"Kamu ... kamu ngapain?" Adrian tergagap.Sepertinya Hanna baru sadar bahwa perbuatannya salah, jadi dia langsung melepaskan tangannya."Hmm ... aku nggak bermaksud melecehkanmu, jangan ambil hati ya." Hanna menjelaskan.Karena menunduk, Hanna tidak sadar kalau mata Adrian yang menatapnya memanas."Nona Hanna, kamu benar-benar nggak mengingatku?" Adrian tiba-tiba bertanya."Hah?" Hanna mengernyit bingung, "Kita sudah saling kenal sebelum ini?"Melihat ekspresi bingung di wajah Hanna, Adrian tahu bahwa Hanna pasti sudah melupakannya atau tidak mengingatnya."Nggak, mungkin aku salah ingat. Kalau nggak ada urusan lain, aku balik dulu."Adrian meninggalkan Hanna dan buru-buru berjalan ke halte.Hanna menatap punggung Adrian dari kejauhan, tapi tidak dapat mengingat di mana dia pernah melihatnya sebelumnya.Hanna menghela napas, "Hahh sudahlah, mendingan nggak cari gara-gara sama lelaki."Hanna trauma dengan kaum pria setelah beberapa kejadian kemarin.Hanna hampir ditipu beberapa kali dan
Reina merasa jika dia berhasil mengubah Diego, dia baru bisa menerima kebaikan Anthony tanpa rasa bersalah.Kalau Diego benar-benar tidak bisa berubah, maka Reina hanya akan membantu Diego untuk terakhir kalinya.Setelah selesai mengurus semuanya, Reina memejamkan mata dan hendak istirahat. Namun tiba-tiba ponselnya berdering, Maxime melakukan panggilan video.Reina mengangkat telepon itu dan terlihatlah wajah tampan Maxime di layar ponselnya.Reina mengernyit bingung, "Ada apa?"Sebelum Maxime menjawab, sebuah wajah kecil tiba-tiba muncul di layar ponsel Reina."Mama, rumah Mama pindah di rumah sakit ya?""Hah? Ya nggak lah. Mama 'kan di rumah sakit nemenin Nenek Liane. Nanti kalau nenek sudah sembuh, Mama juga pulang."Riki bukan anak tiga tahun, tentu dia tahu Reina berbohong."Mama, gimana kalau Mama bawa pulang nenek?" ucap Riki.Reina merasa tertekan.Sebenarnya, belakangan ini Liane juga sudah merengek ingin pulang.Kondisi Liane terlalu parah, tidak bisa disembuhkan. Daripada m
Liane tersenyum penuh arti saat melihat ruangan itu penuh dengan orang datang menanti kedatangannya."Terima kasih."Kelopak mata Liane terasa berat, dia hanya punya sedikit tenaga untuk mengobrol dengan orang-orang ini.Semua orang paham situasi Liane. Reina menyuruh suster mengantar Liane ke kamar untuk beristirahat.Riki ikut masuk ke kamar untuk menghibur Liane.Liane sedang berbaring di kasur, dia bahagia menatap Riki yang energik.Dia memanggil Reina dan berkata dengan lemah, "Meski hanya sebentar, Ibu merasa hidupku sangat bahagia."Reina menggenggam tangan Liane dan menyelimutinya."Ibu harus cepat sembuh supaya bisa main bareng sama keempat cucu ibu.""Oke."Liane kehilangan energinya, dia menutup matanya dan tertidur.Reina menatap wajah Liane yang sedang tidur cukup lama. Setelah itu dia menoleh menatap Riki dan berkata, "Riki, ayo keluar biar nenek bisa tidur nyenyak.""Oke."Riki mengangguk berulang kali dan mengikuti Reina keluar sambil berjinjit.Di lantai bawah, semua o
Angin dingin menderu-deru di luar dan rintik air hujan mulai turun.Sisil menatap ke langit, matanya tidak lagi berbinar seperti dulu, sekarang malah terlihat kesepian.Reina datang ke sisinya dan memanggil, "Sisil."Sisil tersadar dari lamunannya dan menatap Reina."Hm? Ada apa Bos? Pangsitnya sudah matang?"Reina menghela napas, "Baru juga mulai masak, mana mungkin sudah matan?""Oh.""Kamu kenapa? Kok sedih? Kamu kangen Deron ya?" tanya Reina.Belakangan Deron izin mau pulang, katanya ada urusan. Tapi Reina tidak tahu apa urusannya dan tidak bertanya.Sisil terdiam lama sebelum berkata, "Kayaknya ... aku dan Deron nggak mungkin sampai pelaminan.""Kok kamu bilang gitu?" Reina bingung.Sisil menarik napas dalam-dalam, "Aku juga nggak tahu kenapa. Kita sudah lama pacaran tapi aku masih belum mengenalnya dengan baik. Aku nggak tahu di mana rumahnya, siapa anggota keluarganya atau siapa dia. Aku juga nggak tahu sebenarnya apa yang ada di pikirannya."Reina juga bingung bagaimana harus m
"Nggak lama kok nyarinya." Maxime menjawab."Terima kasih.""Ngapain bilang terima kasih, dasar bodoh." Maxime menunduk dan mencium kening Reina.Reina menatap Maxime, mereka saling bertatapan untuk waktu yang lama, keduanya enggan untuk berpaling.Maxime tercekat, dia langsung membopong Reina ke kamar.Keesokan harinya, dini hari.Reina terbangun dalam pelukan Maxime. Saat membuka matanya, Reina melihat wajah tampan suaminya itu.Reina menatap Maxime dengan tenang dan menyadari bahwa setelah bertahun-tahun, pria itu tidak berubah sama sekali.Kini wajah Maxime terlihat lebih hangat dan lembut.Entah karena merasa ditatap Reina atau bukan, Maxime ikut terbangun.Melihat Reina sedang menatapnya, Maxime pun menoleh dan memeluk istrinya erat-erat. Dia bibir Reina, lalu bertanya, "Ngapain bangun pagi-pagi banget?"Reina bersandar di pelukan Maxime."Nggak bisa tidur."Belakangan ini Reina sering bermimpi macam-macam.Maxime membelai rambut Reina dan berkata, "Hmm ... kalau gitu kita ngobro
Nyonya Liz langsung meledak, "Apa? Ayahmu pergi memohon ke dia? Ayahmu itu pamannya, lebih tua pula!"Tia menghela napas."Hah, apa gunanya lebih tua? Reina aja nggak menganggapmu sebagai neneknya?"Nyonya Liz terdiam oleh ucapan ini.Tia menatap Nyonya Liz dengan hati-hati, dia pikir Nyonya Liz itu akan membuat perhitungan dengan Reina, tapi ternyata dia malah ikut terdiam."Nenek, kamu nggak akan membiarkan Reina kabur gitu aja, 'kan?"Tia memang minta maaf pada Reina, tapi dia masih cemburu dan berharap Reina akan tertimpa kesialan.Setelah terdiam cukup lama, Nyonya Liz berkata, "Hahh, sudahlah lupakan. Sekarang, kita nggak boleh sampai menyinggung Reina."Tia tercengang."Nenek! Sejak kapan Nenek jadi pengecut gini?""Kamu tuh nggak ngerti apa-apa! Ayahmu sudah bilang aku nggak boleh cari masalah lagi. Bahkan Diego aja nyuruh aku minta maaf sama Reina." Nyonya Liz sangat mendengarkan kedua putranya dan Diego.Tia tahu Nyonya Liz pilih kasih, tapi tidak menyangka akan separah ini.
Setelah Reina mendengar jawaban Nita, dia kembali bertanya, "Sekarang kamu sudah lulus kuliah, 'kan?""Yah, baru lulus," jawab Nita."Jadi, kamu sudah dapat kerja?" Reina bertanya.Hening sesaat sebelum Nita di ujung telepon menjawab dengan tergagap, "Be ... belum. O ... orangtuaku berencana menikahkanku ...."Nita menambahkan kalimat lain."Kak Nana, aku ... aku nggak mau menikah."Masalahnya, pria yang dijodohkan orangtuanya padanya adalah duda atau pria yang sudah tua bangka.Tanpa perlu bertanya, Reina sudah bisa membaca kondisi Nita. "Nita, hidup kita di dunia ini susah. Jadi, kita harus mikirin diri sendiri. Kalau kamu nggak mau menikah, ya nggak usah diiyakan. Jangan sampai kamu terkekang oleh keputusan siapa pun.""Tapi ... mereka orangtuaku ...." Nita merasa tidak berdaya.Nita yang sekarang persis seperti Reina yang dulu.Reina tahu betapa besar pengaruh keluarga pada pribadi seseorang dan hal ini tidak bisa diubah, jadi Reina hanya bisa menasihati dan membujuknya."Nita, kit
Tia selalu suka mengancam Nita dan Nita selalu patuh, tidak berani menolaknya.Tapi hari ini, Nita menarik napas dalam-dalam dan menjawab dengan tergagap, "O ... oke, laporin aja. Aku nggak takut."Tia tertegun. Dia tidak menyangka sepupunya yang gagap, yang dulunya begitu patuh padanya, sekarang begitu berani padanya."Nita, berani ya kamu sekarang? Lancang banget kamu ngomong kayak gitu ke aku? Aku datengin lho kamu, kasih kamu pelajaran!"Nita sebenarnya masih merasa takut dengan bentakan Tia.Tapi begitu teringat ucapan Reina, dia merasa dirinya tidak bisa menjadi pengecut seumur hidup."Oke, sini aja. Aku sudah bukan adik sepupu yang bisa kamu tindas kayak dulu. Kalau kamu mau memberiku pelajaran, aku temani kapan pun."Setelah itu, Nita langsung menutup telepon.Tia mematung di tempat, mendengar dering telepon putus di ponselnya.Dia benar-benar tidak menyangka Nita yang tadinya baik-baik saja akan menjadi seperti ini.Awalnya Tia mau mengeluh pada orangtua Nita, tetapi ketika he
Maxime mengangguk.Dia berkata, "Tapi kalau ke depannya dia hubungin kamu, kamu harus kasih tahu aku ya apa pun yang terjadi. Jangan sembunyiin dariku.""Oke."Reina langsung setuju, lalu menggandeng tangan Maxime yang ada di wajahnya sambil berkata, "Ayo pulang."Dengan bergandengan tangan, Maxime merasa sangat nyaman.Sekarang berbeda dari masa lalu. Dia sangat takut Reina akan meninggalkannya atau Reina direbut orang lain."Nana, kamu cinta nggak sih sama aku?"Sambil berjalan, Maxime tiba-tiba bertanya.Sekarang Reina benar-benar merasa Maxime ini aneh, dia berhenti melangkah dan menjawab, "Ya ampun kita sudah menikah berapa tahun, punya empat anak pula. Kamu kekanak-kanakan banget, ngapain nanya kayak gini?"Maxime menggenggam tangan Reina erat-erat."Jadi, kamu cinta nggak sama aku?" Dia menatap Reina dengan serius.Tangan Reina terasa sakit karena genggaman yang begitu erat. Reina hendak menjawab saat tiba-tiba Riki berlari ke arah mereka berdua."Mama, kalian dari mana?""Habis
Setelah Reina menutup telepon, dia bersiap memberi tahu Sisil.Namun tiba-tiba Maxime masuk.Maxime bisa melihat Reina yang gelisah, dia bertanya, "Kenapa? Barusan kamu telepon siapa? Kok kayak panik gitu?""Nggak ada, aku mau ketemu Sisil."Reina berjalan melewati Maxime dan buru-buru ke tempat Sisil.Reina yakin Sisil sangat khawatir karena sekarang Deron sendirian.Maxime melihat Reina meninggalkan ponselnya di atas meja. Jadi, Maxime hendak mengantarkannya pada Reina."Ting!"Ponsel Reina berdering, sebuah pesan muncul di layar ponsel Reina.Pesan yang masuk adalah dari Revin, "Nana, kamu harus jaga diri ya. Kalau ada apa-apa, harus kasih tahu aku. Kalau Maxime jahatin kamu, kamu juga harus ngasih tahu aku, pokoknya aku akan selalu siap di belakangmu."Maxime memicingkan mata.Maxime ingin membuka ponsel Reina, tapi kata sandinya sudah diubah.Pikiran Maxime langsung kacau. Setelah ragu-ragu untuk waktu yang lama, dia mematikan ponsel Reina dan hendak mengantarkannya.Reina sudah s
Maxime juga tidak buru-buru pulang. Dia menemani Reina dan menyelesaikan urusan Grup Yinandar sebelum akhirnya mereka pulang.Di bandara Kota Simaliki.Sisil sudah menunggu untuk menjemput mereka."Bos." Sisil melambai pada Reina.Reina melepaskan diri dari tangan Maxime, berlari menuju Sisil buru-buru dan memeluknya.Maxime cemburu melihat Reina lebih memilih sahabatnya daripada dirinya."Gimana kabarmu?" tanya Reina."Oke kok," jawab Sisil."Syukurlah."Sisil menggandeng lengan Reina dan berkata, "Bos, rasanya kalau nggak ada kamu, waktu berlalu sangat lambat."Bukan hanya karena Reina pergi, tapi juga karena Deron.Reina bisa melihat kekhawatiran Sisil. Setelah naik ke mobil, Reina pun bertanya, "Belakangan ini kamu dan Deron masih saling kontak, 'kan?"Sisil merasa sedih saat nama Deron diungkit. Sisil meremas telapak tangannya, lalu menjawab."Iya awalnya masih kontak, tapi beberapa hari ini aku nggak tahu kenapa, dia nggak angkat telepon aku, nggak balas pesan aku juga.""Kok bis
Karena dengan begitu, mereka sebagai orangtua bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Liane.Sayang, di dunia ini tidak ada 'kalau' ...Waktu berlalu sangat cepat, tidak terasa sudah beberapa hari berlalu. Setelah menyelesaikan pemakaman Liane, Reina berdiri di depan batu nisan dan saat. Itulah Gilbert datang menghampirinya, lalu menyerahkan surat wasiat pada Reina."Nona, Bu Liane meninggalkan ini untukmu sebelum dia meninggal."Reina mengambil surat wasiat itu dan melihat tulisan tangan Liane."Nana, maaf. Ibu nggak bisa menghabiskan lebih banyak waktu denganmu. Mungkin ini karma Ibu. Sejak Ibu berkuasa dan kaya, Ibu jadi sering gelap mata dan melakukan terlalu banyak kesalahan. Sekarang setiap kali Ibu teringat semua perbuatanku dulu yang hampir membuatmu dan Riko celaka, Ibu merasa sangat bersalah.""Kamu benar. Kalau kamu bukan putriku, mungkin Ibu nggak sadar kalau perbuatan Ibu itu salah.""Maafkan ibu ya Nana, Ibu sungguh bersalah sama kamu."Fokus dalam surat wasiat ini ad
Air mata Reina tidak bisa keluar, dia memanggil ibunya berulang kali.Semua orang di rumah pun masuk ke kamar. Dokter memeriksa Liane, sedangkan Maxime memeluk Reina.Reina hanya menatap tubuh Liane yang terbujur kaku di kasur, tubuhnya gemetar."Cepat, bangunkan ibuku."Setelah dokter melakukan pemeriksaan, dia balik badan menghadap Reina dan berkata dengan wajah sedih, "Pasien sudah meninggal."Kata "meninggal" menghantam Reina seperti batu besar. Sekujur tubuh Reina dingin.Dia menggenggam tangan Maxime erat-erat, tatapannya hampa."Baik." Maxime minta tim dokter keluar.Hanya Reina dan Maxime yang tersisa di kamar itu.Maxime memeluk Reina erat-erat sambil mengelus punggung Reina, "Menangislah kalau itu bisa membuatmu merasa lebih baik."Ketika Reina mendengar suara lembut Maxime, tangis Reina pun meledak.Yang paling Reina dambakan dalam hidup ini adalah cinta seorang ibu. Baginya, hal ini seperti sebuah harta karun. Awalnya Reina pikir dia tidak akan pernah mendapatkannya, namun
Dalam perjalanan pulang, Maxime dan Reina membicarakan tentang Joanna dan Daniel."Ucapan ayah sangat menyakitkan, pantas saja ibu maksa buat cerai," kata Reina.Sebagai seorang wanita, Reina bisa berempati dengan semua yang dialami Joanna.Maxime menggenggam tangan Reina dan berkata, "Suatu hari ayah pasti akan menyesal."Selama ini kontribusi Joanna terhadap Keluarga Sunandar terlihat nyata bagi semua orang, tetapi Daniel hanya fokus pada kesenangannya sendiri dan tidak melihat kontribusi istrinya."Yah, kuharap begitu."Reina mengangguk, "Semoga ayah bisa cepat sadar, jadi usaha ibu nggak sia-sia."Tidak terasa, mereka sudah sampai di kediaman Keluarga Andara.Mereka sekeluarga turun mobil bersama.Hari ini Riko juga dibawa pulang, tujuannya untuk menemani Liane.Di dalam rumah, Sisil menemani Liane di balkon dan bersama mengagumi pemandangan malam.Liane menjadi lebih bersemangat saat melihat Reina sekeluarga sudah pulang. Matanya berbinar, "Nana."Reina buru-buru menghampirinya, "
"Max itu anakku. Kamu bisa aja nggak kasihan sama dia, tapi aku sebagai ibu nggak bisa. Kalau kamu terlalu dekat sama Aarav, kamu bakal nyakitin anakmu sendiri!" Joanna menambahkan.Karena Maxime dan Reina masih di sana, Daniel merasa sangat malu.Dia mengibaskan tangannya, "Iya, aku ngerti. Masih ada anak-anak di sini, sudah nggak usah bikin keributan."Daniel menambahkan."Dulu kamu nggak kayak gini, kok sekarang makin nggak jelas."Joanna tercengang bukan main.Kalau bukan karena ada Maxime sekeluarga, dia akan benar-benar membuat perhitungan dengan Daniel.Maxime akhirnya angkat bicara, "Ayah, omongan ibu itu benar. Lain kali kalau keluarga paman datang, jangan panggil kami ke sini."Daniel tidak menyangka putranya akan memihak Joanna, jadi apa lagi yang mau dia katakan.Maxime melanjutkan, "Ayah dan ibu sudah bercerai, jadi Ayah tetap harus berhati-hati dengan ucapanmu."Perkataan Maxime membuat Joanna yang sedih langsung merasa lega.Matanya memerah dan hatinya tersentuh.Ternyat
Ekspresi Melisha langsung tidak enak dilihat dan dia tidak jadi minta Rendy mengambilkan makanan untuknya.Spontan, dia pun melirik Reina dan Maxime. Bahagia sekali Reina, meski piring lauk ada di depan piring Reina, Maxime tetap menyendokkan lauk itu ke piring Reina.Bahkan saat Reina melirik sebuah lauk, Maxime akan langsung mengambilkan untuknya.Melisha merasa masam. Kenapa suaminya tidak cakap dan seperhatian suami orang lain?Melisha jadi makin tidak puas, dia berharap bisa langsung menceraikan Rendy detik ini juga.Sayangnya seluruh harta Keluarga Sunandar kini berada di tangan ayah mertuanya, Aarav."Nana, kamu pasti bahagia ya."Reina menatap Melisha dan tersenyum, "Kak Melisha, memangnya kamu nggak bahagia? Atau Kak Rendy memperlakukanmu dengan buruk?"Melisha tercekat.Aarav langsung mengernyit dan berkata, "Melisha, ada hal kamu nggak puas dari Rendy?"Melisha buru-buru menggeleng, "Ah nggak, aku cuma ngomong aja kok. Aku Cuma bilang Nana pasti bahagia, tapi bukan berarti a
Maxime bahkan terlalu malas untuk menatap Daniel."Aku nggak bisa bantu." Kemudian, Maxime menatap Aarav, "Paman, dalam bisnis, Paman sebagai bos harusnya tahu nggak bisa mengabaikan kepentingan perusahaan demi keegoisan pribadi."Aarav jadi terlihat malu. Dia menyesap anggurnya, berdeham dan mengangguk, "Max benar. Daniel, sudah jangan nyusahin Max. Meski kita satu keluarga, tapi tetap aja di antara saudara harus ada hitungan yang jelas."Daniel tidak menyangka Maxime akan terang-terangan membantahnya.Daniel mengernyit dan sebagai kepala keluarga, dia berkata pada Maxime lagi."Max, kita ini satu keluarga besar. Kamu nggak bisa diam saja melihat bisnis pamanmu semakin terpuruk."Maxime tahu ayahnya adalah pria yang baik.Namun, Maxime langsung menyahut, "Ayah, bukannya aku nggak mandang saudara. Gini aja, aku punya manajer yang sangat hebat dan berbakat, aku taruh dia di perusahaan paman buat bantu dia di sana, gimana?"Jawaban ini membuat semua orang tercengang.Terutama Aarav sekel