Dari nada bicaranya yang selalu tak bersahabat dan terdengar kesal setiap kali menyebut namanya, Diva dapat menyimpulkan jika wanita yang bernama Tasya ini tidak menyukainya. Jadi, nalurinya yang mengatakan jika Tasya bukanlah temannya adalah benar. Tasya bukan temannya, dia adalah musuhnya. Mungkin lebih tepatnya adalah saingannya. Tatapan Tasya seperti tatapan putri kecil Helen. Menusuk. "Jangan asal ngomong lo, ya!" Nora mulai naik pitam. Dia nyaris berdiri dari duduknya jika Diva tidak menahan lengannya. "Wajar lah kita tabur bunga di makam sahabat kita. Emangnya lo yang nggak punya sahabat lagi?" tanya Nora pedas. Dia tersenyum mengejek. Siapa pun orangnya, jika dia adalah salah satu siswa Angkasa pasti mengetahui, dan kemungkinan besar ikut mentertawakan saat Tasya ditinggalkan oleh dua orang yang diakuinya sebagi sahabat. Keduanya meninggalkan Tasya dengan meninggalkan kata-kata pedas yang menohok. Mereka mengatakan, mereka bukanlah pembantu Tasya, dan mereka sudah lelah dis
"Astaga! Tuh, cewek asli nyebelin banget!" Nora mengepalkan kedua tangannya gemas. "Lo tadi kenapa ngelarang gue buat jambak dia, sih, Va?" tanyanya pada Diva dengan bibir mengerucut kesal. "Lo ngapain nyalahin Diva?" Echa yang bertanya. "Bener apa kata Diva, ngapain kita ngeladenin si Tasya, yang ada kita jadi gila juga sama kayak dia.""Tapi, 'kan, gue kesel sama dia, Cha!" Nora membelalak. Echa menjadi pelampiasan kekesalannya, dia melemparinya dengan bantal sofa. "Masa dia ngancam Diva biar nggak dekat-dekat Juna. Lah, dia siapa? Teman Juna bukan, sahabat bukan, pacar bukan, istrinya apalagi. Hak dia apa ngelarang-ngelarang kayak gitu? Yang pacar Juna, 'kan, Diva bukan dia!" "Gue juga kesal kali, Ra, tapi nggak gini amat!" Echa membelalak. "Gue nggak ngejadiin lo sebagai pelampiasan!" Dia balas melemparkan bantal-bantal sofa yang diterimanya dari Nora, kembali pada wanita itu. "Kalian kenapa, sih?" tanya Diva bingung. "Jangan kayak anak kecil, deh, hang suka perang bantal." Dia
Juna yang terus berada di sisi Diva tak memungkinkan ada celah yang bisa digunakan untuk mendekatinya. Pasti karena itu alasan orang itu meneror Diva. Jika digabungkan dengan kejadian-kejadian sebelumnya, di mana Juna mendapatkan informasi dari Tasya yang memberi tahu ada seorang gadis berkacamata berdiri di depan mading sekolah saat semua kelas tengah sibuk dalam proses belajar-mengajar. Tasya sendiri melihatnya saat sedang menunggu guru yang masih belum memasuki kelas mereka, waktu itu. Dari keterangan Tasya dapat disimpulkan bahwa yang sudah menyebarkan fitnah atas Diva adalah gadis berkacamata yang merupakan salah satu siswa di sekolah mereka. Lalu, apakah pelaku penyebar fitnah dan teror adalah orang yang sama? Menurut Arsyi, iya. Sebab tidak bisa menjatuhkan Diva, membuatnya jelek di mata Juna sehingga Juna meninggalkannya, si pelaku kemudian mengirimkan pesan yang berupa teror dan ancaman pada Diva. Sayangnya, sampai sekarang pelaku kedua tindak kejahatan itu masih belum terun
Sepasang alis Diva berkerut, mencoba untuk menggali ingatannya yang tertidur. Ada beberapa yang diingatnya, tentang Arsyi. Entah di mana mereka waktu itu, yang pasti angin sedikit lebih kencang berembus. Sepertinya mereka berada di tempat yang tinggi, mungkin atap gedung sekolah. "Waktu itu di atap gedung sekolah, deh, kayaknya." Diva mengerutkan alis dan hidungnya, mencoba mengingat-ingat. "Ada Arsyi juga di sana, tapi nggak ada Kevin. Aku ingat Kevin pas kemaren dia bilang, dia yang sering ngejodoh-jodohin aku sama Juna pas kita masih sekolah." Diva meringis. "Terus pas di atap gedung, aku nggak tau kita lagi ngapain, yang pasti aku pernah minta tolong sama Arsyi buat jaga rahasia aku. Cuman rahasia apa, aku masih nggak ingat.""Rahasia lo dapat pesan-pesan ancaman sama teror itu, Va," ucap Nora. "Arsyi yang pertama lo kasih tau sama lo mintain bantuan. Habis itu baru lo ngasih tau kita berdua. Itu juga karena Arsyi yang maksa biar lo ada tempat curhat selain dia. Gue ingat pas Ars
"Kamu nggak apa-apa, 'kan, Be? Maaf, nggak sempat pamit sama kamu. Mommy nelpon pagi-pagi buta, minta aku siap-siap. Katanya, pesawat yang jemput aku bentar lagi dateng. Aku pergi jam empat pagi."Diva tetap cemberut meskipun Juna sudah menjelaskan alasannya kenapa tidak pamit padanya. Pipinya menggembung, bibir mengerucut. Tak peduli akan disebut anak kecil, dia hanya ingin menumpahkan kekesalannya pada pria yang saat ini terhubung melalui panggilan video, dengannya. Pukul sebelas siang, saat dia baru keluar dari kamar mandi. Sebab tak ada siapa pun yang membangunkannya, dia terlambat bangun hari ini. Ketika membuka mata, melihat ke jam dinding ternyata sudah lewat pukul sepuluh pagi. Padahal tadi malam dia tidak begadang, tidurnya di jam seperti biasa. Namun, tetap saja dia bangun lebih siang. "Mau nelpon kamu, tapi aku nggak mau ganggu kamu lagi tidur.""Tapi, seenggaknya kamu bisa kirim pesan, 'kan?" protes Diva. Ini adalah kalimat pertama sejak mereka terhubung beberapa menit ya
Seandainya saja pertemuan ini bisa diwakilkan atau lebih bagus lagi tidak dihadiri, ia pasti sudah melakukannya. Tidak akan pergi ke tempat yang jauh dari wanitanya. Melihat Diva menangis membuat dadanya terasa sesak juga. Juna menarik napas panjang, mendiamkannya beberapa detik di paru-parunya yang terasa kosong, membuangnya kembali setelah dirasa paru-parunya sudah terisi. "Maafin aku, Be, aku juga nggak pengen ada di sini." Juna mengusap wajah kasar. "Jangan nangis lagi, dong, Baby, ntar kamu makin cantik. Aku nggak mau ada saingan." Delikan mata Diva yang berair sedikit menghiburnya. Wanitanya tampak semakin menggemaskan. Seandainya Diva berada di sini, sudah pasti akan dipeluknya tubuh mungil itu."Apaan, sih, Juna! Ngehiburnya nggak banget!" Tawa Juna pecah melihat belalakan mata cokelat gelap itu. "Maksudnya apa, ya, Baby?" tanyanya dengan menekankan kata baby. Ia sengaja, Diva terlihat semakin menggemaskan jika cemberut. Tingkahnya masi
Swiss dan cokelat yang bersalju. Di akhir tahun hanya itu yang diingat Juna saat ia masih kecil. Kedua orang tuanya sering mengajaknya ke Titlis untuk liburan. Biasanya mereka menghabiskan waktu satu minggu di sana kemudian kembali ke New York untuk menghabiskan liburan musim dingin dan merayakan natal. Kembali lagi ke Jakarta setelah pergantian tahun. Namun, saat ini ia tidak sedang berlibur, melainkan bagian dari pekerjaan. Seperti yang dikatakannya pada Diva saat panggilan video mereka tadi pagi, siang sampai tiba makan malam, ia bersama Kevin dan kedua orang tuanya beserta asisten pribadi mereka masing-masing menghadiri pertemuan yang membahas masalah pekerjaan mereka. Sebenarnya ia tidak menyukainya, tetapi karena hanya para pebisnis yang memiliki pengaruh besar saja yang diundang, maka ia menghadirinya. Kata Kevin, ini sebuah kehormatan. "Ada yang mau Juna omongin nanti sama Mommy sama Daddy." Juna mengakhiri obrolan makan malam mereka dengan sebuah kalimat yang membuat Arsen
"Jangan lagi dekat dengan perempuan itu!"Kata-kata itu membuat Juna bagaikan tersambar petir. Dengan cepat ia menoleh ke arah Mommy yang berlinangan air mata. "Mommy nggak suka, dia udah bikin Mommy hampir kehilangan kamu." Barbara menggenggam erat tangan Juna, kepalanya menggeleng. "Jauhi dia!" pintanya dengan tatapan tak terbantahkan.Juna menggeleng. Ia sedang bermimpi, 'kan? Tak mungkin Mommy memintanya untuk menjauhi Diva. Iya, benar, ia sekarang pasti sedang bermimpi. Mommy sangat menyayangi Diva, dan menganggapnya seperti putrinya sendiri, tidak mungkin Mommy tidak menyetujui hubungannya dengan Diva. "Just leave her!" Suaranya bergetar hebat. Barbara terisak. Dia masih ingat bagaimana putranya setelah kepergian perempuan itu. Juna frustasi, beberapa kali mencoba untuk bunuh diri. Bayangkan apa yang terjadi seandainya percobaan bunuh diri itu berhasil, kematian Juna akan sia-sia karena ternyata Diva belum meninggal. Bukankah itu sangat keterlaluan? Sebagai seorang Ibu, dia be
Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s
Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da
Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons
Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di
"Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam
Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas
Senyum puas tercetak di bibir sexy Juna. Akhirnya, tetapi ini baru awal karena ia tidak akan berhenti sampai Hilda membusuk di penjara. Ponselnya berbunyi, Juna yang ingin mengomentari perkataan Arsyi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk meraih ponsel dari kantong kemeja dan memeriksa siapa yang menghubunginya. Nama ayahnya tercinta tertera di layar. Juna kembali tersenyum, orang yang ditunggunya sudah tiba. Cepat ia menggulir ikon hijau ke kanan, menjawab panggilan itu. "Where are you? Nggak ada di rumah."Ternyata bukan Daddy, tetapi Mommy yang menggunakan ponsel ayahnya untuk menghubunginya. Ataukah ia yang salah membaca nama si penelepon? Alis Juna mengernyit, ia menjauhkan ponsel dari telinga guna memeriksa. Benar, ini nama ayahnya. Berarti benar Mommy yang menggunakan ponsel Daddy."Juna di rumah Helen, Mom!" sahut Juna sambil berdiri, melangkah keluar ruang kerja Arsyi yang sedikit lebih sesak dari terakhir mereka berkumpul. "Meriksa bukti video sekali lagi. Kevin udah
Suara dari layar lebar berukuran satu kali setengah meter terdengar mendominasi di ruang kerja Arsyi. Sementara tujuh pasang mata menatap nyaris tak berkedip pada layar yang menampilkan adegan berlatar belakang sebuah restoran mewah. Seorang wanita cantik terus meracau dengan kata-kata yang masih bisa ditangkap dengan jelas arti dan maksudnya. Wanita itu berada di bawah pengaruh alkohol sehingga semua hal yang disembunyikannya rapat-rapat, terbongkar oleh mulutnya sendiri. Tayangan berdurasi hampir satu jam itu berasal dari ponsel Juna yang dialihkan ke mesin proyektor. Tadi malam Kevin sudah menyalinnya ke dalam mikro film dan disket. Rencananya mereka akan memberikan disket kepada pihak berwajib sebagai bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh wanita di dalam layar tadi. "Kalo boleh gue jujur, sebenarnya gue agak kaget dia yang ngelakuin semuanya," komentar Nora setelah tayangan berakhir. "Gue emang nggak kenal sama dia, tapi selama yang gue liat dia cewek baik-baik. Maksudnya, p
Baiklah. Segala sesuatu memang bisa terjadi. Siapa pun orangnya bisa melakukan semua itu, tetapi untuk Hilda merupakan sebuah pengecualian. Ia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin. Sungguh, jika Kevin tidak melihat dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri, ia tidak akan memercayainya. Video berdurasi lebih dari tiga puluh menit itu diambil baru beberapa jam yang lalu. "Kayaknya sekarang dia masih belum sadar, masih pingsan di restoran tempat kita makan siang tadi." Kevin menatap Juna, meneguk ludah kasar melihat ekspresi tak terbaca di wajahnya. Mata karamel Juna memerah, tanda jika dia sedang menahan amarah. "Lu pasti juga nggak nyangka, 'kan, Vin, kalo yang kita cari selama ini adalah dia?" tanya Juna dengan gigi bergemeletuk. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis selembut Hilda bisa melakukan hal keji seperti itu, bahkan tanpa perasaan mengaku senang atas kabar meninggalnya Diva bersama bayinya. Hilda benar-benar seorang psikop