Apa dia masih perlu memilih?Tentu saja Riki ingin masuk TK seperti Riko."Aku akan mau sekolah di TK." Riki memasang tampang seperti anak kelinci yang lugu dan polos. Tanpa menunggu jawaban Reina, Riki langsung memeluk paha Maxime. "Papa yang baik, boleh nggak aku satu sekolah sama Kakak?"Sebagai seorang kakak, Riko merasa geli melihat kelakuan adiknya yang manja.Dia tidak ingin satu sekolah dengan Riki."Aku nggak mau."Riki punya wajah yang sama persis dengannya tapi punya sikap yang lebih manis. Kalau mereka bersekolah di sekolah yang sama, semua perhatian akan jatuh ke Riki, Riko tidak bisa mengunggulkan diri.Riki hanya perlu bertingkah manis dan semua perhatian akan terfokus padanya.Riki tidak menyangka kakaknya akan menolak, dia pun memasang tampang memelas, "Kok Kakak nggak mau? Kenapa? Kakak nggak sayang aku lagi?"Riko mengernyit. Ingin sekali merobek-robek buku di tangannya dan menyumpalkannya ke mulut Riki."Kalau masih manja begini, kulempar kamu keluar mobil!"Baik da
"Papa, Mama, sudah kalian jangan berantem ya?" Riki buru-buru datang menghampiri dengan mata yang berkaca-kaca.Reina dan Maxime pun berhenti berdebat.Riki menatap Reina dengan sedih, "Ma, aku nggak jadi ke TK. Mama jangan salahin Papa. Papa menyetujui permintaanku karena dia nggak tega membuatku sedih."Hati Reina terasa pedih saat putranya mengatakan hal ini.Maxime tidak tega membuatnya sedih? Lalu Reina?Kenapa Reina yang sudah membesarkan anaknya selama bertahun-tahun kalah oleh sosok Maxime yang baru hidup bersama mereka selama beberapa bulan?"Ma, jangan marah ya?" Untuk membantu ayah bajingannya, Riki hanya bisa pura-pura teraniaya untuk mengalihkan perhatian mamanya.Riki pikir kalau dia bersikap manja, Reina tidak akan marah pada Maxime. Riki tidak menyangka sikapnya ini malah jadi bumerang."Riki, kamu boleh pergi Kalau kamu mau. Kalau terjadi sesuatu, kamu harus langsung keluar dari sekolah."Setelah itu, Reina tidak memeluk Riki seperti biasanya, dia malah langsung berjal
Sebagai seorang ayah, tentu Maxime tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada Riki.Di mata Maxime, selama semuanya dipertimbangkan dengan matang, tidak ada bedanya Riki pergi sekolah atau tinggal di rumah.Setelah Reina mendengar penjelasan Maxime dan teringat akan wajah Riki yang penuh harap barusan, Reina pun tidak membantah dan menjawab, "Oke."Reina meremas jemarinya sambil berpesan."Tolong jangan biarkan dia kenapa-kenapa."Maxime mengatupkan bibirnya erat-erat cukup lama sebelum berkata, "Mereka itu anak-anakku, nggak perlu kamu ingetin juga aku tahu apa yang harus dilakukan."Malamnya.Maxime tidak makan banyak. Dia kembali ke kamar dan merokok tanpa henti.Entah mengapa, belakangan ini Maxime merasa suntuk.Jelas-jelas Riko dan Riki terbukti adalah kedua putranya, bukankah harusnya dia bahagia? Tapi kenapa begitu dia teringat Reina membawa kabur kedua putranya diam-diam dan tinggal bersama pria lain, Maxime terus merasa kesal.Di sisi lain, saat ini Riki dan Riko tidur di sat
Ibu-ibu orangtua murid TK Riko sudah memesan seluruh restoran itu, saat ini mereka duduk di meja panjang, mendiskusikan berbagai urusan anak-anak mereka untuk pergi ke luar negeri.Saat semua orang melihat Reina masuk, mereka berhenti mengobrol dan menoleh.Reina berpakaian sederhana dan wajahnya dirias tipis. Meski ada bekas luka yang parah di sisi kanan wajahnya, kecantikan dan keanggunannya tetap tidak tertutupi.Mereka semua adalah wanita yang sudah pernah melahirkan. Tentu mereka iri melihat lekuk tubuh Reina yang masih sempurna, lengkap dengan wajah yang cantik.Meski sudah merawat diri, kulit mereka tetap tidak semulus Reina. Untung saja wajah Reina cacat."Halo semuanya." Reina menyapa dengan ramah, dia melihat jam dan ternyata belum terlambat.Reina melihat sekeliling dan tatapannya berhenti pada Melisha.Tommy dan Riko adalah teman sekelas, wajar kalau Melisha juga datang ke acara ini.Melisha duduk di kursi depan, berpura-pura tidak melihat Reina dan menyesap tehnya.Melihat
Ibu-ibu lain menunggu Reina dipermalukan, dalam hati mereka pikir barusan Reina tidak benar-benar menghitung berapa biaya kurang yang butuh sponsor.Tidak disangka, Reina menjawab acuh tak acuh, "Iya."Reina mengeluarkan sebuah kartu bank dari tasnya dan menaruhnya di atas meja, "Aku bayar sekarang."Bagi Reina sekarang, uang 12 miliar bukan jumlah yang besar.Alasan kenapa dia tidak memakai baju mahal atau membawa tas mahal cuma karena dia tidak menyukainya, bukan karena dia tidak punya uang untuk membelinya.Awalnya hari ini Melisha mengundang Reina untuk mempermalukannya. Dia sama sekali tidak menyangka ternyata malah dirinya sendiri yang dipermalukan.Reina seorang ibu yang baru bergabung dalam komite ini langsung menyumbang sebanyak 12 miliar, sedangkan dirinya sendiri sebagai ketua Komite Orangtua Murid hanya menyumbang tiga miliar.Melisha tersenyum lembut dan berkata, "Mama Riko benar-benar murah hati ya."Pandangan ibu-ibu terhadap Reina pun seketika berubah saat melihat Reina
Mama Diera terkejut dengan gagasan Reina.Dia membawa Reina ke sudut yang sepi dan berkata, "Mama Riko, kamu tahu nggak kenapa Melisha bisa jadi ketua Komite Orangtua Murid?""Setiap tahun, Keluarga Sunandar menyumbangkan 200 miliar ke TK ini.""Aku tahu kamu juga menantu dari Keluarga Sunandar, tapi suamimu ...."Mama Diera tidak mengucapkan kata 'buta' ....Reina sudah bisa menebak apa yang ingin mama Diera katakan. Dia tidak tersinggung dan berkata, "Gimana kalau aku bisa menyumbang lebih banyak?"Mama Diera masih menggeleng, "Ketua Komite Orangtua Murid itu keputusan kepala sekolah, yaa ... beberapa ibu-ibu juga ikut andil dalam pemilihan suara sih, tapi cuma sebagian kecil. Kamu 'kan baru bergabung, mereka pasti nggak akan milih kamu.""Lagian, siapa yang berani menyinggung Keluarga Sunandar?""Orang-orang seperti kita ini selalu berjuang untuk menjilat Melisha supaya kami bisa ikut acara keluarganya. Asal Melisha bersedia membantu, urusan perusahaan suami kami pasti akan selesai.
Menjadi seorang ibu artinya harus menjadi wanita yang kuat. Reina sudah bertekad, jadi dia akan mulai bersiap-siap.Reina langsung menghubungi kepala sekolah TK Riko dan mengatakan ingin berinvestasi. Kepala sekolah pun langsung setuju.Setelah itu Reina bersiap membaur ke dalam kelompok ibu-ibu. Pertama-tama dia tidak melakukan apa pun dan hanya diam-diam meninjau informasi diri dan mencari tahu kebutuhan para ibu-ibu dalam komite.Saat sibuk, waktu berlalu sangat cepat. Riki mengusap matanya yang baru bangun tidur dan berseru memanggilnya, "Ma, waktunya makan.""Oke."Reina mematikan komputer dan turun ke bawah.Saat makan, Riki sengaja membuat Reina dan Maxime duduk bersebelahan."Ma, duduk di seberangku ya."Di seberang Riki ada Maxime.Reina melirik Maxime dan melihat pria itu tidak berkomentar, dia pun duduk.Sekarang pembantu yang menyiapkan makanan sehingga Maxime akhirnya tidak perlu makan wortel.Maxime tidak nafsu makan, dia hanya makan seadanya.Karena duduk berdekatan, len
Malam ini, Riki menolak untuk langsung tidur, "Ma, Papa dan Mama bacain aku dan kakak cerita dong ....""Riki mau dengar cerita apa? Nanti Mama ceritain."Reina menjawab dengan lembut, tapi ada maksud tersembunyi dalam kalimat ini. Ya, Reina hendak mengatakan dia bisa mendongengkan anak-anak sendirian, tidak perlu Maxime.Maxime mengangkat alisnya sembari menyahut, "Aku suruh robot AI aja yang bacakan cerita untuk kalian."Riki terdiam. Ayah bajingannya ini sungguh tidak romantis.Maxime menepati omongannya, tidak lama kemudian datanglah seorang pelayan membawakan robot AI paling mutakhir zaman ini. Robot itu bukan hanya bisa menceritakan dongeng anak-anak, tetapi juga bisa menemani mereka mengerjakan PR, bisa juga melakukan beberapa pekerjaan rumah sederhana dan sebagainya.Ternyata robot itu sangat menyenangkan. Riki dan Riko langsung masuk ke kamar untuk bermain dan mempelajari robot itu.Melihat betapa cepatnya kedua anak itu terbujuk, Reina tiba-tiba merasa kalau dulu Maxime berse
Lusa pun tiba.Reina dan Maxime menghadiri pernikahan Diego seperti yang telah dijanjikan.Reina mengira tidak banyak orang di dalam hotel, tetapi ketika sampai di pintu masuk, dia melihat beberapa pengusaha kaya juga datang.Reina bertanya-tanya, "Kenapa tamunya banyak sekali? Apa ada orang lain yang juga lagi melangsungkan pernikahan?"Begitu dia dan Maxime turun dari mobil, manajer hotel langsung menyambut mereka."Nyonya Reina, Tuan Maxime, kalian benar-benar datang?""Apa maksudnya?" tanya Reina sambil mengerutkan kening."Oh, Tuan Diego bilang akan menikah, Nyonya dan Tuan Maxime akan datang. Jadi, saya datang untuk menyambut kedatangan kalian." Manajer mengulurkan tangannya. "Kalian bisa lihat-lihat, kalau ada yang kurang, kalian bisa memberitahu saya."Mendengar manajer mengatakan ini, apa yang tidak bisa dimengerti oleh Reina?Rasanya seperti Diego memanfaatkannya dan Maxime sebagai alat untuk berteman dengan orang kaya dan terkenal."Sekarang aku tahu kenapa dia juga memintam
"Apa orang tua Hanna tahu tentang hal ini?" Maxime bertanya lagi."Pasti nggak tahu," jawab Reina.Mendengar itu, Maxime terdiam selama beberapa saat, lalu melanjutkan, "Jangan ikut campur sama masalah ini."Dia tahu bahwa orang tua Hanna mendesak Hanna untuk segera menikah. Namun mereka tidak akan menerima anak yatim piatu sebagai menantu mereka."Ya, aku mengerti."Reina dan Hanna hanyalah teman biasa, jadi Reina juga tidak akan ikut campur.Dia tidak bisa tidur lagi, jadi memutuskan untuk bangun.Maxime memeluknya dan tidak mau melepaskannya. "Tidurlah sebentar lagi.""Nggak bisa tidur." Reina menepis tangannya tanpa daya. "Aku mau bangun, aku mau kerja."Dia hanya ingin fokus untuk mengurus Grup Yinandar.Maxime terpaksa melepaskan tangannya karena takut Reina akan marah.Reina segera bangkit dari tempat tidur, tidak berani berada di dalam kamar tidur lebih lama lagi.Kenapa sebelum ini dia tidak sadar kalau Maxime memiliki kebiasaan bermalas-malasan di tempat tidur?...Sebelum Re
Keesokan harinya, Reina terbangun karena sebuah pesan di ponselnya. Dia mengambil ponselnya dan melihat bahwa ada pesan grup yang masuk.Dia membuka pesan itu dan ternyata Hanna yang mengirimnya."Kak, harusnya aku mendengarkanmu dan nggak ikut campur. Adrian nyalahin aku karena ikut campur ....""Aku sangat kesal sekarang, kenapa dia malah menyalahkanku dan bukannya berterima kasih padaku?""Apa aku benar-benar melakukan sesuatu yang salah?"Ketika Hanna mengirim pesan itu, waktu masih menunjukkan jam enam pagi dan semua orang masih tidur.Reina dengan mengantuk melihat pesan itu, kemudian mengetik, "Kenapa dia nyalahin kamu?"Sebenarnya Reina sudah punya tebakan, tetapi dia masih tidak yakin."Dia nggak bilang. Dia cuma memintaku nggak ikut campur dan berhenti memberikan uang pada orang tua angkatnya."Reina melihat pesan itu, menganalisanya, lalu membalas, "Hanna, menurutku ada satu kemungkinan, lihat saja nanti. Kalau kamu memberikan uang kepada orang tua asuhnya, mungkin orang tua
"Hanna, mending kamu bilang sama Adrian terkait masalah ini, takut ada hal yang nggak diinginkan." Reina dengan ramah mengingatkan.Hanna mengetik balasan, "Hmm, ya, aku akan melakukannya nanti."Reina tidak membaca pesan itu lagi dan bergegas pergi.Setelah mandi dan kembali ke kamar, Reina melihat Maxime bermain dengan dua anak mereka, sementara dua anak mereka yang lain ada di kamar. Mereka terlihat sangat bahagia.Pemandangan ini jatuh ke mata Reina. Dia merasa sangat bahagia, merasa semuanya sudah cukup."Mama akhirnya sudah selesai mandi?"Riki melihat Reina seperti melihat seorang penyelamat. Dia beranjak dari kursinya dan berlari ke arahnya.Begitu Riki bangun, Reina menyadari bahwa mereka tidak sedang bermain, tetapi Maxime sedang mengawasi pekerjaan rumah Riki.Riki memeluk Reina."Mama, hidup ini melelahkan sekali, hiks."Sebelum Reina sempat menghiburnya, suara dingin Maxime terdengar dari kejauhan."Riki, kamu salah menjawab dua pertanyaan lagi. Kamu nggak sadar?"Riki ber
Di dalam clubhouse.Adrian berdiri di belakang Hanna, satu tangan menutupi luka di dahinya, tampak bingung.Hanna menoleh ke arahnya. "Ayo ke rumah sakit buat balut lukanya."Namun, Adrian menatapnya dengan bingung, lalu berkata, "Nggak perlu, ini hanya luka kecil."Hanna mengerutkan kening, "Kepalamu robek begitu, mana mungkin itu cuma luka kecil?"Sambil berbicara, dia mengeluarkan tisu dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Adrian."Ini, bersihkan."Adrian melihat tangan putih dan mulus di depannya. Setelah cukup lama, dia baru tersadar dan mengambil tisu itu."Terima kasih.""Sama-sama." Hanna tersenyum sumringah.Dia mengira setelah kejadian ini, Adrian tidak akan bersikap dingin lagi padanya. Namun, setelah Adrian mengambil tisu itu, Adrian dengan santai menyeka darah di tangannya dan hendak pergi."Aku mau lanjut kerja."Setelah mengatakan itu, Adrian berbalik dan berniat untuk pergi.Hanna langsung menghentikannya, "Kamu terluka begitu masih mau kerja? Istirahat saja."Lang
Diego mendengar gumaman mereka dan merasa tidak bisa memojokkan Adrian lagi. Jadi, dia berkata sambil menunjuk ke arahnya, "Kita lupakan masalah terakhir kali. Lain kali, pikirkan baik-baik kalau mau bertindak. Ini pelajaran untukmu."Dia melemparkan botol anggur yang pecah, yang terkena darah Adrian.Diego tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi, jadi dia akan pergi.Namun, tiba-tiba ada sesosok tubuh yang menghalangi di depannya."Kamu sudah memukulnya dan sekarang mau pergi begitu saja?"Sebuah suara yang jelas dan bagus terdengar di depannya.Diego memusatkan pandangannya dan menyadari bahwa Hanna sudah ada di depannya entah sejak kapan."Hanna?"Hanna menyela dengan dingin, "Tuan Diego, lebih baik panggil Nona Hanna saja, kita nggak seakrab itu."Jika sebelumnya Hanna tidak begitu yakin apakah Diego memiliki niat buruk terhadapnya, sekarang dia benar-benar yakin.Bukankah kali ini Diego memukuli Adrian karena Adrian sudah mengganggu rencananya terakhir kali?Diego tidak menyang
Sejak bertemu dengan Adrian, Hanna langsung merasa bahwa orang ini cukup menarik.Adrian adalah satu-satunya pelayan yang tidak mencoba mendekatinya, apalagi dia juga tampan.Hanna sudah sering menanyakan tentang Adrian. Sebenarnya, dia punya banyak kesempatan untuk didekati oleh wanita-wanita kaya yang glamor. Namun, dia menolak semuanya.Jika dia menerima salah satu wanita kaya itu, dia tidak perlu bekerja keras di dalam bar.Saat ini di dalam Bar Eurios.Adrian sedang sibuk bekerja.Dia tidak menyadari kemunculan sosok yang tidak asing lagi di depan pintu. Orang ini tidak lain adalah Diego.Meskipun sekarang Diego telah memutuskan untuk bersama Sophia, dia selalu ingat bahwa pelayan yang bernama Adrian sudah merusak rencananya.Bukan dia kalau tidak membalaskan dendam.Diego masuk dan memanggil seorang pelayan, lalu menunjuk ke arah Adrian dan berkata, "Suruh dia ke sini."Mendengar itu, pelayan segera pergi memanggil Adrian.Dia merendahkan suaranya, "Adrian, hati-hati. Pria itu da
Begitu Diego menyebutkan kata cicit, Nyonya Liz langsung mengubah pendapatnya tentang Sophia. Dia tertawa dan mengatakan, "Ya, bagus sekali. Kamu harus punya beberapa anak laki-laki, dengan begitu masa depan keluarga masih bisa dilanjutkan. Jangan seperti kedua Om mu itu, anak mereka perempuan semua. Lihatlah, dia sampai diusir sama mertuanya. Bikin malu saja."Diego mengangguk berulang kali."Ya, Nenek tenang saja."Nyonya Liz mengalihkan pikirannya untuk berbicara dengannya tentang hal lain. "Oh ya, kalau kamu sama dia, bagaimana dengan Hanna?"Nyonya Liz tidak melupakan putri tunggal dari keluarga kaya ini.Diego juga ingin menikahi Hanna. Selama dia menikahinya, dia tidak perlu terlalu bekerja keras dalam beberapa tahun. Namun, kenyataan terlalu kejam. Orang tua Hanna tidak menyukainya."Lupakan saja, nona kaya sepertinya sulit buat dilayani, Sophia jauh lebih baik darinya."Nyonya Liz menganggukkan kepalanya berulang kali. "Ya, nona kaya memang sulit dilayani. Lebih baik sama wani
Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan.Diego takut Sophia akan marah kepadanya, jadi dia langsung berjanji, "Sophia, masa lalu sudah berlalu, aku sudah benar-benar berubah sekarang. Jangan khawatir, aku nggak akan pernah mengecewakanmu, aku juga nggak akan pernah melakukan semua hal buruk itu lagi."Mendengar itu, Sophia berkata, "Aku sudah setuju untuk bersamamu, jadi aku nggak akan mempermasalahkan hal-hal yang pernah kamu lakukan sebelumnya.""Aku marah sama dirimu yang sekarang.""Sekarang aku kenapa memangnya?"Diego tidak mengerti."Bagaimana mungkin kamu meminta kakakmu buat kasih izin buat kita melangsungkan pernikahan di sana? Itu 'kan rumah dia dan suaminya," kata Sophia."Cuma karena masalah ini?" Diego tidak habis pikir. "Dia kakakku, hal sekecil ini bukan masalah baginya."Melihat sikap keras kepalanya, Sophia makin marah, "Jangan nggak peduli begitu. Aku kasih tahu, setelah kita bersama, kamu nggak boleh minta tolong apa pun lagi sama kakakmu. Jangan menganggap rem