Bab 1 : Kesempatan kedua
“Sadarlah jalang sialan!”
Sebuah umpatan yang terdengar di telinga Hanna membuat sang gadis mengerjapkan matanya dengan pelan. Rasa pening yang menyerbu kepalanya membuat sang gadis hampir saja limbung jika saja tidak ada yang menahan bobot tubuhnya.
Setelah kesadarannya terkumpul, Hanna bisa melihat beberapa anggota keluarga tengah menatapnya dengan tatapan mencemooh.
Hanna tak memedulikan tatapan orang orang yang ada di ruangan itu layangkan padanya. Baru Ia baru sadari jika tubuhnya dalam kondisi terikat di kursi layaknya tahanan yang akan di eksekusi mati.
Tanpa diduga, seorang wanita anggun dengan gaun panjang berwarna biru muda mendekatinya dengan wajah penuh amarah.
“Ibu mertua, mengapa saya bisa ada di—“
Plak!
Belum sempat Hanna menyelesaikan ucapannya, tiba tiba saja wanita yang dipanggil ibu mertua ini pun menampar dirinya dengan kencang.
“Dasar jalang sialan! Menyesal aku menyayangi menantu seperti dirimu!”
Rasa sakit menjalar dengan cepat di pipi Hanna. Rasa pening yang belum hilang kini bertambah dengan tamparan keras dari ibu mertuanya. Cap jari bekas tamparan itu tercetak jelas di pipi putihnya. Hanna juga merasa jika sudut pipinya terasa perih. Apa mungkin sudut bibirnya robek karena tamparan itu?
“Ibu, mengapa melakukan hal ini kepada saya? Saya salah apa?” tanya Hanna tak terima dengan perlakuan ibu mertuanya.
“Kau bertanya apa kesalahanmu pada keluarga Cakradara?”
Hanna merasa kebingungan mendengar pertanyaan dari ibu mertuanya. Kesalahan pada keluarga Cakradara? Memang apa yang telah ia lakukan?
“Mengapa ibu bicara seperti itu? Memang apa yang telah saya lakukan?”
Ibu mertuanya hendak melayangkan kembali tangannya pada pipi Hanna jika saja tidak ditahan oleh orang itu.
“Sudahlah, Bu. Biar aku saja yang mengambil alih pembicaraan ini,” ujar pria itu dengan nada tegas dan wajah yang tak ingin dibantah. Ibu mertuanya merengut tak suka dan memilih untuk kembali ke pojok ruangan.
“Hanna Dewi Airlangga, kau telah melakukan sebuah dosa besar,”
Suara yang terkesan dingin itu membuat Hanna merasa tak berdaya. Keringat sebesar biji jagung meluncur dengan bebas dari dahinya. Tubuh Hanna bergetar hebat yang menandakan dirinya tengah ketakutan.
“Dosa apa yang telah saya lakukan? Seingat saya, saya tidak—“
Suara Hanna tercekat ketika pria itu membalikkan tubuhnya. Mata yang berwarna biru gelap sedalam lautan itu seolah menelanjangi Hanna, membuat sang gadis diam tak bisa berkutik.
Pria itu mendekat ke arah sang gadis dengan langkah pelan namun pasti. Suara sepatu yang beradu dengan lantai membuat kesan horor yang membuat jantung Hanna berdetak kencang seolah akan meledak dari tempatnya.
Tubuh Hanna bergetar ketakutan ketika pemuda itu mendekati wajahnya dan memandangnya lekat seolah ia adalah mangsa. Tatapan tajam itu membius dirinya dan membuat ia tak berdaya. Karena itu, tanpa sadar Hanna menundukkan kepala agar tak bertatapan dengan pria itu.
“Kau mengkhianati keluarga Cakradara, sayang. Aku tak bisa mentolerir hal ini,”
Pria itu berbisik dengan nada pelan namun mengancam. Bisikan penuh racun yang membuat lawan bicara lumpuh dan tak bisa berkutik.
“Mengkhianati? Apa maksud Anda? saya benar benar tak mengerti,”
Butuh keberanian besar untuk Hanna berbicara demikian. Pria itu menyeringai ketika Hanna berusaha melawan dirinya.
“Kau tak ingat?” tanya pria itu pelan. Hanna menggelengkan kepalanya.
“Karena aku tengah bermurah hati, maka akan aku beritahu,” sambar seorang gadis berambut sebahu yang berada di samping pria itu. Gadis itu mengeluarkan beberapa lembar foto dari tas yang ia dijinjing kemudian melemparkan foto itu pada wajah Hanna. Hanna melihat foto itu dan membelalakkan mata. Bagaimana bisa ada gambar jika dirinya tidur dengan pria lain?
“Kau berusaha melukai harga diri Tuan Muda keluarga Cakradara dengan berkata bahwa ia mandul di hadapan semua orang. Kemudian, kau pergi tidur bersama dengan putra dari keluarga Rosemary yang baru baru ini muncul kembali ke permukaan,,”
“Ini bukan saya! Foto ini adalah editan untuk menjebak saya! Percayalah!” teriak Hanna dengan nada memohon.
“Editan? Jangan bercanda!” ujar ibu mertua dengan nada tinggi. Wanita paruh baya itu menunjuk wajah Hanna dengan mata melotot, menyiratkan rasa benci yang sangat kentara.
“Jangan mengelak lagi, Hanna. Mengaku saja jika kau mengkhianati putraku!”
“Tapi, ibu aku—“
“Cukup! Hentikan omong kosong ini!” sentak pria itu keras yang membuat kedua wanita yang tengah berdebat itu pun terdiam. Hanna menundukkan kepala mendengar bentakan itu sementara ibu mertua membuang wajah ke arah lain.
“Kau tahu apa yang dilakukan keluarga Cakradara jika anggotanya berkhianat seperti dirimu?”
Pria itu menatap Hanna dengan sedikit senyuman kecil seperti pangeran berkuda putih. Hanya saja, dalam hitungan detik ekspresi wajahnya berubah menjadi sedingin es.
Pria itu mengeluarkan pistol dari dalam sakunya dan menempelkan moncong benda itu di dada Hanna, tepatnya di area jantung. Tubuh Hanna bergetar hebat kala benda itu dekat sekali dengan tubuhnya.
“Mereka pantas untuk mati!”
Dorr
Hanna melotot ketika peluru panas yang dimuntahkan dari pistol itu menghunjam jantungnya. Rasa sakit menyerbu tubuhnya yang begitu rapuh. Darah segar berlomba lomba mengucur deras dari bagian dadanya. Gaunnya yang berwarna putih gading kini kotor menjadi berwarna merah pekat.
“Kau pantas mendapatkan itu, istriku,”
Pria itu berbalik memunggungi Hanna. Tanpa belas kasih, pria mengajak semua anggota keluarga yang hadir untuk meninggalkan Hanna sendirian di ruangan yang besar dan pengap ini.
Diambang batas kesadaran yang masih tersisa, Hanna merasa menyesal karena tak bisa melawan sedikit pun pada pria itu. Di samping rasa menyesal, ia juga merasakan dendam dan kemarahan kini berkobar penuh dalam hatinya.
Winter, mengapa kau membunuhku dengan cara keji seperti ini? Mengapa kau lebih mempercayai adik tiriku, Naira daripada aku? Apa perjuanganmu untuk menjadi istrimu selama 5 tahun ini tidak ada artinya bagimu?
Jika aku dilahirkan kembali, aku akan membalas dendam padamu, Winter. Akan kubuat kau bertekuk lutut dan menangis darah karena memperlakukanku seperti ini! Tunggu pembalasanku, suamiku sayang.
Setelah mengucapkan sumpah yang terukir di hati, Hanna pun meregang nyawa karena perlakuan suaminya. Matanya tertutup pelan seiring dengan darah yang terus mengalir dari dadanya.
****
“Kakak, bangunlah,”
Hanna membuka mata dengan cepat ketika seseorang mengguncang tubuhnya dengan sangat keras. Tubuhnya berkeringat dingin dengan napas yang tersengal sengal. Hanna refleks memegang dada tempat peluru itu di tembakkan padanya.
“Kak, kau baik baik saja?”
Sebuah suara datang memenuhi telinga Hanna. Suara yang terkesan lembut namun mengandung racun mematikan. Hanna menoleh ke samping dan menemukan seorang gadis berambut sebahu yang kini tengah menatapnya dengan khawatir.
“Kak, apa kau bermimpi buruk lagi?”
Bukannya menjawab pertanyaan gadis itu, Hanna beringsut mundur dan menatap gadis itu dengan tatapan benci dan marah yang kentara.
“Naira? Apa yang kau lakukan di sini?!
Bab 2 : Perlawanan“Naira?! Apa yang kau lakukan di sini?”Perempuan yang dipanggil Naira memiringkan wajahnya seraya memasang raut wajah bingung yang mungkin bagi sebagian orang akan terlihat imut dan menggemaskan.Namun dimata Hanna, ekspresi yang gadis ini tunjukan terasa sangat menjijikkan. Hanna harus menahan isi perutnya agar ia tak muntah dengan ekspresi Naira yang terkesan sangat berlebihan.“Kenapa kakak bertanya begitu?” Tanya Naira balik seraya memandang Hanna dengan lekat. Hanna menghela napasnya sejenak. Entah kenapa, dadanya terasa sangat sakit dan sesak jika mengingat Naira adalah salah satu dalang dari kejadian itu.“Tentu saja aku bertanya. Memangnya kau tak pergi ke rumah suamimu?”Hanna berkata dengan nada sarkas seraya menyunggingkan senyuman mengejek. Tangan Hanna bersedekap di depan dada sambil ingin menunjukkan bahwa Hanna ini adalah bosnya.“Suami? Kakak bicara apa?”“Tak perlu akting bila kau ada di hadapanku. Mengapa kau berada di sini dan tak pergi ke rumah
Bab 3 : Foto (1)Hanna bisa melihat jika Naira terkejut dengan pertanyaan yang ia ajukan. Wajah adik tirinya itu tampak tak bersahabat. Hanna merasa jika Naira terlihat seperti nenek penyihir daripada seorang gadis berusia dua puluh tahunan. Gadis yang baru bangkit dari kematian itu menepis pikirannya yang melantur dengan cepat.“Kenapa kau tak menjawab pertanyaanku?” Tanya Hanna lagi karena tak mendapat respons apapun dari adik tirinya itu.Naira menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Setelah dirasa tenang, ia menatap Hanna dengan senyum yang terlihat dipaksakan.“Aku baru ingat jika aku ada kegiatan lain saat ini. Maka dari itu, aku pergi duluan ya kak,” daripada menimpali ucapan Hanna, Naira lebih memilih pergi meninggalkannya.Hanna tersenyum kecil melihat tingkah adik tirinya itu. Sifat Naira dari dulu ternyata tak berubah. Gadis berambut sebahu itu lebih memilih cara yang lebih halus untuk menghancurkan seseorang daripada bertatapan langsung dengan lawan bicar
Bab 4 : PenolakanSetelah di dandani selama dua jam lebih oleh pihak salon, kini Hanna menjelma menjadi seorang Dewi yang turun dari langit. Semua orang terkecuali Naira puas dengan hasil make over kali ini.“Ah, aku tak tahu kau sangat cantik sekali, kak,” ujar Naira basa basi dengan senyuman yang dibuat semanis mungkin.Hanna tersenyum mendengar pujian tak tulus dari adik tirinya itu. Maka dari itu, Hanna pun akan mengikuti alur permainan yang dibuat oleh Naira.“Aku tahu kalau aku cantik, Naira. Terima kasih atas pujiannya,” sahut Hanna dengan nada imut mirip anak kecil. Senyuman Naira pudar digantikan oleh wajah masam miliknya.Lain kali, jangan mencari masalah denganku, bocah!Hanna tertawa dalam hati melihat ekspresi Naira yang ia lihat begitu lucu. Wajah marah dan masamnya benar benar menjadi hiburan tersendiri. Hanna ingin sekali mengabadikan wajah adik tirinya itu menggunakan ponsel jika saja Azzura tak memanggil dirinya.“Hanna, ayo kita masuk ke dalam. Keluarga Cakradara su
Bab 5 : Keputusan“Apa maksudmu?”Hanna membekap mulutnya tatkala ia mengatakan hal yang tak boleh ia katakan. Hanna merutuki dirinya yang begitu ceroboh. Air mata terus mengalir tanpa henti dari kedua mata indahnya, membuat sebagian make up yang memoles wajah cantiknya luntur.“Maksudku—““Anda berbicara seolah Anda telah mengenal saya sebelumnya, Nona,” Winter berkata dengan nada sedingin es yang mampu membuat Hanna tak berkutik.Suasana tampak sesak dalam sejenak, seolah oksigen telah membeku bersamaan dengan nada bicara Winter yang begitu dingin. Hanna meneguk ludahnya paksa ketika dihadapkan dengan posisi seperti ini. Suasana ini... Sangat mirip dengan kehidupan pernikahan dirinya dan Winter di masa depan sebelum ia terlahir kembali ke masa sekarang.“Anda mengatakan jika saya ingin membunuh Anda? Teori darimana itu?” Winter mendekati Hanna dengan langkah pasti, membuat tubuh sang gadis bergetar ketakutan. “Padahal kita berdua baru bertemu hari ini. Jadi, bagaimana Anda bisa menu
Bab 6 : kesal? Naira tak terima jika Winter tetap melanjutkan perjodohan ini. Bahkan dengan santainya pemuda itu ingin agar kedua orang tua dari kedua belah pihak mempersiapkan pertunangannya secepat mungkin. Ini benar benar gila! Ada rasa sesal yang menyelimuti gadis berambut sebahu itu. Wajahnya merengut tak suka seraya memandang penuh kesal pada kursi tempat Winter duduk. Naira menatap kursi itu sejenak seraya menghela napas panjang. Naira sangat berharap agar ia bisa kembali ke waktu sebelum ia melakukan pertemuan dengan keluarga Cakradara, meskipun rasanya sangat mustahil. Jika saja dirinya tahu bahwa putra dari keluarga Cakradara setampan dan segagah ini, maka Naira akan berpikir dua kali untuk menolak perjodohan yang sudah direncanakan oleh ibu dan ayah tirinya. Salahkan orang tuanya yang tak memberi tahu dirinya tentang pemuda itu! Naira ingin sekali berteriak kencang untuk melampiaskan kekesalan yang kini tengah membumbung tinggi di dadanya. Hanya saja, sang gadis tak bisa