Setelah memasukkan semua pakaian dan barang-barang ke dalam koper, Dean dan Nauna bersiap untuk pergi. Langkah keduanya begitu berat, ketika menuruni tangga dan berjalan menuju pintu utama.Nauna melirik wajah Dean yang tampak suram. Dia sangat mengerti perasaannya. Rumah ini menyimpan banyak sekali kenangan, pasti sangat berat meninggalkannya. Akan berbeda rasanya, jika mereka pergi karena keinginan sendiri, bukan karena rumah ini telah menjadi milik orang lain. Memikirkan ini, Nauna merasa sangat sedih. Dia mengikuti langkah Dean dengan gontai sembari menyeret dua buah koper di tangannya. Sampai akhirnya, mereka benar-benar keluar dari rumah. Dean menutup pintu rapat-rapat, lalu berbalik dan menghela napas berat. Nauna mengusap lengannya dan mencoba menghibur. "Mas, kita hanya pergi untuk sementara. Kita akan segera kembali ke rumah ini secepatnya."Kata-katanya terdengar sangat optimis, tetapi tidak dengan hatinya. Sebenarnya, masih ada keraguan di sana. Entah mereka bisa mereb
Pemikiran Dean terdengar masuk akal. Citra adalah anak kesayangan Rudy dan Lusi, seharusnya mereka tidak akan meninggalkannya begitu saja. Nauna menatap Dean dan berkata, "Kalau pemikiranmu benar, itu artinya Mas Rudy dan Mbak Lusi belum pergi dari kota ini. Iya kan, Mas?"Dean mengangguk membenarkan. "Ya, seharusnya mereka memang belum pergi dari kota ini.""Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Mas?" Dean berpikir sejenak. Jika ingin merebut kembali rumah yang telah menjadi milik Jeremy, maka pertama-tama, dia harus menemukan Rudy dan Lusi. Dua orang itu tidak boleh melarikan diri dan harus bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Dean tidak akan membiarkan mereka lepas begitu saja. Selagi mereka belum meninggalkan kota ini, masih ada harapan. Dean menatap Nauna dan berkata, "Kita harus mengawasi Citra. Saat Mas Rudy dan Mbak Lusi datang untuk membawanya pergi, kita bisa mencegat mereka."Mendengar ini, Nauna mengangguk setuju. "Berarti, kita harus pergi ke sekolah
Dinara langsung setuju. Kebetulan, dia sedang berada di sebuah kafe. Jadi, dia meminta Nauna menyusulnya. Sekitar lima belas menit kemudian, Nauna akhirnya datang. Dinara agak terkejut, sepupunya itu tidak datang sendiri, melainkan bersama dengan Dean. Dinara pikir, Nauna ingin bertemu untuk membahas tentang rencana para iparnya, tetapi melihat Dean datang bersamanya, dia menjadi agak ragu. Nauna menyadari raut bingung di wajah Dinara. Setelah saling menyapa dan duduk berhadapan, dia berkata, "Mas Dean sudah tahu tentang rencana para iparku, Kak."Mendengar ini, Dinara membuka matanya lebar-lebar. Dia menatap Nauna dan Dean bergantian dengan ekspresi terkejut di wajahnya. Setelah beberapa saat, dia mengulas senyum lega dan berkata, "Kalau Dean sudah tahu semuanya, berarti rumah kalian sudah aman dan masalahnya sudah selesai. Benar, kan?"Dean tersenyum masam dan berkata dengan lirih, "Ya, seandainya aku tahu lebih awal. Sayangnya, aku tahu saat semuanya sudah terlambat." Raut waja
"Kakak kenal dia?"Dinara tidak langsung menjawab pertanyaan Nauna. Dia masih terpaku menatap potret laki-laki di layar ponsel milik Dean. Bagaimana mungkin dia tidak mengenalnya? Mereka pernah hidup bersama. Walaupun telah memutuskan untuk berpisah, tetapi mereka tidak akan pernah saling melupakan. "Ternyata memang dia." Dinara bergumam dengan pelan. Seharusnya, dia sudah menduga sejak awal. "Apa Kakak mengenalnya?" Nauna kembali melontarkan pertanyaan yang sama. Dinara mengangkat wajahnya. Butuh waktu beberapa saat sebelum dia bisa menganggukkan kepalanya dengan perlahan. Tatapan matanya terlihat gusar saat dia berkata dengan lirih, "Dia mantan suamiku.""Apa?" Dean tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Begitupun dengan Nauna. Keduanya tercengang dan menatap Dinara dengan tatapan tidak percaya. "Orang itu, mantan suami Kakak?" Nauna bertanya untuk memastikan pendengarannya. Dia hampir tidak mempercayai telinganya sendiri. Dinara mengangguk dengan pasti. "Ya, dia mantan s
Jeremy menerima pesan berisi lokasi tempat Dinara mengajaknya bertemu. Dia segera bangkit berdiri sembari menyampirkan jas di atas lengan. David menahan langkahnya dengan berkata, "Klien ini cukup penting, Pak. Anda yakin ingin membatalkan janji?"Jeremy terdiam dan menimbang-nimbang. Setelah beberapa saat, dia mengangguk dan berkata, "Atur pertemuan dengan mereka di lain hari. Kalau mereka menolak, batalkan saja kerjasamanya."David sedikit terkejut. Ini pertama kalinya Jeremy membatalkan janji dengan klien penting, bahkan tidak keberatan jika harus membatalkan kerjasama. Dulu, saat masih terikat pernikahan, dia bahkan rela tidak bertemu istri dan anaknya hanya demi klien. Sepertinya, Jeremy sudah agak berubah. David mulai menyadarinya sekarang. "Saya akan pergi sendiri. Kamu tetap di sini." Jeremy berkata sembari beranjak. David tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia bergegas membukakan pintu dan membiarkan atasannya itu berlalu pergi. Jeremy masuk ke dalam mobilnya, tetapi tidak s
Dinara merutuki mulutnya sendiri. Ini pertama kalinya dia merasa begitu ceroboh. Selama ini, dia selalu berhati-hati dalam berbicara, tetapi kali ini dia malah tidak bisa mengendalikan ucapannya di depan Jeremy. Seharusnya, dia bisa lebih menahan diri agar tidak terbawa emosi dan terlanjur mengatakan apa yang seharusnya tidak dikatakan. Akan tetapi, tidak ada gunanya menyesali. Pun kata-kata yang sudah terucap, tidak dapat ditarik kembali. Pada akhirnya, tidak ada pilihan lain, selain bersikap tenang dan memikirkan apa yang harus dikatakan selanjutnya. "Apa maksud ucapanmu tadi?" Suara Jeremy kembali terdengar. Dingin dan tajam. Dinara meliriknya perlahan. Raut wajah yang begitu keruh bercampur dengan tatapan tajam yang mengintimidasi, membuatnya ingin segera mengalihkan pandangan. Dinara tahu, tidak ada gunanya mengelak. Jeremy bukan orang yang mudah dibodohi. Jadi, dia mengatur suaranya dan berkata dengan acuh tak acuh, "Aku hanya mengatakan apa yang aku tahu.""Memangnya apa y
“Kamu pikir aku takut?” Dinara tersenyum meremehkan. Ucapan Jeremy sama sekali tidak membuatnya merasa terancam. Dia sudah punya cukup banyak pengalaman dalam menangani kasus semacam ini. Meski kali ini lawannya adalah mantan suaminya sendiri, dia tidak merasa gentar sama sekali. Menyadari rasa percaya dirinya yang tinggi, Jeremy bersedekap dan bertanya dengan sinis, “Jadi, kamu nggak takut reputasimu hancur karena gagal memenangkan kasus ini?” “Aku nggak akan gagal,” sahut Dinara tanpa ragu. “Aku akan mempertahankan reputasiku, tanpa harus mundur dari kasus ini.”Jeremy mendecih dan tersenyum masam. Kepercayaan diri Dinara memang tidak pernah berubah sedari dulu, tetapi dia terlihat agak sombong sekarang. “Lagipula, sebenarnya kamu nggak perlu bicara terlalu jauh tentang reputasiku.” Dinara kembali bersuara. “Bukankah selama ini, kamu nggak pernah peduli?”Pertanyaan itu seketika membuat Jeremy merasa tertohok. Dia tahu, perempuan itu sedang menyindirnya. Selama sekian tahun mere
Pintu mobil terbuka, tepat setelah Nauna mengakhiri pembicaraannya dengan Dinara. Dean muncul dengan raut wajah yang sama sekali tidak baik. Lelaki itu masuk ke dalam mobil, lantas menutup pintu dengan kencang. Nauna menatapnya dan bertanya dengan cemas, "Bagaimana, Mas?""Mas Yoga sudah resign," sahut Dean dengan nada kesal. "Nggak ada satupun rekan kerjanya yang tahu dia di mana sekarang. Mereka juga kaget saat tahu Mas Yoga mengundurkan diri secara tiba-tiba tadi pagi."Mendengar ini, Nauna menghela napas panjang. Sejak Dean mengajaknya pergi ke kantor tempat Yoga bekerja untuk memastikan keberadaan lelaki itu, dia sudah menduga akan seperti ini. Sama seperti saat mereka pergi ke kantor tempat Rudy bekerja. Lelaki itu juga sudah mengundurkan diri dan pergi entah ke mana. Sebelumnya, mereka juga sudah pergi ke toko milik Daniel dan Tika. Sesuai dugaan, pasangan itu tidak ada di sana. Bahkan, tokonya sudah tutup sejak pagi. Pemilik toko sebelah mengatakan, Daniel sempat datang ta