yakin, kita akan datang ke sana? Kalau itu hanya akan membuatmu tidak nyaman, sebaiknya jangan. Abang tidak ingin menyakiti perasaanmu lagi," ujarku pada Hana.Saat ini kami berada di kamar, sama-sama berbaring dengan saling berhadapan. Pilow talk, hal yang sering kami lakukan semenjak menikah kembali."Hana yakin. Abang tidak usah khawatir, saat ini sudah tidak ada lagi rasa sakit di hati ini. Hana sudah ikhlas dan mengubur kejadian masa lalu. Bukankah kita sudah sepakat untuk membuka lembaran baru?" terangnya. Kuelus pipinya dengan penuh sayang. "Tapi dengan menemui dia, sama saja kembali menguak masa lalu yang telah kita kubur."Hana tersenyum. "Abang tega mengabaikan permintaan orang yang sedang sakit keras? Kita datang ke sana atas dasar kemanusiaan. Setidaknya dengan menengok dan mengunjungi dia, menambah pahala bagi kita. Bukankah begitu?""Kamu selalu berhasil membuat Abang kagum. Abang beruntung bisa memilikimu kembali. Abang tidak akan pernah bosan mengucap

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 36

    Satu bulan waktu yang diberikan Hana padaku, nyatanya terasa sangat singkat, tetapi bermanfaat. Aku berguru pada seorang Ustadz rekomendasi dari salah satu teman. Dari beliau aku mulai belajar mendalami ilmu agama. Tak lupa, kuceritakan kisah perjalanan hidupku padanya dan alangkah malunya aku saat beliau memberitahuku tentang hakikat poligami.Aku, manusia serakah yang menggunakan kata poligami sebagai kedok untuk menutupi nafsu. Menikahi lagi secara diam-diam di belakang istriku, memang diperbolehkan, tetapi tidak dianjurkan. Ada adab yang harus dikedepankan untuk menghargai perasaan istriku.Dan jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim.Penggalan surat

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 35

    "Ibra, ini Hana sama Farel mau pulang, kok gak kamu cegah?"Mama langsung memberiku tatapan tajam ketika aku baru saja sampai di ruang tengah. Beliau duduk berdampingan dengan Laras, sedangkan Hana dan Farel duduk di seberang mereka."Ini juga Ibra mau cegah," kataku sambil mengambil posisi duduk di samping Farel. Anak itu melirik sekilas, kemudian kembali melengos malas."Hana, jangan pulang dulu, Nak. Kita makan malam sama-sama. Kasihan juga anak-anak yang masih kangen sama ayahnya." Mama membujuk Hana. Sedangkan orang yang dibujuk masih setia menundukkan kepala seraya meremas jemarinya. Ciri khas seorang Hana jika sedang dilanda gugup dan gelisah."Tapi sebentar lagi magrib. Hana takut nanti pulangnya kemalaman.""Kalau begitu ya menginap saja di sini," jawabku cepat.Farel mendelik tajam padaku. "Itu mah maunya Ayah," cibirnya. Kuacak rambutnya karena gemas akan sikap anak itu yang senang menyindir ayahnya ini."Ibra betul. Kalau takut kemalaman, kalian menginap saja di sini. Atau

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 34

    Waktu bergulir terasa sangat lambat. Sudah hampir dua bulan aku berada di Palembang, rasanya seperti sudah dua tahun saja. Rasa rindu pada anak-anak makin menggebu tiap harinya. Pun pada Bunda mereka yang bahkan sama sekali tidak pernah aku lihat dan dengar suaranya. Hanya dari Farel aku mendengar kabar tentang Hana. Mantan istriku masih disibukkan oleh urusan Butik yang makin hari makin ramai, katanya. Andai mengikuti kata hati, ingin rasanya aku pulang ke Jakarta, melepas rindu pada anak-anak yang hanya bisa bersua lewat telepon. Akan tetapi, aku masih harus mengurus masalah perusahaan yang sampai saat ini masih belum selesai."Ibra? Kamu, Ibra, kan?"Aku yang tengah menyantap makan siang di sebuah restoran, terkesiap ketika melihat seorang wanita sudah berdiri di depanku. Mata ini menyipit, mencoba mengingat siapa gerangan perempuan ini."Kamu lupa? Aku Laras, teman SMA kamu. Kita, kan satu kelas," terangnya yang membuat mataku makin menyipit.Laras? "Ya ampun, kamu Laras yang to

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 33

    Pov IbraBibir ini tak hentinya menyunggingkan senyum kala mengingat kebersamaan dengan Hana dan anak-anak tadi siang. Kebahagiaan yang tidak dapat kulukiskan saat diri ini diberi kesempatan berkumpul dengan mereka. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati ini ketika Hana buru-buru mengajak anak-anak pulang. Ia sepertinya tidak nyaman akan candaan yang kulontarkan padanya. Aku jelas tahu dia sempat merona, tetapi dengan cepat ia mengubah ekspresi itu dengan wajah yang terlihat datar.Huft, rupanya jalanku untuk mendapatkan kembali hatinya masih sangat panjang. Hana masih sulit kutaklukan, meskipun tak kupungkiri, ia sempat tersenyum kecil menanggapi godaan yang kuberikan."Ibra, itu ponsel kamu dari tadi bunyi terus, kok gak diangkat?"Mama tiba-tiba muncul saat aku masih tenggelam dalam lamunan. Sontak saja aku mengambil ponsel yang kuletakkan di atas meja. Nomor yang tak dikenal, kubiarkan saja. Takutnya orang yang sengaja iseng menggangguku. Namun, ponsel kembali berdering, memb

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 32

    "Oma, Bunda, Ayah sudah sadar!"Aku dan Mama terperanjat. Makanan yang baru saja disentuh pun kami tinggalkan begitu saja setelah mendapat kabar baik ini. Bang Ibra sudah sadar. Itu tandanya ia telah berhasil melewati masa kritis. Kami bergegas mengikuti Farel ke kamar rawat Bang Ibra. Dengan rona bahagia yang kentara dari wajahnya, Farel menghampiri ayahnya yang sudah membuka mata."Ayah, itu Oma sama Bunda."Bang Ibra menoleh ke arah kami. Senyum tipis terukir dari bibirnya yang masih terlihat pucat."Ibra, alhamdullillah kamu sudah sadar, Nak." Mama mendekati putranya. Kristal bening mengalir di kedua pipi beliau. Bukan tangis kesedihan, melainkan ungkapan rasa bahagia menyambut sang putra yang telah sadar dari koma.Aku masih berdiri agak jauh. Menyaksikan kebahagiaan mereka dengan perasaan haru. Sampai ...."Hana, kemarilah, Nak. Kenapa hanya berdiri di situ?""I-iya, Ma." Perlahan, kaki ini mendekat. Bisa kulihat mata Bang Ibra yang menatap diri ini dengan lekat. Aku hanya bisa

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 31

    Pov Hana"Kia, sabar, Ya. Sebentar lagi Ayah pulang. Ayah gak mungkin lupa ulang tahun Kia."Aku terus membujuk Kia yang menangis ingin bertemu Bang Ibra. Biasanya anak itu tidak pernah serewel ini, tapi saat ini ia sangat ingin Bang Ibra hadir bersama kami. Mungkin karena hari ini ulang tahunnya, Kia ingin merayakannya dengan sang Ayah, seperti biasanya."Bun, coba telepon Ayah lagi." Farel memberi saran."Sudah, tapi ponsel Ayah masih tidak aktif.""Kalau begitu biar Farel yang menyusul Ayah. Farel yakin sekarang Ayah sedang bersama perempuan itu.""Jangan, Nak!" Kucekal lengan Farel yang sudah berdiri. "Jangan ke sana. Di sini saja temani Bunda dan adikmu.""Tapi Bun--"Kugelengkan kepala perlahan. "Farel dengar kata-kata Bunda. Lebih baik sekarang kita mencari cara bagaimana membujuk Kia supaya tidak menangis lagi," bujukku."Baiklah, Bun."Farel akhirnya duduk kembali. Kuperhatikan ia yang tengah susah payah membujuk Kia. Tak terasa air mata sudah mengalir di kedua pipi. Melihat

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 30

    Ponsel yang berada dalam genggaman hampir terjatuh setelah mendapat keterangan dari Rasya. Diculik? Bagaimana mungkin. Kalau pun iya, lantas siapa pelakunya dan apa motifnya? Satu per satu pertanyaan muncul dalam benak. Tidak habis pikir dengan masalah yang tak berhenti menimpa diri ini. Urusan soal Nana saja belum selesai, kini aku harus dibuat panik oleh Farel yang tiba-tiba menghilang. "Bagaimana? Apa kata teman-temannya?" Mama kembali bertanya saat melihatku terkulai lemas di atas kursi."Mereka tidak ada yang tahu di mana Farel. Jam lima sore mereka sudah pulang ke rumah masing-masing," terangku. "Ya Allah, bagaimana ini, Ibra? Mama khawatir Farel kenapa-napa," ujarnya dengan gelisah."Mama tenang dulu, Ibra akan menyuruh orang untuk mencari keberadaan Farel." Aku berusaha setenang mungkin, padahal hati ini pun sudah didera rasa panik."Bagaimana dengan Hana? Apa kita beritahu dia?""Aku rasa jangan dulu, Ma. Aku takut dia tambah syok," larangku. Sebelum Farel dipastikan keber

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 29

    "Yah."Farel menghampiriku yang masih termenung di ruang tamu."Ya, Nak? Bagaimana keadaan bunda kamu?""Bunda masih sedikit syok. Tapi sedang ditenangkan sama Oma.""Maafkan Ayah karena telah membuat kekacauan. Ayah hanya ....""Ayah jangan menyalahkan diri sendiri. Menurut aku, tindakan Ayah sudah benar. Aku malah senang pernikahan Bunda dengan Om Sandi dibatalkan. Meskipun hal ini membuat Bunda terpukul, tapi setidaknya Bunda tidak menikah dengan pria seperti Om Sandi." Farel menghela napas. Pasti anak itu pun merasa lega karena akhirnya Hana terlepas dari tipu daya yang telah dilakukan Sandi."Tapi kasihan bundamu. Dia harus menanggung malu pada semua tamu yang hadir karena pernikahannya batal. Dia juga pasti merasa trauma jika suatu saat ada pria yang mendekatinya lagi.""Siapa?""Maksudnya?""Memangnya siapa yang mau mendekati bunda lagi? Ayah?" Farel menaikan satu alis sambil tersenyum jahil. Ah, aku malu karena telah keceplosan bicara di depan anak itu."Ya ... maksud Ayah, bu

DMCA.com Protection Status