"Melisha, maaf, ini semua salahku." Rendy duduk di kursi roda dan keluar dari kamarnya.Melisha kembali menatapnya.Kali ini Rendy merasa sangat bersalah. Sebagai seorang suami dan ayah, dia tidak dapat membantu istri dan anaknya.Melisha sangat membenci Rendy, tapi dia tidak menunjukkannya."Kenapa kamu keluar?" Melisha menghampiri Rendy."Kamu nggak balik-balik ke kamar sih, jadi aku keluar, takut terjadi sesuatu padamu," jawab Rendy.Setelah itu, Rendy meraih tangan Melisha, "Melisha, kayaknya kita harus menyerah.""Hah? Menyerah apa?"Kata 'menyerah' membuat Melisha kembali mengernyit."Sekarang kita sudah punya semua yang kita inginkan. Nggak perlu lah rebutan sama Maxime dan yang lain. Lagian Grup Rajawali 'kan memang dibangun Maxime. Kita 'kan punya warisan dari kakek, cukuplah."Sebagai keluarga kaya, Keluarga Sunandar tentu tidak bergantung pada satu perusahaan saja.Tuan Besar Latief punya banyak uang dan berbagai koneksi.Ekspresi Melisha terlihat dingin, "Kenapa sih kamu ng
"Hahh, aku benar-benar nggak nyangka kamu bakal jadi kayak gini."Kata-kata Melisha mengandung banyak maksud tersembunyi.Dia masih ingat cara Marshanda memamerkan kekuatannya di depan Reina."Marshanda, kamu masih ingat nggak ucapanmu di depan teman-teman Reina dan Maxime, juga di depan wartawan? Bukannya kamu bilang kamu mau merebut Maxime kembali?"Wajah Marshanda langsung memucat."A, aku salah. Aku nggak berani berpikir atau bicara sembarangan lagi."Setelah itu, Marshanda menatap Melisha dengan penuh harap, "Nona Melisha, tolong bantu aku, aku cuma mau hidup kayak orang normal."Melisha sangat kecewa pada Marshanda dan berbalik untuk pergi."Nona Melisha!" Marshanda menyusul Melisha.Melisha berbalik dan membentaknya, "Jangan ikuti aku, atau aku akan kasih kamu pelajaran!"Langkah kaki Marshanda terhenti.Saat Melisha pergi dari rumah Marshanda, perasaannya makin nggak karuan.Kalau Marshanda masih punya semangat juang, dia masih bisa membantu, tapi sekarang sepertinya wanita itu
Maxime langsung menolak permintaan Marshanda.Tapi Marshanda menolak, "Maxime, cuma ini permintaanku. Aku nggak mau yang lain."Maxime terkekeh."Harusnya kamu tahu meski kita pacaran, kamu nggak akan dapat apa-apa. Aku sama sekali nggak suka sama kamu dan kamu nggak mungkin bisa jadi istriku."Maxime menjelaskan semuanya dengan jelas.Maxime pikir Marshanda akan menyerah, tapi tiba-tiba dia berkata, "Nggak masalah, aku nggak mau apa pun. Aku cuma mau jadi pacarmu selama satu tahun.""Maksudmu, kamu cuma mau status?" tanya Maxime.Marshanda mengangguk sungguh-sungguh.Maxime pun menyetujuinya.Begitu Maxime setuju, orang pertama yang Marshanda beri tahu adalah Reina.Dia tahu Reina menyukai Maxime."Nana, kamu tahu nggak? Maxime ngaku dia suka sama aku, jadi sekarang kami pacaran, senang banget deh! Kamu ikut senang, 'kan?"Sampai saat ini, Marshanda masih ingat wajah pucat Reina hari itu.Itu adalah pertama dan satu-satunya saat di mana Marshanda bisa mengalahkan Reina dan mendapat se
Di rumah Keluarga Tambolo.Setelah Tuan Besar Jacob tahu Riko akan pergi ke rumah nenek Reina, dia menyuruh orang menyiapkan segala sesuatunya."Riko, sampai di sana ingat ya buat telepon Kakek. Kalau nggak, Kakek kangen nanti."Riko mengangguk dengan patuh, "Jangan khawatir, Kakek buyut."Tuan Besar Jacob menatap Riko dengan tatapan tidak rela.Keesokan harinya, dia sendiri yang mengantar Riko ke bandara.Di dalam bandara.Liane, Reina dan Riki semuanya sudah datang.Tuan Besar Jacob juga bicara dengan Liane, baru setelah itu dia pulang.Liane menatap punggung Tuan Besar Jacob itu dan menghela napas, "Tuan Besar Jacob sayang banget ya sama Riko.""Ya."Tuan Besar Jacob sangat baik pada Riko, sama seperti cicitnya sendiri. Sekarang Riko sampai punya banyak aset Keluarga Tambolo."Di usia setua ini, dia pasti sangat ingin punya cicit sendiri," ucap Liane.Dulu sebelum menemukan Reina, Liane juga merasa sangat iri ketika melihat orang lain seusianya sudah punya cucu.Terkadang, dia sampa
"Ini Riko dan Riki?" Mata nenek Reina berbinar saat menatap si kembar.Riko dan Riki menyapa dengan sopan, "Nenek buyut, Kakek buyut.""Ya! Sini ke Nenek dan Kakek, ayo kita masuk dulu."Nenek Reina makin bahagia saat mendengar cicitnya memanggilnya.Wajah Kakek Reina juga terlihat penuh kegembiraan. Awalnya mereka pikir Keluarga Yinandar tidak akan punya penerus, tapi sekarang mereka tidak perlu khawatir sama sekali.Saat berjalan masuk, mereka pun bertanya, "Dua cicitku lagi mana?"Liane menjawab, "Mereka masih terlalu kecil. Aku takut mereka nggak bisa menyesuaikan diri dengan tempat asing, jadi nggak aku ajak. Lain kali aja ya."Kedua orangtua Liane melambaikan tangannya berulang kali, "Nggak apa-apa. Lain kali kami yang akan datang ke Kota Simaliki buat ketemu mereka.""Hah?" Liane tercengang.Awalnya Liane mau melarang karena usia kedua orangtuanya sudah tua, tapi sebelum sempat menyahut, Naria menyela.Naria menatap Liane dan berbisik. "Kak, mereka lagi senang, jangan membuat me
Di kamar tidur besar, terdapat sebuah kasur seperti zaman kerajaan.Mungkin lebih tepatnya bukan kasur, tapi kamar.Reina dengar, konon ceritanya wanita zaman dulu bisa seharian berdiam diri di kasur. Reina sampai bingung kenapa mereka diam di kasur.Sekarang setelah dia melihat kasur yang disiapkan oleh kakek dan neneknya, Reina baru tahu alasannya. Karena kasur ini sudah dilengkapi dengan meja rias, wastafel dan perkakas lainnya. Pantas saja para wanita kaya raya zaman dulu betah tinggal seharian di kasur.Katanya tempat tidur seperti ini harus disiapkan sebelum anak lahir.Setidaknya butuh waktu lima tahun untuk membuatnya.Harganya sudah pasti tidak ternilai.Reina masuk dan berbaring di kasurnya.Reina pun berandai-andai. Kalau dulu tidak terjadi kecelakaan, kalau dulu dia tidak dimasukkan ke panti asuhan, bukankah dia bisa menikmati kasih sayang keluarga yang begitu hangat ini?Sayang, di dunia ini tidak ada kata 'kalau'.Reina tersadar. Sekarang dia merasa beruntung karena akhir
"Kamu aja nggak pulang, ngapain aku pulang? Kalau kamu kerja di sini selama setahun, ya aku juga akan kerja di sini. Kita akan balik bareng tahun depan." Jovan memutuskan.Alana tercengang dan langsung berkata, "Sebagian besar bisnis Keluarga Tambolo 'kan ada di Kota Simaliki, bukannya kamu malah bikin kacau kalau ada di sini? Lagian Kakek sudah tua lho, harus ada yang jagain. Mendingan kamu pulang deh."Jovan menatap Alana dengan tajam, mencoba membaca pikiran istrinya ini."Alana, kenapa aku ngerasa kamu ngusir aku dari sini? Kenapa?"Alana tercekat.Jovan terus bicara, "Bukannya enak kalau aku di sini? Kita 'kan bisa saling jaga satu sama lain?"Alana tidak tahu bagaimana harus menjawab.Alana memalingkan wajah dan mengepalkan tangannya."Pokoknya, aku mau tinggal di sini sendirian. Kamu pulang saja. Aku nggak mau sama kamu."Ucapan Alana menusuk hati Jovan seperti jarum.Jovan tiba-tiba merasa ruangan itu terasa pengap.Jovan mengesampingkan semuanya dan bertanya dengan nada menggo
Alana bukannya tidak peduli dengan kesehatannya, ini semua karena dia hamil muda dan hanya sedikit makanan yang bisa dia telan. Kalau Alana paksa, dia bisa muntah.Hari ini kebetulan nafsu makannya bagus, Alana pun makan dengan lahap.Kata dokter, dengan kondisinya saat ini, dia boleh makan apa pun yang dia bisa makan, yang terpenting adalah tidak kelaparan.Sesampainya di hotel, Alana masih ingin makan camilan saat tiba-tiba perutnya terasa mual.Alana tidak bisa menahan diri dan langsung berlari ke kamar mandi untuk muntah.Jovan langsung mengikuti dan membawakan tisu serta air hangat untuknya."Kamu sakit perut? Ayo kita ke rumah sakit."Alana yang tahu kenapa dia muntah pun melambaikan tangannya berulang kali, "Nggak, aku nggak mau ke rumah sakit.""Kenapa kamu bandel ya? Sudah sebesar ini masih jajan makanan nggak sehat. Disuruh ke rumah sakit, juga nggak mau."Jovan yang mengkhawatirkan Alana pun menggerutu."Alana belum pernah merasa Jovan begitu menyebalkan dan membuatnya marah
Revin memang cukup terlambat saat menikah. Belakangan, dia menelepon Reina dan mengatakan bahwa dia punya anak.Maxime sedikit tercengang. "Dia punya anak dari mana? Bukannya dia nggak nikah?"Sejujurnya, Maxime juga mengagumi Revin.Sebagai seorang pria, dia sangat menyukai Reina dengan sepenuh hati dan perasannya tidak pernah berubah.Maxime menduga bahwa Revin tidak pernah menikah karena Reina.Setiap kali mendengar tentang Revin, Maxime langsung ketakutan, takut pria ini akan datang dan merebut istrinya."Katanya sih bayi tabung," kata Reina.Maxime mendengarkan dengan serius. "Siapa ibu dari anak itu?"Reina menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu, katanya sih rahasia dan nggak ada yang tahu siapa ibu dari anak itu. Tapi, Revin sangat luar biasa. Gen yang dia pilih pasti sangat bagus juga."Mendengar ini, Maxime mengangguk setuju.Hatinya sangat lega.Dia sudah sangat tua, sekarang Revin akhirnya memiliki seorang anak sendiri. Dia seharusnya tidak lagi akan memiliki ketertarikan
Jess tidak tahu apa yang ada di pikiran Erik. Dia mengangkat tangannya dan menepuk pundaknya. "Bodoh, mana mungkin aku nikah sama orang lain, aku saja sudah punya kamu sama anak kita."Erik menganggukkan kepalanya dan tersenyum. "Aku tahu kalau istriku ini memang sangat mencintaiku. Cuma aku, 'kan?"Jess ragu-ragu sejenak, tetapi dengan cepat mengangguk."Ya, tentu saja."Keraguannya yang sangat tipis ini masih bisa ditangkap oleh Erik.Itu juga pertama kalinya Erik menyadari bahwa dia bisa menjadi begitu peka dan perasa, seperti seorang wanita.Dulu, hanya wanita yang selalu khawatir dia macam-macam. Sekarang, keadaan berbalik dan dia selalu mengkhawatirkan Jess.Ada pepatah yang ternyata memang benar.Jika dunia bertanya apa itu cinta, cinta adalah sesuatu yang bisa menaklukkan segalanya.Jess adalah orang yang bisa menaklukkannya....Lima belas tahun telah berlalu.Tanpa disadari, keempat putra Reina dan Maxime telah tumbuh dewasa dan semuanya sangat tampan.Riko adalah yang paling
Entah kebetulan atau tidak, Jess yang saat itu berada jauh di Kota Simaliki juga bermimpi.Dalam mimpi itu, dia benar-benar menikah dengan Morgan dan memiliki seorang anak.Ketika terbangun dari mimpi itu, entah kenapa hati Jess terasa kosong. Dia tidak tahu kenapa ada emosi rumit di dalam hatinya.Dia menoleh ke samping, melihat seorang anak kecil yang sedang tidur di sampingnya.Di sisi anak itu ada suaminya, Erik.Wajah pria itu terlihat tampan saat tidur. Saat sinar matahari menyinarinya, dia terlihat makin memukau.Sudut mulut Jess tanpa sadar terangkat. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh putranya yang menggemaskan, sebelum meletakkan tangannya di sisi wajah Erik dan menyentuhnya.Erik merasakan sentuhan di wajahnya. Dengan mata terpejam, dia mengangkat tangannya dan meraih tangan Jess, menariknya ke pelukannya."Tanganmu dingin? Sini aku hangatkan." Dia bahkan tidak membuka matanya dan apa yang dia lakukan tampak natural.Jess memperhatikan tindakannya dan hatinya menjadi hanga
Mata sipit Maxime sedikit menyipit. "Apa itu?"Sulit untuk menyembunyikan ketegangan di wajah Morgan."Itu cuma koran. Aku bosan dan mau mengisi waktu luang. Jangan diambil, ya?"Melihat raut wajahnya, Maxime tahu bahwa itu jelas bukan koran biasa.Maxime kembali menepis Morgan, berjalan dengan cepat untuk mengambil koran itu.Maxime membukanya dan isinya penuh dengan informasi tentang Jess.Morgan menerjang ke arah Maxime, seolah-olah rahasianya telah terbongkar.Namun, dengan kondisi fisiknya saat ini, Maxime bisa menghindar dengan mudah.Suara Morgan terdengar serak, "Kembalikan, ini milikku!"Maxime menatapnya dengan acuh."Sepertinya kamu lebih peduli sama asistenmu itu daripada Nana."Morgan tersipu malu."Apa kamu bercanda? Siapa juga yang suka sama dia. Aku nggak tertarik sedikit pun sama dia."Dia masih bersikap keras kepala.Maxime bisa melihatnya. Aktingnya benar-benar sangat kentara."Kalau begitu akan aku bawakan koran lain biar kamu bisa baca."Setelah mengatakan itu, Max
"Sekarang, semuanya sudah jelas, jadi mulai sekarang kamu nggak perlu menjagaku lagi. Aku baik-baik saja," kata Reina.Namun, Maxime menggelengkan kepalanya. "Nggak, sekarang aku nggak terbiasa."Dia mengikuti Reina setiap hari, jadi tidak terbiasa jika harus terpisah darinya.Reina tidak berdaya ketika melihat ini."Baiklah, tapi kamu harus berubah secara perlahan."Terus menempel pada orang lain juga cukup merepotkan.Dia juga menginginkan waktu untuk dirinya sendiri.Maxime mengiakan, "Ya, terserah kamu saja."Keesokan harinya.Maxime benar-benar tidak mengikuti Reina ke tempat kerja. Dia mengutus seseorang untuk menjaganya, sementara dia sendiri kembali ke IM Group untuk bekerja.Ketika Gaby dan Sisil mengetahui bahwa Maxime telah kembali ke IM Group, mereka semua terlihat terkejut."Kenapa Pak Maxime tiba-tiba berubah pikiran?" Gaby terkejut.Sisil berbisik, "Bos, apa kalian bertengkar?"Reina menggelengkan kepalanya. "Nggak kok, hubungan kami baik-baik saja. Aku mencoba bicara ba
Reina tidak mengerti apa yang terjadi dengan Maxime, kenapa dia terus mengungkit-ungkit soal kegagalannya dalam melindunginya?"Sudah kubilang, kejadian itu bukan apa-apa, bukankah cuma leherku yang terluka? Itu semua sudah berlalu," kata Reina tanpa daya.Ketika Maxime mendengar kata-katanya, sekelebat keterkejutan melintas di matanya.Mendengar apa yang dikatakan Reina, dia menyadari bahwa dia sepertinya sudah salah paham."Nana, kamu cuma terluka di bagian leher, nggak ada yang lain?" tanya Maxime.Reina mengangguk. "Ya, memangnya apa lagi?"Maxime menyadari bahwa dia dipermainkan oleh Morgan.Pantas saja, jika hal seperti itu terjadi kepada Reina, kenapa dia masih begitu santai dan tidak terbebani?Sebelumnya, dia mengira Reina menyembunyikan semuanya karena kenyataan itu terlalu sulit untuk diterima.Saat ini, melihat perubahan ekspresi di wajah Maxime, Reina tersentak mengerti."Jangan bilang kamu mengira aku dilecehkan sama Morgan?" katanya dengan pelan.Sudut mulut Maxime berke
"Oh, kalau begitu dia cukup beruntung, bisa menikah sama pria baik-baik," kata penjaga itu sambil mengeluarkan sebuah apel, lalu menggigitnya.Morgan terdiam dan tidak mengatakan apa-apa.Dia terus membuka kertas di depannya, yang sebagian besar menceritakan bagaimana Jess dan Erik jatuh cinta.Simpul di tenggorokan Morgan bergulir sedikit saat dia menunjuk Jess dan berkata, "Pria yang dulu dia sukai itu aku."Penjaga sedang memakan apel dan hampir tersedak saat mendengar kata-katanya."Ehem. Lalu, kenapa dia bisa nikah sama orang lain?"Mendengar kata-kata itu, dada Morgan terasa sesak dan dia tidak bisa menjawab pertanyaannya.Ya, bagaimana bisa wanita yang sangat jelas-jelas begitu mencintainya bisa menikah dengan orang lain?"Aku nggak tahu, tapi itu karena seleranya buruk."Penjaga itu berdecak, "Belum tentu, Erik itu pewaris Keluarga Casco, sementara kamu sekarang ...."Dia menggelengkan kepalanya sambil melangkah pergi.Morgan tinggal sendirian di dalam kamar dan batuknya makin
Suasana di dalam mobil sangat hening, membuat sopir merasa sedikit tidak nyaman.Namun, tepat pada saat itu, ponsel Maxime berdering.Dia mengangkat ponselnya dan mengerutkan kening."Ya?" Dia sengaja mengecilkan suaranya agar Reina yang tertidur di sampingnya tidak terganggu.Pria di seberang sana berkata, "Bos, Morgan ingin bicara denganmu."Maxime melirik Reina, matanya terpejam seolah-olah dia tertidur."Berikan kepadanya.""Ya."Tidak butuh waktu lama sampai panggilan itu berganti dan suara Morgan yang agak lemah terdengar, "Ehem, Kak, berapa lama lagi kamu akan menahanku di sini?"Mendengar itu, Maxime mengeluarkan tawa pelan."Ini baru setahun dan kamu sudah nggak sanggup?"Morgan tidak mengatakan apa-apa.Maxime melanjutkan, "Karena aku mengirimmu ke sana, aku nggak berniat membawamu kembali."Satu kalimat itu seperti memberi Morgan hukuman mati.Mata Morgan langsung memerah."Apa kamu bercanda? Uhuk ... uhuk ... uhuk. Aku nggak bisa bertahan lebih lama lagi sekarang," katanya.
Keduanya bercanda selama beberapa saat sebelum Reina menutup telepon.Melihat bahwa waktu pulang kerja hampir tiba, Reina berencana mengajak Sisil dan yang lainnya berbelanja dan makan bersama. Namun, dia tidak menyangka Maxime akan bangun dan menghampirinya."Nana, ayo pulang ke rumah."Saat mengatakan itu, matanya berbinar-binar.Selama setahun ini, Maxime sudah betah di Grup Yinandar dan tidak mau pindah.Reina sangat tertekan. "Aku mau jalan-jalan, kamu pulang saja dulu.""Kamu mau jalan-jalan ke mana? Aku temenin, ya?" tanya Maxime.Reina tidak bisa berkata-kata.Maxime selalu seperti ini. Reina bahkan tidak bisa pergi berbelanja dengan teman dan sahabatnya ketika dia ingin."Nggak jadi deh. Kalau kamu ikut, kita nanti jadi nggak nyaman."Maxime mendekatinya dan menggenggam tangannya. "Aku yang akan bayar apa pun yang kalian beli."Bagaimana lagi, demi bisa berada di sisi Reina setiap saat, Maxime harus menyenangkan teman-teman dan sahabat Reina.Sisil membawa banyak dokumen saat