Seseorang di ambang pintu menekan saklar lampu yang berada di dinding sebelah kiri. Dalam satu kedipan mata, lampu ruangan menyala terang, memperlihatkan segala apapun yang ada di dalamnya—termasuk seorang perempuan yang sedang berjongkok di depan lemari kaca. Nauna merasa seperti jantungnya jatuh ke kaki. Dia melihat orang yang memergokinya masih berdiri di ambang pintu. Sepasang mata itu terbelalak, menatapnya dengan ekspresi tak percaya. Pada saat ini, Nauna menyadari bahwa dirinya telah tertangkap basah.“Nauna?”Namanya dipanggil dengan sangat lirih. Nauna memejamkan mata selama beberapa detik, berusaha mengumpulkan tenaga untuk berdiri setelah disergap rasa kaget yang luar biasa. “Mas—”“Sedang apa kamu disini?” Dean segera menyela begitu Nauna mendapatkan kekuatan untuk bersuara. Perempuan itu terlihat sedikit gemetar. Dia mematikan cahaya senter dari ponselnya, lalu meraih amplop yang tadi dilihatnya. Setelah itu dia berdiri dan berjalan ke arah suaminya dengan langkah terse
Jika tadi adalah Dean, maka sekarang adalah Rey. Anak sulung pasangan Rudy dan Lusi itu berdiri di depan pintu kamarnya—menyorot wajah Nauna dengan tatapan datar. Entah apa yang dipikirkan Rey saat melihat perempuan—yang berstatus tantenya—keluar dari ruang kerja ayahnya sekitar pukul dua dini hari. Nauna hanya bisa berharap, anak itu tidak berpikiran macam-macam dan tidak akan mengatakan apapun pada orang tuanya. “R-Rey, mau ke-kemana jam se-gini?” Nauna gelagapan. Dia bertanya sembari merapikan jilbabnya dengan canggung. Rey yang terbiasa dengan ekspresi datar, kini berwajah curiga. Nauna merasa jantungnya berdebar tak karuan saat remaja tujuh belas tahun itu berjalan perlahan mendekatinya. Sorot tajam yang tak terlepas dari wajahnya, membuat perempuan itu kalang kabut. “Aku yang lebih dulu bertanya.” Rey berkata saat jaraknya dengan Nauna hanya tinggal satu meter. Langkahnya berhenti di sana, “Sedang apa di sini?”Nauna bukan seseorang yang berani berbohong untuk menutupi sesuat
Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi ketika Nauna keluar dari kamar dan berpapasan dengan Rey di dekat tangga. Langkah keduanya tertahan di sana, sama-sama terpaku untuk beberapa saat. Nauna seketika teringat kejadian semalam—saat Rey memergokinya keluar dari ruang kerja Rudy pukul dua dini hari—hal yang masih dia khawatirkan sampai saat ini. Meski Dean mengatakan bahwa anak itu tidak suka ikut campur urusan orang lain, tapi rasa was-was tidak bisa hilang dari benaknya. “Hai, Rey!” Nauna berusaha beramah tamah untuk menghilangkan rasa canggung di antara mereka. Dia menyapa dengan seulas senyum, tapi Rey malah berlalu begitu saja. Tanpa sepatah kata pun, laki-laki itu menuruni tangga dengan langkah cepat, setengah berlari. Sementara Nauna tercengang di tempat—tidak menyangka sikap ramahnya berbalas abai.“Apa-apaan anak itu?” Nauna bersungut-sungut, sedikit tidak terima dirinya diabaikan. “Nau, kenapa?” Dean tiba-tiba saja sudah ada di dekatnya. Nauna hampir tidak sadar, jika laki-lak
Tepat saat kalimat itu meluncur dari mulut Rey, Nauna merasa hawa panas mulai memenuhi satu ruangan. Dia melihat Lusi dan Rudy menaruh perhatian sepenuhnya pada putera pertama mereka. Rasa ingin tahu sepertinya menjalar ke semua orang di meja makan. Mereka semua menatap Rey, penasaran dengan apa yang ingin dia katakan. Nauna dan Dean saling bertukar pandang dalam diam. Isi pikiran mereka mungkin sama. Hanya saja, Dean terlihat lebih tenang, sementara Nauna tampak cemas. “Apa yang ingin kamu katakan, Rey?” Rudy bertanya, mewakili rasa penasaran semua orang di sana. Rey menatap wajah orang tuanya satu per satu. Lalu, tatapannya berhenti pada Nauna. Dia menarik napas agak panjang sebelum berkata, “Aku...” Tangan Nauna serta merta mencengkeram lengan Dean, ketika Rey dengan sengaja menggantung kalimatnya. Dia sudah bersiap mendengar pengaduan Rey pada semua orang, tentang dirinya yang diam-diam masuk ke ruang kerja Rudy dini hari tadi. Sayangnya, dia belum menyiapkan alasan untuk mem
Apa yang dikatakan Rey padanya telah sampai ke telinga Dean. Nauna menyampaikan semuanya ketika mereka duduk berhadapan di kursi taman belakang. Reaksi Dean sudah bisa ditebak, dia menanggapi dengan santai, “Rey memang nggak suka ikut campur urusan orang lain, jadi kamu nggak perlu khawatir lagi.”Nauna menghela napas. Sejak mengetahui rencana jahat para iparnya, dia menjadi paranoid dan mencurigai banyak orang—termasuk Rey. Setelah mendengar perkataan anak itu tadi, seharusnya dia bisa bernapas lega. “Sudah, jangan dipikirkan lagi.” Dean berkata setelah menyesap sedikit kopi. Nauna mengiyakan. Seharusnya, dia memang tidak perlu berlebihan memikirkan tentang Rey, sebab ada hal yang lebih penting untuk dia pikirkan sekarang. Dia masih harus mencari cara untuk menggagalkan rencana para iparnya dan membuat Dean percaya padanya. Dalam diam, Nauna berpikir keras, apa yang harus dia lakukan sekarang? “Nauna...” Dean memanggil dengan lirih ketika menyadari perempuan itu sedang memikirkan
Lusi berjalan terburu-buru menuju kamar sembari tetap mendengarkan Rudy bicara melalui ponsel di telinga. Dia sedang sibuk di dapur, ketika suaminya itu menelepon dan menyuruhnya mencari sesuatu yang disebut penting. “Sebentar, aku cari di kamar.”Pintu dibuka, Lusi melangkah masuk ke dalam kamarnya yang rapi dan luas. Langkahnya kemudian berhenti di depan meja rias. Dia mulai memeriksa semua laci dengan tangannya yang bebas, sementara tangan yang lain menahan ponsel tetap menempel di telinga. “Nggak ada, Mas.” Dia berkata pada Rudy yang masih terhubung dengannya.Dari meja rias, Lusi berpindah ke meja nakas di samping tempat tidur. Tangannya kembali sibuk membuka laci dan menggeledah isinya dengan terburu-buru. “Di sini juga nggak ada, Mas. Kamu taruh di mana, sih?” Lusi mulai mengeluh karena tak juga menemukan apa yang dicari. Pandangannya kini tertuju pada lemari pakaian yang tepat berada di depannya. Keningnya berkerut dan dia bertanya dengan ragu, “Di dalam lemari?”Tepat keti
Pertanyaan itu terus berputar di pikiran Nauna sepanjang hari. Sayangnya, dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk mendapatkan jawaban. Kembali ke kamar Lusi dan Rudy bukan pilihan yang tepat. Lagi pula, siapa yang bisa menebak password brankas orang lain? Dia bahkan tidak tahu tanggal lahir Rudy atau pun Lusi. Begitu pula tanggal pernikahan mereka. Bertanya pada Dean hanya akan membuat laki-laki itu curiga. Pada akhirnya, Nauna tidak bisa tidur—seperti malam kemarin. Pikirannya yang buntu terus dipaksa mencari cara hingga dia terjaga sampai menjelang tengah malam. Pukul dua belas kurang sepuluh menit, Nauna beranjak ke luar kamar. Bukan untuk menyelinap dan mencari bukti seperti sebelum-sebelumnya. Dia hanya haus dan ingin mengambil segelas air di dapur. Langkahnya tertahan di ujung tangga, ketika dia melihat Lusi keluar dari kamar dan berjalan dengan langkah terburu-buru. Diam-diam, Nauna mengikuti kemana perempuan itu pergi. Rupanya, Lusi masuk ke garasi lewat pintu di dekat ruan
Nauna mengerjap berkali-kali. Dia tidak tahu janji apa yang akan Dean tuntut darinya, tapi perasaannya seketika menjadi tak karuan.Sementara dia terdiam bingung, laki-laki di sampingnya terus menatapnya dengan serius, menunggu jawaban atas permintaan sesaat lalu. Melihat Nauna yang tak kunjung membuka suara, Dean kembali berkata, “Berjanjilah, kalau rumah ini benar atas nama ayah dan ibu, kamu nggak akan lagi bersikap seperti ini terhadap para iparmu.”Itu adalah permintaan yang sulit. Nauna tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Semalam, dia telah mendengar pembicaraan Lusi dan Rudy tentang sertifikat yang kini ada di tangan mereka. Pasangan itu begitu percaya diri, bahkan tidak sabar ingin menunjukkan sertifikat itu pada Dean. Bagaimana mungkin Nauna berani menjanjikan apa yang diminta Dean, jika kemungkinan dia kalah dari para iparnya hampir seratus persen? Dia bahkan harus menanggung konsekuensi dari tantangan yang diberikan Lusi kemarin lalu. Dan sekarang, suaminya justru menamba
Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap
"Nau, cepat ganti baju, kita ke kantor polisi sekarang!"Nauna baru saja keluar dari kamar mandi, ketika Dean tiba-tiba berkata dengan nada terburu-buru. "Ada apa, Mas?" Menanyakan itu, Nauna sambil beranjak menuju lemari, kemudian mengambil sehelai baju ganti dari dalamnya. "Mas Rudy dan Mbak Lusi sudah tiba di kantor pusat. Citra juga ada di sana, kita jemput dia sekarang," sahut Dean sebagaimana adanya. Mendengar ucapannya, sepasang mata Nauna terbuka lebar-lebar. Dia sudah menunggu kabar ini sejak tiga hari yang lalu, tepatnya sejak dia dan Dean pertama kali mendapatkan kabar tentang Rudy dan Lusi yang sudah ditangkap oleh polisi. Tanpa bertanya apa-apa lagi, Nauna bergegas berganti pakaian, kemudian mengambil kerudung dan mengenakannya dengan cepat. "Ayo, Mas!" ajak Nauna sembari menyambar tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Dean mengangguk. Setelah meraih kunci mobil di atas nakas, dia dan Nauna segera keluar dari kamar dengan langkah tergesa-gesa. "Sudah sejak kapan me
"Ibu, tenanglah!" Viola berkata sembari menyentuh bahu sang ibu sebagai upaya menenangkannya. Meski Viola juga terkejut dengan semua yang dikatakan Dinara, dia masih bisa berpikir dengan jernih. Alih-alih mengusir mantan iparnya itu seperti apa yang dilakukan Jihan, dia justru ingin mendengar penjelasannya lebih banyak lagi. Akan tetapi, Jihan yang begitu emosional, tampaknya tidak mau mendengar apapun lagi. Sepasang matanya menyorot Dinara dengan tajam, kemudian berkata, "Pergilah, Dinara! Jangan katakan omong kosong apapun lagi tentang Jeremy!"Dinara tahu Jihan sedang kalut, karena itu dia sama sekali tidak ambil hati atas sikap dan ucapan wanita itu. Alih-alih angkat kaki seperti apa yang diminta, dia justru tetap duduk di tempatnya. "Bu," katanya dengan nada rendah dan terukur. "Ini nggak ada hubungannya dengan urusan pribadiku dan Mas Jeremy. Semua yang aku katakan ini, semata-mata untuk memberitahu Ibu yang sebenarnya, tentang apa yang sudah dilakukan Mas Jeremy demi mendapat
Setelah meninggalkan kediaman Jihan, Dinara segera mengajak Dean dan Nauna bertemu. Kebetulan, pasangan suami istri itu sedang berada di luar rumah, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe, sekalian makan siang bersama. Dinara tiba lebih dulu, sementara Dean dan Nauna datang sekitar sepuluh menit kemudian. Setelah memesan makanan dan minuman masing-masing, mereka tidak berbasa-basi lagi. Dinara segera menceritakan secara detail semua yang dia dengar dari Jihan, tentang persaingan bisnis antara orang tua Dean dan orang tua Jeremy. Mendengar apa yang diceritakan oleh Dinara, Dean dan Nauna tampak terkejut. "Aku sama sekali nggak tahu tentang ini." Dean berkomentar setelah Dinara benar-benar menyelesaikan ceritanya. "Aku nggak pernah mendengar kalau perusahaan Ayah sampai menyebabkan kebangkrutan untuk perusahaan lain. Mungkin karena saat itu aku masih terlalu muda untuk mengetahuinya."Dinara menghela napas. "Sudah kuduga," ucapnya dengan nada rendah nyaris tenggelam. "Ka