Pagi-pagi sekali, Nauna mendapati sekelompok orang berpakaian rapi datang ke rumah. Dia tertegun ketika membuka pintu. Orang-orang yang berdiri di depannya tidak terlihat ramah sama sekali dan dia tidak mengenali satupun di antara mereka. "Maaf, cari siapa, ya?" Nauna mencoba bertanya dengan sopan. Alih-alih menjawab pertanyaannya, orang-orang tak dikenal itu malah menerobos masuk ke dalam rumah. Nauna terkesiap kaget. Dia buru-buru masuk dan mengejar mereka. "Maaf, siapa kalian? Kenapa sembarangan masuk ke rumah orang? Tolong jangan lancang!" Nauna berkata dengan tegas. Akan tetapi, tidak ada yang mempedulikannya. Orang-orang itu mulai berpencar ke sana ke mari, seperti sedang memeriksa keadaan rumah. Nauna mulai panik. Perasaannya menjadi tidak tenang. Dia berteriak, mencoba menghalau orang-orang itu, tetapi tetap tidak ada yang mempedulikannya. Mendengar teriakan Nauna, sebagian besar penghuni rumah segera keluar dari kamar masing-masing. Mereka membuka mata lebar-lebar meliha
"Jadi, bos kalian yang membeli rumah ini adalah Jeremy Werner?" Dean bertanya dengan nada tidak percaya. "Ya, anda tentu mengenalnya, kan? Anda juga pasti ingat, saat anda menandatangani semua surat-surat ini di depannya." Ucapan laki-laki itu membuat Dean tertegun. Ingatannya kembali pada saat dia duduk berhadapan dengan Jeremy kemarin lalu. Dia ingat saat dirinya membubuhkan tanda tangan di atas kertas-kertas yang diberikan Jeremy, tapi itu semua adalah surat kontrak kerjanya sebagai manajer baru di perusahaan, bukan surat persetujuan jual-beli rumah. Dia yakin sudah membaca isi surat-surat itu dengan teliti, kecuali... Dean mengerjap kaget saat ingat ada beberapa lembar kertas yang tidak dia baca lagi isinya, karena Jeremy mengatakan bahwa kertas-kertas itu adalah salinan surat kontraknya. Dia hanya membaca halaman paling atas saja untuk memastikan dan tidak memeriksa halaman lainnya. Mengingat ini, Dean merasa sangat bingung. Apa yang sebenarnya sudah terjadi? Apakah Jeremy d
"Karyawan hanya bisa bertemu dengan Pak Jeremy jika dipanggil. Sedangkan orang asing, hanya bisa bertemu jika sudah membuat janji satu hari sebelumnya." Sekretaris Jeremy menjelaskan sembari melirik ke arah Nauna. Mendengar ini, Nauna merasa sangat marah. Sepenting apa orang bernama Jeremy itu sampai bertemu dengannya saja harus dipersulit? Nauna tidak bisa menerima penjelasan Sekretaris Jeremy dan berkata, "Kami harus bertemu dengannya hari ini."Sekretaris Jeremy memandangnya dengan tatapan tidak suka, tapi suaranya masih terdengar sopan ketika berkata, "Anda bisa bertemu dengannya setelah membuat janji. Begitu peraturannya."Dean mendengus kesal dan berkata dengan tegas, "Nggak peduli apa yang kamu katakan, kami tetap harus bertemu dengannya hari ini. Kami akan menunggu sampai dia datang."Sekretaris Jeremy terlihat tidak senang. Dia baru akan mengatakan sesuatu ketika terdengar suara langkah kaki mendekat. Dia sontak menoleh, begitupun dengan Nauna dan Dean. Pada saat ini, Naun
"David, urus gaji terakhir dan pesangonnya. Setelah itu, pastikan dia keluar dari perusahaan ini." Jeremy berkata dengan arogan. Mendengar ucapannya, Nauna menatap Dean dengan cemas, tetapi laki-laki itu tidak terlihat panik sama sekali. Dia seperti sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi. "Nggak perlu repot-repot." Dean berkata dengan tenang. "Tanpa dipecat pun, saya akan dengan senang hati keluar dari perusahaan ini. Saya nggak sudi bekerja di bawah kepemimpinan seorang penipu." Kalimat terakhirnya terdengar begitu tajam. Tanpa menunggu reaksi dari Jeremy, dia menarik tangan Nauna dan segera pergi dari sana. Nauna tidak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti langkahnya. Mereka masuk ke dalam lift dan berdiri bersisian tanpa berbicara sama sekali. Ekspresi Dean masih tampak suram. Tatapannya lurus dan kosong. Nauna merasa emosinya belum stabil, jadi dia tidak berani mengajaknya bicara. Ketika mereka sudah berada di dalam mobil, sikap Dean masih sama. Dia tidak segera melajukan
Setelah memasukkan semua pakaian dan barang-barang ke dalam koper, Dean dan Nauna bersiap untuk pergi. Langkah keduanya begitu berat, ketika menuruni tangga dan berjalan menuju pintu utama.Nauna melirik wajah Dean yang tampak suram. Dia sangat mengerti perasaannya. Rumah ini menyimpan banyak sekali kenangan, pasti sangat berat meninggalkannya. Akan berbeda rasanya, jika mereka pergi karena keinginan sendiri, bukan karena rumah ini telah menjadi milik orang lain. Memikirkan ini, Nauna merasa sangat sedih. Dia mengikuti langkah Dean dengan gontai sembari menyeret dua buah koper di tangannya. Sampai akhirnya, mereka benar-benar keluar dari rumah. Dean menutup pintu rapat-rapat, lalu berbalik dan menghela napas berat. Nauna mengusap lengannya dan mencoba menghibur. "Mas, kita hanya pergi untuk sementara. Kita akan segera kembali ke rumah ini secepatnya."Kata-katanya terdengar sangat optimis, tetapi tidak dengan hatinya. Sebenarnya, masih ada keraguan di sana. Entah mereka bisa mereb
Pemikiran Dean terdengar masuk akal. Citra adalah anak kesayangan Rudy dan Lusi, seharusnya mereka tidak akan meninggalkannya begitu saja. Nauna menatap Dean dan berkata, "Kalau pemikiranmu benar, itu artinya Mas Rudy dan Mbak Lusi belum pergi dari kota ini. Iya kan, Mas?"Dean mengangguk membenarkan. "Ya, seharusnya mereka memang belum pergi dari kota ini.""Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Mas?" Dean berpikir sejenak. Jika ingin merebut kembali rumah yang telah menjadi milik Jeremy, maka pertama-tama, dia harus menemukan Rudy dan Lusi. Dua orang itu tidak boleh melarikan diri dan harus bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Dean tidak akan membiarkan mereka lepas begitu saja. Selagi mereka belum meninggalkan kota ini, masih ada harapan. Dean menatap Nauna dan berkata, "Kita harus mengawasi Citra. Saat Mas Rudy dan Mbak Lusi datang untuk membawanya pergi, kita bisa mencegat mereka."Mendengar ini, Nauna mengangguk setuju. "Berarti, kita harus pergi ke sekolah
Dinara langsung setuju. Kebetulan, dia sedang berada di sebuah kafe. Jadi, dia meminta Nauna menyusulnya. Sekitar lima belas menit kemudian, Nauna akhirnya datang. Dinara agak terkejut, sepupunya itu tidak datang sendiri, melainkan bersama dengan Dean. Dinara pikir, Nauna ingin bertemu untuk membahas tentang rencana para iparnya, tetapi melihat Dean datang bersamanya, dia menjadi agak ragu. Nauna menyadari raut bingung di wajah Dinara. Setelah saling menyapa dan duduk berhadapan, dia berkata, "Mas Dean sudah tahu tentang rencana para iparku, Kak."Mendengar ini, Dinara membuka matanya lebar-lebar. Dia menatap Nauna dan Dean bergantian dengan ekspresi terkejut di wajahnya. Setelah beberapa saat, dia mengulas senyum lega dan berkata, "Kalau Dean sudah tahu semuanya, berarti rumah kalian sudah aman dan masalahnya sudah selesai. Benar, kan?"Dean tersenyum masam dan berkata dengan lirih, "Ya, seandainya aku tahu lebih awal. Sayangnya, aku tahu saat semuanya sudah terlambat." Raut waja
"Kakak kenal dia?"Dinara tidak langsung menjawab pertanyaan Nauna. Dia masih terpaku menatap potret laki-laki di layar ponsel milik Dean. Bagaimana mungkin dia tidak mengenalnya? Mereka pernah hidup bersama. Walaupun telah memutuskan untuk berpisah, tetapi mereka tidak akan pernah saling melupakan. "Ternyata memang dia." Dinara bergumam dengan pelan. Seharusnya, dia sudah menduga sejak awal. "Apa Kakak mengenalnya?" Nauna kembali melontarkan pertanyaan yang sama. Dinara mengangkat wajahnya. Butuh waktu beberapa saat sebelum dia bisa menganggukkan kepalanya dengan perlahan. Tatapan matanya terlihat gusar saat dia berkata dengan lirih, "Dia mantan suamiku.""Apa?" Dean tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Begitupun dengan Nauna. Keduanya tercengang dan menatap Dinara dengan tatapan tidak percaya. "Orang itu, mantan suami Kakak?" Nauna bertanya untuk memastikan pendengarannya. Dia hampir tidak mempercayai telinganya sendiri. Dinara mengangguk dengan pasti. "Ya, dia mantan s