"Ayo makan."Sisil tersenyum, sekarang suasana hatinya sudah jauh lebih baik.Semua orang makan bersama dan Gaby merasa dia jadi tamu tidak diundang.Reina sekeluarga duduk bersama, Sisil ditemani Deron, hanya dirinya yang makan sendirian.Riki sepertinya menyadari ketidaknyamanan Gaby, jadi dia turun dari kursi dan mendatanginya."Tante Gaby, di sana terlalu ramai. Aku boleh duduk sama Tante nggak?""Boleh dong."Gaby merasa bahwa Riki sangat peka.Dia juga ingin punya anak yang imut dan perhatian seperti Riki.Semua orang duduk bersama untuk makan, kecuali Gaby dan Riki. Suasana mereka terasa aneh."Nana, makan yang banyak." Maxime sengaja menyendokkan lauk ke piring Reina di hadapan Deron.Waktu dulu Maxime buta, dia sangat mengkhawatirkan posisi Deron. Bagaimanapun, Reina dan Deron selalu bersama setiap hari dan Deron memang pria yang baik.Maxime tidak tahu kalau sebenarnya Deron sama sekali tidak tertarik pada Reina.Reina tidak tahu apa yang merasuki Maxime hari ini, Reina melir
Deron melanjutkan dan berkata, "Bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku menganggapnya sebagai teman."Maxime agak terkejut saat mendengar ini."Pak Maxime harusnya pernah menyelidiki tentangku. Sekarang aku cuma ingin hidup seperti orang biasa dan nggak mau terlibat banyak pertarungan. Jangan khawatir, aku hanya akan memperlakukan Reina sebagai teman.""Baguslah kalau begitu."Maxime menatap Deron, pria ini tidak terlihat membohonginya.Lagi pula, bukan sikap pria sejati yang akan berbohong saat kedua pria bicara empat mata."Aku sudah salah paham. Selanjutnya, mohon bantuannya ya." Maxime mengulurkan tangannya.Deron menyambut jabatan tangan Maxime. Kali ini, sudah tidak ada aura permusuhan seperti sebelumnya.Reina mendapati Maxime lama sekali tidak kembali ke dalam rumah. Reina pun keluar rumah dan mendapati Maxime sedang mengobrol dengan Deron.Reina berjalan mendekat, kebetulan Maxime yang sudah selesai bicara dengan Deron juga berjalan balik ke dalam rumah."Barusan ngobrolin apa s
"Suruh orang ikuti Raisa, laporkan padaku dia pergi ke mana dan ngapain."Raisa adalah kartu truf Syena, tidak boleh ada kesalahan apa pun.Syena menutup telepon dan kembali ke kamar untuk beristirahat....Begitu Raisa sudah di luar, mobil Reina sudah menunggu. Raisa langsung masuk mobil itu tanpa tahu kalau dia sedang diawasi."Nona Reina, mana ibuku?" Raisa terlihat sangat cemas, "Apa terjadi sesuatu padanya?"Setelah hilang selama berhari-hari dan tidak dapat dihubungi, Raisa pun mulai terpikir kemungkinan terburuk.Reina menatap Raisa, wanita ini sepertinya tidak tahu apa-apa."Kamu akan tahu kalau sudah sampai."Mobil Reina pun melaju dan tidak berapa lama dia menyadari ada mobil yang mengikuti mereka.=Dia mengernyit, "Kalian berdua, duduk baik-baik ya. Ada yang mengikuti kita.""Hah?" Raisa tercengang, "Siapa yang mengikuti kita?"Deron tidak menjawab dan hanya mempercepat laju mobilnya.Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, dia berhasil menyingkirkan orang yang membuntuti mer
Deron memberi tahu Raisa semua yang dia ketahui.Raisa membelalak kaget, "Ada orang yang mau membunuh ibuku?"Raisa membelalak tidak percaya. Dulu mereka hanya orang biasa, tidak punya uang atau kekuasaan, mereka juga tidak pernah menyinggung siapa pun di sekitar mereka.Tapi sekarang ...."Apa ini ulah Liane?"Raisa meraih tangan Reina dan bertanya.Setelah Raisa pikir-pikir, besar kemungkinan Liane yang mencoba membunuh ibunya.Lagi pula, mana mungkin seorang bos besar seperti Liane akan membiarkan putrinya memiliki dua ibu?Reina juga terpikir akan hal ini, tapi tidak ada bukti."Aku nggak tahu. Kita nggak punya bukti bahwa Liane yang mencelakainya."Raisa mengangkat tangannya untuk menyeka air mata dari sudut matanya, "Aku yakin pasti dia. Aku tahu, dulu dia pernah membuat Syena memutuskan hubungan ibu-anak dengan ibu kandungnya supaya Syena cuma punya seorang ibu."Elly yang menceritakan hal ini pada Raisa.Dulu Raisa merasa hal ini sangat tidak masuk di akal. Kalau dia berdiri di
Ternyata, Maxime mengiriminya pesan."Malam ini kamu nggak pulang?"Maxime mengiriminya pesan jam 11 malam.Reina membalas: "Ya, aku nggak pulang, sudah kemalaman, jadi aku nginap di luar."Reina pikir Maxime sudah tidur, tidak disangka Maxime langsung membalas pesannya."Semalam ini masih belum tidur? Apa terjadi sesuatu?" Maxime tidak bisa tidur karena terus menunggu balasan dari Reina.Meski sedang istirahat, Maxime tetap terjaga. Dia juga sudah menyetel nada dering khusus untuk Reina.Reina dapat melihat sepertinya Maxime mengkhawatirkannya, jadi Reina memberi tahu secara singkat situasinya sekarang."Iya, aku lagi menjenguk teman. Sekarang dia sakit parah dan tempat dia dirawat jauh banget. Dokter bilang kondisi temanku kritis, jadi sekarang aku baru sempat istirahat."Maxime merasa lega setelah membaca pesan Reina."Ayo cepat tidur.""Ya."Reina mematikan ponselnya.Maxime juga bersiap tidur dan memutuskan untuk mendatangi Reina besok....Di sisi lain, di rumah Keluarga Hinandar
Raisa tidak tidur lama. Dia baru ingat pada ponselnya yang mati, setelah diisi daya, dia mendapati Syena sudah meneleponnya berkali-kali.Dia langsung menelepon kembali.Syena langsung mengangkatnya, "Raisa! Kamu ke mana aja? Kenapa nggak pulang semalaman? Sekarang kamu lagi sama siapa!"Raisa melirik Reina dan Reina juga menoleh.Raisa menjawab ragu-ragu, "Ah, maaf semalam aku terlalu banyak minum dan ketiduran. Ponselku juga mati, sekarang aku baru bangun. Maaf."Kalau bukan karena laporan bawahannya, Syena pasti akan memercayai alasan Raisa ini."Oh gitu? Kamu tahu nggak aku dan ibu khawatir banget sama kamu? Cepat pulang.""Tapi ...."Raisa sedikit bingung. Mana mungkin dia pulang sekarang saat ibunya terbaring tidak berdaya di rumah sakit?"Aku masih ada urusan, apa boleh aku nggak pulang buat beberapa hari?" Raisa bertanya ragu-ragu."Nggak pulang?"Syena meninggikan suaranya, bertanya-tanya apa Raisa sudah memberi tahu sesuatu pada Reina?Syena pun menjawab dengan nada serius, "
Kalau mereka dibuntuti Maxime, Deron pasti akan melaporkannya pada Reina.Maxime meminta Reina masuk ke mobil dulu lalu bicara.Setelah itu, Maxime menjawab, "Kan kemarin kamu kirim pesan ke aku, ya aku minta orang buat melacak posisimu. Ini nggak termasuk membuntutimu, 'kan?"Maxime tahu Reina tidak suka dibuntuti.Reina terdiam, tindakan ini memang tidak termasuk menguntit."Lain kali kalau mau datengin aku, tanya aku dulu baru periksa lokasiku, oke?""Oke."Maxime langsung menyetujuinya.Melihat Maxime tidak membantah, Reina merasa sedikit lebih nyaman dan tidak mengatakan apa pun lagi."Anterin aku ke kantor ya? Aku mau merem sebentar."Reina kurang tidur, dia ingin tidur sebentar di mobil.Mungkin karena terlalu lelah, tidak berapa lama pun dia langsung terlelap.Maxime memeluknya dan berbisik pada sopir, "Pelan-pelan.""Ya."...Sesampainya di rumah, Raisa melihat Syena dan Liane duduk di ruang tamu.Liane terlihat sangat cemas, "Raisa, kamu nggak apa-apa?"Sejak Raisa tinggal be
Ketika Raisa mendengar tentang pengobatan putranya, dia langsung gelap mata dan membeberkan segalanya pada Syena."Reina bukan mencariku karena tahu identitasku. Dia cuma mau ngasih tahu kalau dia sudah menemukan ibuku."Setelah mendengar ini, Syena terkejut, "Apa?"Dia langsung kembali tenang, lalu pura-pura kebingungan."Bukannya ibumu ada di rumah? Apa maksudnya dia nemuin ibumu? Sekarang dia ada di mana?""Belakangan ini ibuku hilang jejak. Aku sendiri sudah mencoba mencarinya tapi nggak ada petunjuk sama sekali. Kemarin, Reina meneleponku untuk menemuinya. Baru kemarin aku tahu kalau ada orang yang mau membunuh ibuku." Mata Raisa sudah memerah dan berkaca-kaca.Ketika Syena mendengar ini, dia berpura-pura bersimpati, "Hah? Ibumu mati? Turut berbela sungkawa ya. Nanti tunggu Ibu bangun, kita minta Ibu mengatur pemakaman ibumu. "Syena pikir, ibu Raisa memang sudah meninggal.Namun apa yang dikatakan Raisa selanjutnya membuatnya bergidik."Ibuku dirawat di rumah sakit sekarang, dia
Morgan tidak bisa menghindar, tidak punya pilihan selain menerima pukulan keras itu.Darah keluar dari sudut mulutnya, tubuhnya limbung. Cengkeraman tangannya di lengan Jess terlepas saat dia terdorong mundur dan hampir jatuh ke tanah.Erik mengepalkan tinjunya dan berdiri di antara dia dan Jess, menatap Morgan dengan dingin."Aku sudah berbaik hati mengantarmu ke rumah sakit, tapi aku nggak menyangka kamu akan datang ke sini dan berbuat kasar sama Jess. Sepertinya kamu masih belum cukup sadar, jadi aku akan membuatmu sadar!"Jika dia tidak datang untuk menjemput Jess, dia tidak akan melihat adegan Morgan yang mengganggu Jess.Dia mengatupkan giginya karena marah, ada sedikit kejengkelan dalam tatapannya saat dia menatap Jess."Kamu baik-baik saja?" tanyanya.Jess sedikit panik saat mendengar pertanyaannya, tetapi dia mengangguk. "Ya, aku baik-baik saja."Erik menoleh ke arah Morgan dan melangkah mendekatinya.Morgan berdiri diam sebelum menatap orang di depannya. Dia mengangkat tangan
Morgan melihat ke arah panggilan yang ditutup, suasana hatinya langsung jatuh ke titik terendah.Namun, dia tidak beranjak pergi.Di dalam perusahaan.Jess mengira Morgan sudah pergi, jadi dia berkemas seperti biasa dan keluar dari perusahaan.Sebelum dia keluar, Erik bahkan mengiriminya pesan."Aku jemput, ya?"Jess membalas pesan itu, "Nggak perlu, aku pulang sendiri saja."Dia terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri, bahkan setelah menghabiskan banyak waktu dengan Erik, dia masih belum terbiasa untuk dijaga olehnya seperti itu."Penolakan ditolak, aku sudah di lantai bawah perusahaanmu, cepat keluar." Erik tersenyum dan mengirimkan pesan itu.Jess sedikit tidak berdaya saat melihat pesan itu, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi.Erik memang seperti itu, selalu melakukan segala sesuatu terlebih dahulu, baru memberitahunya. Jess sudah terbiasa dengan hal itu.Berjalan keluar dari pintu perusahaan, Jess mencari-cari mobil Erik. Namun, sebelum dia bisa menemukannya, sesosok tu
Morgan hanya perlu menunggu persetujuan Jess, tidak mempermasalahkan apakah Jess sudah menikah atau belum.Jess tidak tahu harus bahagia atau sedih saat ini.Ternyata orang yang dia sukai kini juga menyukainya. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.Namun, yang menyedihkan adalah dia sudah menikah. Pernikahan ini diatur oleh orang tuanya, yang juga atas keinginannya sendiri. Erik memperlakukannya dengan baik, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu yang kiranya bisa mengkhianati Erik."Maafkan aku, Tuan Morgan. Tuan mungkin sudah salah paham dengan niatku untuk Tuan. Tuan itu atasanku, jadi aku harus bersikap baik kepada Tuan karena tuntutan pekerjaan, bukan karena aku menyukai Tuan seperti yang Tuan katakan." Jess terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, "Selain itu, aku sudah menikah dan suamiku memperlakukanku dengan sangat baik. Kami berdua saling mencintai dan aku nggak akan menceraikannya."Kami berdua saling mencintai!Kata-kata itu sangat tajam dan menusuk ketika terdenga
Morgan membuka kontaknya dan melihat catatan panggilan pegawai tempat dia minum dengan Jess saat dia mabuk.Pikirannya kacau dan dia ingin sekali memastikannya.Entah sudah berlalu berapa lama, Morgan akhirnya berhasil menghubungi nomor Jess.Pada saat itu, Jess sedang sendirian di dalam perusahaan, sementara Erik pergi untuk menjalankan tugasnya sendiri setelah mengantarnya.Melihat panggilan dari Morgan, Jess ragu-ragu sejenak sebelum mengangkatnya."Tuan Morgan, ada apa?"Tuan Morgan?Morgan sedikit terdiam saat mendengar panggilan yang tidak biasanya digunakan Jess saat memanggilnya."Kamu yang membawaku ke rumah sakit hari ini?" tanya Morgan.Jess tidak mencoba menyembunyikan apa pun dan menjawab, "Aku dan Erik yang mengantarmu. Untung saja ada dia yang membantu. Kalau nggak, aku nggak akan bisa membawamu ke rumah sakit sendirian."Sepanjang jawabannya, dia menyebutkan nama Erik hingga beberapa kali.Morgan mengerti bahwa ini adalah untuk memberitahukan bahwa dia dan Erik sudah me
Simpul di tenggorokan Morgan bergulir. Dia menggunakan seluruh kekuatannya untuk membuka matanya dan melihat Jess. Ketika dia yakin itu adalah Jess, dia langsung mengangkat kedua tangannya.Jess tidak tahu apa yang ingin dilakukan Morgan, jadi dia mendekat dan bertanya kepadanya."Tuan Morgan, apa Tuan baik-baik saja? Apa ada yang nggak nyaman? Apa Tuan butuh air? Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit."Begitu kata-kata terakhir itu terucap, tangan Morgan tiba-tiba mendarat di sisi wajahnya.Pria itu bergumam dengan suara pelan, "Jess? Apa aku sedang ... bermimpi?"Wajah Jess terasa panas, tubuhnya menegang dan dia menatapnya tidak percaya.Wajah Erik yang duduk di samping langsung berubah muram. Dia mengangkat tangannya untuk menepis tangan Morgan."Ngapain kamu?"Tangan Morgan jatuh dan dia benar-benar kehabisan tenaga, menutup matanya lagi.Jess menatap Erik dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Maafkan aku."Erik kesal, tetapi tidak menunjukkannya."Dia yang menyentuhmu, jadi kam
Ketika Jess dan Erik sampai, mereka langsung dimarahi."Kalian akhirnya datang juga. Bukan hanya mabuk, dia juga merusak banyak minuman di toko kami. Jadi, jangan lupa bayar dulu sebelum kalian membawanya pergi," kata pemilik tempat itu.Mendengar itu, Jess melihat ke arah yang pria ini tunjuk.Ini adalah pertama kalinya dia melihat Morgan seperti itu.Pakaiannya sedikit acak-acakan, wajahnya berjanggut dan sedikit tidak terawat. Dia mabuk berat, duduk tidak berdaya di kursi. Ada banyak pecahan botol di sekelilingnya, membuat udara pekat oleh bau alkohol.Mata Jess terlihat khawatir. Dia hendak meminta maaf kepada pemilik tempat ini, tetapi Erik yang berada di antara mereka berkata dengan dingin, "Apa kalian nggak tanggung jawab? Apa kamu tahu, kalau sesuatu terjadi dengannya di tempatmu ini, tidak ada satu pun dari kalian yang bisa lepas dari tanggung jawab."Dia tidak sebaik Jess."Itu masalah dia, apa hubungannya dengan kita?" Pelayan tidak terintimidasi oleh perkataan Erik.Ini ada
Jess sedikit tidak percaya. Kesehatan Morgan tidak baik. Selama bertahun-tahun dia merawatnya, dia tidak pernah melihat Morgan minum.Sekarang, mendengar nada bicara pria itu, Morgan sepertinya sedang mabuk berat.Namun ....Jess menoleh ke arah Erik, hatinya terkoyak.Dia sudah menikah dan bertekad untuk menjauhi Morgan. Dia tidak akan pernah bisa mengkhianati Erik."Itu, aku nggak bisa ke sana. Kalau kamu ada waktu, tolong antar dia ke rumah sakit. Setelah dia sadar dari mabuk, dia pasti akan sangat berterima kasih kepadamu," jawab Jess dengan sopan."Apa kamu bercanda? Kamu yang temannya saja nggak mau antar dia ke rumah sakit, apalagi aku yang cuma orang asing? Kamu ingin aku mengantarnya? Aku masih harus kerja." Pria itu menjawab dengan tidak sabar. "Kalau kamu nggak datang, aku juga nggak peduli lagi."Setelah mengatakan itu, pria di seberang sana menutup telepon.Wajah Jess terlihat cemas.Melihat ini, Erik tidak bisa menahan diri dan bertanya, "Ada apa?""Morgan mabuk." Jess me
"Nona Reina." Jess memanggilnya terlebih dahulu.Reina mengangguk dan menuntun kedua anaknya berjalan ke arah mereka.Kedua anak itu dengan sopan memanggil mereka, "Om Erik, Tante Jess.""Hmm." Jess tersenyum, menunjukkan senyuman lembut.Erik juga tersenyum. "Kita baru sebentar nggak bertemu, kalian sudah tambah tinggi rupanya."Dulu, ketika berada di luar negeri, Erik pernah bertemu kedua anak ini beberapa kali saat mengikuti Revin. Jadi, dia cukup akrab dengan keduanya.Kedua anak itu juga memiliki cukup akrab dengannya."Om Erik kapan punya anak? Hari ini kami ikut Mama ke rumah sakit dan melihat bayi yang dilahirkan Tante Alana, lucu sekali." Riki bertanya sambil mengedipkan mata.Mendengar kata anak, wajah Erik dan Jess langsung berubah.Namun, semua itu menghilang dengan cepat.Erik terbatuk-batuk dua kali. "Hal semacam ini nggak bisa dipaksakan, nggak boleh buru-buru juga.""Oh." Riki sepertinya mengerti, dia pun mengangguk. "Om Erik dan Tante Jess harus lebih semangat. Setelah
Alana sengaja menggoda Riki. "Riki, kenapa kamu bilang begitu? Aku dan mamamu sudah seperti kakak adik, jadi wajar saja kalau kami jadi mak comblang anak kami sendiri. Bukankah kamu sering melihat itu di drama TV?""Jangan khawatir, kali ini Tante memang belum melahirkan anak perempuan, tapi lain kali Tante baka berusaha lebih keras lagi agar bisa melahirkan anak perempuan yang cantik. Saat itu tiba, aku akan menikahkannya denganmu, ya? Kamu sangat pengertian, pasti kamu akan memperlakukannya dengan baik, bukan?"Riki jauh mudah ditipu ketimbang Riko. Berpikir bahwa Alana berencana akan melahirkan anak perempuan di kemudian hari, dia langsung merasa ngeri."Tante Alana, aku ... mungkin aku nggak akan nikah."Dia ketakutan sampai punya pikiran untuk tidak menikah.Reina menggodanya, "Tapi bukannya kamu pernah bilang kalau Talitha cantik? Katamu, siapa yang bisa nikah sama dia, orang itu pasti sangat bahagia.""Hah? Kamu suka punya seseorang yang kamu suka?" Alana memasang wajah terkejut