“Kak Irsyad?” “Iya, La. Kamu apa kabar?” Dia menatapku dengan pindaian penuh kerinduan. “Kenapa kamu bisa berada di tempat ini, Kak?” Kak Irsyad mengernyitkan dahi, menatapku dengan mimik aneh. “Ini ‘kan tempat umum, memangnya ada larangan untukku datang?” Pria berkacamata itu lalu menarik kursi di sebelahku, menggenggam tanganku yang bertumpu di atas meja dengan kedua netra terus saja memindai tanpa berkedip. “Maaf, Kak. Tolong jangan pegang-pegang. Takut ada yang liat dan salah paham.” Menarik tangan perlahan, takut tiba-tiba Virgo muncul dan dia menjadi salah paham. [Mas Robby, bisa temani saya dulu di dalam sampai Mas Virgo datang?] Mengirimkan pesan kepada sopir calon suami, supaya tidak terjadi kesalah pahaman nanti jika Virgo tiba-tiba datang dan melihatku sedang Bersama Kak Irsyad. [Baik, Bu Bos. Saya segera ke dalam.] Balasnya kemudian. Aku segera menjauhkan tangan dari Kak Irsyad, dan wajah mantan tunanganku itu mendad
Sambil memindai wajah tampannya kubuka kertas itu, melekuk senyum melihat isinya‘LIHAT KE DEPAN’Spontan langsung menatap ke arah depan, terkagum-kagum melihat apa yang ada di hadapanku. Sebuah spanduk bertuliskan ‘WILL U MARRY ME’ terbentang di sana, dan ada beberapa orang membawa rangkaian bunga berbentuk hati.“Bagaimana, Sayang. Kamu suka dengan kejutannya?”Aku menjawab dengan anggukan kepala serta rasa haru luar biasa.“Kamu mau kan jadi istri aku? Ini aku melamar kamu secara resmi. Mengikat kamu, karena aku tau tau perempuan itu hanya butuh kepastian juga keseriusan. Aku juga tahu kamu sedikit ragu sama aku, karena kamu merasa aku ini tidak pernah serius orangnya. Aku memang sering bercanda. Tetapi untuk hubungan kita aku teramat sangat serius. Kamu mau kan jadi istri aku, Nirmala Wulan?” Dia menyodorkan kotak beludru berwarna merah, dengan sebuah cincin berlian menyembul di dalamnya. “Manggut, dong. Jangan diem terus,”
Menekan dial hijau, aku memutuskan untuk meneleponnya, karena sudah tidak betah berlama-lama di Jakarta.“Kenapa sih, La? Kamu ganggu Ayah aja. Ayah lagi liburan sama Delima. Kamu kalau butuh apa-apa tinggal kirim pesan aja nggak perlu telepon!” Terdengar respons tidak suka dari pria yang katanya ayahku itu. Mungkin karena sudah mempunyai kehidupan baru, jadi dia tidak lagi mau diganggu.“Jemput aku di Jakarta, Yah. Aku mau pulang ke Cirebon,” kataku terbata, menahan perih yang kian meraja.“Ayah nggak bisa, Sayang. Kamu minta diantar sama Aliando saja. Biasanya juga kemana-mana sama dia!”“Ya sudah.” Menutup sambungan telepon secara sepihak, merasa kalau saat ini jarak antara aku dan Ayah semakin jauh saja. Entahlah! Dia selalu bilang sayang, tetapi tidak pernah menunjukkan sedikit pun perhatian. Mungkin dia pikir hanya dengan memberi banyak uang saja sudah cukup membahagiakan diriku, padahal uang bukanlah kebahagiaan sebenarn
“Kamu kenapa di atas tubuh aku terus, Mas? Turun!” ucapku seraya mendorong tubuh calon suami.“Eh, sorry .…” Dia segera beranjak lalu duduk di sofa. Jalannya terlihat aneh.“Maaf, Bibi mengganggu. Kirain nggal lagi…” Dia menggantung kalimat . Mungkin dia pikir kami sedang melakukan hal tidak senonoh di dalam kamar. “Harusnya pintunya ditutup rapat, biar Bibi nggak bias nyelonong masuk.”“Bukannya udah ditutup sama Mas Vairgo?”“Kan aku tutup doang tapi nggak rapet. Kata kamu takut jadi fitnah? Lagian kami nggak lagi ngapa-ngapain kok, Bi. Tadi Lala mau jatuh. Niatnya aku mau nolongin, eh, malah jatuh bareng-bareng!” Virgo menimpali sambil tersenyum aneh.Bi Sarni hanya ber oh ria, tetapi dari cara dia menatap kami terlihat sekali kalau perempuan yang sudah mengurusku sejak bayi itu tidak percaya dengan ucapan Virgo.“Bibi kenapa sudah sampai Jakarta?” tanyaku bingung, karena baru setengah jam yang lalu menghubun
#AryaMembuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali karena cahaya yang menyilaukan.Aku menyisir ke seluruh penjuru ruangan bernuansa putih serta menguarkan bau khas obat-obatan, dan mengucap syukur karena ternyata tuhan masih memberiku kesempatan hidup.Tadinya aku pikir tidak akan selamat dari kecelakaan tersebut, karena sekujur tubuh sudah terasa remuk. Namun, nyatanya Tuhan masih memberi kesempatan ke dua kepadaku.Aku terus saja menatap lurus langit-langit kamar, mengingat apa yang sudah kulakukan selama ini. Menzalimi orang-orang, terutama Nimala mantan istriku.‘Semoga setelah lepas dariku kamu mendapatkan seseorang yang tulus mencintai kamu, Lala. Aku akan berusaha ikhlas melepas kamu untuk Virgo!’ Untuk pertama kalinya aku mendoakan seseorang dengan tulus, karena biasanya tidak pernah memikirkan orang lain. Aku terlalu egois, bahkan ketika Tuhan telah menegurku berkali-kali, tetapi selalu diabaikan hingga menerima tegu
“Rumah itu kan memang milik ayahnya Lala, Bu. Wajar jika mereka mengambilnya, karena semua juga salah aku. Bukan salah mereka. Tolong berhenti menyalahkan orang lain, sebelum Tuhan bertambah murka dan menghukum kita lebih berat lagi.” Memberikan sedikit ultimatum, dan kuharap Ibu mengerti dan maklum. Air mata terlihat berduyun-duyun jatuh membasahi pipi perempuan berambut mulai memutih itu, dan dia terus saja memegangi tanganku, melarangku untuk pergi mengikuti para polisi. “Kamu tega sama Ibu, Ar? Bagaimana denganku nanti jika kamu dibui? Irni nggak mau ngurus, kamu malah mau menyerahkan diri ke polisi, apa kamu sengaja ingin membuang Ibu?” racaunya lagi. Aku menelan saliva yang terasa getir dan mengganjal di kerongkongan, tidak bisa membayangkan jika suatu saat dipenjara dan Ibu harus tinggal sendirian dengan segala keterbatasan yang dia miliki. Menyakitkan memang jika dibayangkan. Namun, aku juga tidak mungkin terus menerus bersembunyi dari kesalahan. Harus jadi kesatria tangguh
Polisi terlihat menyimak semua keterangan yang diberikan oleh Nirmala kemudian mencatatnya. Mata perempuan berwajah ayu itu terlihat berkaca-kaca ketika menceritakan kronologi kejadian yang menimpanya dua tahun yang lalu, dan sesekali melirik ke arahku yang sedang duduk terpekur do kursi seberang. Ada yang teriris perih dalam hati melihat dia menangis. Ingin rasanya menghampiri wanita itu, mengusap air mata di pipinya lalu merengkuh tubuhnya dan melesakkan kepalanya ke dalam dekapan. Virgo melirik ke arahku lalu menggenggam erat jemari Nirmala, mengecupnya seolah ingin menujukan kepada semua orang kalau mantan istriku adalah miliknya. Sakit ternyata jika sedang terbakar cemburu seperti ini. perih, nyeri hingga meresap ke dalam pori-pori. Tuhan, kuatkan hatiku karena pasti nantinya akan melihat pemandangan seperti itu setiap kali berjumpa dengan Nirmala dan Virgo. Insya Allah aku ikhlas melihat mereka berdua bahagia bersama. “La!” panggilku ketika dia hendak keluar dari ruang inter
Membuka mata perlahan, aku menoleh ke kanan dan ke kiri, dan ternyata kami sedang berada di halaman sebuah masjid dan pria di sebelahku tengah terlelap sambil bersedekap dengan dada naik turun secara teratur.Senyum melekuk indah di bibir menatap wajah tampan nan damai itu, membayangkan beberapa hari lagi akan menikmati wajah rupawan itu setiap malam juga setiap pagi. Semoga saja kebahagiaan serta keberkahan akan selalu menyelimuti kehidupan rumah tangga kita nanti.Ragu-ragu mengulurkan tangan, mengusap pipinya yang mulai ditumbuhi bulu halus sambil terus menikmati wajahnya sebelum dia membuka mata.“Mau ke mana?” Dia mencekal tanganku ketika menjauh dari pipinya, lalu mengecup jari-jariku dan kembali memejamkan mata.Mengambil ponsel, mengabadikan momen kebersamaan kami untuk kenang-kenangan nanti.“Jam berapa, Sayang?” tanyanya kemudian.“Jam tiga. Tumben kamu rehat dulu, biasanya tau-tau dah sampai Jakarta saja."
Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma
Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank
“Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa
“Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih
Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin
Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang
"Permisi, assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Robby mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Segera kupersilakan dia masuk, dan pria berkaus putih tersebut menyerahkan sepuluh lembar pecahan uang seratus ribuan kepadaku."Ini, Bu, uang yang tadi saya janjikan. Saya hanya bisa bantu segitu saja. Tidak bisa memberikan lebih!" Menyodorkan uang tersebut kepada Bu Haryanti, dan lawan bicaraku itu terlihat tidak percaya dengan tanggapan dariku."Jangan begitulah, Nak Virgo. Ibu datang ke sini itu bukan untuk mengemis. Tapi mau pinjam uang," ucapnya lagi, dengan nada kurang enak didengar."Saya tidak pernah menganggap Ibu pengemis. Tetapi saya juga tidak bisa membantu meminjami Ibu uang sebanyak itu. Saya setiap bulan memberikan uang ke kalian karena kasihan. Sebab biar bagaimanapun, Ibu itu tetap mertuanya Nirmala. Ada mantan suami, tetapi tidak ada mantan mertua kalau menurut saya. Sebab mertua sama dengan orang tua juga!"
“Ada apa, Mas?” tanya istri sambil mengambil jemariku, menggenggamnya kemudian mengecupnya memberi kehangatan cinta.“Nggak ada apa-apa, Sayang. Sonya ingin membahas masalah harta peninggalan ayah, tapi aku pikir belum saatnya. Kuburan Ayah masih basah dan rasanya tidak etis banget kalau kita yang baru saja ditinggalkan malah membahas hartanya. Karena sebenarnya harta miliknya itu delapan puluh persen hakku dan Alisa. Aku juga sudah nggak lagi ngarepin walaupun hanya seujung kuku. Kalau Sonya ingin menyerahkan kembali harta itu, niatku ingin menghibahkannya ke pesantren, atau orang-orang yang membutuhkan.”“Mas Virgo memang suami yang sangat luar biasa!” Perempuan berhijab putih itu mendaratkan bibirnya di pipi, menyandarkan kepala di bahu sambil merangkul lenganku.“Pak, tadi ada dua orang perempuan datang dan katanya ingin bertemu dengan Bapak. Mereka mengaku sebagai keluarganya Arya,” ucap Melvi ketika aku baru saja sampai di kantor.
Virgo segera menghubungi Alisa serta Robby, meminta mereka untuk segera pergi ke rumah ayah mertua tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu ganti pakaian dulu, Sayang. Yang panjang ya. Kalau bisa pake hijab!” titah suami sambil mengusap pipiku.“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan segera beranjak dari kursi, mengayunkan kaki perlahan menuju kamar untuk menukar pakaian seperti apa yang diperintahkan oleh suami.Kuambil sebuah gamis putih yang tergantung di dalam lemari, mengenakannya, lalu memanggil Bibi untuk membantu memakaikan kerudung.“Maa syaa Allah … istrinya Mas Virgo cantik banget kaya bidadari,” puji suami membuat pipi ini seketika bersemu merah.“Terima kasih, Mas.” Menerbitkan senyuman termanis yang pernah kupunya, merangkul lengan suami yang sudah mengenakan kemeja hitam serta celana bahan dengan warna senada khas orang berbelasungkawa.Kendaraan roda empat milik Virgo melaju membelah kemacetan jalan