“Ini apa, Mas?”
Nauna tidak berharap akan menemukan sesuatu yang membuat paginya berantakan hari ini. Tapi, selembar kertas itu seperti sengaja menunjukkan diri ketika dia sibuk memasukkan berkas-berkas penting ke dalam tas kerja suaminya.Pada saat itu, Dean belum selesai menata rambut. Dia terpaksa menoleh dan mendapati sorot mata tajam mengarah padanya. Lantas, dia menurunkan kelopak mata, hingga jatuh tatapnya pada selembar kertas di antara jari-jari Nauna.Oh, Dean tau kertas itu. Kemarin, dia memasukkannya ke dalam tas dan lupa membuangnya ke tempat sampah. Sekarang, dia sedikit menyesal.“Kamu bayarin tagihan air dan listrik bulan ini, Mas? Bukannya bulan ini giliran Mas Rudy yang bayar? Kenapa kamu lagi yang bayarin?” Nauna menatap penuh selidik.“Ah, itu, aku bantuin Mas Rudy untuk bayar pakai uangnya.” Dean tidak pandai berbohong, gelagatnya sungguh mencurigakan. Rambut yang hampir klimis berantakan lagi karena digaruk dengan asal.“Jangan bohong, Mas. Kamu yang bayarin pakai uangmu lagi kan? Sama seperti bulan-bulan lalu, dimana seharusnya kakak-kakakmu yang bayar.” Nauna terlihat kecewa.“Maaf, Nauna. Aku kasihan sama Mas Rudy, dia sedang banyak pengeluaran.”Dean akhirnya mengakui, dengan alasan yang selalu sama—rasa kasihan. Padahal Rudy—kakak pertamanya—tidak terlihat seperti seseorang yang harus dikasihani. Dia punya pekerjaan tetap sebagai karyawan di sebuah perusahaan percetakan. Tapi, Rudy selalu mengeluh gajinya kecil dan terpakai habis untuk kebutuhan istri dan anak-anaknya.Nauna bukan tak tahu bagaimana keseharian Lusi—istri Rudy. Dia sering berkumpul dengan ibu-ibu komplek, ikut arisan dan sering belanja, entah itu kebutuhan sendiri atau kebutuhan anak-anaknya yang sudah remaja. Tapi, untuk kebutuhan dapur, jarang sekali mau keluar uang. Padahal dia salah satu yang mencetuskan kesepakatan agar para istri yang tinggal di rumah ini saling bergantian berbelanja kebutuhan dapur setiap minggunya.“Kamu nggak seharusnya begini, Mas. Kita tinggal sama-sama di rumah ini. Kita sudah sepakat bayar tagihan air dan listrik secara bergiliran setiap bulannya. Begitupun dengan belanja kebutuhan dapur, kita semua sepakat bergantian mengisi kulkas setiap minggu. Tapi, selama satu tahun aku tinggal disini, kesepakatan itu hampir nggak pernah berjalan seperti seharusnya. Padahal, kakak-kakakmu lah yang membuat kesepakatan itu meskipun aku nggak setuju.” Nauna bicara panjang lebar.Dean menatapnya dengan raut bersalah. “Maaf, Nauna. Mereka semua sedang banyak pengeluaran. Anak-anak mereka sedang banyak kebutuhan.”“Tapi, bukan berarti kita harus menanggung kewajiban mereka, Mas. Tagihan di rumah ini nggak sedikit untuk ditanggung oleh satu orang. Padahal, di antara kita, kakak-kakakmu dan keluarganya lah yang lebih banyak memakai air dan juga listrik. Begitu juga soal urusan dapur, kita yang sering belanja, tapi mereka yang lebih banyak menghabiskan. Kalau seperti ini terus, seharusnya aturan dan kesepakatan itu nggak perlu ada, karena hanya kita berdua yang patuh.”“Nauna, tolong mengerti. Ini nggak akan selamanya. Seenggaknya, sampai ekonomi mereka stabil.”Nauna membuang napas kasar. Dia tidak suka berdebat soal ini dan ini bukan pertama kalinya. Karena itu, dia mengalah dan mengembalikan kertas di tangannya ke tempat dimana dia menemukannya.“Aku turun dulu, mau siapkan sarapan.”Setelah berkata begitu, Nauna beranjak keluar dari kamar dengan perasaan tak karuan.Satu tahun lalu, takdir membawa Nauna menikah dengan Dean—anak bungsu dari empat bersaudara. Semua kakak Dean adalah laki-laki. Mereka semua sudah menikah dan tinggal bersama-sama dalam satu rumah. Lantas, Nauna dibawa ikut tinggal disana. Meski awalnya menolak, dia akhirnya mengalah setelah Dean memberinya alasan mengapa mereka semua harus tinggal dalam satu atap.Dean bilang, rumah yang sekarang mereka tempati adalah satu-satunya harta peninggalan orang tuanya. Dulu, mereka punya perusahaan yang bergerak di bidang properti, namun setelah sang ayah meninggal sepuluh tahun lalu, perusahaan itu gulung tikar. Segala aset telah dijual untuk mempertahankan perusahaan, tapi semuanya sia-sia.Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah rumah mewah berlantai dua dengan harga ditaksir mencapai milyaran. Sang Ibu tidak ingin rumah penuh kenangan itu dijual, lagi pula perusahaan sudah tidak dapat diselamatkan. Sebelum meninggal delapan tahun lalu, beliau berpesan agar anak-anaknya tidak meninggalkan rumah tersebut dan tetap tinggal bersama-sama disana.Nauna tidak mengetahui cerita itu sebelumnya. Dean tidak pernah menceritakan padanya sebelum menikah. Dia hanya bilang bahwa setelah menikah, mereka akan menempati rumah peninggalan orang tuanya. Dia tidak bilang, bahwa semua kakaknya juga tinggal disana bersama keluarga masing-masing.Pada hari dimana Nauna menginjakkan kaki untuk pertama kali di rumah itu dan melihat ada begitu banyak orang yang tinggal disana, dia baru mengetahui semuanya.“Ini permintaan terakhir ibuku, Nauna. Ibu ingin kami semua tinggal di sini bersama-sama, karena itu rumah ini nggak boleh dijual.” Begitu kata Dean untuk meyakinkan Nauna.Sebenarnya, Nauna agak heran. Bukankah dalam agama tidak boleh ada wasiat seperti itu? Setiap orang yang meninggal dunia, harus mewariskan harta peninggalan pada anak-anaknya dan dibagikan secara adil. Tidak boleh berwasiat agar anak-anaknya tidak menjual harta peninggalan. Rasanya tidak mungkin orang tua Dean tidak mengetahui hal itu.Apakah benar itu wasiat mending mertuanya? Nauna ragu, tapi tidak ingin memperpanjang urusan.Sekarang, rumah itu ditempati oleh empat keluarga—termasuk Dean dan Nauna. Rumah dua lantai dengan desain klasik modern itu cukup besar dan terlihat mewah. Ada banyak kamar dan ruangan yang bisa dipakai. Di setiap kamar, ada kamar mandi tersendiri. Halaman depan cukup luas dengan taman yang begitu asri. Ada kolam renang di bagian samping rumah dan tempat bersantai di halaman belakang.Tapi, semua itu tak lantas membuat Nauna merasa nyaman. Apalagi, ketika para ipar memberitahunya aturan dan kesepakatan yang telah mereka buat.“Di rumah ini, kita pakai dapur sama-sama dan masak sama-sama. Jadi, untuk kebutuhan dapur juga kita penuhi sama-sama. Supaya adil, setiap minggu kita bergiliran belanja kebutuhan dapur untuk stok satu minggu ke depan. Misalnya, minggu ini aku yang belanja, minggu depan Tari, minggu depannya lagi Tika, minggu selanjutnya kamu. Begitu seterusnya.” Lusi menjelaskan secara detail di hari pertama Nauna tinggal bersama ipar-iparnya.“Maaf, Mbak. Aku kurang setuju. Kenapa nggak masing-masing aja? Menurutku, urusan dapur nggak seharusnya dicampur. Apalagi selera kita berbeda-beda, nggak mungkin kita masak bersama-sama.” Nauna mencoba berpendapat kala itu, tapi dia malah mendapat tatapan sinis dari ipar-iparnya yang perempuan.“Kami udah terbiasa seperti itu. Soal selera bisa didiskusikan, kok. Kamu bisa ikut menu kami atau tinggal bilang mau makan apa, nanti kita masak sama-sama.” kata Tari, istri Yoga—kakak ke-dua Dean.“Benar. Selama ini, kami selalu seperti itu. Sebelum nikah sama kamu, Dean juga kami masakin sesuai seleranya, kok.” Tika, istri Daniel—kakak ke-tiga Dean—menimpali. Ah, betapa merepotkannya bagi Nauna, tapi dia tidak diberi pilihan lain.“Kita disini nggak ada pembantu. Cuma ada tukang kebun yang datang untuk bersihin halaman dan taman belakang. Itu juga kemauan Dean karena para laki-laki disini semua kerja. Jadi, nggak sempat ngurusin." Lusi bicara lagi."Kita perempuan mandiri, jadi nggak boleh manja dan bergantung sama orang lain. Nyapu, ngepel, nyuci piring dan lain-lain, kita lakukan secara bersama-sama. Untuk urusan nyuci baju, silahkan masing-masing, tapi harus di hari yang berbeda supaya nggak bentrok.” Kembali dia membeberkan apa-apa saja aturan di rumah ini.Rumah sebesar ini tidak ada pembantu? Terheran-heran Nauna kala itu. Dia rasa tidak berlebihan jika mereka mempekerjakan satu orang saja untuk meringankan pekerjaan rumah tangga. Tapi, mereka kan perempuan mandiri.“Lalu, untuk urusan bayar tagihan air, listrik, dan lain-lain, itu sudah disepakati oleh suami-suami kita, termasuk suami kamu, Nauna. Mereka sepakat bayar tagihan secara bergiliran setiap bulan. Jadi, adil,” terang Lusi lagi.Empat bulan pertama, aturan dan kesepakatan itu masih mereka lakukan seperti apa yang sudah dikatakan. Namun, bulan-bulan berikutnya, mereka mulai ingkar. Ketika tiba giliran untuk belanja, mereka mulai membuat banyak alasan. Begitupun saat tiba giliran bayar tagihan, ada saja alasan yang membuat Nauna dan Dean terpaksa menanggungnya.“Aku dan Mas Rudy lagi banyak pengeluaran. Kamu tau sendiri Rey dan Citra sedang banyak kegiatan di sekolah. Tiap hari kami keluar uang untuk anak-anak, sementara gaji Mas Rudy itu kecil. Dean kan gajinya paling besar diantara kakak-kakaknya, nggak apa-apa kan kalau bantu saudara sekali-sekali.”Itu salah satu senjata Lusi tiap kali ingin lari dari tanggung jawab. Selalu bawa-bawa anak dan menyinggung soal penghasilan Dean yang lebih besar dari kakak-kakaknya.Gaji Dean sebagai supervisor di sebuah perusahaan terkemuka di ibu kota memang lumayan besar, tapi bukan berarti semua tanggung jawab di rumah ini harus dilimpahkan kepadanya. Apalagi, tagihan yang lumayan tinggi setiap bulan. Belum lagi untuk belanja kebutuhan dapur. Mereka tinggal bersama, tapi tidak bekerjasama dalam hal ini.“Perusahaan tempat Mas Yoga bekerja sedang mengalami masalah. Itu berdampak pada gaji karyawannya, termasuk Mas Yoga. Gaji yang nggak seberapa, semakin dikurangi. Mana si kembar lagi banyak kebutuhan. Kamu ngerti dikit lah kondisi kami.” Tari punya alasannya sendiri untuk lepas dari tanggung jawab.“Aku bukan nggak mau belanja, tapi akhir-akhir ini toko lagi sepi, pemasukan berkurang. Sementara pampers dan susu Bella jalan terus. Kamu mana ngerti rasanya harus mementingkan kebutuhan anak daripada kebutuhan sendiri.” Alasan Tika memang sedikit menyakitkan. Dia memang sering menyinggung Nauna yang belum dikaruniai buah hati seperti mereka.Untungnya untuk urusan masak dan beres-beres rumah, mereka masih mau bekerjasama. Seperti pagi ini, saat Nauna turun untuk menyiapkan sarapan, para ipar perempuannya sudah ada disana lebih dulu.Belum sempat Nauna melewati tembok pemisah antara dapur dan ruang makan, langkahnya terhenti ketika mendengar para iparnya berbicara pelan.“Jadi, Mas Rudy sudah dapat calon pembeli?” Suara Tika yang pertama terdengar. “Laku berapa, Mbak?”“Sstt! Jangan keras-keras! Nanti Nauna dan Dean dengar!”Nauna tersentak saat namanya dan nama suaminya disebut. Jadi, ini semacam obrolan rahasia yang disembunyikan dari dirinya dan juga Dean? Dia merapatkan tubuh ke balik tembok dan memasang telinga baik-baik. “Tadi, aku dengar mereka sedang berdebat soal tagihan listrik yang dibayarkan Dean. Aku pikir itu akan lama. Mereka mungkin masih di kamar sampai sekarang.” Tika berkata. Rupa-rupanya dia menguping pembicaraan Nauna dan Dean di kamar. Sungguh, tidak sopan! “Pokoknya, jangan sampai mereka dengar soal ini.” Lusi mewanti-wanti, seolah ada rahasia besar yang harus mereka pegang bersama. “Tenang, Mbak. Kami nggak akan bocor. Jadi, bisa terjual berapa?” Tari angkat suara, dia bertanya dengan penasaran. “Sekitar empat milyar rupiah,” sahut Lusi. Nauna terbelalak. Benda apa yang ingin mereka jual seharga empat milyar rupiah? Dia tidak bisa menerka. Apa itu tanah warisan atau yang lainnya? “Wah, kalau dibagi bertiga, bisa dapat masing-masing lebih dari satu milyar!” Tari berseru dengan
Itu bukan yang Nauna inginkan. Dia tidak berharap Dean mendukungnya, tapi setidaknya jangan ikut campur. “Apa yang kalian perdebatkan?” Meski sedari tadi dia mendengar apa yang diperdebatkan istri dan ipar-iparnya, tapi Dean tetap bertanya untuk memastikan. “Hari ini giliran Mbak Lusi belanja mingguan dan dia nggak mau melakukan itu.” Nauna mengadu. “Bukan nggak mau, tapi lagi nggak bisa.” Lusi meralat. Dia lalu menatap adik iparnya yang laki-laki. “Dean, kamu tau sendiri kami lagi banyak kebutuhan. Anak-anak lagi banyak kegiatan di sekolah. Rey bahkan mau study tour ke luar kota dengan biaya yang nggak sedikit.”“Nggak apa-apa, Mbak. Biar minggu ini kami yang belanja.” Dean berkata tanpa berpikir dua kali. Nauna melayangkan tatapan protes, tapi dia tidak mengubah keputusannya. “Nauna, sarapannya sudah siap? Aku harus segera berangkat. Tolong cepat sedikit, ya?”Setelah berkata begitu, Dean beranjak meninggalkan dapur. Nauna mendengus tak percaya. Tapi, dia tidak membantah. “Lihat,
Bagaimanapun caranya? Nauna mengulang dalam hati. Bukankah kalimat itu terdengar seperti ancaman untuk Dean? Dia tidak tahu apa yang direncanakan Lusi dan Rudy, tapi jika itu menyangkut suaminya, maka dia akan mencari tahu. Pada saat ini, Nauna tidak mendengar pasangan itu bicara lagi. Alih-alih, suara kursi yang bergeser. Dia bergegas melarikan diri ke lantai atas agar tak tertangkap basah telah mencuri dengar. Dari lantai atas, dia bisa melihat Lusi dan Rudy berjalan ke luar rumah. Nauna beranjak masuk ke kamarnya. Dia menjadi tidak tenang sepanjang hari karena memikirkan hal ini. Ponsel di tangannya digenggam dengan erat. Nauna ingin menghubungi Dean dan berbicara tentang apa yang dia dengar. Tapi, suaminya mungkin masih di perjalanan atau baru saja tiba di kantor. Bukan saat yang tepat untuk bicara hal serius. Nauna menyimpan rasa penasaran dan kekhawatirannya sendiri untuk sementara. Tapi, ini benar-benar membuatnya tidak bisa duduk dengan tenang sepanjang waktu. Pukul sebela
Itu adalah fakta baru yang Nauna dengar hari ini. Selama ini, yang dia tahu, rumah yang mereka tempati sekarang adalah milik bersama dengan para iparnya—bukan milik Dean seorang. Seperti apa yang pernah Dean katakan, ibunya ingin dia dan semua saudaranya tinggal di sana bersama-sama. Pantas saja Nauna merasa ada yang aneh dengan keinginan mendiang mertuanya. Ternyata, memang ada yang disembunyikan. Mungkin wasiat itu tidak pernah ada sama sekali. Pada saat mengejutkan itu, pelayan datang membawa segelas jus lemon. Nauna mengangguk sebagai tanda terima kasih dan pelayan itu segera pergi. Agaknya, Rudy dan temannya juga akan pergi. Mereka tidak lagi berbicara, alih-alih memanggil pelayan dan meminta bill. Setelah membayar pesanan, mereka benar-benar beranjak dari sana. Sudut mata Nauna mengikuti langkah mereka, sampai dua orang itu naik ke atas sepeda motor yang parkir tak jauh dari sana. Akhirnya, dia bisa membuka masker dan menghela napas panjang, setelah memastikan Rudy dan teman
Dapur mendadak sunyi setelah meluncur kalimat tajam dan penuh keyakinan dari mulut Nauna. Dia menyorot wajah-wajah di depannya tanpa rasa takut. Dia sudah menahan diri sedari tadi, tapi mendengar omong kosong mereka—yang tak kunjung berhenti—membuatnya sungguh muak. Setelah beberapa saat terpaku, Lusi maju satu langkah. Dia membalas tatapan berani Nauna dan menarik segaris senyum meremehkan. “Kamu bilang apa barusan? Mau membuat Dean mengusir kami dari rumah ini?” Lusi mengutip kata-kata Nauna lalu mendecih dengan keras. “Nauna, selama ini aku pikir kamu perempuan polos yang penurut dan baik hati, tapi ternyata aku salah. Kamu punya niat busuk!” Telunjuknya menuding Nauna tepat di depan wajah. “Sepertinya selama ini kamu hanya berpura-pura baik di depan Dean. Ternyata, kamu ingin menyingkirkan kami dari rumah ini. Begitu?” Tari ikut maju. Dia berdiri di samping Lusi dan melipat tangan di depan dada. “Ternyata kamu perempuan licik!” Tika menimpali dengan sengit. “Sepertinya dia mau
Sepanjang dua puluh lima tahun perjalanan hidupnya, Nauna tidak pernah berharap akan memiliki musuh—tidak satu orang pun. Dia terbiasa hidup dengan tenang. Menjadi perempuan baik-baik dan tidak pernah bermasalah dengan siapapun. Ketika masih duduk di bangku sekolah, dia memiliki banyak sekali teman. Saat naik ke jenjang kuliah, dia dikelilingi banyak orang yang menyukai kepribadiannya. Bahkan, ketika masuk lingkungan kerja, dia mendapat sambutan hangat dari semua orang. Singkatnya, dia memiliki reputasi yang baik. Namun, semuanya menjadi berbeda setelah dia menikah. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasa tidak disukai. Sejak hari dimana dia dan Dean resmi menjadi pasangan suami istri, dia sudah mendapat tatapan berbeda dari beberapa orang yang datang hari itu—Rudy, Yoga, Daniel dan para istri mereka yang manipulatif. Meskipun saat itu mereka tidak menunjukkan rasa tak suka secara terang-terangan, tapi Nauna dapat merasakan dari cara mereka menatapnya. Sekali pun mereka ters
Dean merasa bingung dan terdiam. Alih-alih menjawab pertanyaan Nauna, dia malah berpikir atas dasar apa pertanyaan ini dilontarkan. Seingatnya, dia sudah pernah mengatakan hal ini pada istrinya satu tahun lalu—saat mereka pertama kali tinggal bersama di rumah ini.Seharusnya, Nauna tidak perlu bertanya lagi sekarang. Lagi pula, sudah terlalu lama sejak terakhir kali mereka membahasnya. “Nau, kamu sudah tahu, rumah ini milik ayah dan ibu.” Dean berkata. “Aku sudah pernah kasih tahu kamu dulu.”Nauna menggelengkan kepala. Dia masih ingat apa yang Dean katakan satu tahun lalu, tapi bukan itu jawaban yang ingin dia dengar sekarang. “Maksudku, atas nama siapa?” Nauna memperjelas pertanyaannya agar Dean paham maksudnya. “Tentu saja atas nama ayah dan ibu.” Jawaban Dean terdengar yakin. Dia tidak ragu sama sekali karena memang seperti itu yang dia tahu. Nauna menyorot lebih tajam untuk mencari kejujuran di mata kelam suaminya. Sepertinya, Dean tidak berbohong. Apa yang dia katakan adalah
Makan malam telah usai bagi semua penghuni rumah—kecuali Nauna dan Dean yang memilih tidak ikut bergabung di meja makan. Anak-anak sudah masuk ke kamar masing-masing, sementara orang dewasa berkumpul di ruang tengah—sebenarnya hanya pasangan Rudy-Lusi dan Yoga-Tari, sedangkan pasangan Daniel-Tika sudah masuk ke kamar bersama putri kecil mereka. Televisi dinyalakan, tapi tidak ada yang fokus menonton. Volume dikecilkan dan empat orang di ruang tengah mulai membuka obrolan. Lusi adalah yang pertama kali berbicara, setelah memastikan pintu kamar Nauna dan Dean masih tertutup rapat di atas sana. “Hari ini, Nauna agak berbeda,” ucap Lusi dengan suara pelan dan hati-hati. “Berbeda bagaimana?” Yoga bertanya dengan kening berkerut samar. Selama satu tahun tinggal bersama, dia tidak banyak berinteraksi dengan adik iparnya itu. Selain karena tidak ada yang penting, dia juga tidak menyukai keberadaan Nauna di rumah ini. Tari mewakili Lusi untuk menceritakan kejadian di dapur siang tadi. Saat
Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap
"Nau, cepat ganti baju, kita ke kantor polisi sekarang!"Nauna baru saja keluar dari kamar mandi, ketika Dean tiba-tiba berkata dengan nada terburu-buru. "Ada apa, Mas?" Menanyakan itu, Nauna sambil beranjak menuju lemari, kemudian mengambil sehelai baju ganti dari dalamnya. "Mas Rudy dan Mbak Lusi sudah tiba di kantor pusat. Citra juga ada di sana, kita jemput dia sekarang," sahut Dean sebagaimana adanya. Mendengar ucapannya, sepasang mata Nauna terbuka lebar-lebar. Dia sudah menunggu kabar ini sejak tiga hari yang lalu, tepatnya sejak dia dan Dean pertama kali mendapatkan kabar tentang Rudy dan Lusi yang sudah ditangkap oleh polisi. Tanpa bertanya apa-apa lagi, Nauna bergegas berganti pakaian, kemudian mengambil kerudung dan mengenakannya dengan cepat. "Ayo, Mas!" ajak Nauna sembari menyambar tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Dean mengangguk. Setelah meraih kunci mobil di atas nakas, dia dan Nauna segera keluar dari kamar dengan langkah tergesa-gesa. "Sudah sejak kapan me
"Ibu, tenanglah!" Viola berkata sembari menyentuh bahu sang ibu sebagai upaya menenangkannya. Meski Viola juga terkejut dengan semua yang dikatakan Dinara, dia masih bisa berpikir dengan jernih. Alih-alih mengusir mantan iparnya itu seperti apa yang dilakukan Jihan, dia justru ingin mendengar penjelasannya lebih banyak lagi. Akan tetapi, Jihan yang begitu emosional, tampaknya tidak mau mendengar apapun lagi. Sepasang matanya menyorot Dinara dengan tajam, kemudian berkata, "Pergilah, Dinara! Jangan katakan omong kosong apapun lagi tentang Jeremy!"Dinara tahu Jihan sedang kalut, karena itu dia sama sekali tidak ambil hati atas sikap dan ucapan wanita itu. Alih-alih angkat kaki seperti apa yang diminta, dia justru tetap duduk di tempatnya. "Bu," katanya dengan nada rendah dan terukur. "Ini nggak ada hubungannya dengan urusan pribadiku dan Mas Jeremy. Semua yang aku katakan ini, semata-mata untuk memberitahu Ibu yang sebenarnya, tentang apa yang sudah dilakukan Mas Jeremy demi mendapat
Setelah meninggalkan kediaman Jihan, Dinara segera mengajak Dean dan Nauna bertemu. Kebetulan, pasangan suami istri itu sedang berada di luar rumah, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe, sekalian makan siang bersama. Dinara tiba lebih dulu, sementara Dean dan Nauna datang sekitar sepuluh menit kemudian. Setelah memesan makanan dan minuman masing-masing, mereka tidak berbasa-basi lagi. Dinara segera menceritakan secara detail semua yang dia dengar dari Jihan, tentang persaingan bisnis antara orang tua Dean dan orang tua Jeremy. Mendengar apa yang diceritakan oleh Dinara, Dean dan Nauna tampak terkejut. "Aku sama sekali nggak tahu tentang ini." Dean berkomentar setelah Dinara benar-benar menyelesaikan ceritanya. "Aku nggak pernah mendengar kalau perusahaan Ayah sampai menyebabkan kebangkrutan untuk perusahaan lain. Mungkin karena saat itu aku masih terlalu muda untuk mengetahuinya."Dinara menghela napas. "Sudah kuduga," ucapnya dengan nada rendah nyaris tenggelam. "Ka