Bab 6 : kesal?
Naira tak terima jika Winter tetap melanjutkan perjodohan ini. Bahkan dengan santainya pemuda itu ingin agar kedua orang tua dari kedua belah pihak mempersiapkan pertunangannya secepat mungkin. Ini benar benar gila!
Ada rasa sesal yang menyelimuti gadis berambut sebahu itu. Wajahnya merengut tak suka seraya memandang penuh kesal pada kursi tempat Winter duduk. Naira menatap kursi itu sejenak seraya menghela napas panjang.
Naira sangat berharap agar ia bisa kembali ke waktu sebelum ia melakukan pertemuan dengan keluarga Cakradara, meskipun rasanya sangat mustahil. Jika saja dirinya tahu bahwa putra dari keluarga Cakradara setampan dan segagah ini, maka Naira akan berpikir dua kali untuk menolak perjodohan yang sudah direncanakan oleh ibu dan ayah tirinya. Salahkan orang tuanya yang tak memberi tahu dirinya tentang pemuda itu!
Naira ingin sekali berteriak kencang untuk melampiaskan kekesalan yang kini tengah membumbung tinggi di dadanya. Hanya saja, sang gadis tak bisa melakukannya mengingat jika hal itu akan membuat dirinya malu setengah mati. Untuk melampiaskan rasa kesalnya, Naira memijat kepalanya secara perlahan. Rencananya yang sudah ia susun hancur berantakan seperti rumah yang disapu oleh angin tornado. Perkiraannya benar benar meleset.
Naira melirik ke arah ibunya yang kini juga tengah menatapnya dengan tatapan yang tak bisa gadis itu baca. Ingin rasanya Naira membawa ibunya keluar dari ruangan ini seraya berdiskusi untuk membuat rencana baru ke depannya agar tidak lagi gagal di kesempatan lain. Kegagalan ini harus jadi pelajaran untuk Naira bahwa rencana harus dipikirkan sematang mungkin, termasuk melakukan antisipasi jika rencananya gagal.
Naira memiliki tekad kuat saat ini. Ia harus bisa mendapatkan Winter, bagaimanapun caranya! Naira rela menggunakan cara kotor sekalipun demi mendapatkan putra dari keluarga Cakradara yang sudah merebut semua atensinya sejak pemuda itu masuk dan memperkenalkan dirinya.
Berusaha menekan emosi dan cemburu yang tengah bercokol di dada, Naira menggandeng lengan ibunya. Tanpa rasa sungkan sang gadis bergelayut manja pada ibunya, mengabaikan tatapan aneh semua orang yang ada di ruangan itu.
“Ibu, bisakah ibu menemaniku ke taman restoran? Aku bosan berada disini,” ujar Naira dengan nada semanis mungkin, berharap ibunya luluh dan bisa mengerti keinginan dirinya.
Azzura melirik ke arah putrinya dengan tatapan bertanya tanya. Apa yang akan Naira lakukan? Apakah putrinya itu ingin berbicara di empat mata untuk memikirkan rencana lainnya? Atau ada maksud lain yang tersembunyi? Baru saja Azzura hendak buka suara, tiba tiba saja sebuah suara baritone khas pria dewasa menyapa gendang telinga Azzura, membuat wanita paruh baya itu kembali menutup mulutnya.
“Tidak bisa, Naira. Ibumu harus menemani Ayah untuk menentukan tanggal untuk pertunangan kakakmu. Apalagi Winter sendiri yang memintanya,” sahut Airlangga seraya memandang sang gadis dengan tajam. Naira terdiam seraya mengepalkan tangan di bawah meja mendengar jawaban mutlak dari ayahnya itu.
Naira membuang wajahnya ke arah lain agar ia tak bertatapan dengan sang ayah yang terasa menakutkan dimatanya. Sang gadis mengerucutkan bibirnya kesal karena keinginannya ditolak mentah-mentah oleh ayah tirinya itu.
Mata runcing sang gadis memindai ke arah pintu, berharap ia bisa lepas dari situasi yang menyebalkan ini. Pembicaraan pun berlanjut dimulai dari tanggal pertunangan sampai gedung yang akan disewa. Benar kata orang, mengikuti para orang tua berdiskusi hanya akan membuat Naira mati karena bosan. Sang gadis mengetuk meja dengan pelan untuk mengusir rasa jenuh yang kini hinggap pada dirinya.
Kakak, cepatlah kembali dan bawa aku keluar dari pertemuan menyebalkan ini!
Tuhan seolah mendengar keluhan yang Naira gumamkan dalam hati. Karena tak lama kemudian, Hanna pun datang menghampiri Naira yang kini tengah menatapnya dengan wajah kaget. Wajah Naira berubah sedikit pucat dengan mata yang membulat sempurna seolah tengah melihat hal yang mengerikan.
Hanna menatap datar adiknya itu seraya menaikkan sebelah alisnya. Tatapan mata milik sang gadis yang sudah kembali dari kematian itu tengah bertanya seolah —kenapa kau kaget melihatku?—
“Kakak dari mana saja?” tanya Naira setengah berbisik agar dirinya tidak terkena omelan dari sang ayah.
“Oh aku baru saja berjalan-jalan di taman karena di sini rasanya sangat membosankan,” jawab Hanna pelan agar pembicaraan kedua orang tuanya dengan keluarga Cakradara tak terganggu.
Hanna melirik ke arah Naira yang kini tengah menatap tajam ke arahnya. Gadis berambut panjang itu tertawa pelan melihat tingkah adik tirinya yang terlihat lucu itu. Ayolah, tatapan tajam milik Naira tak bisa lagi membuat dirinya takut seperti dulu. Lagipula, untuk apa Naira menanyakan dirinya pergi darimana?
“Kenapa kau tidak mengajakku? Aku bosan berada di antara orang tua sedari tadi,” keluh Naira pelan. Hanna tersenyum miring mendengar pernyataan adiknya.
Hanna mengedikkan bahunya tak peduli. Sang gadis berpikir untuk tak mengacuhkan saja adik tirinya itu. Meladeni Naira di waktu sekarang tak akan berpengaruh banyak untuk mengubah takdir. Yang ada malah dirinya yang dicurigai oleh gadis berambut sebahu itu. Hanna harus bisa mengubah takdir dari titik ini jika ingin semua keinginan yang sudah ia susun dapat berjalan kembali seperti semula.
“Bu, aku mau ke keluar sebentar. Ada yang ingin aku bicarakan pada kakak,” izin Naira yang membuat Hanna menoleh pada gadis berambut sebahu itu. Azzura mengangguk pelan mendengarnya.
Setelah mendapat izin, dengan kasar Naira menarik tangan Hanna keluar dari ruangan pertemuan. Hanna meringis kesakitan karena Naira menarik tangan yang tadi ditarik oleh Winter. Begitu sampai di tempat yang cukup sepi, tepatnya taman yang tadi digunakan oleh Winter untuk berbicara dengan Hanna, Naira menghentikan langkahnya.
Hanna langsung menarik tangannya dari cekalan adiknya. Bisa dilihat jika pergelangan tangan sang gadis memerah nyaris berwarna biru karena tekanan yang kuat dari dua orang yang sudah menyeretnya hari ini.
“Kenapa pergelangan tanganmu memerah, kak?”
Hanna enggan menjawab pertanyaan dari lawan bicaranya dan lebih memilih untuk mengelus pergelangan tangannya yang terasa sakit. Naira menghela napas melihat tingkah kakaknya yang semakin sulit untuk ia kendalikan.
“Langsung saja pada inti permasalahannya, Naira. Mengapa kau menyeretku kemari?”
Naira terdiam sejenak mendengar perkataan kakak tirinya yang terdengar begitu sinis dan angkuh. Antara percaya atau tidak, kakaknya benar benar berubah sejak terbangun dari mimpi buruknya.
“Kak, aku ingin memberikan sebuah penawaran menarik untukmu,” ujar Naira dengan nada serius. Hanna tertegun mendengarnya. Tak biasanya melihat adiknya yang hobi mengadu domba dirinya dan keluarga bicara seserius ini. Apa ini trik baru dari Naira untuk mengelabui Hanna?
Melihat Hanna yang terdiam mendengar pernyataan yang Naira lontarkan, gadis itu pun kembali melanjutkan perkataannya.
“Bagaimana jika aku mengambil kembali posisiku untuk menjadi tunangan Winter Alfred Cakradara?”
Bab 1 : Kesempatan kedua“Sadarlah jalang sialan!”Sebuah umpatan yang terdengar di telinga Hanna membuat sang gadis mengerjapkan matanya dengan pelan. Rasa pening yang menyerbu kepalanya membuat sang gadis hampir saja limbung jika saja tidak ada yang menahan bobot tubuhnya.Setelah kesadarannya terkumpul, Hanna bisa melihat beberapa anggota keluarga tengah menatapnya dengan tatapan mencemooh.Hanna tak memedulikan tatapan orang orang yang ada di ruangan itu layangkan padanya. Baru Ia baru sadari jika tubuhnya dalam kondisi terikat di kursi layaknya tahanan yang akan di eksekusi mati.Tanpa diduga, seorang wanita anggun dengan gaun panjang berwarna biru muda mendekatinya dengan wajah penuh amarah.“Ibu mertua, mengapa saya bisa ada di—“Plak!Belum sempat Hanna menyelesaikan ucapannya, tiba tiba saja wanita yang dipanggil ibu mertua ini pun menampar dirinya dengan kencang.“Dasar jalang sialan! Menyesal aku menyayangi menantu seperti dirimu!”Rasa sakit menjalar dengan cepat di pipi H
Bab 2 : Perlawanan“Naira?! Apa yang kau lakukan di sini?”Perempuan yang dipanggil Naira memiringkan wajahnya seraya memasang raut wajah bingung yang mungkin bagi sebagian orang akan terlihat imut dan menggemaskan.Namun dimata Hanna, ekspresi yang gadis ini tunjukan terasa sangat menjijikkan. Hanna harus menahan isi perutnya agar ia tak muntah dengan ekspresi Naira yang terkesan sangat berlebihan.“Kenapa kakak bertanya begitu?” Tanya Naira balik seraya memandang Hanna dengan lekat. Hanna menghela napasnya sejenak. Entah kenapa, dadanya terasa sangat sakit dan sesak jika mengingat Naira adalah salah satu dalang dari kejadian itu.“Tentu saja aku bertanya. Memangnya kau tak pergi ke rumah suamimu?”Hanna berkata dengan nada sarkas seraya menyunggingkan senyuman mengejek. Tangan Hanna bersedekap di depan dada sambil ingin menunjukkan bahwa Hanna ini adalah bosnya.“Suami? Kakak bicara apa?”“Tak perlu akting bila kau ada di hadapanku. Mengapa kau berada di sini dan tak pergi ke rumah
Bab 3 : Foto (1)Hanna bisa melihat jika Naira terkejut dengan pertanyaan yang ia ajukan. Wajah adik tirinya itu tampak tak bersahabat. Hanna merasa jika Naira terlihat seperti nenek penyihir daripada seorang gadis berusia dua puluh tahunan. Gadis yang baru bangkit dari kematian itu menepis pikirannya yang melantur dengan cepat.“Kenapa kau tak menjawab pertanyaanku?” Tanya Hanna lagi karena tak mendapat respons apapun dari adik tirinya itu.Naira menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Setelah dirasa tenang, ia menatap Hanna dengan senyum yang terlihat dipaksakan.“Aku baru ingat jika aku ada kegiatan lain saat ini. Maka dari itu, aku pergi duluan ya kak,” daripada menimpali ucapan Hanna, Naira lebih memilih pergi meninggalkannya.Hanna tersenyum kecil melihat tingkah adik tirinya itu. Sifat Naira dari dulu ternyata tak berubah. Gadis berambut sebahu itu lebih memilih cara yang lebih halus untuk menghancurkan seseorang daripada bertatapan langsung dengan lawan bicar
Bab 4 : PenolakanSetelah di dandani selama dua jam lebih oleh pihak salon, kini Hanna menjelma menjadi seorang Dewi yang turun dari langit. Semua orang terkecuali Naira puas dengan hasil make over kali ini.“Ah, aku tak tahu kau sangat cantik sekali, kak,” ujar Naira basa basi dengan senyuman yang dibuat semanis mungkin.Hanna tersenyum mendengar pujian tak tulus dari adik tirinya itu. Maka dari itu, Hanna pun akan mengikuti alur permainan yang dibuat oleh Naira.“Aku tahu kalau aku cantik, Naira. Terima kasih atas pujiannya,” sahut Hanna dengan nada imut mirip anak kecil. Senyuman Naira pudar digantikan oleh wajah masam miliknya.Lain kali, jangan mencari masalah denganku, bocah!Hanna tertawa dalam hati melihat ekspresi Naira yang ia lihat begitu lucu. Wajah marah dan masamnya benar benar menjadi hiburan tersendiri. Hanna ingin sekali mengabadikan wajah adik tirinya itu menggunakan ponsel jika saja Azzura tak memanggil dirinya.“Hanna, ayo kita masuk ke dalam. Keluarga Cakradara su
Bab 5 : Keputusan“Apa maksudmu?”Hanna membekap mulutnya tatkala ia mengatakan hal yang tak boleh ia katakan. Hanna merutuki dirinya yang begitu ceroboh. Air mata terus mengalir tanpa henti dari kedua mata indahnya, membuat sebagian make up yang memoles wajah cantiknya luntur.“Maksudku—““Anda berbicara seolah Anda telah mengenal saya sebelumnya, Nona,” Winter berkata dengan nada sedingin es yang mampu membuat Hanna tak berkutik.Suasana tampak sesak dalam sejenak, seolah oksigen telah membeku bersamaan dengan nada bicara Winter yang begitu dingin. Hanna meneguk ludahnya paksa ketika dihadapkan dengan posisi seperti ini. Suasana ini... Sangat mirip dengan kehidupan pernikahan dirinya dan Winter di masa depan sebelum ia terlahir kembali ke masa sekarang.“Anda mengatakan jika saya ingin membunuh Anda? Teori darimana itu?” Winter mendekati Hanna dengan langkah pasti, membuat tubuh sang gadis bergetar ketakutan. “Padahal kita berdua baru bertemu hari ini. Jadi, bagaimana Anda bisa menu