Maxime mengangguk.Dia berkata, "Tapi kalau ke depannya dia hubungin kamu, kamu harus kasih tahu aku ya apa pun yang terjadi. Jangan sembunyiin dariku.""Oke."Reina langsung setuju, lalu menggandeng tangan Maxime yang ada di wajahnya sambil berkata, "Ayo pulang."Dengan bergandengan tangan, Maxime merasa sangat nyaman.Sekarang berbeda dari masa lalu. Dia sangat takut Reina akan meninggalkannya atau Reina direbut orang lain."Nana, kamu cinta nggak sih sama aku?"Sambil berjalan, Maxime tiba-tiba bertanya.Sekarang Reina benar-benar merasa Maxime ini aneh, dia berhenti melangkah dan menjawab, "Ya ampun kita sudah menikah berapa tahun, punya empat anak pula. Kamu kekanak-kanakan banget, ngapain nanya kayak gini?"Maxime menggenggam tangan Reina erat-erat."Jadi, kamu cinta nggak sama aku?" Dia menatap Reina dengan serius.Tangan Reina terasa sakit karena genggaman yang begitu erat. Reina hendak menjawab saat tiba-tiba Riki berlari ke arah mereka berdua."Mama, kalian dari mana?""Habis
Tidak ada cahaya sama sekali di vila pribadi yang gelap itu.Pria yang ada dalam kamar itu sedang duduk di antara tumpukan botol anggur, bersandar di dinding dan terlihat lesu.Tiba-tiba pintu yang tertutup itu pun terbuka dari luar dan cahaya masuk secara perlahan.Morgan langsung mengulurkan tangannya untuk menghalangi cahaya di depannya. Setelah beradaptasi, barulah dia menurunkan tangannya.Morgan membuka matanya dan melihat seorang pria berjalan ke arahnya selangkah demi selangkah dengan sepatu kulit mengkilap karena melawan cahaya.Maxime masuk ke kamar itu, menyalakan lampu dan melihat Morgan terbaring di antara tumpukan botol anggur.Maxime mengernyit dan berjalan di antara tumpukan botol anggur."Kamu berencana hidup seperti ini selama sisa hidupmu?" Maxime bertanya.Morgan mengangkat matanya dan menatapnya, "Kamu datang buat menertawakanku?"Maxime mencari kursi dan duduk, menoleh ke arah Morgan dengan tatapan menghina."Dengan rupamu yang seperti ini, kamu pantas aku hina?"
Reina yang tahu pun terkejut. Dia mendatangi Maxime untuk bertanya."Kok kamu bisa membuat Morgan setuju?"Padahal kemarin Morgan tidak setuju meski Reina sudah berusaha membujuknya.Tentu saja, Maxime tidak memberi tahu Reina bahwa dia sudah memohon agar Morgan menyetujuinya."Mungkin karena dia masih punya hati nurani, kemarin aku ngasih tahu dia, kalau Sisca itu baik banget sama Talitha."Reina menghela napas lega, "Semoga dia bisa berubah jadi orang yang lebih baik.""Ya."Maxime mengangguk.Meski begitu, Maxime sangat mengkhawatirkan Morgan.Dia merasa Morgan tidak bisa berubah segampang itu apalagi dalam lingkungan seperti ini tanpa ditemani siapa-siapa. Morgan jadi menutup diri....Di dalam vila pribadi Morgan, ponsel Morgan terus bergetar.Morgan tidak pernah mengangkat telepon, juga tidak melihat siapa yang meneleponnya.Sebenarnya orang yang meneleponnya adalah Jess.Jess sudah menelepon beberapa kali, tetapi tidak ada yang menjawab.Dia jadi khawatir, "Kok masih nggak angka
Jess langsung menggeleng, "Nggak, aku harus menemukannya, kalau nggak, aku nggak akan tenang."Melihat Jess begitu keras kepala dan gelisah dalam beberapa hari terakhir, Erik pun bertanya."Jess, kamu masih suka dia ya?"Jess tercengang.Dia hanya menatap ke bawah dan tidak berani menatap mata Erik.Erik langsung paham.Padahal Jess jelas-jelas sudah menjelaskan ketika dia setuju untuk bersama Erik, tapi Erik masih merasa tidak nyaman sekarang.Jess mengepalkan tangannya dan hendak membuka mulut untuk bicara.Erik langsung berkata, "Jangan marah, aku cuma tanya, nggak perlu dijawab."Suasana hati Erik menjadi semakin tertekan, namun dia tidak berani menunjukkannya.Meski Jess bukan tipe wanita yang peka dan sensitif, dia menyadari perubahan emosi Erik.Jess perlahan mengangkat kepalanya dan menatap Erik dengan tatapan yang rumit, "Erik, maaf."Erik tersenyum pahit, "Kok kamu minta maaf? Kamu 'kan nggak salah."Tenggorokan Jess rasanya tersumbatMelihat Jess kesulitan, Erik pun menggant
"Aku juga nggak tahu ... Temanku nggak tahu seberapa besar rasa cintanya sama istrinya. Tapi yang jelas kalau dia melepaskannya sekarang, dia pasti akan menyesal dan sangat tersiksa," jawab Erik.Erik tahu betul, dia sudah jatuh cinta pada wanita tidak biasa.Dia tidak bisa mengatakan Jess adalah cinta sejatinya, tapi yang jelas dia tidak bisa terima kalau putus sekarang.Itu sebabnya dia menyela jawaban Jess tadi.Mungkin saat kita memang menyukai seseorang, kita menjadi rendah hati."Ya sudah, teruskan saja." Revin berkata, "Bersama jauh lebih baik daripada nggak bersama."Seperti Revin, dia bahkan tidak punya kesempatan untuk bersama Reina.Erik justru menunggu kata-kata ini."Oke, kalau gitu terus bareng sampai bosan sendiri."Erik merasa kalau dia terus menyukai Jess, ada waktunya di mana dia akan merasa muak sendiri.Dia pernah jatuh cinta, apalagi pada cinta pertamanya yang sangat tidak terlupakan. Tapi baginya sekarang, semua itu hanya sekadar cerita masa lalu.Erik menutup tel
"Baik. Erik sangat baik sama aku. Tadinya dia nemenin aku buat nyari kamu, tapi karena sudah ke beberapa tempat kami nggak menemukanmu, dia pergi kerja dulu."Jess berkata seperti ini karena dia mau Morgan dan Erik mengesampingkan perseteruan mereka.Morgan merasa tidak nyaman dan berkata, "Selama dia memperlakukanmu dengan baik, itu bagus.""Ya."Jess tidak berkomentar lebih lanjut dan undur diri, "Kalau begitu aku pergi dulu."Dia juga mau memberi tahu Erik kalau dia sudah menemukan Morgan.Tapi Morgan tidak mau Jess pergi begitu saja, "Kita sudah lama lho nggak ngobrol. Makan bareng baru balik?"Jess menggeleng dan menolak."Nggak usah, Erik masih nunggu aku pulang.""Bukannya kamu bilang dia pergi bekerja?" Morgan langsung mengungkap kebohongan Jess, "Jangan khawatir, ini cuma makan dan ngobrol, nggak ada yang lain."Jess tidak bisa menolaknya lagi dan mengangguk setuju.Keduanya pergi ke restoran terdekat untuk makan bersama.Jess sengaja mencari tempat yang lebih mencolok di deka
"Ambil." Morgan berkata lagi, dengan nada yang tidak bisa ditolak.Namun, Jess tetap menolak menerimanya.Morgan tidak berdaya, "Bisa nggak kamu dengerin aku sekali saja?"Jess menunduk, "Tuan Morgan, aku nggak melakukan apa-apa buatmu, aku nggak bisa ambil uang ini. Lagian waktu aku mengundurkan diri, departemen keuangan sudah kasih bonus buatku. Aku nggak bisa terima uang ini."Setelah Jess selesai bicara, keduanya terdiam lama.Morgan menyesap tehnya, lalu entah mengapa dia bertanya dengan nada aneh, "Kalau misal terjadi sesuatu sama aku, gimana?""Hah?" Jess sangat terkejut, "Tuan Morgan, apa maksudmu?""Jangan panik gitu. Aku kan bilang 'misal'. Misalnya terjadi sesuatu sama aku, aku 'kan nggak punya teman, cuma kamu seorang. Nggak masalah 'kan kalau aku ngasih sebagian harta aku buatmu?" ucap Morgan.Jess merasa takut, "Tuan Morgan, jangan ngomong sembarangan, kamu akan baik-baik saja. Lagian, kamu masih punya orangtua dan kakak. Suatu hari nanti juga akan dapat teman.""Nggak. K
Jess membuka pintu rumah barunya bersama Erik dan mendapati di dalamnya kosong.Dia pikir Erik benar-benar pergi bekerja, jadi dia tidak menelepon Erik untuk bertanya.Dia duduk di sofa, mengeluarkan kartu yang diberikan oleh Morgan dan dengan hati-hati meletakkannya di lapisan paling dalam tasnya.Kemudian Jess mengirim pesan pada Erik, "Aku sudah ketemu Morgan. Dia baik-baik saja. Aku sudah pulang."Setelah memberi tahu Morgan kegiatannya hari ini, Jess merasa tidak ada kerjaan. Jadi dia menyapu dan membersihkan seluruh rumah, lalu istirahat sebentar dan mulai masak.Jess memasak makan malam dan menunggu Erik kembali untuk makan, tapi waktu berlalu dan ternyata Erik tidak kunjung pulang.Melihat makanan di atas meja sudah dingin, Jess pun khawatir dan menelepon Erik.Di sisi lain, Erik baru saja sampai dan melihat telepon dari Jess.Dia sudah melihat pesan teks yang dikirim oleh Jess sebelumnya dan merasa sangat bersalah, jadi dia tidak membalas Jess.Sekarang saat melihat Jess menel
"Terserah kalau begitu." Joanna berdiri dan hendak pergi.Melihat itu, Daniel langsung memanggilnya, "Kamu pasti juga kesulitan mengurus dua anak selama ini."Dulu, Daniel tidak secara langsung membesarkan anak-anaknya, jadi dia tidak mengerti. Dia merasa bahwa di rumah sudah ada pelayan, jadi membesarkan anak tidaklah melelahkan.Namun, sekarang kedua anaknya sudah besar, tetapi masih membuatnya khawatir. Dari sini dia sadar bahwa menjadi seorang ibu tidaklah mudah.Langkah kaki Joanna terhenti, tetapi dia tidak menoleh ke belakang dan kembali melangkah pergi.Di luar rumah, angin dingin menerpa wajahnya, seperti pisau dan terasa sangat menyakitkan.Kepala pelayan yang mengikuti di belakang Joanna segera menggunakan payung untuk menghalangi angin dingin untuknya.Joanna melambaikan tangannya ke arahnya. "Ini hanya angin dingin, nggak perlu pakai payung."Setelah itu, barulah kepala pelayan menarik kembali payung dari atas kepalanya.Joanna membiarkan angin dingin menerpa wajahnya, tet
Di dalam kamar hotel.Morgan setengah berbaring di tempat tidur, di depannya ada seorang wanita yang sedang menangis.Tubuh wanita itu penuh dengan luka dan seluruh tubuhnya menggigil. "Tuan Morgan, tolong lepaskan aku."Morgan menatapnya dengan malas."Aku nggak ingin ada yang tahu tentang apa yang terjadi hari ini."Wanita itu membeku, lalu mengangguk dengan cepat, "Ya.""Kamu boleh pergi."Wanita itu buru-buru beranjak dari lantai, mengambil tasnya dan segera pergi.Dia mengira bahwa dia telah mendapatkan berlian, tetapi tidak disangka bahwa Morgan tidak bisa.Wanita itu sedikit takut. Dia sengaja menyewa seseorang untuk mengambil foto mereka berdua setelah Morgan mabuk.Setelah keluar, dia buru-buru menelepon pria itu. "Fotonya jangan disebarkan.""Hah? Kenapa nggak bilang sejak tadi? Foto sudah diunggah di sosial media," jawab orang di ujung telepon.Hati wanita itu langsung berubah dingin. "Kamu benar-benar membunuhku!"Dia menutup telepon dan membuka ponselnya, mencoba melihat b
Jess menarik kembali tangannya secara refleks, menatap Erik dengan tatapan mendesak."Jangan begitu. Kita nikah dulu, baru tidur satu ranjang."Erik menatap wajahnya yang terlihat ketakutan, lalu menarik kembali tangannya tanpa daya. "Ya, terserah kamu saja. Kamu pasti lelah karena seharian bekerja. Kembalilah dan istirahatlah. Aku akan merapikan tempat tidur sendiri."Jess menggelengkan kepalanya dan merapikan tempat tidur dulu sebelum pergi.Setelah Jess pergi, Erik berbaring di tempat tidur. Dia sudah berpindah posisi berkali-kali, tetapi tidak bisa tidur.Dia mengambil ponselnya dan melihat pesan dari Revin, "Kenapa nggak angkat telepon?"Saat makan malam, dia dan Jess terlalu asyik mengobrol dan ponselnya dalam mode diam, jadi dia tidak tahu kalau Revin menelepon.Erik langsung menelepon balik."Kak, ada apa?""Kenapa baru telepon?" Revin bertanya dengan cemas."Oh, aku baru pulang dan nggak pegang ponsel, jadi nggak tahu kalau ada telepon," jawab Erik.Revin merasa lega mendengar
Jess membutuhkan sedikit waktu untuk kembali tersadar."Nggak ... nggak kok."Erik memeluknya erat-erat. "Aku sangat merindukanmu. Apa satu bulan ini kamu juga merindukanku?"Jess tidak tahu harus menjawab apa saat mendengar pertanyaan itu.Selama sebulan ini, mereka berdua sangat jarang berhubungan. Setiap kali mengobrol, itu hanya berupa kata-kata sapaan sederhana.Jess terdiam sejenak, baru menjawab, "Ya, begitulah."Erik mengulurkan tangannya untuk menyalakan lampu, menatap Jess dalam-dalam.Dia menunduk dan mencoba menciumnya lagi. Namun, detik berikutnya Jess terlepas dari pelukannya."Kapan kamu kembali? Sudah makan belum?" Jess mengganti topik pembicaraan setelah terlepas dari pelukan Erik dan bertanya dengan gugup.Erik sedikit bingung, tetapi sikapnya kembali pulih dengan cepat."Baru, belum lama, kok. Aku belum makan, kamu sudah makan?" tanyanya.Jess menggelengkan kepalanya. "Aku baru pulang kerja, jadi belum makan. Aku buatkan makanan dulu.""Ya, aku bantu." Erik mengikuti
Menit demi menit berlalu dan akhirnya tiba saatnya liburan sekolah.Reina membawa pulang kedua anaknya ke kediaman utama Keluarga Sunandar.Sekarang Reina pulang sekali atau dua kali seminggu agar dia bisa bersama kedua putranya yang masih kecil dan berkumpul bersama mereka.Karena sudah libur, anak-anaknya akan segera tiba. Orang-orang yang bekerja di luar juga akan segera pulang.Hari ini, Reina akhirnya menerima telepon dari Revin."Nana, Deron akhirnya ketemu.""Benarkah? Bagaimana kabarnya sekarang?"Reina belum mendengar kabar dari Deron yang sudah hilang selama lebih dari sebulan."Dia baik-baik saja, tapi sekarang dia dirawat di rumah sakit. Dia nggak bisa menghubungimu ataupun pacarnya untuk sementara waktu," kata Revin.Di rumah sakit?Firasat Reina mengatakan ada hal lain di balik semua ini."Apa lagi?" tanya Reina."Untuk detailnya, lebih baik kamu tunggu saja Deron sendiri yang menghubungimu dan menjelaskan," jawab Revin."Oke." Reina pun berhenti bertanya.Setelah menutup
Alana tidak punya waktu untuk bertanya pada Tuan Besar Jacob.Dia tahu bahwa Tuan Besar Jacob pasti akan membantu Jovan berbohong."Kalau gitu, sana periksa ke rumah sakit biar sembuh. Kalau sampai ini terulang lagi, aku nggak akan segan-segan kepadamu."Jovan menghela napas lega , lalu berdiri.Alana menunggu Jovan pergi, lalu buru-buru menyentuh seluruh tubuhnya untuk memastikan bahwa tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Barulah setelah itu dia menyerah.Sementara itu, Tuan Besar Jacob bangun pagi-pagi dan tidak terlihat di mana pun.Itu karena dia datang ke rumah sakit jiwa tempat Marshanda berada.Si direktur rumah sakit pun membawanya menemui Marshanda dengan hormat, "Tuan Besar Jacob, pasien ada di sini.""Jangan sampai Jovan tahu aku ke sini, paham?" kata Jacob.Si direktur rumah sakit langsung mengangguk, "Baik."Dia jadi bertanya-tanya siapa Marshanda. Bukan hanya Reina dan Jovan yang peduli, tapi sekarang Tuan Besar Jacob juga sampai datang ke sini.Tuan Besar Jacob meliha
Jovan pun mencondongkan tubuh ke arah Alana."Sungguh?""Terus, kenapa wajahmu merah begitu?" tanya Jovan sambil memperhatikan wajah Alana.Alana langsung berdiri membelakangi Jovan."Kayaknya kepanasan, suhu pemanas ruangan terlalu tinggi. Biar kukecilkan."Alana pun berjalan pergi untuk mengatur suhu pemanas.Jovan mengikutinya, "Hati-hati, pelan-pelan jalannya. Jangan terburu-buru."Entah kenapa, Alana merasa sangat panik."Iya, nggak buru-buru," jawab Alana dengan tegas.Jovan hanya tersenyum melihatnya tanpa mengatakan apa-apa.Alana memperhatikan tatapannya dan wajahnya menjadi semakin merah. Dia menurunkan suhu pemanas, lalu berbalik dan berkata, "Sudah, ayo tidur. Aku ngantuk."Mereka berdua sekarang tidur di ranjang yang terpisah, tapi masih satu kamar.Alana bergegas ke tempat tidur, lalu melepas mantelnya dan bergelung di bawah selimut.Jovan juga tidak bisa terus mengusik Alana, jadi dia berbaring di tempat tidur di sebelah Alana.Malam belum terlalu larut. Alana sama sekal
"Masa selama itu?" tanya Jovan sambil menggaruk kepalanya.Paling hanya sepuluh menit dari dia keluar, menelepon, lalu kembali masuk, 'kan?"Menurutmu? Kayaknya kamu sudah nggak perlu makan lagi," sahut Tuan Besar Jacob dengan dingin.Jovan menyadari kakeknya sedang marah. Dia pun mengerjapkan matanya pada Alana untuk bertanya apa yang sedang terjadi.Alana memperhatikan kode dari Jovan, tetapi dia berpura-pura tidak melihatnya. Dia menundukkan kepalanya dan melanjutkan makan sambil berkata, "Kakek, makanan hari ini enak juga.""Makanlah lebih banyak kalau enak," jawab Tuan Besar Jacob dengan lembut dan ramah, nada bicaranya dengan Alana bertolak belakang sekali saat dengan Jovan.Jovan berjalan, duduk untuk makan dan berkata sambil tersenyum, "Keterampilan memasakku lumayan juga, 'kan? Aku sudah bisa masak delapan macam hidangan sekarang."Namun, tidak ada yang memberikannya tanggapan apa pun sehingga Jovan terdiam kikuk.Alana dan Tuan Besar Jacob sibuk makan dan terus mengabaikan Jo
Jovan sontak terkejut. Marshanda sudah gila, ya?Dia ternyata masih berpura-pura gila!"Oke."Jovan pun melangkah maju dan mengambil ponselnya, "Kalian makan duluan saja, nanti kususul. Aku mau telepon balik dulu buat menanyakan detail situasinya."Jovan pun berjalan keluar sambil membawa ponselnya.Alana membantu Tuan Besar Jacob duduk di sebelah meja makan sambil bergumam, "Memangnya itu sesuatu yang nggak bisa kamu bicarakan di rumah? Masa iya harus pergi ke luar segala?"Tuan Besar Jacob menyadari Alana terlihat kesal, jadi setelah duduk pun dia bertanya, "Kenapa sih si Marshanda itu selalu menghantui Jovan?"Dia paling membenci wanita seperti Marshanda."Entahlah," jawab Alana dengan jujur."Kakek kenal Marshanda juga?" tanya Alana dengan penasaran."Mana mungkin nggak? Dia nyaris membuat Jovan kehilangan akal sehatnya beberapa tahun yang lalu. Setelah itu Jovan tersadar, jadi berhenti berinteraksi dengannya.""Ternyata dia malah menghubungi Jovan lagi," kata Tuan Besar Jacob samb