Karena seharian ini sibuk di kantor, Maxime lupa memperhatikan Reina.Dia tidak tahu kalau begitu Reina sampai di kantor, Ari langsung berlari menghampiri istrinya. Begitu waktu istirahat, Ari kembali mendatangi Reina dan menanyakan segala macam pertanyaan padanya."Yuk, makan." Ari tersenyum sambil membawa banyak makanan enak.Reina terkejut, "Makan di sini?"Reina pikir Ari mengajaknya makan di luar."Di luar terlalu banyak orang, ramai banget. Mendingan makan di sini, lebih tenang."Sebenarnya Brigitta dan yang lain yang ada di luar mau mengajak Reina pergi makan bersama, tetapi melihat situasi ini sepertinya mustahil.Sisil pun berkata, "Hahh, kalau Pak Maxime sampai tahu, dia pasti bakal cemburu dan marah-marah lagi."Brigitta tersenyum."Apa boleh buat. Kalau aku di posisi suami, aku juga pasti khawatir dan takut soalnya Ari itu terlalu kompetitif."Dia adalah artis populer, tampan dan lebih muda.Maxime yang ada di Grup IM pun bersin.Sisil juga mengangguk setuju.Tiba-tiba seor
Tangan Ari mematung, dia memang lupa.Reina membantu menyelamatkan muka Ari, "Nggak apa-apa, kita semua 'kan teman.""Teman sih teman, tapi harusnya kamu juga sadar kalau Nana lagi nggak sehat. Gimana kalau ternyata kamu bawa virus terus malah nularin Nana?" Revin mengejek dengan cara yang aneh.Ari langsung marah, "Pak Revin jangan ngomong sembarangan ya. Aku itu rajin cek kesehatan, aku sehat walafiat!""Oh." Revin menjawab dengan tenang.Ari yang makin tersulut amarah pun menjelaskan, "Nana, aku jamin aku sehat!"Pria mana pun pasti tidak terima jika dibilang penyakitan.Brigitta hampir tertawa terbahak-bahak.Reina pun mengangguk berulang kali."Ya, aku tahu."Reina mengernyit bingung dalam hati, sebenarnya apa hubungan Ari sehat atau tidak dengannya?Kenapa Ari berusaha keras meyakinkannya?Meski amnesia, Reina paham hubungan pria dan wanita.Reina memang merasa, Ari sepertinya punya niat lain padanya."Ari, lain kali kita nggak usah makan bareng, aku dan Brigitta sudah janjian bu
"Aku masih ingat dulu waktu pertama kali ketemu Reina, aku memanggilnya kakak."Begitu teringat masa muda saat dirinya masih masa bodoh, Ari pun tersenyum, "Waktu itu Reina bilang aku sangat berbakat dan dia benar-benar memperlakukan aku seperti adiknya, dia ngajarin aku semua hal.""Dia bahkan menulis lagu buat aku dan nemenin aku ke banyak perusahaan. Kalau bukan karena dia, aku nggak akan jadi artis."Ari rindu masa lalu.Dia rindu masa-masa di mana dirinya memanggil Reina 'Kakak'.Ari juga tidak tahu kenapa dia jatuh cinta pada Reina. Awalnya Ari pikir ketertarikannya pada Reina hanya sebatas karena dia sangat berterima kasih, tetapi lambat laun, Ari merasa tidak banyak wanita yang bisa mengaguminya seperti Reina."Kayaknya, Reina itu cinta pertamaku."Setelah mendengar cerita ini, Revin pun paham posisi Ari."Kamu pernah kepikir nggak kalau perasaanmu ke Reina itu mungkin bukan cinta, tapi hanya sebatas rasa kagum?"Ari kembali menatap Revin dan bersikap sombong seperti biasa, "Ja
Brigitta menatap telepon yang diputus dan merasa tertekan.Karena sebentar lagi jam masuk kerja, Brigitta pun malas mengajak Ethan berdebat.Begitu pulang kerja, Brigitta baru tahu kalau Erina hilang.Dia langsung panik, "Erina pergi ke mana? Bukannya selalu bareng kamu?"Brigitta bertanya dengan panik sambil menggenggam tangan pengasuh Erina.Pengasuh itu terlihat bersalah, "Aku juga nggak tahu. Tadi Pak Ethan bilang mau ngajak Nona Erina main sendirian sebentar, aku nggak nyangka cuma kutinggal sebentar, mereka menghilang."Pak Ethan?Ethan?Hati Brigitta berdebar, sudah pasti Ethan yang membawa putrinya pergi.Dia tidak khawatir akan keselamatan Erina, tetapi dia tetap menyalahkan pengasuh, "Kenapa kamu bisa ngasih Erina gitu aja ke dia? Kenapa kamu nggak nanya aku dulu?"Pengasuh itu menggeleng dan menjelaskan, "Maaf, aku lupa.""Selama setahun ini, Pak Ethan sering datang ke sini dan sering menemani Nona Erina, lagi pula dia ayah Nona Erina, jadi kupikir dia nggak mungkin menyakit
Reina tahu bahwa mencampuri urusan orang lain itu tidak baik, tetapi dia tidak tega melihat Brigitta seperti itu.Maxime tahu Reina tidak pandai menolak permintaan orang lain, dia pun berkata, "Nana, coba kamu pikir. Erina itu bukan putri Brigitta seorang, dia juga putri Ethan. Wajar kalau Ethan bawa pergi Erina, kita sebagai orang luar nggak bisa apa-apa.""Ya, aku mengerti." Reina juga akan bersikap logis."Jangan khawatir, aku kenal Ethan. Dia bukan orang jahat dan pasti akan menjaga Erina baik-baik. Dia sebenarnya sayang sama Brigitta, aku yakin dia melakukan hal ini supaya Brigitta nggak jadi menceraikannya.""Ya."Reina mengangguk.Begitu Reina kembali ke ruang tamu, Brigitta buru-buru menghampirinya."Nana, gimana?"Reina menggeleng.Brigitta pikir Reina dapat membantunya untuk memohon pada Maxime supaya Maxime mau membujuk Ethan."Nggak bisa nih. Aku harus ngomong sama dia!"Brigitta pun hendak pergi.Reina menghentikannya, "Sekarang kalian semua lagi marah, nggak bisa mikir pa
Sore ini, Ethan sudah cerita pada Maxime.Maxime menjawab, "Aku nggak nganggur ya.""Terus kamu mau apa?""Belakangan ini Aarav terlihat tenang, kamu harus awasi baik-baik."Jangan sampai ini ketenangan sebelum badai.Ethan langsung terlihat serius, "Oke, aku tahu."Sebelum menutup telepon, Maxime bertanya, "Jadi gimana? Kalian benar-benar akan bercerai?""Nggak! Aku nggak akan menceraikannya. Kami sudah punya anak, kami juga bukan anak kecil." Ethan berujar dengan tegas."Oke, kamu bujuk aja dia baik-baik. Nggak bagus mengundur hal kayak gini lama-lama."Maxime punya pengalaman di bidang ini.Ethan terdiam beberapa saat, lalu berkata, "Aku masih kesal dia mau menggugat cerai aku. Sudahlah, tunggu aku tenang dulu."Setelah keduanya mengobrol, Maxime memberi tahu Reina semua informasi yang dia dapatkan dari Ethan.Reina juga merasa tidak baik baginya untuk campur tangan.Ethan dan Brigitta sama-sama tidak salah, mereka hanya punya pendirian yang berbeda.Jadi, mereka tidak bisa hanya me
Bahkan Syena tahu tentang pernikahan Ekki. Dia meremehkan, "Cuma asisten aja yang nikah kok heboh."Syena sedang memainkan ponselnya saat Tabitha mulai menangis dan pengasuh tidak dapat menenangkannya.Syena merasa terganggu dengan keributan ini, dia pun memarahi pengasuh itu, "Kamu kerja nggak becus banget sih? Urus dong yang bener. Sana bawa keluar! Ganggu aku aja."Ini pertama kalinya bibi pengasuh melihat ibu seperti Syena. Sudah nggak menghibur anak yang menangis, masih diusir keluar supaya tidak mengganggu pula.Memang benar, tidak semua orangtua di dunia menyayangi anaknya.Ketika Liane lewat, dia melihat Tabitha menangis. Liane langsung memeluknya."Kenapa?""Aku juga nggak tahu kenapa, tapi anak ini gampang nangis," ucap pengasuh itu."Anak kecil memang suka nangis, tapi nggak mungkin nangis tanpa alasan." Liane mengernyit, "Kayaknya dia sakit deh, coba panggil dokter."Mendengar ribut-ribut di luar, Syena pun keluar kamar. "Nggak usah khawatir Bu, wajar kok anak kecil nangis,
"Tabitha pingsan, kamu bisa ke rumah sakit?" Syena terdengar menahan tangis.Ketika Morgan mendengar ini, ekspresinya menjadi dingin, "Dia bukan putriku, apa hubungannya sama aku?"Mendengar ini, Syena merasa hatinya seperti ditusuk jarum."Tapi kamu memintaku untuk melahirkannya." Padahal Syena pikir setelah ada anak di pernikahan mereka, Morgan akan memperlakukannya dengan lebih baik.Tidak disangka, putrinya hanya menjadi alat balas dendam Morgan padanya.Dan alasannya karena dia sudah pernah membius Morgan."Ya obatin dong?" Morgan langsung menutup telepon.Saat ini, Jess berdiri di sebelah Morgan.Meski Jess tidak bisa mendengar jelas ucapan Syena, dia merinding mendengar ucapan Morgan."Tuan Morgan, apa Tabitha sakit?"Kasihan sekali anak sebaik itu tidak disayang siapa pun.Morgan mengangguk, "Ya.""Apa dia baik-baik saja? Perlu kita jenguk?" Karena sering ikut Morgan, Jess pernah bertemu Tabitha beberapa kali."Jess, dia bukan putri kandungku dan kamu nggak perlu peduliin dia."
Gaby tidak menyadari bahwa dia yang memberikan pekerjaannya kepada Maxime, tetapi suaminya yang menerima akibatnya."Gaby, maaf, hari ini aku harus lembut, jadi nggak bisa jemput kamu. Kamu pulang sendiri dan tunggu aku di rumah ya?"Ekki berkata dengan rendah hati di dalam telepon.Gaby mengerutkan kening. "Kenapa kamu lembur lagi? Akhir-akhir ini kamu lembur setiap hari, apa perusahaan sesibuk itu?""Ya, perusahaan memang lagi sibuk sekarang. Bos ke perusahaanmu setiap hari, jangan banyak yang harus aku kerjakan."Ekki juga tidak berdaya.Hati Gaby langsung terasa dingin."Bagaimana lagi, mereka ingin menghabiskan waktu berdua terus.""Bersabarlah, semua ini akan segera berlalu."Gaby menutup telepon dengan berat hati.Reina menatapnya. "Ada apa, Ekki nggak bisa jemput lagi?"Gaby menganggukkan kepalanya. "Aku nggak tahu apa yang terjadi dengannya akhir-akhir ini. Dia selalu lembur setiap hari dan pulang pun selalu terlambat.""Baiklah." Reina bertanya padanya, "Kenapa nggak balik ba
"Aku bukan anak kecil lagi, jangan memperlakukanku seperti anak kecil dan menyentuh kepalaku." Reina agak marah.Maxime tidak menganggap serius perkataannya. Dia mengangkat tangannya lagi, mengusap pipinya."Ya, aku mengerti, jangan marah."Reina menatap wajah tampannya. Seketika, dia tidak bisa marah lagi.Tiba di Grup Yinandar.Reina melangkah keluar dari mobil.Maxime juga mengikutinya seperti biasa.Reina tidak merasa aneh. "Hari ini kamu juga mau ikut aku kerja di Grup Yinandar?""Ya." Maxime mengangguk dan menambahkan, "Bukannya setiap hari juga begini?"Reina langsung terdiam.Sejak kembali dari pernikahan Sisil, entah apa yang terjadi dengan Maxime. Dia selalu menempel kepadanya setiap hari, tidak mau pergi."Apa nggak apa-apa kalau kamu nggak pergi ke perusahaanmu?" tanya Reina."Aku bisa kerja secara Online," jawab Maxime.Reina tersedak lagi karena jawabannya.Keduanya berjalan masuk ke dalam perusahaan, bahkan para staf di dalam perusahaan sudah terbiasa dengan hal itu.Mel
Mulut Aarav berkedut ketika mendengar kata-kata Reina."Apa katamu?"Reina berpura-pura bingung. "Bukannya Om beli tanah ini buat memperluas makam keluarga? Karena tanah itu nggak jadi diakuisisi, kenapa nggak dijadikan makam keluarga saja?"Aarav marah bukan main ketika mendengar Reina mengatakan ini.Namun, dia menahan amarahnya dan tidak menunjukkannya."Itu ide yang bagus, tapi aku sudah menghabiskan begitu banyak uang, jadi aku nggak punya dana buat melakukan renovasi.""Begini saja, Om serahkan saja masalah ini padaku," kata Maxime.Mendengar itu, Aarav menatapnya dengan wajah penuh keterkejutan. Bukankah suami istri ini sedikit tidak tahu malu?Dia sudah dikerjai habis-habisan, sekarang mereka ingin menambahkan luka di dalam hatinya?Reina dan Maxime berlagak seakan mereka tidak sadar dengan ekspresi Aarav.Reina melanjutkan, "Om, kita ini keluarga, jadi masalah biaya renovasi biar Max yang tanggung. Toh ini buat leluhur kita. Jadi, lebih baik berikan saja tanahnya sama Max, bia
Aarav mencengkeram lengan asistennya, matanya menatap tajam ke arahnya.Asisten itu berkeringat dan gemetar saat menjelaskan, "Memang nggak ada nama tanah ini di dalam dokumen itu."Aarav masih tidak bisa mempercayainya. Dia langsung lemas dan hampir jatuh ke tanah."Kenapa bisa begini? Jelas-jelas aku sudah cari tahu dulu.""Bos, sepetinya mereka mengubahnya secara tiba-tiba," kata asistennya itu.Aarav mengepalkan tinjunya. "Mana mungkin! Mana mungkin ...."Tatapannya tiba-tiba tertuju pada Daniel dan yang lainnya, lalu terhenti di wajah Maxime."Kamu! Pasti kamu! Pasti kamu yang menjebakku!"Dia tidak perlu berpikir dengan susah payah. Dia sudah merencanakan semuanya, tetapi tiba-tiba ada perubahan. Pasti ada seseorang yang melakukan sesuatu.Aarav teringat apa yang Maxime janjikan kepadanya, kemudian menjual tanah itu kepadanya. Dari semua proses itu, apa lagi yang tidak dia mengerti?Alis Maxime sedikit terangkat."Om ini bicara apa? Kenapa aku nggak ngerti?"Melihat wajah polosny
"Kamu baru tahu beberapa hari yang lalu, tapi bangunan sudah setinggi ini?" Daniel bukan orang bodoh.Satu-satunya alasan dia mempercayai Aarav lagi dan lagi adalah karena dia adalah kakaknya sendiri.Aarav masih bersikeras. "Daniel, aku ini kakakmu, mana mungkin aku bohong sama kamu?"Daniel tidak tahu harus berkata apa lagi saat dituduh seperti ini.Reina yang berada di sampingnya bahkan tidak bisa tahan lagi menyaksikan situasi ini.Aarav juga sudah keterlaluan.Dia baru akan berbicara, tetapi Maxime menghentikannya. Matanya memberi isyarat agar dia menunggu.Melihat ketiganya berhenti berbicara, Aarav tahu bahwa tindakannya ini tidak baik.Dia tidak ingin menyinggung perasaan adiknya yang sudah membantunya mendapatkan uang."Daniel, apa kamu nggak senang kalau aku dapat banyak uang? Kita ini keluarga."Daniel bahkan tidak tahu harus berkata apa, menoleh kepada Aarav. "Kak, kamu begini benar-benar menyakitiku."Maxime angkat bicara pada saat itu."Om, karena kita keluarga, ketika Om
Setengah bulan kemudian.Maxime melirik jam dan tahu sudah waktunya, jadi dia menelepon untuk bertanya pada Daniel."Ayah, kebetulan hari ini kita ada waktu luang, apa Ayah mau pergi melihat perluasan makam keluarga?"Mendengar hal ini, Daniel langsung setuju. "Ya."Maxime menutup telepon dan menatap Reina."Mau pergi lihat hal menarik?"Reina menatapnya. Akhir-akhir ini, Maxime sering datang ke perusahaannya. "Hal menarik apa?""Tentang Aarav," kata Maxime."Ya." Wajah Reina menjadi cerah. Memang benar bahwa setiap hari hanya kerja dan kerja sangat membosankan.Dia mengikuti Maxime masuk mobil, lalu pergi ke lokasi makam leluhur.Saat tiba di sana, dia melihat tanah kosong di sebelah makam leluhur itu sekarang menjadi gedung bertingkat dan masih sedang dibangun.Reina sudah mengetahuinya sejak lama, jadi dia tidak merasa terkejut. Namun, Daniel yang baru sampai dan berdiri di depan gedung bertingkat terlihat sangat terkejut."Apa yang terjadi di sini?" Daniel mengambil ponselnya dan m
Daniel dapat melihat bahwa mereka saling memandang dengan cara yang berbeda, jadi dia mengatakan, "Kalian nggak paham orang seperti apa Kakak itu. Dia itu orang baik."Joanna sangat ingin mengatakan bahwa dialah yang tidak mengenal kakaknya dengan baik.Semua orang yang duduk di depan meja makan, termasuk Riki dan Riko saja bisa tahu bahwa Aarav bukanlah orang yang baik.Riki dengan ramah berkata kepada Daniel, "Kakek, jangan terlalu percaya sama orang lain.""Riki, nggak usah bujuk kakekmu. Kalau dia sudah bertekad melakukan sesuatu, dia nggak akan mengubahnya."Riki mengiakan, lalu menggelengkan kepalanya sambil berkata dengan tenang, "Sayang sekali, aku pikir semua orang dewasa lebih pintar."Daniel, "Riki, kamu nggak sopan kalau bilang begitu sama Kakek."Riki menatap kakeknya lagi."Aku mengerti. Kakek sangat pintar."Semua orang hampir tertawa terbahak-bahak untuk sekali lagi.Wajah Daniel memerah dan dia berhenti berbicara.Melihat reaksi Daniel, mereka mulai fokus makan dan tid
Mendengar perkataan mereka, Aarav marah bukan main.Dia dengan susah payah mendapatkan informasi bahwa pemerintah akan mengambil alih tanah itu. Setelah itu terjadi, harganya tidak akan terhitung.Jika dia menyerahkannya begitu saja, bukankah ini akan menguntungkan Maxime?Dia tidak boleh melakukannya."Joanna, Max, begini saja, aku benar-benar ingin berbakti kepada nenek moyangku. Aku bisa menambahkan sejumlah uang dari harga aslinya, bagaimana?"Maxime menatapnya. "Mana boleh. Om itu keluargaku, mana mungkin aku ngambil uang dari Om?""Ngapain bilang begitu. Lebih baik perjelas saja semuanya. Begini saja, bagaimana kalau aku tambah dua puluh miliar?" kata Aarav.Maxime menatapnya dan tidak mengatakan apa-apa.Sudut mulut Aarav sedikit tertarik, dia segera mengubah kata-katanya, "Aku cuma bercanda, seratus miliar?"Seratus miliar?"Maxime mendapatkan ini hanya dengan menelepon dan bicara singkat.Dia mengetuk-ngetukkan jari-jarinya dengan pelan ke meja.Aarav sedikit terganggu, ingin
"Nggak usah terburu-buru mau memperluas makam keluarga. Kita harus minta orang buat periksa tempat itu, biar lebih aman," kata Aarav.Maxime melanjutkan perkataannya, "Dari apa yang Om katakan, Om kenal sama orang ahli?"Aarav mengangguk. "Ya, aku kenal satu orang. Dia yang mengurus pemakaman Ayah dulu."Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Max, kalau kamu percaya padaku, bagaimana kalau kamu serahkan semua ini padaku?"Maxime menunjukkan ekspresi kesulitan.Dia sangat mengenal om-nya satu ini.Joanna juga merasakan sesuatu yang tidak biasa ketika melihat putranya tiba-tiba berbicara baik-baik dengan Aarav.Dia menyela, "Kak, anakku beli tanah itu dengan harga mahal, tapi kamu bilang ingin mengurusnya. Rasanya kurang etis."Aarav meringis."Joanna benar. Begini saja, aku akan kasih setengah dari harga itu, Max kasih surat-surat tanahnya kepadaku. Aku akan atur pekerja buat ngurus konstruksinya. Masalah biaya pembangunan serahkan padaku."Maxime mendengus dingin dalam hati.Dia ingi