"Jadi, bos kalian yang membeli rumah ini adalah Jeremy Werner?" Dean bertanya dengan nada tidak percaya. "Ya, anda tentu mengenalnya, kan? Anda juga pasti ingat, saat anda menandatangani semua surat-surat ini di depannya." Ucapan laki-laki itu membuat Dean tertegun. Ingatannya kembali pada saat dia duduk berhadapan dengan Jeremy kemarin lalu. Dia ingat saat dirinya membubuhkan tanda tangan di atas kertas-kertas yang diberikan Jeremy, tapi itu semua adalah surat kontrak kerjanya sebagai manajer baru di perusahaan, bukan surat persetujuan jual-beli rumah. Dia yakin sudah membaca isi surat-surat itu dengan teliti, kecuali... Dean mengerjap kaget saat ingat ada beberapa lembar kertas yang tidak dia baca lagi isinya, karena Jeremy mengatakan bahwa kertas-kertas itu adalah salinan surat kontraknya. Dia hanya membaca halaman paling atas saja untuk memastikan dan tidak memeriksa halaman lainnya. Mengingat ini, Dean merasa sangat bingung. Apa yang sebenarnya sudah terjadi? Apakah Jeremy d
"Karyawan hanya bisa bertemu dengan Pak Jeremy jika dipanggil. Sedangkan orang asing, hanya bisa bertemu jika sudah membuat janji satu hari sebelumnya." Sekretaris Jeremy menjelaskan sembari melirik ke arah Nauna. Mendengar ini, Nauna merasa sangat marah. Sepenting apa orang bernama Jeremy itu sampai bertemu dengannya saja harus dipersulit? Nauna tidak bisa menerima penjelasan Sekretaris Jeremy dan berkata, "Kami harus bertemu dengannya hari ini."Sekretaris Jeremy memandangnya dengan tatapan tidak suka, tapi suaranya masih terdengar sopan ketika berkata, "Anda bisa bertemu dengannya setelah membuat janji. Begitu peraturannya."Dean mendengus kesal dan berkata dengan tegas, "Nggak peduli apa yang kamu katakan, kami tetap harus bertemu dengannya hari ini. Kami akan menunggu sampai dia datang."Sekretaris Jeremy terlihat tidak senang. Dia baru akan mengatakan sesuatu ketika terdengar suara langkah kaki mendekat. Dia sontak menoleh, begitupun dengan Nauna dan Dean. Pada saat ini, Naun
"David, urus gaji terakhir dan pesangonnya. Setelah itu, pastikan dia keluar dari perusahaan ini." Jeremy berkata dengan arogan. Mendengar ucapannya, Nauna menatap Dean dengan cemas, tetapi laki-laki itu tidak terlihat panik sama sekali. Dia seperti sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi. "Nggak perlu repot-repot." Dean berkata dengan tenang. "Tanpa dipecat pun, saya akan dengan senang hati keluar dari perusahaan ini. Saya nggak sudi bekerja di bawah kepemimpinan seorang penipu." Kalimat terakhirnya terdengar begitu tajam. Tanpa menunggu reaksi dari Jeremy, dia menarik tangan Nauna dan segera pergi dari sana. Nauna tidak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti langkahnya. Mereka masuk ke dalam lift dan berdiri bersisian tanpa berbicara sama sekali. Ekspresi Dean masih tampak suram. Tatapannya lurus dan kosong. Nauna merasa emosinya belum stabil, jadi dia tidak berani mengajaknya bicara. Ketika mereka sudah berada di dalam mobil, sikap Dean masih sama. Dia tidak segera melajukan
Setelah memasukkan semua pakaian dan barang-barang ke dalam koper, Dean dan Nauna bersiap untuk pergi. Langkah keduanya begitu berat, ketika menuruni tangga dan berjalan menuju pintu utama.Nauna melirik wajah Dean yang tampak suram. Dia sangat mengerti perasaannya. Rumah ini menyimpan banyak sekali kenangan, pasti sangat berat meninggalkannya. Akan berbeda rasanya, jika mereka pergi karena keinginan sendiri, bukan karena rumah ini telah menjadi milik orang lain. Memikirkan ini, Nauna merasa sangat sedih. Dia mengikuti langkah Dean dengan gontai sembari menyeret dua buah koper di tangannya. Sampai akhirnya, mereka benar-benar keluar dari rumah. Dean menutup pintu rapat-rapat, lalu berbalik dan menghela napas berat. Nauna mengusap lengannya dan mencoba menghibur. "Mas, kita hanya pergi untuk sementara. Kita akan segera kembali ke rumah ini secepatnya."Kata-katanya terdengar sangat optimis, tetapi tidak dengan hatinya. Sebenarnya, masih ada keraguan di sana. Entah mereka bisa mereb
Pemikiran Dean terdengar masuk akal. Citra adalah anak kesayangan Rudy dan Lusi, seharusnya mereka tidak akan meninggalkannya begitu saja. Nauna menatap Dean dan berkata, "Kalau pemikiranmu benar, itu artinya Mas Rudy dan Mbak Lusi belum pergi dari kota ini. Iya kan, Mas?"Dean mengangguk membenarkan. "Ya, seharusnya mereka memang belum pergi dari kota ini.""Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Mas?" Dean berpikir sejenak. Jika ingin merebut kembali rumah yang telah menjadi milik Jeremy, maka pertama-tama, dia harus menemukan Rudy dan Lusi. Dua orang itu tidak boleh melarikan diri dan harus bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Dean tidak akan membiarkan mereka lepas begitu saja. Selagi mereka belum meninggalkan kota ini, masih ada harapan. Dean menatap Nauna dan berkata, "Kita harus mengawasi Citra. Saat Mas Rudy dan Mbak Lusi datang untuk membawanya pergi, kita bisa mencegat mereka."Mendengar ini, Nauna mengangguk setuju. "Berarti, kita harus pergi ke sekolah
Dinara langsung setuju. Kebetulan, dia sedang berada di sebuah kafe. Jadi, dia meminta Nauna menyusulnya. Sekitar lima belas menit kemudian, Nauna akhirnya datang. Dinara agak terkejut, sepupunya itu tidak datang sendiri, melainkan bersama dengan Dean. Dinara pikir, Nauna ingin bertemu untuk membahas tentang rencana para iparnya, tetapi melihat Dean datang bersamanya, dia menjadi agak ragu. Nauna menyadari raut bingung di wajah Dinara. Setelah saling menyapa dan duduk berhadapan, dia berkata, "Mas Dean sudah tahu tentang rencana para iparku, Kak."Mendengar ini, Dinara membuka matanya lebar-lebar. Dia menatap Nauna dan Dean bergantian dengan ekspresi terkejut di wajahnya. Setelah beberapa saat, dia mengulas senyum lega dan berkata, "Kalau Dean sudah tahu semuanya, berarti rumah kalian sudah aman dan masalahnya sudah selesai. Benar, kan?"Dean tersenyum masam dan berkata dengan lirih, "Ya, seandainya aku tahu lebih awal. Sayangnya, aku tahu saat semuanya sudah terlambat." Raut waja
"Kakak kenal dia?"Dinara tidak langsung menjawab pertanyaan Nauna. Dia masih terpaku menatap potret laki-laki di layar ponsel milik Dean. Bagaimana mungkin dia tidak mengenalnya? Mereka pernah hidup bersama. Walaupun telah memutuskan untuk berpisah, tetapi mereka tidak akan pernah saling melupakan. "Ternyata memang dia." Dinara bergumam dengan pelan. Seharusnya, dia sudah menduga sejak awal. "Apa Kakak mengenalnya?" Nauna kembali melontarkan pertanyaan yang sama. Dinara mengangkat wajahnya. Butuh waktu beberapa saat sebelum dia bisa menganggukkan kepalanya dengan perlahan. Tatapan matanya terlihat gusar saat dia berkata dengan lirih, "Dia mantan suamiku.""Apa?" Dean tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Begitupun dengan Nauna. Keduanya tercengang dan menatap Dinara dengan tatapan tidak percaya. "Orang itu, mantan suami Kakak?" Nauna bertanya untuk memastikan pendengarannya. Dia hampir tidak mempercayai telinganya sendiri. Dinara mengangguk dengan pasti. "Ya, dia mantan s
Jeremy menerima pesan berisi lokasi tempat Dinara mengajaknya bertemu. Dia segera bangkit berdiri sembari menyampirkan jas di atas lengan. David menahan langkahnya dengan berkata, "Klien ini cukup penting, Pak. Anda yakin ingin membatalkan janji?"Jeremy terdiam dan menimbang-nimbang. Setelah beberapa saat, dia mengangguk dan berkata, "Atur pertemuan dengan mereka di lain hari. Kalau mereka menolak, batalkan saja kerjasamanya."David sedikit terkejut. Ini pertama kalinya Jeremy membatalkan janji dengan klien penting, bahkan tidak keberatan jika harus membatalkan kerjasama. Dulu, saat masih terikat pernikahan, dia bahkan rela tidak bertemu istri dan anaknya hanya demi klien. Sepertinya, Jeremy sudah agak berubah. David mulai menyadarinya sekarang. "Saya akan pergi sendiri. Kamu tetap di sini." Jeremy berkata sembari beranjak. David tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia bergegas membukakan pintu dan membiarkan atasannya itu berlalu pergi. Jeremy masuk ke dalam mobilnya, tetapi tidak s
Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap
"Nau, cepat ganti baju, kita ke kantor polisi sekarang!"Nauna baru saja keluar dari kamar mandi, ketika Dean tiba-tiba berkata dengan nada terburu-buru. "Ada apa, Mas?" Menanyakan itu, Nauna sambil beranjak menuju lemari, kemudian mengambil sehelai baju ganti dari dalamnya. "Mas Rudy dan Mbak Lusi sudah tiba di kantor pusat. Citra juga ada di sana, kita jemput dia sekarang," sahut Dean sebagaimana adanya. Mendengar ucapannya, sepasang mata Nauna terbuka lebar-lebar. Dia sudah menunggu kabar ini sejak tiga hari yang lalu, tepatnya sejak dia dan Dean pertama kali mendapatkan kabar tentang Rudy dan Lusi yang sudah ditangkap oleh polisi. Tanpa bertanya apa-apa lagi, Nauna bergegas berganti pakaian, kemudian mengambil kerudung dan mengenakannya dengan cepat. "Ayo, Mas!" ajak Nauna sembari menyambar tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Dean mengangguk. Setelah meraih kunci mobil di atas nakas, dia dan Nauna segera keluar dari kamar dengan langkah tergesa-gesa. "Sudah sejak kapan me
"Ibu, tenanglah!" Viola berkata sembari menyentuh bahu sang ibu sebagai upaya menenangkannya. Meski Viola juga terkejut dengan semua yang dikatakan Dinara, dia masih bisa berpikir dengan jernih. Alih-alih mengusir mantan iparnya itu seperti apa yang dilakukan Jihan, dia justru ingin mendengar penjelasannya lebih banyak lagi. Akan tetapi, Jihan yang begitu emosional, tampaknya tidak mau mendengar apapun lagi. Sepasang matanya menyorot Dinara dengan tajam, kemudian berkata, "Pergilah, Dinara! Jangan katakan omong kosong apapun lagi tentang Jeremy!"Dinara tahu Jihan sedang kalut, karena itu dia sama sekali tidak ambil hati atas sikap dan ucapan wanita itu. Alih-alih angkat kaki seperti apa yang diminta, dia justru tetap duduk di tempatnya. "Bu," katanya dengan nada rendah dan terukur. "Ini nggak ada hubungannya dengan urusan pribadiku dan Mas Jeremy. Semua yang aku katakan ini, semata-mata untuk memberitahu Ibu yang sebenarnya, tentang apa yang sudah dilakukan Mas Jeremy demi mendapat
Setelah meninggalkan kediaman Jihan, Dinara segera mengajak Dean dan Nauna bertemu. Kebetulan, pasangan suami istri itu sedang berada di luar rumah, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe, sekalian makan siang bersama. Dinara tiba lebih dulu, sementara Dean dan Nauna datang sekitar sepuluh menit kemudian. Setelah memesan makanan dan minuman masing-masing, mereka tidak berbasa-basi lagi. Dinara segera menceritakan secara detail semua yang dia dengar dari Jihan, tentang persaingan bisnis antara orang tua Dean dan orang tua Jeremy. Mendengar apa yang diceritakan oleh Dinara, Dean dan Nauna tampak terkejut. "Aku sama sekali nggak tahu tentang ini." Dean berkomentar setelah Dinara benar-benar menyelesaikan ceritanya. "Aku nggak pernah mendengar kalau perusahaan Ayah sampai menyebabkan kebangkrutan untuk perusahaan lain. Mungkin karena saat itu aku masih terlalu muda untuk mengetahuinya."Dinara menghela napas. "Sudah kuduga," ucapnya dengan nada rendah nyaris tenggelam. "Ka