Aku mendengus kesal mendengarnya. Sambil menahan emosi kukerjakan sendiri apa yang seharusnya menjadi tugas istri, menyiapkan sarapan sendiri sudah seperti seorang duda.
Padahal, dulu ketika ada Nirmala aku tidak pernah mengerjakan satu pekerjaan pun, karena semuanya sudah dipegang oleh asisten rumah tangganya. Sepertinya aku harus lebih getol lagi merayu wanita itu supaya menerimaku kembali, apalagi sekarang dia sudah tinggal di Jakarta. Tidak masalah dia cacat, yang penting banyak uang dan bisa mencukupi semua kebutuhan, juga bisa melayani semua keinginanku.“Kamu nyetrika sendiri, Ar?” tanya Ibu saat melihat aku tengah mengenakan kemeja di kamar yang biasa dipakai untuk melicin pakaian.“Habis mau bagaimana lagi, Bu. Siska nggak mau nyetrikain baju aku. Dia masih ngantuk katanya!” sungutku kesal.“Istri kamu itu memang bener-bener, Ar. Maunya mainan hape terus. Nggak pernah mau bantuin Ibu“Memangnya apa yang bisa buat gue iri sama lu? Nggak ada ‘kan?” “Gue punya dua istri dan lu jomlo!”“Lu punya dua istri juga hasil nipu orang, Ar. Lu diem-diem nikah sama Siska tanpa sepengetahuan istri tua lu, dan lu ngaku bujang sama si Siska. Ngaku orang kaya. Makanya sekarang lu pusing sendiri kan?Kalo boleh gue kasih saran, sebaiknya lu jujur sama Siska siapa diri lu sebenarnya. Gue kasian liat lu pontang-panting juga pusing mikirin utang, apalagi istri baru lu itu hobi banget foya-foya macam istri bos. Satu lagi, syarat laki-laki berpoligami itu harus mampu baik materi maupun waktu. Lu harus adil membagi waktu juga nafkah kepada kedua istri lu. Jangan malah ngarepin istri tua lu yang ngasih duit ke lu dan lu pake buat bahagiain istri muda. Itu namanya zalim.Barang siapa yang memiliki dua orang istri lalu dia lebih cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka dia akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebe
“Siska ke mana, Bu?” tanyaku, menghampiri Ibu yang sedang menonton televisi di ruang tengah.“Mana Ibu tau. Dia pergi dari pagi dan belum pulang sampai sekarang!” jawab Ibu ketus. Tidak menoleh sama sekali ke arahku.“Harusnya Ibu tau dong. ‘Kan seharian Ibu ada di rumah. Masa menantunya sendiri pergi Ibu malah tidak tau!”“Kamu tau sendiri perlakuan Siska sama Ibu seperti apa? Mana berani Ibu nanya-nanya kalau dia mau pergi. Bisa ditelan hidup-hidup Ibu sama dia!”Aku mengusap wajah frustasi. Benar juga. Siska itu ‘kan tidak akur sama Ibu akhir-akhir ini. “Pasti dia pergi juga karena nggak betah diomelin Ibu terus. Lagian, Ibu itu kenapa sih? Kok sekarang jahat banget sama istri aku. Dulu aja Ibu muji-muji dan nyuruh aku buru-buru nikah sama Siska. Sekarang setelah kami berdua nikah, Ibu malah musuhin dia!” tuduhku sambil berlalu pergi meninggalkan perempuan yang sudah melahirkanku tiga puluh tahun yang lalu. Malas berdebat pa
Aku mencoba menerobos masuk tapi, Bi Sarni malah menutup pintu rapat. Pasti ini kerjaan Nirmala. Dia yang menyuruh pembantunya untuk melarangku masuk ke dalam rumah, meskipun aku masih punya hak juga di rumah yang sedang dia tinggali.Tidak lama kemudian terdengar suara deru mesin kendaraan memasuki halaman rumah. Samar-samar terlihat Nirmala turun dipapah oleh laki-laki muda yang tempo hari bersama dia di taman, bercanda mesra membuat isi dalam dada terasa nyeri luar biasa.Kenapa begini? Mengapa sakit sekali melihatnya bersama pria lain? Apa ini yang dinamakan cemburu?Ah, sepertinya tidak. Aku tidak mungkin cemburu, karena memang tidak mencintai Nirmala.“Hati-hati jalannya, La. Jangan terlalu bersemangat. Nanti kamu jatuh. Kalau jatuh cinta sama aku sih nggak apa-apa. Nggak sakit. Tapi kalo jatuh dan lututnya nyium conblock kan sakit!” Gombal banget itu laki-laki. Garing kaya kanebo kering.Panas hati
POV Nirmala.Menyibak tirai, melihat dua orang satpam yang aku panggil tengah menarik paksa Mas Arya keluar. Heran sama orang satu itu. Muka tembok banget. Sudah berkhianat, sok-sokan jadi orang paling tersakiti pula. Mungkin otaknya sudah geser ke dengkul, gara-gara keseringan tidur sama si wanita plastik itu.“Kalau masih peduli keluar saja, La. Bilang ke suami kamu kalau sebenarnya kamu masih mencintai dia!” ucap Virgo seraya mengusap lembut bahuku.“Kamu ngomong apa, sih, Vir? Aku itu bukan boneka. Punya harga diri. Biar pun cacat, tapi tidak mau bucin. Biar tidak diinjak-injak sama orang yang pernah aku anggap begitu berarti di kehidupan aku!” jawabku lugas.Laki-laki bermata bulat dengan iris cokelat itu melengkungkan bibirnya membentuk bulan sabit. Dia lalu membantuku untuk duduk, membuka pintu setelah petugas keamanan benar-benar mengusir Mas Arya pergi.Aku meluruskan kaki yang terasa sedikit nyeri, mengoleskan krim yang diberikan dokter tempat terapiku yang baru sambil meri
“Aku pikir-pikir dulu, Kak. Sebaiknya Kakak pulang dulu. Aku mau istirahat. Kaki aku sakit!”“Kita ke dokter sekarang kalau begitu, La. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa!” Raut kekhawatiran tergambar jelas di wajah tampan lawan bicaraku.“Aku tidak apa-apa, hanya butuh istirahat saja!” Mengusir Kak Irsyad secara halus.“Kalau begitu kita jalan nanti sore. Aku akan menunggu kamu di sini!”“Dokter melarangku untuk terlalu banyak bergerak!”Lagi, pria dengan garis wajah tegas itu menghela napas. Air mukanya terlihat berubah karena ajakannya untuk jalan aku tolak.“Ya suda. Aku pulang. Jangan lupa buah-buahannya di makan, dan besok pagi aku ke sini lagi!” Kak Irsyad mencondongkan tubuh, ingin mendaratkan ciuman tapi, secepat kilat memalingkan wajah menghindari kecupannya. “Aku permisi!” Dia beranjak dari sofa kemudian keluar dari rumah.Aku berusaha berdiri, berjalan bertumpu di pinggiran meja meraih kursi roda
"Lala! Ya Allah!" teriak seorang laki-laki sambil berlari menghampiri dan segera membopong tubuhku, mendudukkannya di bangku taman tidak jauh dari Kak Irsyad duduk dengan mimik khawatir tergambar jelas di wajahnya. "Sakit!!" Memekik kesakitan ketika Virgo meluruskan kakiku, melepas sepatu yang aku kenakan lalu memijat lembut pergelangannya. Aku terisak menahan nyeri luar biasa, sementara Virgo terlihat begitu khawatir juga dengan telaten dia mengurut bagian kakiku yang sakit."Heh, apa-apaan ini? Siapa yang menyuruh kamu menyentuh pacar saya?!" sentak Kak Irsyad seraya berjalan mendekat. Wajahnya sudah memerah dengan api amarah berkobar-kobar di sorot kedua netranya.Laki-laki berkaus polos dengan merek ternama melekat di tubuh itu tetap acuh tak acuh, mengabaikan Kak Irsyad yang sudah muntap."Bagaimana, La? Apa masih sakit?" tanya pria berumur dua puluh lima tahun itu seraya menggerak-gerakkan kakiku perlahan.Aku
Ya Tuhan...Siapa orang yang berani mengedit foto seperti ini, mencoba memfitnah istriku yang hatinya selembut bidadari dan tidak mungkin berbuat tidak beradab seperti itu?Mengapa akhir-akhir ini banyak sekali yang berusaha mengganggu ketenangan hidupku juga ketenteraman rumah tanggaku?Argh!Mendadak frustrasi sendiri menghadapi semua masalah seorang diri.Apa jangan-jangan Nirmala sengaja menyewa orang untuk menghancurkan rumah tanggaku dengan istri baru, atau, apa memang Siska bukan perempuan baik-baik?Apalagi, ketika hendak ke kantor, aku pernah bertemu dengan seorang driver taksi online dan mengatakan kalau Siska itu matan pekerja seks komersial.Astaga...!Beranjak dari tidur, duduk bersila di atas kasur lalu menguyar rambut frustrasi, pusing dengan problema yang mendera.Daripada penasaran, mending kuhubungi orang yang mengirimkan foto, ingin mengklarifikasi juga penasaran, si
Menguyar rambut frustrasi, merasakan luka di kulit yang berdenyut nyeri. Tetapi ada yang lebih sakit lagi, yaitu di hati.Mencoba menjadi nakhoda di dua kapal, akan tetapi perlahan malah dua-duanya karam. Tenggelam ke dasar luka yang begitu dalam.Masihkah ada kesempatan memperbaiki diri serta hubungan, menjalani biduk rumah tangga bersama salah satu dari mereka yang benar-benar mencintai diriku.Andai saja waktu bisa berputar kembali. Tidak akan coba-coba bermain hati apalagi sampai bermain api. Karena ternyata justru malah aku yang hangus sendiri, terbakar oleh percikan api yang kunyalakan.Tuhan, jika memang Siska mengkhianati cintaku, tolong sentuh hati Nirmala agar dia bisa kembali kepadaku, menjalani biduk rumah tangga seperti dahulu.Aku rela menjadi kakinya. Menjadi lentera yang menerangi malamnya juga penyempurnaan hidupnya yang penuh dengan kekurangan. Dan aku berjanji tidak akan mengkhianatinya lagi.***
Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma
Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank
“Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa
“Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih
Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin
Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang
"Permisi, assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Robby mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Segera kupersilakan dia masuk, dan pria berkaus putih tersebut menyerahkan sepuluh lembar pecahan uang seratus ribuan kepadaku."Ini, Bu, uang yang tadi saya janjikan. Saya hanya bisa bantu segitu saja. Tidak bisa memberikan lebih!" Menyodorkan uang tersebut kepada Bu Haryanti, dan lawan bicaraku itu terlihat tidak percaya dengan tanggapan dariku."Jangan begitulah, Nak Virgo. Ibu datang ke sini itu bukan untuk mengemis. Tapi mau pinjam uang," ucapnya lagi, dengan nada kurang enak didengar."Saya tidak pernah menganggap Ibu pengemis. Tetapi saya juga tidak bisa membantu meminjami Ibu uang sebanyak itu. Saya setiap bulan memberikan uang ke kalian karena kasihan. Sebab biar bagaimanapun, Ibu itu tetap mertuanya Nirmala. Ada mantan suami, tetapi tidak ada mantan mertua kalau menurut saya. Sebab mertua sama dengan orang tua juga!"
“Ada apa, Mas?” tanya istri sambil mengambil jemariku, menggenggamnya kemudian mengecupnya memberi kehangatan cinta.“Nggak ada apa-apa, Sayang. Sonya ingin membahas masalah harta peninggalan ayah, tapi aku pikir belum saatnya. Kuburan Ayah masih basah dan rasanya tidak etis banget kalau kita yang baru saja ditinggalkan malah membahas hartanya. Karena sebenarnya harta miliknya itu delapan puluh persen hakku dan Alisa. Aku juga sudah nggak lagi ngarepin walaupun hanya seujung kuku. Kalau Sonya ingin menyerahkan kembali harta itu, niatku ingin menghibahkannya ke pesantren, atau orang-orang yang membutuhkan.”“Mas Virgo memang suami yang sangat luar biasa!” Perempuan berhijab putih itu mendaratkan bibirnya di pipi, menyandarkan kepala di bahu sambil merangkul lenganku.“Pak, tadi ada dua orang perempuan datang dan katanya ingin bertemu dengan Bapak. Mereka mengaku sebagai keluarganya Arya,” ucap Melvi ketika aku baru saja sampai di kantor.
Virgo segera menghubungi Alisa serta Robby, meminta mereka untuk segera pergi ke rumah ayah mertua tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu ganti pakaian dulu, Sayang. Yang panjang ya. Kalau bisa pake hijab!” titah suami sambil mengusap pipiku.“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan segera beranjak dari kursi, mengayunkan kaki perlahan menuju kamar untuk menukar pakaian seperti apa yang diperintahkan oleh suami.Kuambil sebuah gamis putih yang tergantung di dalam lemari, mengenakannya, lalu memanggil Bibi untuk membantu memakaikan kerudung.“Maa syaa Allah … istrinya Mas Virgo cantik banget kaya bidadari,” puji suami membuat pipi ini seketika bersemu merah.“Terima kasih, Mas.” Menerbitkan senyuman termanis yang pernah kupunya, merangkul lengan suami yang sudah mengenakan kemeja hitam serta celana bahan dengan warna senada khas orang berbelasungkawa.Kendaraan roda empat milik Virgo melaju membelah kemacetan jalan