Erik tidak punya pilihan selain menyerah saat melihat keempat wanita itu dan para pengunjung lain menatapnya."Sudahlah."Dia menatap Sisil untuk terakhir kalinya dan sebelum pergi, dia berkata, "Maaf, aku mengagetkan kalian."Setelah Erik pergi, kekacauan pun berakhir dan para penonton pun bubar.Jess menatap Reina dan yang lainnya dengan penuh rasa terima kasih dan berkata, "Terima kasih.""Nggak apa-apa, kita semua sama-sama wanita, jadi harus saling membantu," kata Sisil sambil tersenyum."Ya."Jess hendak melangkah pergi, tapi Reina menghentikannya, "Mau pergi belanja bareng?"Bagaimana kalau nanti Erik kembali lagi?Jess ragu-ragu sejenak dan mengangguk, "Oke."Mereka pun jalan-jalan bersama.Firasat Reina memang tepat, Erik tidak benar-benar pergi. Dia dari kejauhan menyuruh orang mengawasi Jess.Anak buah Erik merasa situasi ini agak keterlaluan, "Bos, nggak sopan deh kayaknya kita membuntuti wanita kayak gini?"Dia jadi merasa dirinya mesum.Erik duduk kembali di dalam mobil,
Rombongan Reina yang baru pulang pun kebetulan melihat Liane.Sisil mengernyit bingung, "Ngapain dia di sini lagi?""Mungkin dia nyariin Nana," kata Gaby.Reina meminta mereka berdua pulang dulu, lalu dia berjalan menghampiri Liane sendirian.Liane berdiri melamun, jadi dia tidak sadar Reina menghampirinya."Bu Liane."Suara ini menyadarkan Liane, dia menoleh, "Nana."Reina mengangguk, "Ada urusan apa ke sini?"Liane menggeleng pelan, "Ah, nggak ada."Reina hendak pergi, tapi Liane memanggilnya."Nana, boleh temani aku jalan-jalan? Kita bisa sekalian mengobrol." Liane berujar dengan penuh harap.Reina menatap mata Liane yang memohon, dia tidak enak hati menolak dan akhirnya mengangguk."Oke."Mata Liane berbinar, dia sangat senang.Dia mendekati Reina dengan hati-hati dan berjalan berdampingan dengan Reina seperti seorang ibu bertanya pada anaknya, "Hari ini kamu ke mana saja?""Baru selesai belanja, besok temanku akan menikah," jawab Reina."Oh," Liane mengangguk, "Apa besok aku boleh
"Sama-sama," jawab Reina.Tenggorokan Liane terasa seperti tertusuk jarum saat melihat bekas luka di wajah Reina."Kalau begitu aku pulang dulu.""Oke." Reina masih terlihat tenang.Liane merasa semakin sedih melihat sikap Reina.Liane dengan enggan memaksa dirinya untuk berjalan keluar.Setelah masuk ke dalam taksi, dia tidak lupa melihat kembali ke arah Reina hingga anak itu menghilang dari pandangannya.Liane langsung menelepon sekretarisnya, "Siapkan hadiah pernikahan."Sekretaris Liane mengernyit bingung, "Sepertinya nggak ada keluarga klien yang akan menikah?""Teman Nana yang menikah, siapkan hadiah seperti klien VIP," pinta Liane."Baik."Sekretaris Liane langsung menyiapkan.Sekretaris Liane agak iri dengan Reina yang punya ibu seperti Liane.Sayang sekali keduanya terpisah selama puluhan tahun dan Reina menjalani hidup yang sulit.Jika Reina tumbuh besar di bawah Liane, pastinya dia sudah jadi putri yang diagungkan di seluruh kota....Di kediaman utama Keluarga Andara.Reina
Reina terlihat enggan, "Aku sudah janji sama Gaby.""Biar aku telepon Gaby, dia pasti tahu prioritas," ucap Maxime sambil mengangkat ponselnya.Reina tidak mau mengingkari janjinya begitu saja, jadi dia langsung merebut ponsel itu, "Jangan."Maxime yang lebih tinggi dari Reina pun dapat dengan mudah menyambar ponsel itu lagi, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sehingga Reina tidak bisa mengambil balik.Reina yang panik pun berjinjit untuk merebut ponsel itu.Begitu Jovan datang, dia langsung menyaksikan momen seperti ini. Jovan pun berdeham.Reina baru sadar kalau dia sudah hampir sepenuhnya bersandar pada Maxime. Reina langsung mundur beberapa langkah dan wajahnya merona merah.Jovan pura-pura tidak melihat apa pun dan berjalan menghampiri, "Kak Max, kalau nggak ada urusan lain aku pulang dulu ya. Tenang saja, Kak Reina nggak apa-apa kok, wajar kalau dia sakit kepala sedikit."Reina pun menyambut jawaban baik ini."Lihat, Dokter Jovan saja sudah ngomong gitu. Ayo pulang, nggak usah tele
̋Jam tujuh pagi, Ekki datang bersama sekelompok pengiring mempelai pria.Hari ini dia sangat bangga karena semua orang penting di Kota Simaliki datang menghadiri pernikahannya.Semua orang melihat kediaman utama Keluarga Andara dengan kagum, "Pak Ekki benar-benar luar biasa. Pernikahan ini bahkan lebih bagus daripada pernikahan anak orang kaya.""Dia itu tangan kanan Maxime, pasti nggak bisa dibandingkan sama orang kaya biasa."Semua orang membicarakannya.Reina dan Sisil berjaga di depan pintu kamar Gaby, mereka menyiapkan berbagai permainan untuk pengantin pria mainkan, sebelum bisa masuk menjemput Gaby.Gaby yang duduk di dalam kamar terlihat sangat gugup, tidak lupa dia berpesan, "Jangan tega-tega ya sama Ekki, dia itu nggak bisa minum banyak.""Iya, iya. Belum sah aja sudah protektif banget," goda Sisil.Ayah Gaby berkata, "Sekarang kita harus membuatnya sedikit menderita, masa aku menikahkan putriku tersayang begitu saja? Kalau terlalu gampang, nanti si Ekki nggak menghargai Gaby
"Oke." Gaby setuju, "Maaf ya merepotkan."Reina mengambil ponselnya dan menghubungi Liane.Saat ini Liane sedang berada di kantor. Begitu melihat telepon dari Reina, dia sangat bersemangat dan langsung menjawabnya, "Nana, ada apa?""Ah, temanku menerima hadiahmu dan bertanya apa kamu ada waktu hari ini? Dia mengundangmu ke pesta," ucap Reina.Liane menyibukkan diri hari ini setelah ditolak Reina kemarin.Begitu mendengar ucapan Reina, tanpa ragu sedikit pun, dia langsung menjawab, "Kosong kok. Di mana Nana acaranya? Aku datang.""Oke."Reina langsung mengirimkan alamat acara pernikahan Ekki dan Gaby ke Liane.Setelah Liane menerimanya, dia berdiri.Sekretaris Liane berkata, "Bu Liane, nanti ada janji temu dengan klien.""Undur semuanya, aku ada urusan penting," ucap Liane.Karena sudah tua, sebenarnya Liane tidak terlalu peduli dengan urusan perusahaan. Yang dia inginkan hanya menghabiskan lebih banyak waktu dengan putrinya."Ya." Meski sekretarisnya bingung, dia tetap mengangguk dan m
Syena tersenyum lembut, "Nggak deh, aku takut kalau kebanyakan bareng dia, aku nggak bisa lupain dia waktu nanti dia meninggal."Liane terdiam."Bu, yuk masuk bareng. Rasanya sudah lama sekali aku nggak datang ke pernikahan semeriah ini.""Oke."Liane membawa Syena bersamanya.Sesampainya di lobi, Liane melihat sekilas Reina dan yang lainnya.Hari ini Reina menjadi pengiring pengantin. Dia mengenakan gaun berwarna merah muda dan hanya merias tipis wajahnya, tapi sudah terlihat begitu cantik.Liane hendak menghampiri Reina, tapi dihentikan oleh Syena."Bu, kayaknya adik lagi sibuk deh, mendingan kita nggak ganggu. Kita duduk di sana aja yuk?"Yang paling ditakuti Syena sekarang adalah Liane terus berhubungan dengan Reina.Sudah tidak banyak berhubungan saja, Liane merevisi surat wasiatnya. Bagaimana kalau Liane dan Reina makin dekat? Bisa-bisa Liane memberikan semua warisan pada Reina, 'kan?Kalau itu terjadi, Syena tidak akan punya apa-apa."Oke."Liane tidak berpikir macam-macam, dia
"Aku pikir cantik, ternyata kalau dilihat dari dekat, dia punya bekas luka di mukanya. Mana mungkin anak orang kaya mau sama dia?" bisik seorang gadis.Mereka pikir Reina datang untuk mencari ribut dengan mereka, jadi satu per satu pun duduk tegak dan menatap Reina dengan tatapan mengejek.Tidak ada yang menyangka ternyata Reina berjalan melewati mereka dan mendatangi Liane."Bu Liane, Nona Syena, apa kalian butuh sesuatu?" Reina bertanya dengan sopan.Liane langsung berdiri.Ketika para wanita itu mendengar Reina memanggil nama Liane, seketika mereka langsung menoleh.Ternyata memang benar Liane, apa wanita pengiring pengantin ini benar-benar mengenal Bu Liane?Masa dia datang untuk mencari koneksi?Liane menggeleng, "Ibu nggak butuh apa-apa kok, apa Ibu ganggu kamu?"Ibu?Mereka yang tadi meremehkan Reina langsung terkejut."Hah? Dia Reina? Istri Maxime dan putri kandung Liane?""Ah, Reina!"Para wanita itu berbisik pelan-pelan. Meski tidak dapat mendengar apa yang mereka katakan, Li
Gaby tidak menyadari bahwa dia yang memberikan pekerjaannya kepada Maxime, tetapi suaminya yang menerima akibatnya."Gaby, maaf, hari ini aku harus lembut, jadi nggak bisa jemput kamu. Kamu pulang sendiri dan tunggu aku di rumah ya?"Ekki berkata dengan rendah hati di dalam telepon.Gaby mengerutkan kening. "Kenapa kamu lembur lagi? Akhir-akhir ini kamu lembur setiap hari, apa perusahaan sesibuk itu?""Ya, perusahaan memang lagi sibuk sekarang. Bos ke perusahaanmu setiap hari, jangan banyak yang harus aku kerjakan."Ekki juga tidak berdaya.Hati Gaby langsung terasa dingin."Bagaimana lagi, mereka ingin menghabiskan waktu berdua terus.""Bersabarlah, semua ini akan segera berlalu."Gaby menutup telepon dengan berat hati.Reina menatapnya. "Ada apa, Ekki nggak bisa jemput lagi?"Gaby menganggukkan kepalanya. "Aku nggak tahu apa yang terjadi dengannya akhir-akhir ini. Dia selalu lembur setiap hari dan pulang pun selalu terlambat.""Baiklah." Reina bertanya padanya, "Kenapa nggak balik ba
"Aku bukan anak kecil lagi, jangan memperlakukanku seperti anak kecil dan menyentuh kepalaku." Reina agak marah.Maxime tidak menganggap serius perkataannya. Dia mengangkat tangannya lagi, mengusap pipinya."Ya, aku mengerti, jangan marah."Reina menatap wajah tampannya. Seketika, dia tidak bisa marah lagi.Tiba di Grup Yinandar.Reina melangkah keluar dari mobil.Maxime juga mengikutinya seperti biasa.Reina tidak merasa aneh. "Hari ini kamu juga mau ikut aku kerja di Grup Yinandar?""Ya." Maxime mengangguk dan menambahkan, "Bukannya setiap hari juga begini?"Reina langsung terdiam.Sejak kembali dari pernikahan Sisil, entah apa yang terjadi dengan Maxime. Dia selalu menempel kepadanya setiap hari, tidak mau pergi."Apa nggak apa-apa kalau kamu nggak pergi ke perusahaanmu?" tanya Reina."Aku bisa kerja secara Online," jawab Maxime.Reina tersedak lagi karena jawabannya.Keduanya berjalan masuk ke dalam perusahaan, bahkan para staf di dalam perusahaan sudah terbiasa dengan hal itu.Mel
Mulut Aarav berkedut ketika mendengar kata-kata Reina."Apa katamu?"Reina berpura-pura bingung. "Bukannya Om beli tanah ini buat memperluas makam keluarga? Karena tanah itu nggak jadi diakuisisi, kenapa nggak dijadikan makam keluarga saja?"Aarav marah bukan main ketika mendengar Reina mengatakan ini.Namun, dia menahan amarahnya dan tidak menunjukkannya."Itu ide yang bagus, tapi aku sudah menghabiskan begitu banyak uang, jadi aku nggak punya dana buat melakukan renovasi.""Begini saja, Om serahkan saja masalah ini padaku," kata Maxime.Mendengar itu, Aarav menatapnya dengan wajah penuh keterkejutan. Bukankah suami istri ini sedikit tidak tahu malu?Dia sudah dikerjai habis-habisan, sekarang mereka ingin menambahkan luka di dalam hatinya?Reina dan Maxime berlagak seakan mereka tidak sadar dengan ekspresi Aarav.Reina melanjutkan, "Om, kita ini keluarga, jadi masalah biaya renovasi biar Max yang tanggung. Toh ini buat leluhur kita. Jadi, lebih baik berikan saja tanahnya sama Max, bia
Aarav mencengkeram lengan asistennya, matanya menatap tajam ke arahnya.Asisten itu berkeringat dan gemetar saat menjelaskan, "Memang nggak ada nama tanah ini di dalam dokumen itu."Aarav masih tidak bisa mempercayainya. Dia langsung lemas dan hampir jatuh ke tanah."Kenapa bisa begini? Jelas-jelas aku sudah cari tahu dulu.""Bos, sepetinya mereka mengubahnya secara tiba-tiba," kata asistennya itu.Aarav mengepalkan tinjunya. "Mana mungkin! Mana mungkin ...."Tatapannya tiba-tiba tertuju pada Daniel dan yang lainnya, lalu terhenti di wajah Maxime."Kamu! Pasti kamu! Pasti kamu yang menjebakku!"Dia tidak perlu berpikir dengan susah payah. Dia sudah merencanakan semuanya, tetapi tiba-tiba ada perubahan. Pasti ada seseorang yang melakukan sesuatu.Aarav teringat apa yang Maxime janjikan kepadanya, kemudian menjual tanah itu kepadanya. Dari semua proses itu, apa lagi yang tidak dia mengerti?Alis Maxime sedikit terangkat."Om ini bicara apa? Kenapa aku nggak ngerti?"Melihat wajah polosny
"Kamu baru tahu beberapa hari yang lalu, tapi bangunan sudah setinggi ini?" Daniel bukan orang bodoh.Satu-satunya alasan dia mempercayai Aarav lagi dan lagi adalah karena dia adalah kakaknya sendiri.Aarav masih bersikeras. "Daniel, aku ini kakakmu, mana mungkin aku bohong sama kamu?"Daniel tidak tahu harus berkata apa lagi saat dituduh seperti ini.Reina yang berada di sampingnya bahkan tidak bisa tahan lagi menyaksikan situasi ini.Aarav juga sudah keterlaluan.Dia baru akan berbicara, tetapi Maxime menghentikannya. Matanya memberi isyarat agar dia menunggu.Melihat ketiganya berhenti berbicara, Aarav tahu bahwa tindakannya ini tidak baik.Dia tidak ingin menyinggung perasaan adiknya yang sudah membantunya mendapatkan uang."Daniel, apa kamu nggak senang kalau aku dapat banyak uang? Kita ini keluarga."Daniel bahkan tidak tahu harus berkata apa, menoleh kepada Aarav. "Kak, kamu begini benar-benar menyakitiku."Maxime angkat bicara pada saat itu."Om, karena kita keluarga, ketika Om
Setengah bulan kemudian.Maxime melirik jam dan tahu sudah waktunya, jadi dia menelepon untuk bertanya pada Daniel."Ayah, kebetulan hari ini kita ada waktu luang, apa Ayah mau pergi melihat perluasan makam keluarga?"Mendengar hal ini, Daniel langsung setuju. "Ya."Maxime menutup telepon dan menatap Reina."Mau pergi lihat hal menarik?"Reina menatapnya. Akhir-akhir ini, Maxime sering datang ke perusahaannya. "Hal menarik apa?""Tentang Aarav," kata Maxime."Ya." Wajah Reina menjadi cerah. Memang benar bahwa setiap hari hanya kerja dan kerja sangat membosankan.Dia mengikuti Maxime masuk mobil, lalu pergi ke lokasi makam leluhur.Saat tiba di sana, dia melihat tanah kosong di sebelah makam leluhur itu sekarang menjadi gedung bertingkat dan masih sedang dibangun.Reina sudah mengetahuinya sejak lama, jadi dia tidak merasa terkejut. Namun, Daniel yang baru sampai dan berdiri di depan gedung bertingkat terlihat sangat terkejut."Apa yang terjadi di sini?" Daniel mengambil ponselnya dan m
Daniel dapat melihat bahwa mereka saling memandang dengan cara yang berbeda, jadi dia mengatakan, "Kalian nggak paham orang seperti apa Kakak itu. Dia itu orang baik."Joanna sangat ingin mengatakan bahwa dialah yang tidak mengenal kakaknya dengan baik.Semua orang yang duduk di depan meja makan, termasuk Riki dan Riko saja bisa tahu bahwa Aarav bukanlah orang yang baik.Riki dengan ramah berkata kepada Daniel, "Kakek, jangan terlalu percaya sama orang lain.""Riki, nggak usah bujuk kakekmu. Kalau dia sudah bertekad melakukan sesuatu, dia nggak akan mengubahnya."Riki mengiakan, lalu menggelengkan kepalanya sambil berkata dengan tenang, "Sayang sekali, aku pikir semua orang dewasa lebih pintar."Daniel, "Riki, kamu nggak sopan kalau bilang begitu sama Kakek."Riki menatap kakeknya lagi."Aku mengerti. Kakek sangat pintar."Semua orang hampir tertawa terbahak-bahak untuk sekali lagi.Wajah Daniel memerah dan dia berhenti berbicara.Melihat reaksi Daniel, mereka mulai fokus makan dan tid
Mendengar perkataan mereka, Aarav marah bukan main.Dia dengan susah payah mendapatkan informasi bahwa pemerintah akan mengambil alih tanah itu. Setelah itu terjadi, harganya tidak akan terhitung.Jika dia menyerahkannya begitu saja, bukankah ini akan menguntungkan Maxime?Dia tidak boleh melakukannya."Joanna, Max, begini saja, aku benar-benar ingin berbakti kepada nenek moyangku. Aku bisa menambahkan sejumlah uang dari harga aslinya, bagaimana?"Maxime menatapnya. "Mana boleh. Om itu keluargaku, mana mungkin aku ngambil uang dari Om?""Ngapain bilang begitu. Lebih baik perjelas saja semuanya. Begini saja, bagaimana kalau aku tambah dua puluh miliar?" kata Aarav.Maxime menatapnya dan tidak mengatakan apa-apa.Sudut mulut Aarav sedikit tertarik, dia segera mengubah kata-katanya, "Aku cuma bercanda, seratus miliar?"Seratus miliar?"Maxime mendapatkan ini hanya dengan menelepon dan bicara singkat.Dia mengetuk-ngetukkan jari-jarinya dengan pelan ke meja.Aarav sedikit terganggu, ingin
"Nggak usah terburu-buru mau memperluas makam keluarga. Kita harus minta orang buat periksa tempat itu, biar lebih aman," kata Aarav.Maxime melanjutkan perkataannya, "Dari apa yang Om katakan, Om kenal sama orang ahli?"Aarav mengangguk. "Ya, aku kenal satu orang. Dia yang mengurus pemakaman Ayah dulu."Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Max, kalau kamu percaya padaku, bagaimana kalau kamu serahkan semua ini padaku?"Maxime menunjukkan ekspresi kesulitan.Dia sangat mengenal om-nya satu ini.Joanna juga merasakan sesuatu yang tidak biasa ketika melihat putranya tiba-tiba berbicara baik-baik dengan Aarav.Dia menyela, "Kak, anakku beli tanah itu dengan harga mahal, tapi kamu bilang ingin mengurusnya. Rasanya kurang etis."Aarav meringis."Joanna benar. Begini saja, aku akan kasih setengah dari harga itu, Max kasih surat-surat tanahnya kepadaku. Aku akan atur pekerja buat ngurus konstruksinya. Masalah biaya pembangunan serahkan padaku."Maxime mendengus dingin dalam hati.Dia ingi