Dapur mendadak sunyi setelah meluncur kalimat tajam dan penuh keyakinan dari mulut Nauna. Dia menyorot wajah-wajah di depannya tanpa rasa takut. Dia sudah menahan diri sedari tadi, tapi mendengar omong kosong mereka—yang tak kunjung berhenti—membuatnya sungguh muak.
Setelah beberapa saat terpaku, Lusi maju satu langkah. Dia membalas tatapan berani Nauna dan menarik segaris senyum meremehkan.“Kamu bilang apa barusan? Mau membuat Dean mengusir kami dari rumah ini?” Lusi mengutip kata-kata Nauna lalu mendecih dengan keras. “Nauna, selama ini aku pikir kamu perempuan polos yang penurut dan baik hati, tapi ternyata aku salah. Kamu punya niat busuk!” Telunjuknya menuding Nauna tepat di depan wajah.“Sepertinya selama ini kamu hanya berpura-pura baik di depan Dean. Ternyata, kamu ingin menyingkirkan kami dari rumah ini. Begitu?” Tari ikut maju. Dia berdiri di samping Lusi dan melipat tangan di depan dada.“Ternyata kamu perempuan licik!” Tika menimpali dengan sengit. “Sepertinya dia mau berperang dengan kita, Mbak,” ucapnya pada Tari dan Lusi. Senyum mengejek tercetak di wajahnya.“Ya, dia sudah membuka topengnya di depan kita. Selama ini dia hanya berpura-pura baik, ternyata aslinya seperti ini, jahat dan licik!” tukas Tari.“Oh, jadi kamu mau perang dengan kami?” Lusi bertanya, segaris senyum sinis tertarik di bibirnya. “Selama ini, kami sudah bersikap baik dan menerima kamu sebagai ipar termuda di rumah ini, tapi ini balasan kamu? Kamu ingin bermusuhan dengan kami?”Nauna tersenyum kecil. Dia baru tahu bahwa para iparnya begitu manipulatif. Mereka seolah sedang berlagak sebagai korban, sedangkan Nauna adalah seorang pelaku kejahatan yang wajib untuk diadili.Sebenarnya, dia tidak ingin memantik api permusuhan, tapi tiga perempuan di depannya semakin hari semakin keterlaluan. Dia masih bisa menahan diri ketika mereka terus memanfaatkan keadaan dan melempar tanggung jawab mereka padanya.Tapi, setelah tahu apa yang diam-diam sedang mereka rencanakan, Nauna benar-benar tidak bisa tinggal diam. Dia bersumpah, tidak akan membiarkan mereka menjual rumah Dean begitu saja.Melihat Nauna yang diam saja, Lusi kembali berbicara. “Jangan harap kamu bisa mengusir kami dari rumah ini, Nauna. Kamu lupa ini rumah siapa? Ini rumah peninggalan ayah dan ibu mertua. Semua anaknya memiliki hak yang sama atas rumah ini. Ini bukan rumah suamimu, jadi kamu nggak ada hak untuk mengusir kami!”Pada saat ini, Nauna ingin sekali berkata bahwa rumah ini memang milik ayah dan ibu mertua, tapi sudah diwariskan pada Dean, seperti apa yang dia dengar dari pembicaraan Rudy dan pria tinggi besar di kafe tadi. Dengan kata lain, rumah ini adalah milik Dean, bukan milik bersama.Namun, dia menahan diri untuk tidak mengatakannya. Sekarang, bukan saat yang tepat untuk itu. Biarkan mereka berpikir dia tidak tahu apa-apa. Setidaknya, untuk beberapa saat lagi.“Mungkin dia lupa soal itu, Mbak. Dia pikir, mentang-mentang suaminya lebih banyak menutupi kebutuhan dapur dan membayar tagihan, rumah ini sudah jadi miliknya. Padahal, itu adalah salah satu bentuk balas budi Dean untuk kakak-kakaknya.” Tari berkata dengan begitu percaya diri.“Dan sepertinya dia lupa darimana dia berasal. Sebelum menikah dengan Dean, dia kan hanya gadis kampung yang merantau ke kota dan tinggal di kontrakan sempit. Sekarang, bisa tinggal di rumah sebesar ini langsung lupa diri dan ingin menguasai semuanya! Benar-benar serakah dan nggak tahu diri!” ujar Tika ketus.Mendengar kata-kata itu, Nauna menarik senyuman sinis. Ternyata ipar-iparnya yang manipulatif ini benar-benar tidak mengenal dirinya dengan baik. Mereka bahkan tidak pernah tahu latar belakang keluarganya.Mereka pikir, Nauna hanyalah gadis kampung yang tidak punya apa-apa. Menurut mereka, dia baru merasakan hidup enak setelah menikah dengan Dean. Mereka mungkin akan terkejut jika tahu yang sebenarnya.“Kamu seharusnya sadar posisimu, Nauna. Diantara kita, kamu adalah yang paling terakhir masuk ke rumah ini, tapi kamu berlagak seperti nyonya besar!” Tari kembali bersuara.“Dean akan marah kalau tahu istrinya mulai kurang ajar pada kakak-kakak iparnya. Kamu nggak ingat tadi pagi saat kita berdebat? Dia bahkan nggak membelamu sama sekali dan malah nyuruh kamu jangan mendebat kami! Dia itu tahu diri, jadi kamu nggak usah mimpi bisa mempengaruhinya untuk bersikap buruk pada kami!” timpal Tika berapi-api.Lusi tertawa mengejek. “Ya, dan jangan mimpi bisa mengusir kami dari rumah ini. Ingat, ini bukan rumah suamimu!” Dia berkata dengan penuh penekanan.Nauna mendengkus. Jika menuruti emosi, dia mungkin sudah berkelahi dengan para iparnya karena kata-kata pedas yang terus meluncur dari mulut mereka. Tapi, dia tidak mau bertindak bodoh dengan melakukan kekerasan.“Kalian masih ingin terus bicara?” Nauna bertanya dengan dingin. Dia menatap tiga perempuan di depannya dengan tajam. “Sebentar lagi, anak-anak kalian pulang sekolah. Apa kalian mau mereka kelaparan?”Dia meraih salah satu kresek berisi bahan masakan yang dia beli lalu melemparnya ke lantai. Lusi, Tari dan Tika terbelalak melihatnya. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Nauna akan berani melakukan hal tidak sopan seperti ini.“Tunggu apa lagi? Ayo masak! Bukankah kalian takut keluarga kalian kelaparan? Aku sudah bermurah hati membelikan semua bahan yang kalian perlukan. Jadi, silahkan masak yang enak untuk keluarga kalian masing-masing.”Setelah berkata begitu, Nauna beranjak pergi. Baru beberapa langkah, dia berhenti dan membalikkan badan. Sekali lagi dia menatap para iparnya dengan sorot tajam.“Sebenarnya, aku nggak ingin bermusuhan apalagi sampai berperang dengan kalian. Aku masih menghormati kalian sebagai ipar, tapi kalau kalian terus bicara omong kosong dan menyudutkanku seperti tadi, aku nggak tahu apakah masih bisa menghormati kalian atau nggak.”Nauna kembali berbalik dan melangkah pergi di bawah tatapan marah ipar-iparnya. Tika hampir saja berlari kearahnya dan berniat menarik jilbabnya, tapi Lusi dengan sigap menahan aksi perempuan itu.“Biarkan saja. Kita sudah nggak punya banyak waktu.” Lusi mengingatkan. Walaupun sebenarnya, dia juga ingin menghajar Nauna, tapi hari benar-benar telah beranjak siang. Anak-anak sebentar lagi akan pulang dan mereka belum memasak apa-apa.“Nauna benar-benar sudah nggak takut sama kita. Aku nggak nyangka dia seberani itu. Kemarin-kemarin, dia masih penurut. Dia bahkan nggak berani menyela saat kita bicara, tapi hari ini sangat berbeda!” Tari menyampaikan apa yang dia pikirkan. Meski sedari tadi dia begitu percaya diri menyerang Nauna, namun dalam hatinya dia merasa ada yang aneh.Lusi dan Tika juga memiliki pikiran yang sama. Mereka cukup terkejut dengan perubahan Nauna hari ini. Perempuan itu berani melawan bahkan mengancam para iparnya seolah dia punya kuasa. Tiba-tiba aja, Lusi teringat sesuatu.“Apa mungkin... dia sudah tahu rencana kita?”Sepanjang dua puluh lima tahun perjalanan hidupnya, Nauna tidak pernah berharap akan memiliki musuh—tidak satu orang pun. Dia terbiasa hidup dengan tenang. Menjadi perempuan baik-baik dan tidak pernah bermasalah dengan siapapun. Ketika masih duduk di bangku sekolah, dia memiliki banyak sekali teman. Saat naik ke jenjang kuliah, dia dikelilingi banyak orang yang menyukai kepribadiannya. Bahkan, ketika masuk lingkungan kerja, dia mendapat sambutan hangat dari semua orang. Singkatnya, dia memiliki reputasi yang baik. Namun, semuanya menjadi berbeda setelah dia menikah. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasa tidak disukai. Sejak hari dimana dia dan Dean resmi menjadi pasangan suami istri, dia sudah mendapat tatapan berbeda dari beberapa orang yang datang hari itu—Rudy, Yoga, Daniel dan para istri mereka yang manipulatif. Meskipun saat itu mereka tidak menunjukkan rasa tak suka secara terang-terangan, tapi Nauna dapat merasakan dari cara mereka menatapnya. Sekali pun mereka ters
Dean merasa bingung dan terdiam. Alih-alih menjawab pertanyaan Nauna, dia malah berpikir atas dasar apa pertanyaan ini dilontarkan. Seingatnya, dia sudah pernah mengatakan hal ini pada istrinya satu tahun lalu—saat mereka pertama kali tinggal bersama di rumah ini.Seharusnya, Nauna tidak perlu bertanya lagi sekarang. Lagi pula, sudah terlalu lama sejak terakhir kali mereka membahasnya. “Nau, kamu sudah tahu, rumah ini milik ayah dan ibu.” Dean berkata. “Aku sudah pernah kasih tahu kamu dulu.”Nauna menggelengkan kepala. Dia masih ingat apa yang Dean katakan satu tahun lalu, tapi bukan itu jawaban yang ingin dia dengar sekarang. “Maksudku, atas nama siapa?” Nauna memperjelas pertanyaannya agar Dean paham maksudnya. “Tentu saja atas nama ayah dan ibu.” Jawaban Dean terdengar yakin. Dia tidak ragu sama sekali karena memang seperti itu yang dia tahu. Nauna menyorot lebih tajam untuk mencari kejujuran di mata kelam suaminya. Sepertinya, Dean tidak berbohong. Apa yang dia katakan adalah
Makan malam telah usai bagi semua penghuni rumah—kecuali Nauna dan Dean yang memilih tidak ikut bergabung di meja makan. Anak-anak sudah masuk ke kamar masing-masing, sementara orang dewasa berkumpul di ruang tengah—sebenarnya hanya pasangan Rudy-Lusi dan Yoga-Tari, sedangkan pasangan Daniel-Tika sudah masuk ke kamar bersama putri kecil mereka. Televisi dinyalakan, tapi tidak ada yang fokus menonton. Volume dikecilkan dan empat orang di ruang tengah mulai membuka obrolan. Lusi adalah yang pertama kali berbicara, setelah memastikan pintu kamar Nauna dan Dean masih tertutup rapat di atas sana. “Hari ini, Nauna agak berbeda,” ucap Lusi dengan suara pelan dan hati-hati. “Berbeda bagaimana?” Yoga bertanya dengan kening berkerut samar. Selama satu tahun tinggal bersama, dia tidak banyak berinteraksi dengan adik iparnya itu. Selain karena tidak ada yang penting, dia juga tidak menyukai keberadaan Nauna di rumah ini. Tari mewakili Lusi untuk menceritakan kejadian di dapur siang tadi. Saat
Nauna mengulum senyum melihat reaksi terkejut para iparnya. Mereka mungkin tidak menyangka bahwa dia sudah mengetahui rencana mereka. Dan sebentar lagi, Dean juga akan segera mengetahuinya. Pada saat ini, Daniel dan Tika bergabung di ruang tengah. Pasangan itu tampak terheran-heran dengan suasana tegang yang ada di sana. Tari memberi mereka kode untuk duduk dan mendengarkan apa yang selanjutnya dikatakan Nauna. “Seharusnya, sertifikat itu ada di tangan pemiliknya, kan? Tapi, untuk sekedar melihatnya pun nggak boleh.” Nauna bersedekap, matanya menyorot seraut panik di sekitarnya satu per satu—termasuk Daniel dan Tika yang mulai menangkap apa yang sedang terjadi saat ini. “Apa maksud kamu, Nauna? Bicara apa kamu?” Tika yang pertama kali bersuara, setelah sempat hening selama beberapa saat. Nauna menatap Tika dan berkata dengan tenang, “Mbak Tika dan Mas Daniel yang baru bergabung disini, kalian pasti tahu apa maksudku.” “Nauna, kamu mulai ngawur!” Lusi tidak tahan lagi untuk berpur
Pada saat ini, Nauna merasa agak aneh. Lusi terlihat sangat percaya diri. Begitu berbeda dengan beberapa saat lalu—ketika mereka semua berkumpul di ruang tengah. Seraut gusar yang tercetak di wajah perempuan ini sewaktu tadi, sekarang berganti dengan senyuman tipis penuh arti. Tangan Lusi terulur, ingin berjabatan dengan Nauna sebagai tanda sepakat atas tantangan yang baru saja mereka buat. Kepercayaan dirinya semakin membuat Nauna merasa ragu dan curiga. “Kenapa?” Lusi bertanya dengan sorot meremehkan ketika uluran tangannya tak kunjung bersambut. “Takut kalah?” Nauna mengerjap waspada. Dia merasa ada yang tidak beres. Bagaimana kalau Lusi dan para iparnya punya rencana lain yang belum dia ketahui? “Sudah kuduga, kamu nggak akan berani menerima tantanganku. Kamu tahu kalau kamu pasti akan kalah. Iya, kan?“ Lusi tertawa pelan, terdengar sangat pongah dan menyebalkan di telinga. Saat itu juga, Nauna meraih uluran tangan yang hampir diturunkan. Lusi sedikit terkesiap. Dalam hitungan
Seseorang di ambang pintu menekan saklar lampu yang berada di dinding sebelah kiri. Dalam satu kedipan mata, lampu ruangan menyala terang, memperlihatkan segala apapun yang ada di dalamnya—termasuk seorang perempuan yang sedang berjongkok di depan lemari kaca. Nauna merasa seperti jantungnya jatuh ke kaki. Dia melihat orang yang memergokinya masih berdiri di ambang pintu. Sepasang mata itu terbelalak, menatapnya dengan ekspresi tak percaya. Pada saat ini, Nauna menyadari bahwa dirinya telah tertangkap basah.“Nauna?”Namanya dipanggil dengan sangat lirih. Nauna memejamkan mata selama beberapa detik, berusaha mengumpulkan tenaga untuk berdiri setelah disergap rasa kaget yang luar biasa. “Mas—”“Sedang apa kamu disini?” Dean segera menyela begitu Nauna mendapatkan kekuatan untuk bersuara. Perempuan itu terlihat sedikit gemetar. Dia mematikan cahaya senter dari ponselnya, lalu meraih amplop yang tadi dilihatnya. Setelah itu dia berdiri dan berjalan ke arah suaminya dengan langkah terse
Jika tadi adalah Dean, maka sekarang adalah Rey. Anak sulung pasangan Rudy dan Lusi itu berdiri di depan pintu kamarnya—menyorot wajah Nauna dengan tatapan datar. Entah apa yang dipikirkan Rey saat melihat perempuan—yang berstatus tantenya—keluar dari ruang kerja ayahnya sekitar pukul dua dini hari. Nauna hanya bisa berharap, anak itu tidak berpikiran macam-macam dan tidak akan mengatakan apapun pada orang tuanya. “R-Rey, mau ke-kemana jam se-gini?” Nauna gelagapan. Dia bertanya sembari merapikan jilbabnya dengan canggung. Rey yang terbiasa dengan ekspresi datar, kini berwajah curiga. Nauna merasa jantungnya berdebar tak karuan saat remaja tujuh belas tahun itu berjalan perlahan mendekatinya. Sorot tajam yang tak terlepas dari wajahnya, membuat perempuan itu kalang kabut. “Aku yang lebih dulu bertanya.” Rey berkata saat jaraknya dengan Nauna hanya tinggal satu meter. Langkahnya berhenti di sana, “Sedang apa di sini?”Nauna bukan seseorang yang berani berbohong untuk menutupi sesuat
Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi ketika Nauna keluar dari kamar dan berpapasan dengan Rey di dekat tangga. Langkah keduanya tertahan di sana, sama-sama terpaku untuk beberapa saat. Nauna seketika teringat kejadian semalam—saat Rey memergokinya keluar dari ruang kerja Rudy pukul dua dini hari—hal yang masih dia khawatirkan sampai saat ini. Meski Dean mengatakan bahwa anak itu tidak suka ikut campur urusan orang lain, tapi rasa was-was tidak bisa hilang dari benaknya. “Hai, Rey!” Nauna berusaha beramah tamah untuk menghilangkan rasa canggung di antara mereka. Dia menyapa dengan seulas senyum, tapi Rey malah berlalu begitu saja. Tanpa sepatah kata pun, laki-laki itu menuruni tangga dengan langkah cepat, setengah berlari. Sementara Nauna tercengang di tempat—tidak menyangka sikap ramahnya berbalas abai.“Apa-apaan anak itu?” Nauna bersungut-sungut, sedikit tidak terima dirinya diabaikan. “Nau, kenapa?” Dean tiba-tiba saja sudah ada di dekatnya. Nauna hampir tidak sadar, jika laki-lak
Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap
"Nau, cepat ganti baju, kita ke kantor polisi sekarang!"Nauna baru saja keluar dari kamar mandi, ketika Dean tiba-tiba berkata dengan nada terburu-buru. "Ada apa, Mas?" Menanyakan itu, Nauna sambil beranjak menuju lemari, kemudian mengambil sehelai baju ganti dari dalamnya. "Mas Rudy dan Mbak Lusi sudah tiba di kantor pusat. Citra juga ada di sana, kita jemput dia sekarang," sahut Dean sebagaimana adanya. Mendengar ucapannya, sepasang mata Nauna terbuka lebar-lebar. Dia sudah menunggu kabar ini sejak tiga hari yang lalu, tepatnya sejak dia dan Dean pertama kali mendapatkan kabar tentang Rudy dan Lusi yang sudah ditangkap oleh polisi. Tanpa bertanya apa-apa lagi, Nauna bergegas berganti pakaian, kemudian mengambil kerudung dan mengenakannya dengan cepat. "Ayo, Mas!" ajak Nauna sembari menyambar tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Dean mengangguk. Setelah meraih kunci mobil di atas nakas, dia dan Nauna segera keluar dari kamar dengan langkah tergesa-gesa. "Sudah sejak kapan me
"Ibu, tenanglah!" Viola berkata sembari menyentuh bahu sang ibu sebagai upaya menenangkannya. Meski Viola juga terkejut dengan semua yang dikatakan Dinara, dia masih bisa berpikir dengan jernih. Alih-alih mengusir mantan iparnya itu seperti apa yang dilakukan Jihan, dia justru ingin mendengar penjelasannya lebih banyak lagi. Akan tetapi, Jihan yang begitu emosional, tampaknya tidak mau mendengar apapun lagi. Sepasang matanya menyorot Dinara dengan tajam, kemudian berkata, "Pergilah, Dinara! Jangan katakan omong kosong apapun lagi tentang Jeremy!"Dinara tahu Jihan sedang kalut, karena itu dia sama sekali tidak ambil hati atas sikap dan ucapan wanita itu. Alih-alih angkat kaki seperti apa yang diminta, dia justru tetap duduk di tempatnya. "Bu," katanya dengan nada rendah dan terukur. "Ini nggak ada hubungannya dengan urusan pribadiku dan Mas Jeremy. Semua yang aku katakan ini, semata-mata untuk memberitahu Ibu yang sebenarnya, tentang apa yang sudah dilakukan Mas Jeremy demi mendapat
Setelah meninggalkan kediaman Jihan, Dinara segera mengajak Dean dan Nauna bertemu. Kebetulan, pasangan suami istri itu sedang berada di luar rumah, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe, sekalian makan siang bersama. Dinara tiba lebih dulu, sementara Dean dan Nauna datang sekitar sepuluh menit kemudian. Setelah memesan makanan dan minuman masing-masing, mereka tidak berbasa-basi lagi. Dinara segera menceritakan secara detail semua yang dia dengar dari Jihan, tentang persaingan bisnis antara orang tua Dean dan orang tua Jeremy. Mendengar apa yang diceritakan oleh Dinara, Dean dan Nauna tampak terkejut. "Aku sama sekali nggak tahu tentang ini." Dean berkomentar setelah Dinara benar-benar menyelesaikan ceritanya. "Aku nggak pernah mendengar kalau perusahaan Ayah sampai menyebabkan kebangkrutan untuk perusahaan lain. Mungkin karena saat itu aku masih terlalu muda untuk mengetahuinya."Dinara menghela napas. "Sudah kuduga," ucapnya dengan nada rendah nyaris tenggelam. "Ka