Bab 4 : Penolakan
Setelah di dandani selama dua jam lebih oleh pihak salon, kini Hanna menjelma menjadi seorang Dewi yang turun dari langit. Semua orang terkecuali Naira puas dengan hasil make over kali ini.
“Ah, aku tak tahu kau sangat cantik sekali, kak,” ujar Naira basa basi dengan senyuman yang dibuat semanis mungkin.
Hanna tersenyum mendengar pujian tak tulus dari adik tirinya itu. Maka dari itu, Hanna pun akan mengikuti alur permainan yang dibuat oleh Naira.
“Aku tahu kalau aku cantik, Naira. Terima kasih atas pujiannya,” sahut Hanna dengan nada imut mirip anak kecil. Senyuman Naira pudar digantikan oleh wajah masam miliknya.
Lain kali, jangan mencari masalah denganku, bocah!
Hanna tertawa dalam hati melihat ekspresi Naira yang ia lihat begitu lucu. Wajah marah dan masamnya benar benar menjadi hiburan tersendiri. Hanna ingin sekali mengabadikan wajah adik tirinya itu menggunakan ponsel jika saja Azzura tak memanggil dirinya.
“Hanna, ayo kita masuk ke dalam. Keluarga Cakradara sudah menunggumu,”
Senyuman cantik milik Hanna hilang begitu saja mendengar kata Cakradara. Wajahnya sedikit pias dan tubuhnya bergetar hebat. Jujur saja, Hanna sangat takut berhadapan dengan mereka, orang yang membunuhnya di masa depan.
Melihat gelagat aneh dari anak tirinya, Azzura melihat kondisi Hanna dengan cara menangkupkan pipi tirus sang gadis ke dalam telapak tangannya.
“Hanna, kau baik baik saja?”
Hanna mengangguk mengiyakan saja pertanyaan Azzura agar ia tak ditanya lebih jauh. Gadis manis itu menjauhkan wajahnya dari tangan Azzura untuk menetralkan detak jantungnya yang menggila karena rasa takut. Secara spontan, Hanna memegang kembali dada tempat orang itu menembaknya tanpa belas kasih.
“Ayo kita masuk, Bunda,” ajak Hanna dengan nada bergetar. Azzura dan Naira pun mengikuti Hanna dari belakang, di ikuti sang kepala keluarga Airlangga.
Ketika mereka masuk, semua orang di keluarga Cakradara melihat Hanna dengan tatapan intens, seolah Hanna adalah sebuah patung yang dipamerkan di museum.
“Wah, aku tak menyangka jika putrimu begitu cantik, Azzura. Semoga saja dengan pertemuan ini kita bisa menjadi keluarga ya,” puji wanita paruh baya yang mengenakan pakaian khas konglomerat.
“Kau bisa saja, Cindy,” Sahut Azzura dengan senyuman kecil. “Aku juga berharap begitu. Semoga saja pertemuan sekaligus perjodohan ini dapat berjalan dengan baik,”
Mendengar kata perjodohan, Hanna menundukkan kepalanya agar ia tak bertatapan dengan orang yang paling ia benci seumur hidup. Orang yang membuatnya sengsara setengah mati hingga berakhir meninggal dengan tragis. Orang itu adalah...
“Kenalkan, ini Winter Alfred Cakradara. Dia adalah putra kami satu satunya yang paling tampan di negeri ini,” ujar nyonya Cakradara dengan percaya diri.
Pemuda yang bernama Winter itu pun menyodorkan tangan guna memberi salam pada keluarga Airlangga. Dengan senyuman tipis dan tatapan tajam miliknya, Winter bisa membuat semua orang tergila gila padanya.
“Saya Winter Alfred Cakradara, CEO dari Cakradara Group,” ujar Winter singkat. Mata tajamnya memindai semua orang yang berada di keluarga Airlangga. Kini, tatapannya terfokus pada gadis berambut panjang yang tengah menundukkan kepalanya.
“Ah, perkenalkan, saya Naira Blade Airlangga. Salam kenal,” ujar Naira malu malu dengan semburat kemerahan di wajah putihnya.
Naira hendak menjabat tangan Winter jika saja sang pemuda tak menarik tangannya secepat kilat. Tangan yang ia ulurkan menggantung diudara. Untuk menghilangkan rasa malu, Naira menarik kembali tangannya.
“Lalu, siapa yang akan dijodohkan denganku?” tanya Winter to the point. Semua orang yang ada di ruangan itu menatap Winter dengan pandangan intens. Bahkan, nyonya keluarga Cakradara sampai menginjak kaki pemuda itu agar tak bersikap sembarangan.
Winter tentu saja mengaduh kesakitan karena injakan ibunya benar benar menyakitkan. Sang nyonya Cakradara menatap putranya dengan sengit.
“Maafkan atas kelancangan putraku, Azzura,”
“Tak apa Cindy. Itu bisa dimaklumi,” ujar Azzura dengan nada tak enak. “Sayang, perkenalkan dirimu pada keluarga Cakradara. Ayo,”
Kali ini, Azzura menyenggol lengan milik Hanna yang masih menundukkan kepalanya. Hanna tak bergeming sedikitpun. Merasa tak mendapat respons, Naira yang duduk di sebelah Hanna pun ikut menyadarkan sang kakak dengan cara menginjak kakinya dengan keras. Hanna meringis kesakitan tanpa suara karena tak ingin menimbulkan suasana gaduh.
“Sayang, ayo perkenalkan dirimu,” Azzura membujuk Hanna dengan lembut di depan keluarga Cakradara. Namun, di bawah meja, ia mencubit Hanna dengan kencang agar Hanna mengikuti perintahnya.
Hanna tak punya pilihan lain selain mengangkat kepalanya dan memperkenalkan diri agar dirinya tak dianiaya oleh keluarga angkatnya. Sialnya, di saat Hanna mendongak, ia malah bertatapan dengan Winter.
Ingatan mengerikan tentang Winter berputar di kepala Hanna tanpa henti bagaikan kaset yang rusak. Perlakuan dingin Winter di dalam kehidupan pertamanya hingga menjadi pembunuh yang mengeksekusi dirinya membuat Hanna ketakutan setengah mati. Hanna pun membuang wajahnya ke arah lain supaya ia tak berhadapan langsung dengan Winter.
“Saya Hanna Dewi Airlangga,” ucap Hanna singkat memperkenalkan dirinya tanpa menatap lawan bicaranya. Hanna menghirup napasnya perlahan untuk menetralkan rasa takut yang kini mendera dirinya. Setelah dirasa tenang, Hanna pun kembali melanjutkan ucapan yang sempat terjeda.
“Saya adalah orang yang menggantikan adik saya Naira di acara perjodohan ini,” Hanna merasa dadanya sangat sesak dan kepalanya pening sekali, namun ia tahan demi menjaga image keluarga Airlangga. “Saya ingin memberitahukan bahwa saya menolak perjodohan dengan Tuan Winter,”
Keadaan menjadi hening dalam sesaat setelah Hanna memproklamirkan penolakannya pada putra semata wayang keluarga Cakradara. Winter yang mendengar hal itu tentu tak terima. Jadi, saat Hanna akan pergi meninggalkan ruangan, Winter menarik pergelangan tangan menuju ke luar restoran.
“Lepaskan aku, brengsek!” umpat Hanna seraya mencoba melepaskan diri dari pria yang tengah menariknya itu. Winter tak mengindahkan Hanna yang mengaduh kesakitan dan lebih memilih untuk menyeret Hanna ke tempat yang lebih sepi.
Hanna merasa tangannya seperti akan putus karena cengkeraman Winter yang ternyata sangat kuat. Menepis rasa takutnya, Hanna melakukan hal gila agar ia terbebas dari Winter.
Krauk
“Akh,” Winter melepaskan tangannya dari Hanna karena gadis itu malah menggigit tangannya. Winter mengaduh kesakitan dengan tindakan Hanna yang bisa dibilang brutal.
Winter melangkahkan kakinya mendekati Hanna dengan amarah yang membumbung tinggi. Ia tak terima jika ada gadis yang berani melawannya sampai seperti ini.
“Jangan maju lebih dari itu, brengsek!” Teriak Hanna memberikan peringatan pada Winter ketika pemuda itu hendak mendekati dirinya. Hanna tampak ketakutan melihat Winter seolah pemuda itu adalah monster yang mengerikan.
“Kenapa kau menggigitku?” tanya Winter berusaha meredam emosi. Tangannya terkepal erat seraya menatap Hanna dengan tatapan tajam.
“Karena kau membuat pergelangan tanganku memerah dengan menyeretku kemari,” Hanna memperlihatkan tangannya yang membiru karena cengkeraman Winter barusan. Setelah itu, ia menatap Winter tajam dengan air mata yang mengalir indah dari kedua mata Hazelnya. “ Kenapa kau melakukan hal ini? Kau belum puas menghancurkanku? Kau mau membunuhku lagi?!” ujar Hanna dengan nada tinggi.
“Apa maksudmu?”
Bab 5 : Keputusan“Apa maksudmu?”Hanna membekap mulutnya tatkala ia mengatakan hal yang tak boleh ia katakan. Hanna merutuki dirinya yang begitu ceroboh. Air mata terus mengalir tanpa henti dari kedua mata indahnya, membuat sebagian make up yang memoles wajah cantiknya luntur.“Maksudku—““Anda berbicara seolah Anda telah mengenal saya sebelumnya, Nona,” Winter berkata dengan nada sedingin es yang mampu membuat Hanna tak berkutik.Suasana tampak sesak dalam sejenak, seolah oksigen telah membeku bersamaan dengan nada bicara Winter yang begitu dingin. Hanna meneguk ludahnya paksa ketika dihadapkan dengan posisi seperti ini. Suasana ini... Sangat mirip dengan kehidupan pernikahan dirinya dan Winter di masa depan sebelum ia terlahir kembali ke masa sekarang.“Anda mengatakan jika saya ingin membunuh Anda? Teori darimana itu?” Winter mendekati Hanna dengan langkah pasti, membuat tubuh sang gadis bergetar ketakutan. “Padahal kita berdua baru bertemu hari ini. Jadi, bagaimana Anda bisa menu
Bab 6 : kesal? Naira tak terima jika Winter tetap melanjutkan perjodohan ini. Bahkan dengan santainya pemuda itu ingin agar kedua orang tua dari kedua belah pihak mempersiapkan pertunangannya secepat mungkin. Ini benar benar gila! Ada rasa sesal yang menyelimuti gadis berambut sebahu itu. Wajahnya merengut tak suka seraya memandang penuh kesal pada kursi tempat Winter duduk. Naira menatap kursi itu sejenak seraya menghela napas panjang. Naira sangat berharap agar ia bisa kembali ke waktu sebelum ia melakukan pertemuan dengan keluarga Cakradara, meskipun rasanya sangat mustahil. Jika saja dirinya tahu bahwa putra dari keluarga Cakradara setampan dan segagah ini, maka Naira akan berpikir dua kali untuk menolak perjodohan yang sudah direncanakan oleh ibu dan ayah tirinya. Salahkan orang tuanya yang tak memberi tahu dirinya tentang pemuda itu! Naira ingin sekali berteriak kencang untuk melampiaskan kekesalan yang kini tengah membumbung tinggi di dadanya. Hanya saja, sang gadis tak bisa
Bab 1 : Kesempatan kedua“Sadarlah jalang sialan!”Sebuah umpatan yang terdengar di telinga Hanna membuat sang gadis mengerjapkan matanya dengan pelan. Rasa pening yang menyerbu kepalanya membuat sang gadis hampir saja limbung jika saja tidak ada yang menahan bobot tubuhnya.Setelah kesadarannya terkumpul, Hanna bisa melihat beberapa anggota keluarga tengah menatapnya dengan tatapan mencemooh.Hanna tak memedulikan tatapan orang orang yang ada di ruangan itu layangkan padanya. Baru Ia baru sadari jika tubuhnya dalam kondisi terikat di kursi layaknya tahanan yang akan di eksekusi mati.Tanpa diduga, seorang wanita anggun dengan gaun panjang berwarna biru muda mendekatinya dengan wajah penuh amarah.“Ibu mertua, mengapa saya bisa ada di—“Plak!Belum sempat Hanna menyelesaikan ucapannya, tiba tiba saja wanita yang dipanggil ibu mertua ini pun menampar dirinya dengan kencang.“Dasar jalang sialan! Menyesal aku menyayangi menantu seperti dirimu!”Rasa sakit menjalar dengan cepat di pipi H
Bab 2 : Perlawanan“Naira?! Apa yang kau lakukan di sini?”Perempuan yang dipanggil Naira memiringkan wajahnya seraya memasang raut wajah bingung yang mungkin bagi sebagian orang akan terlihat imut dan menggemaskan.Namun dimata Hanna, ekspresi yang gadis ini tunjukan terasa sangat menjijikkan. Hanna harus menahan isi perutnya agar ia tak muntah dengan ekspresi Naira yang terkesan sangat berlebihan.“Kenapa kakak bertanya begitu?” Tanya Naira balik seraya memandang Hanna dengan lekat. Hanna menghela napasnya sejenak. Entah kenapa, dadanya terasa sangat sakit dan sesak jika mengingat Naira adalah salah satu dalang dari kejadian itu.“Tentu saja aku bertanya. Memangnya kau tak pergi ke rumah suamimu?”Hanna berkata dengan nada sarkas seraya menyunggingkan senyuman mengejek. Tangan Hanna bersedekap di depan dada sambil ingin menunjukkan bahwa Hanna ini adalah bosnya.“Suami? Kakak bicara apa?”“Tak perlu akting bila kau ada di hadapanku. Mengapa kau berada di sini dan tak pergi ke rumah
Bab 3 : Foto (1)Hanna bisa melihat jika Naira terkejut dengan pertanyaan yang ia ajukan. Wajah adik tirinya itu tampak tak bersahabat. Hanna merasa jika Naira terlihat seperti nenek penyihir daripada seorang gadis berusia dua puluh tahunan. Gadis yang baru bangkit dari kematian itu menepis pikirannya yang melantur dengan cepat.“Kenapa kau tak menjawab pertanyaanku?” Tanya Hanna lagi karena tak mendapat respons apapun dari adik tirinya itu.Naira menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Setelah dirasa tenang, ia menatap Hanna dengan senyum yang terlihat dipaksakan.“Aku baru ingat jika aku ada kegiatan lain saat ini. Maka dari itu, aku pergi duluan ya kak,” daripada menimpali ucapan Hanna, Naira lebih memilih pergi meninggalkannya.Hanna tersenyum kecil melihat tingkah adik tirinya itu. Sifat Naira dari dulu ternyata tak berubah. Gadis berambut sebahu itu lebih memilih cara yang lebih halus untuk menghancurkan seseorang daripada bertatapan langsung dengan lawan bicar