Itu adalah fakta baru yang Nauna dengar hari ini. Selama ini, yang dia tahu, rumah yang mereka tempati sekarang adalah milik bersama dengan para iparnya—bukan milik Dean seorang.
Seperti apa yang pernah Dean katakan, ibunya ingin dia dan semua saudaranya tinggal di sana bersama-sama.Pantas saja Nauna merasa ada yang aneh dengan keinginan mendiang mertuanya. Ternyata, memang ada yang disembunyikan. Mungkin wasiat itu tidak pernah ada sama sekali.Pada saat mengejutkan itu, pelayan datang membawa segelas jus lemon. Nauna mengangguk sebagai tanda terima kasih dan pelayan itu segera pergi.Agaknya, Rudy dan temannya juga akan pergi. Mereka tidak lagi berbicara, alih-alih memanggil pelayan dan meminta bill. Setelah membayar pesanan, mereka benar-benar beranjak dari sana.Sudut mata Nauna mengikuti langkah mereka, sampai dua orang itu naik ke atas sepeda motor yang parkir tak jauh dari sana. Akhirnya, dia bisa membuka masker dan menghela napas panjang, setelah memastikan Rudy dan temannya itu benar-benar pergi.Untuk beberapa saat, Nauna terpekur di tempatnya. Dia berusaha menenangkan pikiran dan berpikir dengan jernih. Kenyataan yang diam-diam dia dengar hari ini, cukup membuat kepalanya pusing.Dia baru mengetahui bahwa rumah yang mereka tempati adalah milik Dean. Lantas, Rudy mencoba menjualnya—bukan hanya Rudy, para iparnya yang lain mungkin juga terlibat.Nauna meneguk jus lemon—yang dia pesan secara acak—hingga tandas. Tenggorokannya yang kering menjadi jauh lebih baik setelahnya.Pada saat ini, dia mendengar dering ponsel dari dalam tas. Tangannya bergerak cepat, menarik keluar benda pipih itu untuk melihat layarnya yang menyala.Sebuah panggilan masuk dari Lusi. Nauna melirik jam digital di sudut kiri layar ponsel. Dia tersentak, mendapati waktu sudah hampir menunjuk pukul dua belas siang. Ternyata, dia sudah menghabiskan banyak waktu untuk mencuri dengar, hingga lupa untuk pulang.Nauna tidak ingin berdebat dengan Lusi di telepon. Dia menolak panggilan itu dan mematikan ponselnya. Sebelah tangannya terangkat memanggil pelayan. Setelah membayar jus lemonnya, dia bergegas pergi.Dia kembali pada mobilnya di area parkir hypermart. Lantas, dia melajukan mobil dengan kencang dan bersiap menerima sambutan dari para iparnya yang perempuan.Tepat seperti dugaan, Nauna disambut oleh sorot emosi di mata Lusi, Tika dan Tari begitu dia tiba di rumah dan turun dari mobil. Alih-alih membantu mengangkat belanjaan yang begitu banyak, mereka justru menghalangi jalannya di depan pintu utama.“Kamu sengaja mengulur waktu?” Lusi yang pertama kali bersuara. Dia sebagai ipar tertua di rumah ini selalu merasa punya hak untuk bicara lebih dulu. “Dan kamu sengaja menolak teleponku? Bahkan, kamu sengaja mematikan HP-mu!” Dia berkacak pinggang, menyorot Nauna seperti hendak mencakar wajahnya.“Sepertinya, dia memang sengaja, Mbak!” Tari berbicara pada Lusi, tapi matanya mendelik pada Nauna. “Sepertinya, dia mulai keberatan membantu saudara-saudara iparnya. Padahal hanya belanja kebutuhan dapur dan bayar tagihan, tapi seolah-olah kita menguras habis hartanya. Dean saja nggak pernah keberatan!”“Sejak kapan kamu mulai keberatan, Nauna? Apa jangan-jangan, selama ini kamu selalu mempengaruhi Dean supaya dia nggak mau membantu kami?” Tika ikut bersuaraNauna mendecih. Dia sedang tidak ingin berdebat, tapi orang-orang ini sungguh menyebalkan. Mereka terus mengoceh dan membuat suasana hatinya semakin tidak baik.“Ternyata, kamu ini perempuan licik, ya? Kamu ingin membuat suami kamu jauh dari saudara-saudaranya?” Lusi memindai wajah Nauna dengan sorot merendahkan.“Kalian ini bicara apa?” Nauna menanggapi dengan tenang setelah berhasil menekan emosinya dalam-dalam. “Kalian sadar nggak? Dengan kalian berdiri di depan pintu, menghadang jalanku dan memarahiku seperti ini, kalian sudah mengulur lebih banyak waktu.”Nauna tidak mengerti. Tiga perempuan ini marah karena dirinya pulang terlambat. Mereka menuduhnya sengaja mengulur waktu, tapi tak sadar bahwa mereka sendiri yang sebenarnya telah mengulur waktu.Sebelum mereka sempat bersuara lagi, Nauna mengangkat tangan dan menunjuk pada jam tangan kecil yang melingkar di pergelangannya. Sudah hampir pukul setengah satu siang. Sebentar lagi, anak-anak pulang sekolah dan mereka masih membuang-buang waktu dengan merundung Nauna di depan pintu.“Kalau kalian nggak mau anak-anak kalian kelaparan, lebih baik minggir sekarang.” Nauna berkata dengan tegas, tapi tenang, berbanding terbalik dengan raut kesal di wajah para iparnya.Sesaat kemudian, mereka menyingkir dari pintu dan membiarkan Nauna masuk membawa banyak belanjaan di tangannya.“Ingat, Nauna, jangan pernah pengaruhi Dean untuk menjauh dari kami!” Lusi mewanti-wanti sembari mengekori langkah Nauna menuju dapur. Tari dan Tika juga ikut bersamanya.Nauna memutar bola matanya, sama sekali tidak ingin peduli. Dia meletakkan belanjaan di atas meja dan menarik kursi untuk duduk. Tangannya meraih gelas dan teko kaca secara bersamaan, lalu menuangkan air dan meminumnya hingga habis.“Ingat, keluarga Dean itu hanya kakak-kakaknya dan juga kami para iparnya. Dia sudah nggak punya orang tua. Jadi, kamu jangan sampai menjauhkannya dari saudara-saudaranya!” Tari ikut mewanti-wanti.“Asal kamu tahu, Dean itu banyak hutang budi sama kakak-kakaknya. Sejak orang tuanya meninggal, kakak-kakaknya yang cari uang untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya kuliah dia. Sekarang, dia bisa kerja di perusahaan besar kan juga berkat usaha Mas Rudy, Mas Yoga dan Mas Daniel,” ucap Tika.Nauna ingin tertawa, perempuan itu berlagak seolah paling tahu tentang keluarga ini. Padahal, Tika baru tinggal disini selama kurang lebih empat tahun.Dia yakin, apa yang dikatakan Tika adalah omong kosong. Nauna tahu bagaimana perjuangan suaminya untuk bisa kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Meski dia belum membersamainya kala itu, tapi Dean telah menceritakan semua padanya.Sama sekali tidak ada campur tangan kakak-kakaknya, seperti apa yang dikatakan Tika. Dean berjuang sendiri, bekerja sambil kuliah hingga mendapat gelar sarjana dan diterima di perusahaan besar.“Beruntung kamu bertemu Dean saat dia sudah mapan. Kalau nggak, mana mungkin kamu mau menikah sama dia. Dari wajahmu saja sudah kelihatan, bahwa kamu tipikal perempuan yang nggak mau diajak susah!” Lusi berkata dengan pongahnya.Nauna mendengarkan sembari menuang air lagi ke dalam gelas. Kali ini, dia meminumnya seteguk demi seteguk.“Ya, seandainya kamu menikah dengan Dean saat keadaan keluarga ini sedang terpuruk karena perusahaan orang tuanya yang bangkrut, kamu pasti sudah kabur karena takut hidup susah. Nggak seperti kami yang tetap mendampingi suami kami dalam suka maupun duka. Bahkan, kami rela uang belanja kami berkurang demi membiayai kuliah suami kamu.” Tari menimpali seolah dia dan dua rekannya adalah perempuan paling setia.“Jadi, kalau kamu berniat menjauhkan Dean dari kami, kamu benar-benar nggak tahu diri!” tukas Lusi.Ting!Nauna menghantamkan gelas di tangannya pada permukaan meja. Kemudian, dia berdiri. Kedua matanya menyorot wajah kakak iparnya satu per satu.Lusi, Tari dan Tika mendadak terdiam, mereka seperti kehilangan suara untuk beberapa saat. Tatapan Nauna terlalu dingin dan tajam, mereka tidak pernah melihat itu sebelumnya.Lantas, disaat diamnya tiga orang yang sedari tadi terus menyerang, Nauna membuka bibirnya dan berkata dengan dingin, “Kalau kalian terus bicara omong kosong padaku seperti ini, aku bukan hanya akan mempengaruhi Mas Dean untuk menjauhi kalian. Tapi, aku juga akan membuat dia mengusir kalian dari rumah ini.”Dapur mendadak sunyi setelah meluncur kalimat tajam dan penuh keyakinan dari mulut Nauna. Dia menyorot wajah-wajah di depannya tanpa rasa takut. Dia sudah menahan diri sedari tadi, tapi mendengar omong kosong mereka—yang tak kunjung berhenti—membuatnya sungguh muak. Setelah beberapa saat terpaku, Lusi maju satu langkah. Dia membalas tatapan berani Nauna dan menarik segaris senyum meremehkan. “Kamu bilang apa barusan? Mau membuat Dean mengusir kami dari rumah ini?” Lusi mengutip kata-kata Nauna lalu mendecih dengan keras. “Nauna, selama ini aku pikir kamu perempuan polos yang penurut dan baik hati, tapi ternyata aku salah. Kamu punya niat busuk!” Telunjuknya menuding Nauna tepat di depan wajah. “Sepertinya selama ini kamu hanya berpura-pura baik di depan Dean. Ternyata, kamu ingin menyingkirkan kami dari rumah ini. Begitu?” Tari ikut maju. Dia berdiri di samping Lusi dan melipat tangan di depan dada. “Ternyata kamu perempuan licik!” Tika menimpali dengan sengit. “Sepertinya dia mau
Sepanjang dua puluh lima tahun perjalanan hidupnya, Nauna tidak pernah berharap akan memiliki musuh—tidak satu orang pun. Dia terbiasa hidup dengan tenang. Menjadi perempuan baik-baik dan tidak pernah bermasalah dengan siapapun. Ketika masih duduk di bangku sekolah, dia memiliki banyak sekali teman. Saat naik ke jenjang kuliah, dia dikelilingi banyak orang yang menyukai kepribadiannya. Bahkan, ketika masuk lingkungan kerja, dia mendapat sambutan hangat dari semua orang. Singkatnya, dia memiliki reputasi yang baik. Namun, semuanya menjadi berbeda setelah dia menikah. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasa tidak disukai. Sejak hari dimana dia dan Dean resmi menjadi pasangan suami istri, dia sudah mendapat tatapan berbeda dari beberapa orang yang datang hari itu—Rudy, Yoga, Daniel dan para istri mereka yang manipulatif. Meskipun saat itu mereka tidak menunjukkan rasa tak suka secara terang-terangan, tapi Nauna dapat merasakan dari cara mereka menatapnya. Sekali pun mereka ters
Dean merasa bingung dan terdiam. Alih-alih menjawab pertanyaan Nauna, dia malah berpikir atas dasar apa pertanyaan ini dilontarkan. Seingatnya, dia sudah pernah mengatakan hal ini pada istrinya satu tahun lalu—saat mereka pertama kali tinggal bersama di rumah ini.Seharusnya, Nauna tidak perlu bertanya lagi sekarang. Lagi pula, sudah terlalu lama sejak terakhir kali mereka membahasnya. “Nau, kamu sudah tahu, rumah ini milik ayah dan ibu.” Dean berkata. “Aku sudah pernah kasih tahu kamu dulu.”Nauna menggelengkan kepala. Dia masih ingat apa yang Dean katakan satu tahun lalu, tapi bukan itu jawaban yang ingin dia dengar sekarang. “Maksudku, atas nama siapa?” Nauna memperjelas pertanyaannya agar Dean paham maksudnya. “Tentu saja atas nama ayah dan ibu.” Jawaban Dean terdengar yakin. Dia tidak ragu sama sekali karena memang seperti itu yang dia tahu. Nauna menyorot lebih tajam untuk mencari kejujuran di mata kelam suaminya. Sepertinya, Dean tidak berbohong. Apa yang dia katakan adalah
Makan malam telah usai bagi semua penghuni rumah—kecuali Nauna dan Dean yang memilih tidak ikut bergabung di meja makan. Anak-anak sudah masuk ke kamar masing-masing, sementara orang dewasa berkumpul di ruang tengah—sebenarnya hanya pasangan Rudy-Lusi dan Yoga-Tari, sedangkan pasangan Daniel-Tika sudah masuk ke kamar bersama putri kecil mereka. Televisi dinyalakan, tapi tidak ada yang fokus menonton. Volume dikecilkan dan empat orang di ruang tengah mulai membuka obrolan. Lusi adalah yang pertama kali berbicara, setelah memastikan pintu kamar Nauna dan Dean masih tertutup rapat di atas sana. “Hari ini, Nauna agak berbeda,” ucap Lusi dengan suara pelan dan hati-hati. “Berbeda bagaimana?” Yoga bertanya dengan kening berkerut samar. Selama satu tahun tinggal bersama, dia tidak banyak berinteraksi dengan adik iparnya itu. Selain karena tidak ada yang penting, dia juga tidak menyukai keberadaan Nauna di rumah ini. Tari mewakili Lusi untuk menceritakan kejadian di dapur siang tadi. Saat
Nauna mengulum senyum melihat reaksi terkejut para iparnya. Mereka mungkin tidak menyangka bahwa dia sudah mengetahui rencana mereka. Dan sebentar lagi, Dean juga akan segera mengetahuinya. Pada saat ini, Daniel dan Tika bergabung di ruang tengah. Pasangan itu tampak terheran-heran dengan suasana tegang yang ada di sana. Tari memberi mereka kode untuk duduk dan mendengarkan apa yang selanjutnya dikatakan Nauna. “Seharusnya, sertifikat itu ada di tangan pemiliknya, kan? Tapi, untuk sekedar melihatnya pun nggak boleh.” Nauna bersedekap, matanya menyorot seraut panik di sekitarnya satu per satu—termasuk Daniel dan Tika yang mulai menangkap apa yang sedang terjadi saat ini. “Apa maksud kamu, Nauna? Bicara apa kamu?” Tika yang pertama kali bersuara, setelah sempat hening selama beberapa saat. Nauna menatap Tika dan berkata dengan tenang, “Mbak Tika dan Mas Daniel yang baru bergabung disini, kalian pasti tahu apa maksudku.” “Nauna, kamu mulai ngawur!” Lusi tidak tahan lagi untuk berpur
Pada saat ini, Nauna merasa agak aneh. Lusi terlihat sangat percaya diri. Begitu berbeda dengan beberapa saat lalu—ketika mereka semua berkumpul di ruang tengah. Seraut gusar yang tercetak di wajah perempuan ini sewaktu tadi, sekarang berganti dengan senyuman tipis penuh arti. Tangan Lusi terulur, ingin berjabatan dengan Nauna sebagai tanda sepakat atas tantangan yang baru saja mereka buat. Kepercayaan dirinya semakin membuat Nauna merasa ragu dan curiga. “Kenapa?” Lusi bertanya dengan sorot meremehkan ketika uluran tangannya tak kunjung bersambut. “Takut kalah?” Nauna mengerjap waspada. Dia merasa ada yang tidak beres. Bagaimana kalau Lusi dan para iparnya punya rencana lain yang belum dia ketahui? “Sudah kuduga, kamu nggak akan berani menerima tantanganku. Kamu tahu kalau kamu pasti akan kalah. Iya, kan?“ Lusi tertawa pelan, terdengar sangat pongah dan menyebalkan di telinga. Saat itu juga, Nauna meraih uluran tangan yang hampir diturunkan. Lusi sedikit terkesiap. Dalam hitungan
Seseorang di ambang pintu menekan saklar lampu yang berada di dinding sebelah kiri. Dalam satu kedipan mata, lampu ruangan menyala terang, memperlihatkan segala apapun yang ada di dalamnya—termasuk seorang perempuan yang sedang berjongkok di depan lemari kaca. Nauna merasa seperti jantungnya jatuh ke kaki. Dia melihat orang yang memergokinya masih berdiri di ambang pintu. Sepasang mata itu terbelalak, menatapnya dengan ekspresi tak percaya. Pada saat ini, Nauna menyadari bahwa dirinya telah tertangkap basah.“Nauna?”Namanya dipanggil dengan sangat lirih. Nauna memejamkan mata selama beberapa detik, berusaha mengumpulkan tenaga untuk berdiri setelah disergap rasa kaget yang luar biasa. “Mas—”“Sedang apa kamu disini?” Dean segera menyela begitu Nauna mendapatkan kekuatan untuk bersuara. Perempuan itu terlihat sedikit gemetar. Dia mematikan cahaya senter dari ponselnya, lalu meraih amplop yang tadi dilihatnya. Setelah itu dia berdiri dan berjalan ke arah suaminya dengan langkah terse
Jika tadi adalah Dean, maka sekarang adalah Rey. Anak sulung pasangan Rudy dan Lusi itu berdiri di depan pintu kamarnya—menyorot wajah Nauna dengan tatapan datar. Entah apa yang dipikirkan Rey saat melihat perempuan—yang berstatus tantenya—keluar dari ruang kerja ayahnya sekitar pukul dua dini hari. Nauna hanya bisa berharap, anak itu tidak berpikiran macam-macam dan tidak akan mengatakan apapun pada orang tuanya. “R-Rey, mau ke-kemana jam se-gini?” Nauna gelagapan. Dia bertanya sembari merapikan jilbabnya dengan canggung. Rey yang terbiasa dengan ekspresi datar, kini berwajah curiga. Nauna merasa jantungnya berdebar tak karuan saat remaja tujuh belas tahun itu berjalan perlahan mendekatinya. Sorot tajam yang tak terlepas dari wajahnya, membuat perempuan itu kalang kabut. “Aku yang lebih dulu bertanya.” Rey berkata saat jaraknya dengan Nauna hanya tinggal satu meter. Langkahnya berhenti di sana, “Sedang apa di sini?”Nauna bukan seseorang yang berani berbohong untuk menutupi sesuat
Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap
"Nau, cepat ganti baju, kita ke kantor polisi sekarang!"Nauna baru saja keluar dari kamar mandi, ketika Dean tiba-tiba berkata dengan nada terburu-buru. "Ada apa, Mas?" Menanyakan itu, Nauna sambil beranjak menuju lemari, kemudian mengambil sehelai baju ganti dari dalamnya. "Mas Rudy dan Mbak Lusi sudah tiba di kantor pusat. Citra juga ada di sana, kita jemput dia sekarang," sahut Dean sebagaimana adanya. Mendengar ucapannya, sepasang mata Nauna terbuka lebar-lebar. Dia sudah menunggu kabar ini sejak tiga hari yang lalu, tepatnya sejak dia dan Dean pertama kali mendapatkan kabar tentang Rudy dan Lusi yang sudah ditangkap oleh polisi. Tanpa bertanya apa-apa lagi, Nauna bergegas berganti pakaian, kemudian mengambil kerudung dan mengenakannya dengan cepat. "Ayo, Mas!" ajak Nauna sembari menyambar tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Dean mengangguk. Setelah meraih kunci mobil di atas nakas, dia dan Nauna segera keluar dari kamar dengan langkah tergesa-gesa. "Sudah sejak kapan me
"Ibu, tenanglah!" Viola berkata sembari menyentuh bahu sang ibu sebagai upaya menenangkannya. Meski Viola juga terkejut dengan semua yang dikatakan Dinara, dia masih bisa berpikir dengan jernih. Alih-alih mengusir mantan iparnya itu seperti apa yang dilakukan Jihan, dia justru ingin mendengar penjelasannya lebih banyak lagi. Akan tetapi, Jihan yang begitu emosional, tampaknya tidak mau mendengar apapun lagi. Sepasang matanya menyorot Dinara dengan tajam, kemudian berkata, "Pergilah, Dinara! Jangan katakan omong kosong apapun lagi tentang Jeremy!"Dinara tahu Jihan sedang kalut, karena itu dia sama sekali tidak ambil hati atas sikap dan ucapan wanita itu. Alih-alih angkat kaki seperti apa yang diminta, dia justru tetap duduk di tempatnya. "Bu," katanya dengan nada rendah dan terukur. "Ini nggak ada hubungannya dengan urusan pribadiku dan Mas Jeremy. Semua yang aku katakan ini, semata-mata untuk memberitahu Ibu yang sebenarnya, tentang apa yang sudah dilakukan Mas Jeremy demi mendapat
Setelah meninggalkan kediaman Jihan, Dinara segera mengajak Dean dan Nauna bertemu. Kebetulan, pasangan suami istri itu sedang berada di luar rumah, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe, sekalian makan siang bersama. Dinara tiba lebih dulu, sementara Dean dan Nauna datang sekitar sepuluh menit kemudian. Setelah memesan makanan dan minuman masing-masing, mereka tidak berbasa-basi lagi. Dinara segera menceritakan secara detail semua yang dia dengar dari Jihan, tentang persaingan bisnis antara orang tua Dean dan orang tua Jeremy. Mendengar apa yang diceritakan oleh Dinara, Dean dan Nauna tampak terkejut. "Aku sama sekali nggak tahu tentang ini." Dean berkomentar setelah Dinara benar-benar menyelesaikan ceritanya. "Aku nggak pernah mendengar kalau perusahaan Ayah sampai menyebabkan kebangkrutan untuk perusahaan lain. Mungkin karena saat itu aku masih terlalu muda untuk mengetahuinya."Dinara menghela napas. "Sudah kuduga," ucapnya dengan nada rendah nyaris tenggelam. "Ka