Ternyata, Maxime mengiriminya pesan."Malam ini kamu nggak pulang?"Maxime mengiriminya pesan jam 11 malam.Reina membalas: "Ya, aku nggak pulang, sudah kemalaman, jadi aku nginap di luar."Reina pikir Maxime sudah tidur, tidak disangka Maxime langsung membalas pesannya."Semalam ini masih belum tidur? Apa terjadi sesuatu?" Maxime tidak bisa tidur karena terus menunggu balasan dari Reina.Meski sedang istirahat, Maxime tetap terjaga. Dia juga sudah menyetel nada dering khusus untuk Reina.Reina dapat melihat sepertinya Maxime mengkhawatirkannya, jadi Reina memberi tahu secara singkat situasinya sekarang."Iya, aku lagi menjenguk teman. Sekarang dia sakit parah dan tempat dia dirawat jauh banget. Dokter bilang kondisi temanku kritis, jadi sekarang aku baru sempat istirahat."Maxime merasa lega setelah membaca pesan Reina."Ayo cepat tidur.""Ya."Reina mematikan ponselnya.Maxime juga bersiap tidur dan memutuskan untuk mendatangi Reina besok....Di sisi lain, di rumah Keluarga Hinandar
Raisa tidak tidur lama. Dia baru ingat pada ponselnya yang mati, setelah diisi daya, dia mendapati Syena sudah meneleponnya berkali-kali.Dia langsung menelepon kembali.Syena langsung mengangkatnya, "Raisa! Kamu ke mana aja? Kenapa nggak pulang semalaman? Sekarang kamu lagi sama siapa!"Raisa melirik Reina dan Reina juga menoleh.Raisa menjawab ragu-ragu, "Ah, maaf semalam aku terlalu banyak minum dan ketiduran. Ponselku juga mati, sekarang aku baru bangun. Maaf."Kalau bukan karena laporan bawahannya, Syena pasti akan memercayai alasan Raisa ini."Oh gitu? Kamu tahu nggak aku dan ibu khawatir banget sama kamu? Cepat pulang.""Tapi ...."Raisa sedikit bingung. Mana mungkin dia pulang sekarang saat ibunya terbaring tidak berdaya di rumah sakit?"Aku masih ada urusan, apa boleh aku nggak pulang buat beberapa hari?" Raisa bertanya ragu-ragu."Nggak pulang?"Syena meninggikan suaranya, bertanya-tanya apa Raisa sudah memberi tahu sesuatu pada Reina?Syena pun menjawab dengan nada serius, "
Kalau mereka dibuntuti Maxime, Deron pasti akan melaporkannya pada Reina.Maxime meminta Reina masuk ke mobil dulu lalu bicara.Setelah itu, Maxime menjawab, "Kan kemarin kamu kirim pesan ke aku, ya aku minta orang buat melacak posisimu. Ini nggak termasuk membuntutimu, 'kan?"Maxime tahu Reina tidak suka dibuntuti.Reina terdiam, tindakan ini memang tidak termasuk menguntit."Lain kali kalau mau datengin aku, tanya aku dulu baru periksa lokasiku, oke?""Oke."Maxime langsung menyetujuinya.Melihat Maxime tidak membantah, Reina merasa sedikit lebih nyaman dan tidak mengatakan apa pun lagi."Anterin aku ke kantor ya? Aku mau merem sebentar."Reina kurang tidur, dia ingin tidur sebentar di mobil.Mungkin karena terlalu lelah, tidak berapa lama pun dia langsung terlelap.Maxime memeluknya dan berbisik pada sopir, "Pelan-pelan.""Ya."...Sesampainya di rumah, Raisa melihat Syena dan Liane duduk di ruang tamu.Liane terlihat sangat cemas, "Raisa, kamu nggak apa-apa?"Sejak Raisa tinggal be
Ketika Raisa mendengar tentang pengobatan putranya, dia langsung gelap mata dan membeberkan segalanya pada Syena."Reina bukan mencariku karena tahu identitasku. Dia cuma mau ngasih tahu kalau dia sudah menemukan ibuku."Setelah mendengar ini, Syena terkejut, "Apa?"Dia langsung kembali tenang, lalu pura-pura kebingungan."Bukannya ibumu ada di rumah? Apa maksudnya dia nemuin ibumu? Sekarang dia ada di mana?""Belakangan ini ibuku hilang jejak. Aku sendiri sudah mencoba mencarinya tapi nggak ada petunjuk sama sekali. Kemarin, Reina meneleponku untuk menemuinya. Baru kemarin aku tahu kalau ada orang yang mau membunuh ibuku." Mata Raisa sudah memerah dan berkaca-kaca.Ketika Syena mendengar ini, dia berpura-pura bersimpati, "Hah? Ibumu mati? Turut berbela sungkawa ya. Nanti tunggu Ibu bangun, kita minta Ibu mengatur pemakaman ibumu. "Syena pikir, ibu Raisa memang sudah meninggal.Namun apa yang dikatakan Raisa selanjutnya membuatnya bergidik."Ibuku dirawat di rumah sakit sekarang, dia
Belakangan ini, begitu Reina ada waktu, dia pasti akan mengunjungi Elly.Sayangnya setelah beberapa hari, Elly masih belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar.Dokter juga bingung, "Aneh. Pasien ini punya tekad bertahan hidup yang kuat, harusnya dia sudah sadar.""Dokter, tolong jaga dia baik-baik. Kalau terjadi sesuatu, tolong beri tahu aku secepatnya," kata Reina."Oke."Setelah dokter menyanggupi, Reina pun pergi.Reina langsung pergi ke kantor cabang XS yang dulunya adalah Grup Yinandar.Karena terakhir kali mereka sudah mengusir Tanu, Syena dan para antek-anteknya, pagi ini Reina dapat kabar kalau mereka datang dengan membawa awak media dan melakukan protes di luar gedung perusahaan.Mereka para pendemo membentangkan sebuah spanduk lebar.Tanu dan Syena duduk di dalam mobil, tidak jauh dari sana.Tanu menatap dengan tajam, "Anak muda zaman sekarang terlalu kekanak-kanakan. Dia pikir bisa melakukan apa pun yang diinginkan karena dia memegang sebagian besar saham perusahaan? Hmph, ak
Reina tetap tenang dan menelepon kepala satpam yang baru dipekerjakannya, "Kami sudah sampai di pintu masuk kantor, apa bisa kawal kami?"Kepala satpam adalah pengawal terlatih pilihan Deron."Ya, jangan khawatir, kami akan menjemputmu."Reina menutup telepon dan meminta sopir untuk terus mengemudi ke pintu kantor.Sopir melajukan mobilnya sampai akhirnya mobil Reina dikepung orang banyak.Karena tahu Reina sedang hamil, mereka sengaja berpenampilan garang dan menggedor-gedor jendela mobil."Keluarlah, bos bajingan! Keluar dan tanggung jawab!"Mereka yang berteriak adalah orang bertubuh besar dan punya peringai kasar. Sekilas langsung ketahuan mereka bukanlah orang baik.Sopir ciut, wajahnya pucat pasi.Reina tetap tenang karena mobil mereka tahan peluru. Tidak peduli berapa kali orang-orang ini memukul jendela, mereka sendirilah yang merasa tangannya kesakitan.Reina duduk tenang dan meyakinkan si sopir, "Jangan takut, nggak apa-apa."Sopir itu sangat mengagumi keberanian Reina. Seora
Ekki juga mengaguminya, "Dulu kupikir Nyonya adalah orang yang lembut dan lemah, aku nggak nyangka ternyata dia lembut di luar dan kuat di dalam. Hebat sekali dia bisa begitu tenang di hadapan begitu banyak orang. "Maxime menyunggingkan senyum dan terlihat sangat bangga."Tentu saja, istriku!"Dia begitu bahagia saat mendengar orang lain memuji istrinya.Maxime belum keluar dari mobil, dia ingin Reina menangani perkara ini sendiri.Para pendemo awalnya terdiam, namun setelah menerima instruksi Tanu, mereka kembali beraksi."Hahh ... Teman-teman wartawan, lihat nggak kelakuan wanita ini? Ini yang namanya manusia?""Keluarga kami lagi kesulitan begini, dia malah menghina kami. Mana mungkin biaya kompensasinya cukup untuk kami hidup?""Iya! Ibuku masih dirawat di rumah sakit, kalau begini sama saja dia sudah membunuhnya!"Orang-orang ini sungguh tidak tahu malu.Reina tidak tinggal diam.Reina tersenyum dan menghampiri pria yang memegang foto ibunya di rumah sakit, "Kak, ibumu terlihat s
Tanu mulai menelepon pemimpin pendemo, "Sekarang, nggak usah bersikap masuk akal. Tangkap dan hajar Reina! Lebih bagus kalau bisa mengenai perutnya, tapi jangan terlalu terang-terangan ya!""Selama kalian bisa membunuh anak Reina, aku akan kasih kalian masing-masing dua miliar!"Dua miliar bagi orang awam tentu angka yang besar.Pemimpin pendemo langsung setuju.Dia memberi perintah pada semua orang melalui headset.Mereka tentu gelap mata karena bisa mendapat uang sebanyak itu hanya dengan membunuh janin Reina. Mereka tidak perlu masuk penjara karena bisa berdalih ini semua perbuatan tidak sengaja.Mata semua orang tertuju seketika pada Reina!Semuanya berjalan mendekat."Dasar bos nggak punya hati! Kuhajar kamu!"Orang pertama maju, disusul orang kedua.Mata Sisil menegang, dia melindungi Reina dengan menghentikan para pendemo mendekat.Gaby dan Brigitta juga langsung melindungi Reina.Para satpam juga bergerak melindungi Reina.Namun para pendemo benar-benar menolak menyerah dan maj
Morgan tidak bisa menghindar, tidak punya pilihan selain menerima pukulan keras itu.Darah keluar dari sudut mulutnya, tubuhnya limbung. Cengkeraman tangannya di lengan Jess terlepas saat dia terdorong mundur dan hampir jatuh ke tanah.Erik mengepalkan tinjunya dan berdiri di antara dia dan Jess, menatap Morgan dengan dingin."Aku sudah berbaik hati mengantarmu ke rumah sakit, tapi aku nggak menyangka kamu akan datang ke sini dan berbuat kasar sama Jess. Sepertinya kamu masih belum cukup sadar, jadi aku akan membuatmu sadar!"Jika dia tidak datang untuk menjemput Jess, dia tidak akan melihat adegan Morgan yang mengganggu Jess.Dia mengatupkan giginya karena marah, ada sedikit kejengkelan dalam tatapannya saat dia menatap Jess."Kamu baik-baik saja?" tanyanya.Jess sedikit panik saat mendengar pertanyaannya, tetapi dia mengangguk. "Ya, aku baik-baik saja."Erik menoleh ke arah Morgan dan melangkah mendekatinya.Morgan berdiri diam sebelum menatap orang di depannya. Dia mengangkat tangan
Morgan melihat ke arah panggilan yang ditutup, suasana hatinya langsung jatuh ke titik terendah.Namun, dia tidak beranjak pergi.Di dalam perusahaan.Jess mengira Morgan sudah pergi, jadi dia berkemas seperti biasa dan keluar dari perusahaan.Sebelum dia keluar, Erik bahkan mengiriminya pesan."Aku jemput, ya?"Jess membalas pesan itu, "Nggak perlu, aku pulang sendiri saja."Dia terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri, bahkan setelah menghabiskan banyak waktu dengan Erik, dia masih belum terbiasa untuk dijaga olehnya seperti itu."Penolakan ditolak, aku sudah di lantai bawah perusahaanmu, cepat keluar." Erik tersenyum dan mengirimkan pesan itu.Jess sedikit tidak berdaya saat melihat pesan itu, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi.Erik memang seperti itu, selalu melakukan segala sesuatu terlebih dahulu, baru memberitahunya. Jess sudah terbiasa dengan hal itu.Berjalan keluar dari pintu perusahaan, Jess mencari-cari mobil Erik. Namun, sebelum dia bisa menemukannya, sesosok tu
Morgan hanya perlu menunggu persetujuan Jess, tidak mempermasalahkan apakah Jess sudah menikah atau belum.Jess tidak tahu harus bahagia atau sedih saat ini.Ternyata orang yang dia sukai kini juga menyukainya. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.Namun, yang menyedihkan adalah dia sudah menikah. Pernikahan ini diatur oleh orang tuanya, yang juga atas keinginannya sendiri. Erik memperlakukannya dengan baik, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu yang kiranya bisa mengkhianati Erik."Maafkan aku, Tuan Morgan. Tuan mungkin sudah salah paham dengan niatku untuk Tuan. Tuan itu atasanku, jadi aku harus bersikap baik kepada Tuan karena tuntutan pekerjaan, bukan karena aku menyukai Tuan seperti yang Tuan katakan." Jess terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, "Selain itu, aku sudah menikah dan suamiku memperlakukanku dengan sangat baik. Kami berdua saling mencintai dan aku nggak akan menceraikannya."Kami berdua saling mencintai!Kata-kata itu sangat tajam dan menusuk ketika terdenga
Morgan membuka kontaknya dan melihat catatan panggilan pegawai tempat dia minum dengan Jess saat dia mabuk.Pikirannya kacau dan dia ingin sekali memastikannya.Entah sudah berlalu berapa lama, Morgan akhirnya berhasil menghubungi nomor Jess.Pada saat itu, Jess sedang sendirian di dalam perusahaan, sementara Erik pergi untuk menjalankan tugasnya sendiri setelah mengantarnya.Melihat panggilan dari Morgan, Jess ragu-ragu sejenak sebelum mengangkatnya."Tuan Morgan, ada apa?"Tuan Morgan?Morgan sedikit terdiam saat mendengar panggilan yang tidak biasanya digunakan Jess saat memanggilnya."Kamu yang membawaku ke rumah sakit hari ini?" tanya Morgan.Jess tidak mencoba menyembunyikan apa pun dan menjawab, "Aku dan Erik yang mengantarmu. Untung saja ada dia yang membantu. Kalau nggak, aku nggak akan bisa membawamu ke rumah sakit sendirian."Sepanjang jawabannya, dia menyebutkan nama Erik hingga beberapa kali.Morgan mengerti bahwa ini adalah untuk memberitahukan bahwa dia dan Erik sudah me
Simpul di tenggorokan Morgan bergulir. Dia menggunakan seluruh kekuatannya untuk membuka matanya dan melihat Jess. Ketika dia yakin itu adalah Jess, dia langsung mengangkat kedua tangannya.Jess tidak tahu apa yang ingin dilakukan Morgan, jadi dia mendekat dan bertanya kepadanya."Tuan Morgan, apa Tuan baik-baik saja? Apa ada yang nggak nyaman? Apa Tuan butuh air? Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit."Begitu kata-kata terakhir itu terucap, tangan Morgan tiba-tiba mendarat di sisi wajahnya.Pria itu bergumam dengan suara pelan, "Jess? Apa aku sedang ... bermimpi?"Wajah Jess terasa panas, tubuhnya menegang dan dia menatapnya tidak percaya.Wajah Erik yang duduk di samping langsung berubah muram. Dia mengangkat tangannya untuk menepis tangan Morgan."Ngapain kamu?"Tangan Morgan jatuh dan dia benar-benar kehabisan tenaga, menutup matanya lagi.Jess menatap Erik dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Maafkan aku."Erik kesal, tetapi tidak menunjukkannya."Dia yang menyentuhmu, jadi kam
Ketika Jess dan Erik sampai, mereka langsung dimarahi."Kalian akhirnya datang juga. Bukan hanya mabuk, dia juga merusak banyak minuman di toko kami. Jadi, jangan lupa bayar dulu sebelum kalian membawanya pergi," kata pemilik tempat itu.Mendengar itu, Jess melihat ke arah yang pria ini tunjuk.Ini adalah pertama kalinya dia melihat Morgan seperti itu.Pakaiannya sedikit acak-acakan, wajahnya berjanggut dan sedikit tidak terawat. Dia mabuk berat, duduk tidak berdaya di kursi. Ada banyak pecahan botol di sekelilingnya, membuat udara pekat oleh bau alkohol.Mata Jess terlihat khawatir. Dia hendak meminta maaf kepada pemilik tempat ini, tetapi Erik yang berada di antara mereka berkata dengan dingin, "Apa kalian nggak tanggung jawab? Apa kamu tahu, kalau sesuatu terjadi dengannya di tempatmu ini, tidak ada satu pun dari kalian yang bisa lepas dari tanggung jawab."Dia tidak sebaik Jess."Itu masalah dia, apa hubungannya dengan kita?" Pelayan tidak terintimidasi oleh perkataan Erik.Ini ada
Jess sedikit tidak percaya. Kesehatan Morgan tidak baik. Selama bertahun-tahun dia merawatnya, dia tidak pernah melihat Morgan minum.Sekarang, mendengar nada bicara pria itu, Morgan sepertinya sedang mabuk berat.Namun ....Jess menoleh ke arah Erik, hatinya terkoyak.Dia sudah menikah dan bertekad untuk menjauhi Morgan. Dia tidak akan pernah bisa mengkhianati Erik."Itu, aku nggak bisa ke sana. Kalau kamu ada waktu, tolong antar dia ke rumah sakit. Setelah dia sadar dari mabuk, dia pasti akan sangat berterima kasih kepadamu," jawab Jess dengan sopan."Apa kamu bercanda? Kamu yang temannya saja nggak mau antar dia ke rumah sakit, apalagi aku yang cuma orang asing? Kamu ingin aku mengantarnya? Aku masih harus kerja." Pria itu menjawab dengan tidak sabar. "Kalau kamu nggak datang, aku juga nggak peduli lagi."Setelah mengatakan itu, pria di seberang sana menutup telepon.Wajah Jess terlihat cemas.Melihat ini, Erik tidak bisa menahan diri dan bertanya, "Ada apa?""Morgan mabuk." Jess me
"Nona Reina." Jess memanggilnya terlebih dahulu.Reina mengangguk dan menuntun kedua anaknya berjalan ke arah mereka.Kedua anak itu dengan sopan memanggil mereka, "Om Erik, Tante Jess.""Hmm." Jess tersenyum, menunjukkan senyuman lembut.Erik juga tersenyum. "Kita baru sebentar nggak bertemu, kalian sudah tambah tinggi rupanya."Dulu, ketika berada di luar negeri, Erik pernah bertemu kedua anak ini beberapa kali saat mengikuti Revin. Jadi, dia cukup akrab dengan keduanya.Kedua anak itu juga memiliki cukup akrab dengannya."Om Erik kapan punya anak? Hari ini kami ikut Mama ke rumah sakit dan melihat bayi yang dilahirkan Tante Alana, lucu sekali." Riki bertanya sambil mengedipkan mata.Mendengar kata anak, wajah Erik dan Jess langsung berubah.Namun, semua itu menghilang dengan cepat.Erik terbatuk-batuk dua kali. "Hal semacam ini nggak bisa dipaksakan, nggak boleh buru-buru juga.""Oh." Riki sepertinya mengerti, dia pun mengangguk. "Om Erik dan Tante Jess harus lebih semangat. Setelah
Alana sengaja menggoda Riki. "Riki, kenapa kamu bilang begitu? Aku dan mamamu sudah seperti kakak adik, jadi wajar saja kalau kami jadi mak comblang anak kami sendiri. Bukankah kamu sering melihat itu di drama TV?""Jangan khawatir, kali ini Tante memang belum melahirkan anak perempuan, tapi lain kali Tante baka berusaha lebih keras lagi agar bisa melahirkan anak perempuan yang cantik. Saat itu tiba, aku akan menikahkannya denganmu, ya? Kamu sangat pengertian, pasti kamu akan memperlakukannya dengan baik, bukan?"Riki jauh mudah ditipu ketimbang Riko. Berpikir bahwa Alana berencana akan melahirkan anak perempuan di kemudian hari, dia langsung merasa ngeri."Tante Alana, aku ... mungkin aku nggak akan nikah."Dia ketakutan sampai punya pikiran untuk tidak menikah.Reina menggodanya, "Tapi bukannya kamu pernah bilang kalau Talitha cantik? Katamu, siapa yang bisa nikah sama dia, orang itu pasti sangat bahagia.""Hah? Kamu suka punya seseorang yang kamu suka?" Alana memasang wajah terkejut