Eh, anak? Roma mengerjap beberapa kali menatap Juna. Kenapa jadi anak? Bukankah dia sudah memiliki orang tua? Bagaimana dengan Bunda dan papinya jika dia menjadi anak Om Juna dan Tante Diva?Diva tidak menjawab, dia hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dalam hari dia merasa bersalah, kenapa sampai sekarang masih belum mengingat Juna, juga Anka mereka yang telah tiada. Kenapa waktu itu dia sampai tidak tahu sedang mengandung? Tadi malam Arkan berkunjung ke rumahnya, menceritakan semua yang terjadi padanya sebelum dia koma. Dia sempat dinyatakan meninggal, itulah sebabnya Juna bersikeras dia sudah tiada sebelas tahun yang lalu. Kemudian tentang kehamilannya, betapa bodohnya dia sampai tidak menyadari ada kehidupan lain di dalam dirinya. Entah apa yang terjadi padanya dulu sampai sebegitu cerobohnya. Diva menarik napas, memejamkan mata sekilas. Seandainya saja ingatannya kembali, semua pasti akan jauh lebih mudah. Tak mungkin dia meragukan Juna seperti yang sekarang dirasakannya. Benark
Tidak ada yang bersuara, semuanya diam sehingga tak terdengar apa-apa seolah di ruangan itu tidak ada satu orang pun. Sejak Diva bercerita apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, sejak itu ruangan menjadi seperti tak berpenghuni. Nora hanya menatap Diva dengan linangan air mata, Diva menceritakan semuanya setelah dia sadar. Echa pun sama. Rasa haru dan bahagia terkumpul jadi satu di dalam dada mereka. Meskipun awalnya sangat terkejut, bahkan Nora sempat pingsan beberapa menit sebelum disadarkan oleh Kevin dengan cara yang ekstrem. Tidak ada seorang pun yang menyadarkan orang pingsan dengan cara menciumnya sampai orang itu sadar. Sialan memang, tapi dia mengakuinya jika cara itu sangat efektif untuknya. Entah untuk yang lain. Sementara Echa lebih kuat. Meskipun sama terkejut dengan Nora, tapi dia tidak sampai pingsan. Dia hanya menangis sesenggukan melihat Diva yang duduk di pangkuan Juna, persis seperti yang dibayangkannya selama ini. Tak mungkin Juna membiarkan Diva duduk sendiria
Meskipun amnesia, satu yang tidak berubah dari Diva. Dia memakan apa saja, tapi tubuhnya kasih tetap langsung seperti dulu. Untuk yang satu itu, nira dan Echa sudah sering menanyakannya, tapi mereka tidak mendapatkan jawaban. Sampai sekarang, saat mereka bertanya, Diva tetap tak bisa menjawabnya. "Lo udah bikin kita kesal, Va. Masa lo ingat sama dua nyebelin itu, terus sama kita nggak ingat?" tanya Nora memprotes. "Yang duluan sahabatan sama lo itu, 'kan, kita berdua, bukan mereka. Iya. 'kan, Cha?" Echa mengangguk membenarkan perkataan Nora. "Yang jadi best friend lo duluan itu kita, bukan mereka berdua!" Dia menunjuk Kevin dan Arsyi yang duduk di depan televisi. Entah apanyang mereka bicarakan, dilihat dari wajah ketiganya yang serius sepertinya mereka membicarakan hal yang penting. Diva meringis. "Maaf," ucapnya tak enak. "Nggak tau kenapa tadi pas bilang sayang ke Juna gitu aku jadi ingat mereka berdua.""Anehnya lo kasih belum ingat Juna sepenuhnya?" Diva mengangguk menjawab p
"Jadi, beneran, nih, Mama sama Papa nggak jadi pulang besok?" Sekali lagi Diva bertanya untuk memastikan. Sudah malam, sebentar lagi akan tiba jam makan malam. Diva sudah kembali ke rumahnya sejak satu jam yang lalu setelah menghabiskan waktu hampir seharian di apartemen Kevin. Sungguh, ini menjadi hari yang sangat mendebarkan baginya. Beberapa kali dia harus menahan rasa sakit yang menusuk di kepala saat ada kepingan ingatan yang memasuki otaknya. Mereka pulang sore hari, berpencar, dan membiarkan Kevin bersama Nora. "Terpaksa, Sayang. Urusan Papa lanjut di luar negeri gimana, dong? Masa Mama pulang sendiri? Takut Mama."Diva memutar bola mata bosan mendengar alasan Mama yang tidak masuk akal menurutnya. Kenapa Mama harus takut di kereta atau di pesawat sendirian? Jika dia berani dari Amerika ke sini sendirian, berarti Mama kalah dengan putrinya sendiri. Alasan terlalu dibuat-buat Mama membuatnya lapar, untungnya setelah menjawab panggilan Mama, dia akan langsung makan malam. Tak
Diva sendiri yang menyiapkan makan malam mereka. Seperti perkataannya saat di telepon Mama tadi, sepuluh tahun hidup sendiri di negeri orang membuatnya mandiri. Dia terbiasa melakukan semuanya sendiri, bahkan berobat ke rumah sakit pun dilakukannya sendiri. Padahal dulu dia masih berusia belasan, dan dalam keadaan amnesia. Tidak ada seorang pun yang dikenal dan dapat dipercaya, tetapi dia tetap melakukannya. Tak hanya pada pemeriksaan rutin, saat ada ingatannya yang memasuki kepala juga seperti itu. Dengan sambil memegangi kepala dia berlari dari apartemennya menuju stasiun kereta, dan tiba di rumah sakit dalam keadaan nyaris tak bertenaga. Beberapa kali hal itu pernah terjadi padanya, sehingga saat mengalami sakit kepala yang teramat bahkan sampai membuatnya pingsan, dia sudah biasa-biasa saja. "Besok kamu perginya pagi apa siang?" tanya Diva setelah nasi goreng di piringnya habis.Juna mengedikkan bahu. "Aku masih belum tau, Be. Jadwalnya ada sama Kevin." Juna belum menghabiskan
Hari masih pagi, matahari belum menampakkan diri. Juna sudah berada di dalam pesawat yang akan membawanya menuju Swiss, bahkan ia tidak sempat untuk pamit pada Diva. Tadi malam ia pulang tengah malam setelah Diva bisa ditinggalkan. Well, jangan berpikir jika malam ciuman panas mereka berakhir di atas ranjang. Ia tidak meneruskannya. khawatir jika benar-benar tidak bisa mengendalikan diri, dan memilih untuk menghabiskan sisa waktu sebelum pulang dengan mengobrol bersama Pak Dudung dan Bik Asih, tak hanya bersama Diva. Pukul dua dinihari, saat ia baru beberapa menit memejamkan mata, yang terhormat Nyonya Barbara Dirgantara meneleponnya, memberitahu jika pesawat yang menjemputnya akan segera tiba. Mommy memintanya untuk segera bersiap agar setelah pesawat pribadi keluarganya itu tiba, ia langsung berangkat saja. Tak ada protes, apa yang dikatakan Mommy adalah perintah. Dengan sangat terpaksa ia kembali bangun, membatalkan rencananya untuk tidur, dan menghubungi Kevin. Ia meminta untuk
"Tante Barbara?" ulang Diva dengan alis berkerut. Echa mengangguk. "Lo ingat, nggak, sama nyokapnya Juna, Va?" tanyanya. "Dia sayang banget sama lo. Gue sampai-sampai iri liat tas limited edition yang lo punya." Salah satu kenangan sebelas tahun lalu yang masih diingatnya. Diva memiliki banyak sekali barang-barang branded hadiah dari mamanya Juna, barang yang nyaris semuanya tidak dijual di sini. Tak mungkin dia mendapatkan. barang seperti itu sementara tidak di jual di dekatnya. Orang tuanya juga tidak sedang ada urusan ke luar negeri. Sekali waktu mereka ke luar, barang yang diinginkannya sudah tak lagi dijual, sudah habis dan tidak diproduksi lagi. Bukankah itu sangat menyebalkan? Diva mencoba untuk memutar ingatannya. Siapa tahu ingatan tentang ibunya Juna ada tertinggal di otaknya. Namun, dia tetap tidak menemukannya. Yang ada hanya seorang wanita berambut pirang dengan wajah yang samar. Diva meringis, kepalanya menggeleng. Dia tidak dapat mengingatnya. "Nggak ingat," jawabnya.
Keadaan hening di meja Diva dan sahabat-sahabatnya. Sejak kedatangan Natasya Queena, dan wanita itu bergabung di meja mereka, atmosfer berbeda langsung mereka rasakan. Seandainya saja Tasya peka, tak mungkin dia mau duduk di meja yang sudah diisi tiga orang wanita itu. Sayangnya, tidak ada kepekaan dalam dirinya membuatnya bisa duduk dengan tenang sambil memakan bubur ayam pesanannya, sementara ketiga wanita lainnya menutup rapat mulut mereka. Hanya sesekali terdengar mereka menghela napas panjang dan sedikit berat, seolah udara di sekitar mereka menipis. Sejak dulu, di antara kedua sahabat Diva, selalu Nora menjadi yang paling galak. Jika ada yang mengganggu salah satu dari mereka, dia yang maju duluan. Bukan merasa sok jago, tetapi karena memang dia peduli pada sahabat-sahabatnya. Seandainya saja Echa tidak melarangnya dengan memasang tampang memelas habis-habisan, pasti Tasya akan dihajar olehnya. Selain itu, dia tak ingin membuat masalah di warung ini. Bisa-bisa semua pelanggan
Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s
Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da
Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons
Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di
"Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam
Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas
Senyum puas tercetak di bibir sexy Juna. Akhirnya, tetapi ini baru awal karena ia tidak akan berhenti sampai Hilda membusuk di penjara. Ponselnya berbunyi, Juna yang ingin mengomentari perkataan Arsyi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk meraih ponsel dari kantong kemeja dan memeriksa siapa yang menghubunginya. Nama ayahnya tercinta tertera di layar. Juna kembali tersenyum, orang yang ditunggunya sudah tiba. Cepat ia menggulir ikon hijau ke kanan, menjawab panggilan itu. "Where are you? Nggak ada di rumah."Ternyata bukan Daddy, tetapi Mommy yang menggunakan ponsel ayahnya untuk menghubunginya. Ataukah ia yang salah membaca nama si penelepon? Alis Juna mengernyit, ia menjauhkan ponsel dari telinga guna memeriksa. Benar, ini nama ayahnya. Berarti benar Mommy yang menggunakan ponsel Daddy."Juna di rumah Helen, Mom!" sahut Juna sambil berdiri, melangkah keluar ruang kerja Arsyi yang sedikit lebih sesak dari terakhir mereka berkumpul. "Meriksa bukti video sekali lagi. Kevin udah
Suara dari layar lebar berukuran satu kali setengah meter terdengar mendominasi di ruang kerja Arsyi. Sementara tujuh pasang mata menatap nyaris tak berkedip pada layar yang menampilkan adegan berlatar belakang sebuah restoran mewah. Seorang wanita cantik terus meracau dengan kata-kata yang masih bisa ditangkap dengan jelas arti dan maksudnya. Wanita itu berada di bawah pengaruh alkohol sehingga semua hal yang disembunyikannya rapat-rapat, terbongkar oleh mulutnya sendiri. Tayangan berdurasi hampir satu jam itu berasal dari ponsel Juna yang dialihkan ke mesin proyektor. Tadi malam Kevin sudah menyalinnya ke dalam mikro film dan disket. Rencananya mereka akan memberikan disket kepada pihak berwajib sebagai bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh wanita di dalam layar tadi. "Kalo boleh gue jujur, sebenarnya gue agak kaget dia yang ngelakuin semuanya," komentar Nora setelah tayangan berakhir. "Gue emang nggak kenal sama dia, tapi selama yang gue liat dia cewek baik-baik. Maksudnya, p
Baiklah. Segala sesuatu memang bisa terjadi. Siapa pun orangnya bisa melakukan semua itu, tetapi untuk Hilda merupakan sebuah pengecualian. Ia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin. Sungguh, jika Kevin tidak melihat dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri, ia tidak akan memercayainya. Video berdurasi lebih dari tiga puluh menit itu diambil baru beberapa jam yang lalu. "Kayaknya sekarang dia masih belum sadar, masih pingsan di restoran tempat kita makan siang tadi." Kevin menatap Juna, meneguk ludah kasar melihat ekspresi tak terbaca di wajahnya. Mata karamel Juna memerah, tanda jika dia sedang menahan amarah. "Lu pasti juga nggak nyangka, 'kan, Vin, kalo yang kita cari selama ini adalah dia?" tanya Juna dengan gigi bergemeletuk. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis selembut Hilda bisa melakukan hal keji seperti itu, bahkan tanpa perasaan mengaku senang atas kabar meninggalnya Diva bersama bayinya. Hilda benar-benar seorang psikop