“Dean, kamu salah paham!” Yoga segera menyangkal. Sedari tadi, dia berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk selamat dari situasi ini. Dia tidak mau menjadi pihak yang terpojokkan. Akan tetapi, dia tidak menemukan alasan untuk membela diri. Jadi, hanya bisa mengatakan hal yang tidak masuk akal, “Itu bukan surat wasiat Ibu! Itu palsu!”Tatapan Dean segera mengarah padanya. Laki-laki itu mendengus dan tertawa pendek. “Palsu?” Dia bertanya dengan nada tidak percaya. Yoga mengusap tengkuknya yang lembab karena keringat. Dia mengabaikan tatapan tajam Dean dan berkata dengan lantang, “Nauna dan Rey pasti sudah bekerjasama. Mereka meniru tulisan tangan Ibu dan membuat surat wasiat palsu!”Nauna membuka kelopak matanya lebar-lebar. Tuduhan Yoga sama sekali tidak berdasar. Otaknya pasti sudah tidak dapat berpikir dengan jernih, sehingga tercetus pemikiran tak masuk akal seperti itu. “Untuk apa aku melakukan hal seperti itu?” sangkal Nauna. “Tentu saja untuk menyingkirkan kami dari rumah
Mendengar permintaan Dean yang lugas, Rudy segera mengangkat wajahnya. Dia merasa sangat terkejut hingga tidak bisa berkata-kata. Melihat bagaimana reaksinya, Dean merasa curiga. Dia memicingkan mata dan bertanya dengan dingin, "Kenapa?"Nauna tahu jawabannya. Dia segera berkata, "Mas Rudy sudah menyerahkan semua surat-surat penting dan sertifikat asli rumah ini pada orang lain!""Apa?" Dean terperangah. Dia menatap Rudy dengan ekspresi tidak percaya. "Bagaimana mungkin Mas Rudy menyerahkan semua itu pada orang lain?"Rudy segera berkata, "Aku hanya ingin menyimpannya di tempat yang aman.""Bohong!" Nauna tidak segan menyangkal. "Dia menyerahkan dokumen-dokumen penting itu pada orang yang akan membeli rumah ini. Orang itu juga menjanjikan akan mendapatkan tanda tangan kamu Mas. Entah dengan cara apa."Dean semakin tercengang mendengarnya. Rudy segera mencoba menjelaskan, "Begini. Aku memang menyerahkan dokumen-dokumen penting itu pada orang yang akan membeli rumah ini, tapi tenang saj
Rudy masuk ke dalam kamar dengan raut wajah yang begitu suram. Dia membanting pintu sekuat tenaga, lalu berteriak kesal dan menjatuhkan semua benda yang ada di atas meja hingga berhamburan di lantai. Dia merasa sangat marah, hingga mengamuk di dalam kamar. Rencananya telah gagal dan dia masih tidak bisa menerima kenyataan. Lusi menyusulnya dan segera terkejut melihat keadaan kamar yang berantakan. Dia menatap Rudy dengan takut-takut, sedangkan laki-laki itu menatapnya dengan tajam. "Ini semua gara-gara Rey!" Rudy berkata dengan murka. "Anak itu sudah mengacaukan semuanya! Aku harus memberinya pelajaran!""Mas, tenang dulu!" Lusi berusaha menenangkannya. Meskipun dia juga marah pada Rey, tapi dia tidak mau Rudy menyakiti anak itu. "Bagaimana aku bisa tenang? Anak itu sudah berkhianat! Entah bagaimana dia bisa tahu rencana kita dan entah bagaimana dia bisa berada di pihak Nauna! Aku harus menanyakannya sekaligus menghukumnya!" Rudy tampak berapi-api. Dia hendak keluar dari kamar un
Beberapa jam kemudian, Rudy keluar untuk memeriksa keadaan. Rumah sudah sepi, lampu-lampu sudah dimatikan. Tidak ada satu orang pun yang masih berkeliaran. Rudy dan Lusi segera mengendap-endap ke luar rumah lewat pintu samping. Mereka berjalan dengan hati-hati dan berhasil melewati pintu gerbang dengan aman. Sebuah taksi sudah menunggu di depan gerbang. Rudy memesannya sekitar tiga puluh menit yang lalu. Dia bergegas memasukkan koper ke dalam bagasi, lalu menyusul Lusi duduk di kursi penumpang. "Kamu tahu rumah Jeremy, Mas?" Lusi bertanya ketika mereka sudah duduk dengan tenang. Rudy mengangguk dan berkata, "Aku punya alamatnya."Dia lalu menunjukkan alamat tempat tinggal Jeremy pada supir taksi. Tak lama kemudian, taksi yang mereka tumpangi segera melaju ke tempat tujuan. Rudy menghela napas panjang sembari menyandarkan kepala ke sandaran kursi. Setelah benar-benar meninggalkan rumah, dia merasa sangat lega. "Mas, kamu yakin kita akan aman?" Lusi tiba-tiba bertanya dengan raut
Pagi-pagi sekali, Nauna mendapati sekelompok orang berpakaian rapi datang ke rumah. Dia tertegun ketika membuka pintu. Orang-orang yang berdiri di depannya tidak terlihat ramah sama sekali dan dia tidak mengenali satupun di antara mereka. "Maaf, cari siapa, ya?" Nauna mencoba bertanya dengan sopan. Alih-alih menjawab pertanyaannya, orang-orang tak dikenal itu malah menerobos masuk ke dalam rumah. Nauna terkesiap kaget. Dia buru-buru masuk dan mengejar mereka. "Maaf, siapa kalian? Kenapa sembarangan masuk ke rumah orang? Tolong jangan lancang!" Nauna berkata dengan tegas. Akan tetapi, tidak ada yang mempedulikannya. Orang-orang itu mulai berpencar ke sana ke mari, seperti sedang memeriksa keadaan rumah. Nauna mulai panik. Perasaannya menjadi tidak tenang. Dia berteriak, mencoba menghalau orang-orang itu, tetapi tetap tidak ada yang mempedulikannya. Mendengar teriakan Nauna, sebagian besar penghuni rumah segera keluar dari kamar masing-masing. Mereka membuka mata lebar-lebar meliha
"Jadi, bos kalian yang membeli rumah ini adalah Jeremy Werner?" Dean bertanya dengan nada tidak percaya. "Ya, anda tentu mengenalnya, kan? Anda juga pasti ingat, saat anda menandatangani semua surat-surat ini di depannya." Ucapan laki-laki itu membuat Dean tertegun. Ingatannya kembali pada saat dia duduk berhadapan dengan Jeremy kemarin lalu. Dia ingat saat dirinya membubuhkan tanda tangan di atas kertas-kertas yang diberikan Jeremy, tapi itu semua adalah surat kontrak kerjanya sebagai manajer baru di perusahaan, bukan surat persetujuan jual-beli rumah. Dia yakin sudah membaca isi surat-surat itu dengan teliti, kecuali... Dean mengerjap kaget saat ingat ada beberapa lembar kertas yang tidak dia baca lagi isinya, karena Jeremy mengatakan bahwa kertas-kertas itu adalah salinan surat kontraknya. Dia hanya membaca halaman paling atas saja untuk memastikan dan tidak memeriksa halaman lainnya. Mengingat ini, Dean merasa sangat bingung. Apa yang sebenarnya sudah terjadi? Apakah Jeremy d
"Karyawan hanya bisa bertemu dengan Pak Jeremy jika dipanggil. Sedangkan orang asing, hanya bisa bertemu jika sudah membuat janji satu hari sebelumnya." Sekretaris Jeremy menjelaskan sembari melirik ke arah Nauna. Mendengar ini, Nauna merasa sangat marah. Sepenting apa orang bernama Jeremy itu sampai bertemu dengannya saja harus dipersulit? Nauna tidak bisa menerima penjelasan Sekretaris Jeremy dan berkata, "Kami harus bertemu dengannya hari ini."Sekretaris Jeremy memandangnya dengan tatapan tidak suka, tapi suaranya masih terdengar sopan ketika berkata, "Anda bisa bertemu dengannya setelah membuat janji. Begitu peraturannya."Dean mendengus kesal dan berkata dengan tegas, "Nggak peduli apa yang kamu katakan, kami tetap harus bertemu dengannya hari ini. Kami akan menunggu sampai dia datang."Sekretaris Jeremy terlihat tidak senang. Dia baru akan mengatakan sesuatu ketika terdengar suara langkah kaki mendekat. Dia sontak menoleh, begitupun dengan Nauna dan Dean. Pada saat ini, Naun
"David, urus gaji terakhir dan pesangonnya. Setelah itu, pastikan dia keluar dari perusahaan ini." Jeremy berkata dengan arogan. Mendengar ucapannya, Nauna menatap Dean dengan cemas, tetapi laki-laki itu tidak terlihat panik sama sekali. Dia seperti sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi. "Nggak perlu repot-repot." Dean berkata dengan tenang. "Tanpa dipecat pun, saya akan dengan senang hati keluar dari perusahaan ini. Saya nggak sudi bekerja di bawah kepemimpinan seorang penipu." Kalimat terakhirnya terdengar begitu tajam. Tanpa menunggu reaksi dari Jeremy, dia menarik tangan Nauna dan segera pergi dari sana. Nauna tidak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti langkahnya. Mereka masuk ke dalam lift dan berdiri bersisian tanpa berbicara sama sekali. Ekspresi Dean masih tampak suram. Tatapannya lurus dan kosong. Nauna merasa emosinya belum stabil, jadi dia tidak berani mengajaknya bicara. Ketika mereka sudah berada di dalam mobil, sikap Dean masih sama. Dia tidak segera melajukan
Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap
"Nau, cepat ganti baju, kita ke kantor polisi sekarang!"Nauna baru saja keluar dari kamar mandi, ketika Dean tiba-tiba berkata dengan nada terburu-buru. "Ada apa, Mas?" Menanyakan itu, Nauna sambil beranjak menuju lemari, kemudian mengambil sehelai baju ganti dari dalamnya. "Mas Rudy dan Mbak Lusi sudah tiba di kantor pusat. Citra juga ada di sana, kita jemput dia sekarang," sahut Dean sebagaimana adanya. Mendengar ucapannya, sepasang mata Nauna terbuka lebar-lebar. Dia sudah menunggu kabar ini sejak tiga hari yang lalu, tepatnya sejak dia dan Dean pertama kali mendapatkan kabar tentang Rudy dan Lusi yang sudah ditangkap oleh polisi. Tanpa bertanya apa-apa lagi, Nauna bergegas berganti pakaian, kemudian mengambil kerudung dan mengenakannya dengan cepat. "Ayo, Mas!" ajak Nauna sembari menyambar tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Dean mengangguk. Setelah meraih kunci mobil di atas nakas, dia dan Nauna segera keluar dari kamar dengan langkah tergesa-gesa. "Sudah sejak kapan me
"Ibu, tenanglah!" Viola berkata sembari menyentuh bahu sang ibu sebagai upaya menenangkannya. Meski Viola juga terkejut dengan semua yang dikatakan Dinara, dia masih bisa berpikir dengan jernih. Alih-alih mengusir mantan iparnya itu seperti apa yang dilakukan Jihan, dia justru ingin mendengar penjelasannya lebih banyak lagi. Akan tetapi, Jihan yang begitu emosional, tampaknya tidak mau mendengar apapun lagi. Sepasang matanya menyorot Dinara dengan tajam, kemudian berkata, "Pergilah, Dinara! Jangan katakan omong kosong apapun lagi tentang Jeremy!"Dinara tahu Jihan sedang kalut, karena itu dia sama sekali tidak ambil hati atas sikap dan ucapan wanita itu. Alih-alih angkat kaki seperti apa yang diminta, dia justru tetap duduk di tempatnya. "Bu," katanya dengan nada rendah dan terukur. "Ini nggak ada hubungannya dengan urusan pribadiku dan Mas Jeremy. Semua yang aku katakan ini, semata-mata untuk memberitahu Ibu yang sebenarnya, tentang apa yang sudah dilakukan Mas Jeremy demi mendapat
Setelah meninggalkan kediaman Jihan, Dinara segera mengajak Dean dan Nauna bertemu. Kebetulan, pasangan suami istri itu sedang berada di luar rumah, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe, sekalian makan siang bersama. Dinara tiba lebih dulu, sementara Dean dan Nauna datang sekitar sepuluh menit kemudian. Setelah memesan makanan dan minuman masing-masing, mereka tidak berbasa-basi lagi. Dinara segera menceritakan secara detail semua yang dia dengar dari Jihan, tentang persaingan bisnis antara orang tua Dean dan orang tua Jeremy. Mendengar apa yang diceritakan oleh Dinara, Dean dan Nauna tampak terkejut. "Aku sama sekali nggak tahu tentang ini." Dean berkomentar setelah Dinara benar-benar menyelesaikan ceritanya. "Aku nggak pernah mendengar kalau perusahaan Ayah sampai menyebabkan kebangkrutan untuk perusahaan lain. Mungkin karena saat itu aku masih terlalu muda untuk mengetahuinya."Dinara menghela napas. "Sudah kuduga," ucapnya dengan nada rendah nyaris tenggelam. "Ka