Di Grup IM.Maxime menelepon Yansen dan memintanya untuk memeriksa Keluarga Hinandar.Yansen sedang tidak fokus.Maxime mengangkat matanya dan menatap Yansen, "Ada apa?""Nggak apa-apa, aku urus sekarang," ucap Yansen yang tersadar dari lamunannya dan langsung keluar ruangan.Begitu dia pergi, Ekki datang dan memberi tahu Maxime, "Lusa adalah pernikahan Alana dan Tuan Jovan."Maxime mengernyit mendengarnya."Bukannya Yansen yang membuang Alana? Kenapa sekarang Alana mau menikah dia tiba-tiba muncul lagi?Sejujurnya, sebagai seorang laki-laki, Maxime menatap rendah pria seperti Yansen.Serakah sekali jadi manusia.Ekki pun menjawab sesuai yang dia tahu, "Bos, sebenarnya ada alasan kenapa Yansen meninggalkan Alana."Setelah Maxime mendengar ini, dia menatap Ekki dalam-dalam dan memberi isyarat agar dia melanjutkan.Bukan karena Maxime suka bergosip, tapi karena Alana juga sahabat Reina, jadi dia tentu mau tahu lebih banyak tentang orang-orang dan hal-hal di sekitar Reina."Ketika mereka
Setelah Yansen mendengar hal ini, dia merasa tidak berdaya. Dia mengisap rokoknya, lalu mematikan puntung rokoknya dan membuangnya ke tempat sampah."Kamu pikir aku nggak mau ngasih tahu Alana? Kalau kamu diposisinya, apa yang akan kamu lakukan setelah tahu semua hal ini? Apa dia akan menungguku bertahun-tahun? Menunggu istriku meninggal sehingga aku bisa menikahinya?" tanya Yansen.Ekki tidak tahu harus berkata apa."Tetapi kalau Alana tahu yang sebenarnya, dia pasti akan membencimu. Coba pikirkan, apa dia benar-benar mencintai Jovan?"Ekki sering melihat Alana dan Jovan bertengkar dan sama sekali tidak menyukai Jovan.Mungkin menikahi Jovan adalah untuk membalas dendam pada Yansen.Yansen menyalakan sebatang rokok lagi, "Justru aku takut dengan kondisi itu. Makanya aku harap dia bisa berpikir baik-baik supaya nggak menyesal.""Lusa, mereka akan menikah. Kalau semua terlanjur terjadi, nggak bisa kembali lagi. Sebaiknya jujur saja padanya, dia berhak tahu apa pilihannya. Menunggumu? Me
Tangan Alana yang memegang telepon langsung menegang.Sejujurnya meski Alana menghadiri pernikahan Yansen, dari awal sampai akhir, dia tidak berani melihat siapa pengantin wanita, siapa namanya dan seperti apa rupanya.Alana takut dirinya akan membandingkan diri dengan istri Yansen dan terus kepikiran.Oleh karena itu, ketika Tiara mengungkapkan bahwa dia adalah istri Yansen, Alana tertegun."Buat apa kamu mau ketemu aku?" Alana terdiam cukup lama sebelum berkata."Aku mau memberitahumu kalau kamu sudah salah paham pada Yansen. Aku akan jelaskan, kumohon, tolong bertemu denganku." Tiara berkata dengan tulus.Sebenarnya karena dirinya akan menikah lusa, Alana harusnya menolak. Tetapi setelah mendengarkan kata-kata wanita itu, dia tiba-tiba setuju."Oke."Keduanya membuat janji di restoran biasa.Alana melihat Tiara. Seorang wanita yang terlihat kalem dan kurus, juga lemah lembut. Wanita ini berbeda sekali dari dirinya."Halo." Alana mengulurkan tangannya dengan ramah.Tiara juga mengulu
Ketika Yansen mendengar ini, dia pun mengepalkan tangannya dan memaksa diri untuk tenang, "Kenapa kamu cerita sama dia?"Tiara menunduk dan tidak menjawab, tapi berkata,"Ayo kita urus perceraiannya besok."Lagi-lagi minta cerai.Yansen menelan ludahnya dan berkata, "Tiara, aku sudah bilang kita hanya akan pisah saat kamu meninggal, bukan bercerai."Yansen tahu Tiara sedang gelisah, jadi dia menghiburnya."Jangan khawatir, aku benar-benar nggak punya niat buat balikan sama Alana. Kita bisa menjalani hidup bersama dan aku akan menjagamu dengan baik."Setelah itu, Yansen memeluk Tiara.Ada beberapa hal dan beberapa orang yang memang jika sudah terlewat, tidak akan kembali.Tiara bersandar di bahu Yansen dan merenung.Tiara merasa harusnya Yansen punya sedikit saja perasaan untuknya. Kalau tidak, mana mungkin pria ini rela menjaga dirinya sendiri sepanjang waktu?...Alana berjalan dengan tatapan kosong dan kepalanya terasa sangat pusing.Dia mengambil ponselnya dan menelepon ayahnya."Ay
"Alana, kenapa diam saja? Jangan menakuti Ayah. Ayah benar-benar melakukannya demi kebaikanmu. Sekarang Ayah nggak menuntutmu menikah dengan keluarga kaya. Ayah cuma mau kamu berpikir matang-matang untuk masa depan sebelum mengambil keputusan, Ayah nggak mau kamu khawatir terutama tentang uang.""Kamu tahu 'kan keluarga kita itu orang kaya baru. Sebelum kita punya uang, banyak orang meremehkan keluarga kita. Aku nggak mau kamu berjalan di jalan yang sama seperti ayah dan ibumu dulu."Ayah Alana sangat tulus.Harus diingat, salah satu penyebab istrinya meninggal adalah karena dia tidak punya uang untuk berobat.Oleh karena itu, ayah Alana begitu ketakutan kalau dia tidak punya uang dan putrinya akan menderita seperti orang miskin.Meski mungkin Yansen akan menjadi seorang pria yang punya pencapaian, ayah Alana tidak berani bertaruh.Alana bisa memahami alasan ayahnya melakukan hal ini, tapi dia tidak bisa terima."Aku mengerti, jangan khawatir, aku nggak akan gegabah. Sekarang aku mau m
Alana menatap Jovan dengan tatapan kosong, "Kamu ..."Tanpa menunggu Alana melanjutkan, Jovan sudah bicara lebih dulu, "Kamu masih punya waktu sehari buat mikir. Kalau kamu nggak mau menikah pas lusa dan membuatku malu, aku nggak akan melepaskanmu."Jovan mengatakan yang sebenarnya.Dirinya, sebagai Tuan Muda Keluarga Tambolo bisa mendapatkan semua wanita yang diinginkannya di Kota Simaliki, setidaknya ada 90% dari mereka bersedia menikah dengannya.Pernikahan mereka akan disiarkan di TV, kalau Alana berani menolak menikah di hari H, Jovan pasti akan membuat Alana menyesal!Alana pun terdiam.Bagaimanapun, Yansen memang sudah menikah sekarang dan menurutnya Tiara juga wanita yang sangat baik."Aku perlu memikirkannya."Jovan mempererat cengkeramannya pada kemudi.Awalnya dia pikir karena Alana sudah setuju mau menikah, sekarang Alana pasti tidak punya pemikiran kedua.Jovan tidak menyangka ternyata Alana masih mau menimbang-nimbang?Alana ini sungguh tidak menganggap Jovan serius ya?I
Alana linglung sepanjang hari, dia hanya tinggal di hotel dan tidak berniat mempersiapkan pernikahan.Sore hari berikutnya, ketika dia hendak memberi tahu Jovan tentang keputusannya, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk.Alana pun meletakkan kembali ponselnya dan pergi membuka pintu dengan memakai sandal.Namun begitu dia membuka pintu, beberapa pria berbaju hitam menutup mulut dan hidungnya.Alana langsung pingsan di tempat.Saat ini di Keluarga Tambolo.Jovan juga sangat linglung hari ini karena menunggu keputusan Alana. Sekarang sudah jam 6 sore dan Alana masih belum mengabarinya, hal ini membuat Jovan kesal.Akhirnya, Jovan duluan yang mengirim pesan, "Sudah selesai mikirnya?"Satu menit berlalu, sepuluh menit berlalu ... tidak kunjung ada balasan.Jovan tidak bisa duduk diam dan mengeluh dalam hati. Wanita ini! Kalau nggak mau menikah ya sudah, kenapa tidak membalas pesannya?Rasanya sekarang ingin sekali dirinya berteleportasi ke Alana dan bertanya dengan jelas.Riko menatapnya berja
Marshanda tidak menyangka ternyata wanita pilihan Tuan Besar Jacob hanya gadis biasa yang tidak sebaik dirinya!Dan yang lebih penting lagi adalah, Jovan mau saja!Marshanda pun menatap Alana dengan cemburu.Tiba-tiba, Alana perlahan sadar.Alana membuka matanya sedikit, kepalanya terasa sakit. Dia melihat ke sekeliling, tempat yang tidak di kenalnya dan merasa bingung."Di mana ini?"Saat Marshanda melihat Alana sudah bangun, dia pun langsung meninggalkan kamar.Marshanda mau bermain aman. Dia tidak mau Alana tahu bahwa dia yang menculiknya. Kalau nanti Alana memberi tahu Jovan, Jovan pasti tidak akan melepaskan Marshanda."Malam ini, mereka milikmu. Kalian nikmati baik-baik niat baik dariku ini, jangan kecewakan aku." Marshanda memperingatkan beberapa pria berotot besar dan gemuk.Para pria itu tersenyum cabul, "Ya, terima kasih, Nona Tanuyahya.""Mulai sekarang jangan panggil aku Nona Tanuyahya, panggil aku Nona Hinandar.""Ya, Nona Hinandar."Marshanda meninggalkan tempat itu sambi
Maxime menginstruksikan pengawalnya, "Jangan biarkan dia tidur malam ini. Tentu saja, kalian harus bersikap lembut padanya, jangan lupa panggil dokter buat periksa keadaannya. Aku nggak mau dia sampai mati."Maxime mengatakan bahwa dia akan membuat hidup Morgan lebih buruk daripada kematian, dia akan memastikan bahwa Morgan tetap hidup.Kematian akan terlalu murah untuk Morgan. Selain itu, dia kembaran Maxime sendiri, jadi dia tidak akan membiarkan Morgan mati begitu saja....Keesokan harinya, Reina terbangun oleh dering telepon.Dia tidak membuka matanya, mengusap-usap telepon dengan lelah.Maxime mengulurkan tangannya yang panjang dan mengambilnya terlebih dahulu sambil berkata, "Ini ponselku, Ibu telepon.""Oh."Maxime mengangkat telepon dan mendengar suara cemas Joanna di sisi lain telepon, "Max, adikmu hilang. Kenapa aku nggak bisa menemukannya?"Suara ini tidak pelan dan Reina bisa mendengar apa yang dikatakan Joanna. Dia langsung menatap Maxime.Dia tahu ini pasti ulah Maxime.
"Ayo pulang." Reina berdiri.Maxime meraih tangan Reina. "Aku mau lihat lukamu."Reina membeku.Berpikir bahwa Maxime sudah tahu, dia tidak mengelak dan memperlihatkan luka di lehernya.Karena dibungkus kain kasa, Maxime tidak melihat bagian dalamnya."Aku nggak apa-apa," kata Reina."Ayo ke rumah sakit." Maxime sedikit khawatir dan dia tidak berani membuka kain kasa Reina dengan asal.Reina tidak ingin pergi, tetapi sikap Maxime begitu memaksa, jadi dia tetap mengikutinya ke rumah sakit.Di dalam rumah sakit, dokter membuka kain kasa Reina, memperlihatkan luka sepanjang jari di sana.Lukanya sangat dalam, seharusnya itu bukan luka ringan.Mata Maxime sedikit menyipit. "Dalam sekali lukanya. Kenapa menyembunyikannya dariku?""Ini sudah nggak apa-apa kok," jawab Reina.Jemari Maxime sedikit gemetar saat menyentuh leher Reina. "Jangan menyembunyikan apa pun lagi dariku, ya?"Suaranya sedikit serak.Reina mengangguk lagi. "Ya, aku mengerti."Lagi-lagi dia menjawab dengan ekspresi tidak pe
Maxime keras kepala, membuat Reina sedikit tidak berdaya. "Nggak perlu, sungguh. Kalau kamu di sini, gimana aku bisa kerja?""Bagaimana kalau aku kerja sama kamu?" Maxime menambahkan.Reina tidak tahu harus berkata apa lagi saat Maxime begitu serius, tidak terlihat seperti berbohong."Kalau begitu kamu bisa tetap di sini hari ini." Pada akhirnya, Reina terpaksa harus berkompromi.Maxime menyuruh seseorang untuk membawa dokumen-dokumen yang harus dikerjakan.Asisten Reina sedikit ragu. Bagaimanapun juga, Maxime adalah orang luar.Reina berkata kepadanya, "Nggak apa-apa, suamiku nggak sejahat itu sampai ingin mengambil alih properti keluargaku."Perusahaan Maxime sendiri tidak kalah dengan perusahaannya.Keduanya juga punya empat anak laki-laki. Ketika mereka meninggal kelak, bukankah harta mereka akan menjadi milik anak-anak mereka?Keempat anak itu adalah putra Maxime, jadi dia tidak perlu sampai berbuat seperti itu.Selain itu, Maxime orang yang sangat berprinsip, mana mungkin dia men
Entah sudah berapa lama, Maxime meminta sopir mengemudikan mobilnya ke Grup Yinandar.Jika benar seperti yang dikatakan Morgan, bahwa hal seperti itu menimpa Reina, apa yang harus dia lakukan agar bisa menghiburnya?Tidak lama kemudian, mobil tiba di lantai bawah Grup Yinandar.Maxime keluar dari mobil dan berjalan menuju bagian dalam perusahaan.Orang-orang di Grup Yinandar tentu saja mengenal Maxime. Ketika melihatnya, mereka langsung mengantarnya ke kantor Reina.Kantor presdir.Reina sedang bekerja ketika asistennya mengetuk pintu. "Bu Reina, Pak Maxime datang."Dia mengangkat kepalanya dan melihat ke arah pintu.Maxime mengenakan setelan jas dan memiliki bentuk tubuh yang tegap. Namun, saat ini wajahnya terlihat sedikit lelah."Kenapa kamu ke sini?" Reina agak terkejut, di jam-jam seperti ini, bukankah seharusnya dia berada di tempat kerja?Setelah asisten pergi dan menutup pintu, Maxime berjalan lurus ke arah Reina."Nana." Matanya dalam, ada emosi kompleks yang tersembunyi di da
Maxime menopang dagunya dengan satu tangan dan menatapnya dengan tatapan dingin. "Reina nggak bilang apa-apa, karena itulah aku bawa kamu ke sini. Katakan, apa yang kamu lakukan padanya kemarin malam?"Ekspresi Morgan langsung berubah ketika mendengar ini."Aku tahu kalau Nana bukan orang yang suka menyebarkan berita."Dia menarik napas dalam-dalam. "Apa aku boleh bicara sambil duduk?"Maxime menoleh ke pengawalnya, yang dengan cepat memindahkan kursi untuk Morgan.Morgan duduk dengan pandangan tajam."Tadi malam aku sama Nana melakukan sesuatu yang seharusnya terjadi sejak dulu."Sesuatu yang seharusnya terjadi sejak dulu?Maxime mengerutkan kening. "Terus terang saja, apa yang terjadi sebenarnya."Dia tidak suka dengan pernyataan bodoh itu."Hal-hal yang berhubungan dengan suami istri!" kata Morgan.Detik berikutnya, Maxime bangkit dan menendang tepat di jantungnya."Braak!" Dengan gebrakan keras, Morgan jatuh tersungkur ke lantai. Tangannya menutupi dadanya, napasnya terengah-engah.
Detik berikutnya, Reina membuka matanya dan bertemu dengan tatapan Maxime yang penuh perhatian.Dia buru-buru meraih tangan Maxime. "Kenapa belum tidur?""Nggak bisa tidur, jadi nggak tidur lagi," jawab Maxime."Ya, tutup matamu dan tidur lagi. Besok kamu masih harus kerja," kata Reina.Maxime mengangguk, tetapi tidak melepaskan pelukannya.Dia bertanya dengan ragu-ragu, "Sepertinya kamu belum nyenyak sejak kembali dari tempat Sisil. Apa terjadi sesuatu di sana?"Reina membeku, tetapi kembali tenang dengan cepat."Memangnya apa yang bisa terjadi? Aku cuma nggak bisa tidur kalau bukan di kamar sendiri, jadi kurang tidur."Melihat Reina terus berbohong dan tidak mau mengatakannya, Maxime memutuskan untuk tidak melanjutkan masalah ini.Besok dia akan menemui Morgan dan menanyakan langsung kepada Morgan apa yang terjadi.Keesokan harinya.Reina terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang jauh lebih baik dan sudah tidak terlalu mengantuk lagi.Mungkin karena dipeluk oleh Maxime, jadi dia t
Mungkin terlalu mengantuk, Reina langsung tertidur setelah berbaring.Dia tidak tahu bahwa Maxime masih belum tertidur.Maxime perlahan membuka matanya setelah mendengar suara napas teratur Reina.Cahaya di dalam kamar membuatnya bisa melihat garis-garis wajah Reina. Maxime menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu, tatapannya tertuju pada lehernya.Reina sudah mandi dan berganti pakaian. Dia mengenakan pakaian yang menutupi bagian lehernya.Itu bukan baju tidur ....Maxime awalnya bertanya-tanya, mungkin saja syal itu yang jadi masalah. Sekarang, dia merasa bahwa Reina mengenakan syal untuk menghalangi sesuatu di lehernya.Tangannya terulur, berusaha untuk mencari tahu.Reina tertidur pulas.Gerakan Maxime ringan, cukup lembut untuk menurunkan kerah bajunya. Dia melihat sekilas bahwa ternyata ada kain kasa yang menutupi leher Reina. Dia samar-samar bisa melihat sedikit warna merah terang keluar dari kain kasa tersebut.Reina merasa lehernya gatal, jadi dia bergerak.Maxime segera menari
Mata Maxime menyipit saat mendengar Reina mengatakan itu.Matanya memperhatikan syal di leher Reina. "Baru?"Reina mengangguk. "Hmm.""Kamu sudah di kamar, jadi nggak dingin, lepas saja." Maxime menambahkan, sambil mengulurkan tangannya.Reina langsung bersandar mundur ke belakang. "Nggak apa. Aku masih kedinginan, jadi lebih baik pakai saja."Tangan Maxime yang terangkat membeku di udara, lalu dia menariknya kembali."Baiklah, nggak usah dilepas kalau kamu nggak mau."Kekhawatiran di hati Reina akhirnya menghilang.Dia memaksa dirinya untuk bangun walau masih mengantuk. "Aku agak lapar, ayo kita makan.""Ya."Reina berjalan melewati pandangan Maxime dan pergi menuju ruang makan di lantai bawah.Maxime hanya mengamatinya, merasa bahwa Reina menyembunyikan sesuatu darinya.Kenapa Reina tidak mengizinkannya melepas syal itu?Maxime tidak mengerti.Reina tiba di ruang makan di lantai bawah, di mana koki telah menyiapkan makanan dan membawanya ke meja makan.Dia juga memanggil anak-anak un
"Kenapa bawa aku ke sini?" tanya Reina.Maxime tidak menjawab, meraih tangannya dan berjalan ke depan.Reina dituntun olehnya ke dalam tempat bermain. Sejauh mata memandang, ada tempat permainan."Kamu?""Ngajak kamu main game," jawab Maxime.Reina sedikit terdiam. "Ekki benar, kamu cemburu."Maxime menunduk, mulutnya tertutup wajahnya begitu bangga."Aku nggak cemburu. Aku tahu kalian cuma teman biasa." Dia melanjutkan, "Bukannya barusan kamu bilang jarang main game? Kebetulan hari ini aku senggang, jadi aku bakal nemenin kamu."Saat mengatakan itu, dia menarik Reina ke depan sebuah mesin lempar koin.Sebelum Reina duduk, petugas membawa sekantong besar koin permainan dan meletakkannya di sampingnya."Nona bos, silakan main sampai puas."Reina tidak bisa berkata-kata saat melihat sekantong besar koin yang disodorkan kepadanya.Bukankah bermain game lempar koin agar bisa mendapatkan koin?Maxime memberinya begitu banyak koin, lalu dari mana tantangan jika memainkan game ini?"Katakan,