#Arya
Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali karena cahaya yang menyilaukan.Aku menyisir ke seluruh penjuru ruangan bernuansa putih serta menguarkan bau khas obat-obatan, dan mengucap syukur karena ternyata tuhan masih memberiku kesempatan hidup.Tadinya aku pikir tidak akan selamat dari kecelakaan tersebut, karena sekujur tubuh sudah terasa remuk. Namun, nyatanya Tuhan masih memberi kesempatan ke dua kepadaku.Aku terus saja menatap lurus langit-langit kamar, mengingat apa yang sudah kulakukan selama ini. Menzalimi orang-orang, terutama Nimala mantan istriku.‘Semoga setelah lepas dariku kamu mendapatkan seseorang yang tulus mencintai kamu, Lala. Aku akan berusaha ikhlas melepas kamu untuk Virgo!’ Untuk pertama kalinya aku mendoakan seseorang dengan tulus, karena biasanya tidak pernah memikirkan orang lain. Aku terlalu egois, bahkan ketika Tuhan telah menegurku berkali-kali, tetapi selalu diabaikan hingga menerima tegu“Rumah itu kan memang milik ayahnya Lala, Bu. Wajar jika mereka mengambilnya, karena semua juga salah aku. Bukan salah mereka. Tolong berhenti menyalahkan orang lain, sebelum Tuhan bertambah murka dan menghukum kita lebih berat lagi.” Memberikan sedikit ultimatum, dan kuharap Ibu mengerti dan maklum. Air mata terlihat berduyun-duyun jatuh membasahi pipi perempuan berambut mulai memutih itu, dan dia terus saja memegangi tanganku, melarangku untuk pergi mengikuti para polisi. “Kamu tega sama Ibu, Ar? Bagaimana denganku nanti jika kamu dibui? Irni nggak mau ngurus, kamu malah mau menyerahkan diri ke polisi, apa kamu sengaja ingin membuang Ibu?” racaunya lagi. Aku menelan saliva yang terasa getir dan mengganjal di kerongkongan, tidak bisa membayangkan jika suatu saat dipenjara dan Ibu harus tinggal sendirian dengan segala keterbatasan yang dia miliki. Menyakitkan memang jika dibayangkan. Namun, aku juga tidak mungkin terus menerus bersembunyi dari kesalahan. Harus jadi kesatria tangguh
Polisi terlihat menyimak semua keterangan yang diberikan oleh Nirmala kemudian mencatatnya. Mata perempuan berwajah ayu itu terlihat berkaca-kaca ketika menceritakan kronologi kejadian yang menimpanya dua tahun yang lalu, dan sesekali melirik ke arahku yang sedang duduk terpekur do kursi seberang. Ada yang teriris perih dalam hati melihat dia menangis. Ingin rasanya menghampiri wanita itu, mengusap air mata di pipinya lalu merengkuh tubuhnya dan melesakkan kepalanya ke dalam dekapan. Virgo melirik ke arahku lalu menggenggam erat jemari Nirmala, mengecupnya seolah ingin menujukan kepada semua orang kalau mantan istriku adalah miliknya. Sakit ternyata jika sedang terbakar cemburu seperti ini. perih, nyeri hingga meresap ke dalam pori-pori. Tuhan, kuatkan hatiku karena pasti nantinya akan melihat pemandangan seperti itu setiap kali berjumpa dengan Nirmala dan Virgo. Insya Allah aku ikhlas melihat mereka berdua bahagia bersama. “La!” panggilku ketika dia hendak keluar dari ruang inter
Membuka mata perlahan, aku menoleh ke kanan dan ke kiri, dan ternyata kami sedang berada di halaman sebuah masjid dan pria di sebelahku tengah terlelap sambil bersedekap dengan dada naik turun secara teratur.Senyum melekuk indah di bibir menatap wajah tampan nan damai itu, membayangkan beberapa hari lagi akan menikmati wajah rupawan itu setiap malam juga setiap pagi. Semoga saja kebahagiaan serta keberkahan akan selalu menyelimuti kehidupan rumah tangga kita nanti.Ragu-ragu mengulurkan tangan, mengusap pipinya yang mulai ditumbuhi bulu halus sambil terus menikmati wajahnya sebelum dia membuka mata.“Mau ke mana?” Dia mencekal tanganku ketika menjauh dari pipinya, lalu mengecup jari-jariku dan kembali memejamkan mata.Mengambil ponsel, mengabadikan momen kebersamaan kami untuk kenang-kenangan nanti.“Jam berapa, Sayang?” tanyanya kemudian.“Jam tiga. Tumben kamu rehat dulu, biasanya tau-tau dah sampai Jakarta saja."
Memantas diri di depan cermin, menatap pantulan tubuhku yang sudah dibalut kebaya berwarna putih tulang serta kepala terbungkus hijab dengan warna senada yang sudah dihias sedemikian rupa, karena calon suami menginginkan aku mengenakan hijab di hari pernikahan kami. Harum aroma bunga melati menguarkan khas wangi pengantin, membuat diri ini merasa semakin deg-degan menghadapi pernikahan ke dua ini.Bismillah…Perjalanan hidupku yang baru akan dimulai hari ini. Semoga Tuhan meridhoi dan selalu memberkahi pernikahan kami berdua.Melalui pengeras suara, Master of Ceremony membacakan susunan upacara, dan sang qiroah terdengar melantunkan ayat suci Alquran dengan indah. Dilanjut dengan khutbah nikah yang dibacakan oleh Gus Azmi, seorang pemilik pesantren di daerah Tegal sekaligus guru spiritualnya Virgo.Dadaku semakin bergemuruh hebat saat acara inti yang begitu dinanti-nanti dimulai, dimana lelakiku tengah mengucap qobul menjadikan diriku seba
Hampir sepuluh menit Virgo berbicara dengan para anak buahnya, dan mereka terlihat sedang membicarakan masalah yang begitu serius. Aku ingin bertanya ada apa, tetapi belum begitu berani mencampuri urusan suami.Biarlah. Nanti juga dia cerita apa yang sebenarnya terjadi.Kembali berdiri, menyalami beberapa tamu yang datang, sementara lelaki beralis tebal itu terlihat masih berbicara dengan anak buahnya. Sesekali ekor mataku melirik ke arah tempat dia berdiri dan Virgo tersenyum ketika pandangan kami saling bertabrakan.“Lama banget, Mas?” tanyaku ketika dia kembali.“Iya. Ada urusan sedikit sama anak-anak!” jawabnya sembari melingkarkan tangan di pinggang.“Emang nggak bisa libur dulu, gitu? Ini hari spesial kita, loh, Mas. Masa masih ngurusin urusan kantor terus!” protesku agak kesal.“Bukan urusan kantor. Tapi ada keributan sedikit di luar gedung ini, dan aku minta anak buah aku untuk menangani. Aku nggak mau kamu ke
Memindai wajah di cermin, mencoba menutupi jejak cinta yang ditinggalkan di kulit dengan cara mengolesinya dengan alas bedak, akan tetapi tetap saja terlihat.Dalam pantulan cermin kulihat pria bertubuh atletis itu mendekat, memeluk tubuhku dari belakang dan menarik ujung handuk yang melilit di tubuh.“Aku sudah mandi, Mas!” ucapku seraya menahan tangan suami yang kembali bergerilya ke mana-mana.“Masih banyak air di kamar mandi, ‘kan?” Dia memutar tubuh ini, menatapnya dengan penuh cinta sebelum akhirnya kembali membuatku harus membasuh tubuh karena dia meminta jatah yang entah sudah ke berapa kalinya.Kami berdua lalu membasuh tubuh bersama di dalam kamar mandi, saling menggosok punggung dan berendam dalam bathtub bersama seperti anak kecil. Bercanda mesra berdua seakan dunia hanya milik aku dan lelaki yang tengah menggosok lenganku dengan sabun lalu mengguyurnya menggunakan air hangat.“Kamu nggak kerja, Mas?” tanyaku seraya
Pagi-pagi sekali, Virgo mengajakku pergi ke lapangan tempat dulu dia sering mengajariku berjalan, juga berniat menjenguk Bi Sarni, karena semenjak menikah belum pernah singgah ke rumah yang biasa aku tinggali. Kengen masakan pengasuhku katanya. Kami pergi menggunakan sepeda motor, untuk menghindari macet yang sudah menjadi makanan sehari-hari. Melingkarkan tangan di pinggang, aku menempelkan dagu di pundak suami sambil menikmati harum tubuhnya yang selalu menjadi candu bagiku. Sesekali juga Virgo menggenggam jemari ini, menatap wajahku dari kaca spion sambil memuji kecantikanku, membuat hatiku terasa melambung tinggi. Dia paling bisa menyenangkan hati. Selama perjalanan menuju ke lapangan, aku merasa seperti ada yang sedang mengikuti dari belakang. Tapi karena ada Virgo aku selalu merasa aman, sebab pasti dia akan melindungiku. “Kenapa, Sayang?” tanya suami seraya mengecup jemariku. “Enggak, Mas. Aku merasa kaya ada yang mengiku
#Virgo.Duduk terpekur di depan pusara Kinanti, aku ingin memperkenalkan Nirmala istriku kepada almarhumah. Mereka berdua wanita yang paling kucintai walaupun harus kuakui sekarang labih terasa ke Nimala karena memang dia yang selalu ada di sisi sebagai istri.Kutaburkan bunga-bunga di atas makam wanita yang sudah memberiku seorang putri, juga meletakkan beberapa tangkai bunga krisan warna-warni yang aku beli di toko bunga tadi. Rasa bersalah seketika menyelusup ke dalam hati, karena dulu pernah berjanji untuk tidak menikah lagi jika Tuhan terlebih dulu memanggil dirinya. Tapi, aku ini lelaki normal, masih muda, dan pesona Nirmala tidak mampu terelakkan. Aku jatuh cinta kepadanya pada pandangan pertama. Terpesona dengan senyumannya yang bagaikan magnet yang menarik hati ini. Aku tidak bisa mendustai diriku sendiri yang langsung mendamba perempuan itu, terlebih lagi hampir setiap malam dia hadir dalam mimpi-mimpiku, membuat semangat hidup kembali b
Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma
Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank
“Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa
“Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih
Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin
Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang
"Permisi, assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Robby mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Segera kupersilakan dia masuk, dan pria berkaus putih tersebut menyerahkan sepuluh lembar pecahan uang seratus ribuan kepadaku."Ini, Bu, uang yang tadi saya janjikan. Saya hanya bisa bantu segitu saja. Tidak bisa memberikan lebih!" Menyodorkan uang tersebut kepada Bu Haryanti, dan lawan bicaraku itu terlihat tidak percaya dengan tanggapan dariku."Jangan begitulah, Nak Virgo. Ibu datang ke sini itu bukan untuk mengemis. Tapi mau pinjam uang," ucapnya lagi, dengan nada kurang enak didengar."Saya tidak pernah menganggap Ibu pengemis. Tetapi saya juga tidak bisa membantu meminjami Ibu uang sebanyak itu. Saya setiap bulan memberikan uang ke kalian karena kasihan. Sebab biar bagaimanapun, Ibu itu tetap mertuanya Nirmala. Ada mantan suami, tetapi tidak ada mantan mertua kalau menurut saya. Sebab mertua sama dengan orang tua juga!"
“Ada apa, Mas?” tanya istri sambil mengambil jemariku, menggenggamnya kemudian mengecupnya memberi kehangatan cinta.“Nggak ada apa-apa, Sayang. Sonya ingin membahas masalah harta peninggalan ayah, tapi aku pikir belum saatnya. Kuburan Ayah masih basah dan rasanya tidak etis banget kalau kita yang baru saja ditinggalkan malah membahas hartanya. Karena sebenarnya harta miliknya itu delapan puluh persen hakku dan Alisa. Aku juga sudah nggak lagi ngarepin walaupun hanya seujung kuku. Kalau Sonya ingin menyerahkan kembali harta itu, niatku ingin menghibahkannya ke pesantren, atau orang-orang yang membutuhkan.”“Mas Virgo memang suami yang sangat luar biasa!” Perempuan berhijab putih itu mendaratkan bibirnya di pipi, menyandarkan kepala di bahu sambil merangkul lenganku.“Pak, tadi ada dua orang perempuan datang dan katanya ingin bertemu dengan Bapak. Mereka mengaku sebagai keluarganya Arya,” ucap Melvi ketika aku baru saja sampai di kantor.
Virgo segera menghubungi Alisa serta Robby, meminta mereka untuk segera pergi ke rumah ayah mertua tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu ganti pakaian dulu, Sayang. Yang panjang ya. Kalau bisa pake hijab!” titah suami sambil mengusap pipiku.“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan segera beranjak dari kursi, mengayunkan kaki perlahan menuju kamar untuk menukar pakaian seperti apa yang diperintahkan oleh suami.Kuambil sebuah gamis putih yang tergantung di dalam lemari, mengenakannya, lalu memanggil Bibi untuk membantu memakaikan kerudung.“Maa syaa Allah … istrinya Mas Virgo cantik banget kaya bidadari,” puji suami membuat pipi ini seketika bersemu merah.“Terima kasih, Mas.” Menerbitkan senyuman termanis yang pernah kupunya, merangkul lengan suami yang sudah mengenakan kemeja hitam serta celana bahan dengan warna senada khas orang berbelasungkawa.Kendaraan roda empat milik Virgo melaju membelah kemacetan jalan