“Ada gila-gilanya kan pikiran Gama? Apa … dia lagi riset untuk film dia yang berikutnya?” Aileen mendengkus kesal, masih tidak habis pikir dengan ucapan Gama malam sebelumnya.
Kemala—sahabat Aileen sejak SMA yang juga mengenal Gama—tergelak mendengar cerita Aileen. Masih terlalu absurd banginya mendapati Gama melamar Aileen dengan cara seperti itu. Tapi … apa kejadian itu bisa disebut ‘melamar’?
“Mungkin dia emang udah ada rasa sama kamu dari dulu. Kamu aja yang selama ini nganggep dia kayak musuh.”
“Ada rasa dari mana?” Aileen menepis ucapan Kemala sambil menggelengkan kepala dengan raut wajah geli.
“Tapi sebenernya sweet banget sih, Leen. Ngelamar dengan cara yang … beda gitu.”
Aileen mendelik kesal. Lamaran apa? Itu hanya trik Gama untuk mencuri ciuman darinya. Lagi-lagi Aileen ingin mengumpat jika mengingatnya. Kenapa juga dia bisa mematung saat Gama melakukannya?
“Selain ngelamar, apa lagi yang dilakuin Gama semalem? Kalo ngelihat gimana impulsifnya dia … kayaknya nggak cuma itu deh.”
“Nggak ada,” jawab Aileen singkat. Tidak akan ia biarkan siapa pun tahu tentang kebodohannya dalam menghadapi Gama, sekalipun itu sahabatnya sendiri.
Kemala yang sudah mengenal Aileen satu dekade belakangan, tentu tahu kapan Aileen berdusta dan berusaha menutupi sesuatu. Namun ia membiarkannya kali ini, pasti sesuatu yang sangat privasi kalau sampai Aileen merahasiakannya. “Tapi jujur deh, Leen. Gama memang nggak seburuk itu kan? Panteslah buat dibawa sebagai calon suami. Tampang oke, pekerjaan oke, apa yang kurang—”
“Manja. Kamu nggak inget dia itu si anak mami yang manja.”
“Ya wajarlah, Leen. Kamu tau apa yang udah dia lewatin sampai jadi begitu. Tapi kan bukan berarti dia nggak bisa imam—” Kemala menahan ledakan tawanya saat melihat Aileen menunjuknya dengan jari telunjuk, memerintahnya untuk berhenti bicara. “Whatever-lah. Imam, pemimpin, atau apa pun bahasanya. Yang jelas dia seorang produser yang sukses. Itu aja udah bisa buktiin kalau dia bisa memimpin. Mimpin kru puluhan orang aja bisa, apalagi berkeluarga.”
“Ya beda dong, Mal. Mana bisa produksi film disamain sama pernikahan. Denger ya, produksi film itu cuma temporer. Kalau filmnya meledak di pasaran ya syukur. Tapi kalau ternyata filmnya gagal, ya … cuma kehilangan duit. Nama baik bisa dipulihkan dengan banyak alasan. Tapi pernikahan? Itu untuk seumur hidup. Kalau gagal—”
“Kalau berhasil? Ya jangan dipikirin gagalnya dong, Leen.”
“Aku cuma mau cerita gimana kelakuan absurd Gama, bukannya mau minta pendapat—aku harus jawab apa ke Gama.” Aileen menyesap ice americano yang sudah tidak terlalu dingin lagi. Es batu di dalam gelas sudah mencair semua. Ternyata selama itu mereka berdua bicara. “Kayaknya aku salah deh ke sini, curhat sama kamu.”
“Iya, kayaknya kamu salah deh ke sini sekarang,” ujar Kemala sambil menatap layar ponselnya yang baru saja menunjukkan pop up notification chat dari atasannya. “Gama sama timnya mau ke sini, aku diminta bos buat nyambut mereka di lobby.”
“Hah?” Untuk sedetik, Aileen lupa kalau ia sedang mengunjungi Kemala di kantornya yang merupakan sebuah kantor model agency and artist management.
Produser dan kantor model agency and artist management, sekarang Aileen bisa menghubungkan keduanya. “Kenapa nggak bilang dari tadi sih kalo Gama mau ke sini?”
“Aku juga nggak tau, mungkin ada rencana bisnis dadakan, si bos barusan bilang.”
“Aku cabut dulu deh.”
“Takut ketemu?” ledek Kemala yang masih merasa ingin tertawa membayangkan adegan Gama melamar Aileen.
“Males. Bedain ya antara males ketemu sama takut ketemu.”
“Iya deh iya.” Kemala berdiri lebih dulu. “Mau bareng ke depan nggak? Aku mesti nunggu Gama sama timnya di lobby depan.”
Meski bersungut kesal, Aileen berdiri dan mengekor Kemala. Harusnya ia tadi memarkir mobilnya di basement, bukan di dekat lobby. Sekarang, mau tidak mau Aileen harus melewati lobby untuk menuju mobilnya. Tapi semakin cepat ia pergi dari tempat itu, semakin besar kemungkinannya untuk menghindar dari Gama.
Tidak lebih dari sepuluh langkah lagi, Aileen akan tiba di pintu lobby, tetapi langkahnya terhenti saat mengenali salah satu dari beberapa orang yang baru saja masuk.
Dengan refleks, Aileen balik badan, berharap sosok itu tidak sempat menyadari kehadirannya. Aileen harus mencari tempat sembunyi. Ya, lebih baik ia sembunyi dulu.
“Aileen!”
“Shit!” Bukan Kemala yang memanggilnya dan tidak mungkin suara baritone itu berasal dari security di dekat pintu lobby. Ini bukan kantornya, siapa yang mengenali dirinya selain … laki-laki yang sedang ia hindari.
Berpura-pura tidak mendengar dan tidak terjadi apa-apa, Aileen melanjutkan langkahnya. Ia bisa kembali ke dalam coffee shop yang ada di sudut lobby, memesan sesuatu, agar tidak kentara kalau ia benar-benar sedang menghindari Gama.
“Leen.”
Aileen terpaksa berhenti dan menoleh cepat saat pergelangan tangannya dicekal seseorang. “Apa sih?”
“Mal, duluan aja sama timku yang lain, aku nyusul bentar lagi. Dimulai aja dulu meeting-nya nggak apa-apa.” Bukannya menjawab pertanyaan Aileen, Gama justru memberi intruksi kepada Kemala yang ia tahu sedang menjemput dirinya dan tim di lobby.
Kemala mengangguk sambil menahan semburan tawanya melihat Aileen dengan wajah memerah, entah marah atau menahan malu. “Ok, ketemu di atas ya, kontak aja kalau bingung di mana ruangannya.”
“Siip.” Sekarang Gama baru bisa memusatkan perhatiannya kepada Aileen. “Ngobrol bentar dulu yuk, Leen.”
“Ogah. Mau balik ke kantor.”
“Sebentar doang.”
“Nggak ada yang perlu diobrolin, Gam. Lagian kan kamu mau meeting.”
“Ayolah, Leen. Itung-itung ganti cola semalem.”
“Hah?” Gimana? Cola yang semalem? Kamu minta ganti? Pelit amat sih!” bentak Aileen sambil mengeluarkan uang dari dompet yang sejak tadi ditentengnya. “Nih! Bisa buat beli sekardus. Katanya produser sukses—”
“Aku nggak butuh uangmu, Leen. Aku cuma minta waktu sebentar. Semalam aku juga ngasih waktuku buat nemenin kamu minum cola.” Gama cengengesan melihat Aileen meledak-ledak.
“Nemenin minum cola tapi dapet plus-plus.”
Gama mengusap tengkuknya dengan salah tingkah. “Ehem! Nggak usah diperjelas dong, Leen. Jadi malu. Lagian kalimatmu mesti diralat deh. Dapet plus aja, kan cuma kissing, nggak plus yang lain lagi.”
Aileen menatap Gama dengan tatapan membunuhnya. Semakin benci saja Aileen dengan Gama sejak apa yang Gama lakukan malam sebelumnya. Bukan karena ciuman Gama yang Aileen harus akui so damn good itu, melainkan karena Gama mampu menguasainya untuk beberapa saat dan membuat otaknya berhenti bekerja.
“Lima menit. Aku ada meeting,” putus Aileen akhirnya. Ia sepertinya tidak akan kuat bertahan menghadapi Gama lebih dari lima menit.
“Ok, minggir dulu ke sofa situ yuk, atau kamu pilih jadi perhatian orang?”
Aileen mendengkus kesal sebelum akhirnya berjalan lebih dulu menuju two seater sofa di seberang resepsionis.
“Mau ngomong apa? Empat menit tiga puluh lima detik lagi.”
“Kayaknya kita jodoh deh. Rumah orang tua kita sebelahan, unit apartemen kita sebelahan, dan siang ini kita ketemu lagi setelah semalem kita kissing, bukannya … ini jodoh ya?”
Bibir Aileen terbuka, lalu tertutup lagi karena kesulitan menyampaikan apa yang menjejali otaknya. Ucapan Gama itu menurut Aileen lebih absurd daripada tawaran Gama untuk mengenalkannya sebagai calon suami. Saking kesalnya Aileen, ia memukul lengan Gama berkali-kali dengan dompetnya. “Gini nih kalo kebanyakan bikin film, di otak kamu itu isinya cerita fiksi semua. Nggak bisa dinalar akal sehat.”
Gama terkekeh geli, mencoba menahan diri untuk tidak mencubit pipi Aileen. Bisa-bisa benda yang digunakan Aileen untuk melancarkan serangan berikutnya bukan lagi dompet melainkan high heels.
“Cerita fiksi juga banyak yang terinspirasi dari kisah nyata, Leen. Dan nggak menutup kemungkinan di kehidupan nyata, orang-orang terinspirasi dari cerita fiksi. Yang mana pun itu, asal ending-nya bahagia, apa kamu nggak pengen nyoba?”
Aileen bergidik, bulu-bulu halus di tengkuknya berdiri begitu mendengar perkataan Gama. “Time’s up.” Ia berdiri dan melangkah pergi.
“Leen. Jadinya gimana?”
Aileen hanya menoleh sambil memutar jari telunjuknya di ujung pelipis, yang merupakan simbol untuk mengumpati seseorang yang dirasa gila.
Gama tergelak. “Weekend ini kan?” godanya yang sudah tidak dipedulikan Aileen.
“Leen, ada vice presdir mau ketemu.”Aileen mendelik kesal ke arah Vania yang baru masuk ke ruangannya dan berdiri tidak jauh dari pintu. “Masih idup dia?”“Karena belum kamu bunuh, ya … dia masih berkeliaran dengan bebas.”“Ck!” Aileen berdecak kesal. Kalau bukan karena egonya untuk memberi pelajaran kepada Bara, ia tidak akan membiarkan Bara menginjakkan kaki di gedung milik papanya sejak detik ketika dia tahu kalau Bara telah main serong.“Gimana? Mau ketemu nggak? Atau … biarin aja dia masuk ke sini. Kita siksa dia berdua. Rasanya gatel juga mau nyiksa dia.”“Nggak mau ah. Bilang aja aku lagi super sibuk, bisa makan orang kalo diganggu.”“Ok.” Vania pasrah dengan keinginan Aileen, lagipula memang tugasnya sebagai sekretaris untuk mengkondisikan apa yang Aileen minta. Namun belum sempat Vania keluar dari ruangan Aileen, pint
“Ada masalah, Kak?”Aileen menggeleng pelan kala mendengar bisikan papanya saat rapat akan dimulai, padahal setengah mati Aileen menahan diri untuk tidak mengangguk sekaligus mengatur emosinya agar tidak menendang Bara dari ruang rapat. Aileen bahkan telah mempertimbangkan untuk berpindah posisi agar tidak duduk berhadapan dengan Bara, namun akan terlihat mencurigakan kalau ia yang biasa duduk di sisi kanan papanya tiba-tiba berpindah tempat duduk.Sementara Bara mencoba untuk bersikap tenang. Ia sudah meminta Erika untuk tidak menemaninya pada rapat dewan direksi siang itu demi menjaga mood Aileen yang sedang tidak baik. Kalau Aileen terus-terusan merajuk seperti itu, ia akan memecat Erika kalau hal itu bisa mengembalikan Aileen ke dalam pelukannya. Lagipula ia bukannya jatuh cinta setengah mati kepada Erika. Body Erika memang selalu menjadi godaan tersendiri untuknya, tapi kalau bisa memutar waktu, ia tidak akan selingkuh dengan Erika …, setidaknya ia tidak akan mencumbu Erika di ap
“Pa, Ma!” Aileen sampai harus menyadarkan kedua orang tuanya yang membisu setelah ia mengatakan bahwa Gama adalah calon suami yang dipilihnya.Jelas Naren dan Rhea hanya bisa terdiam sambil mencerna apa yang baru saja didengarnya. Memang Aileen dan Gama selalu satu sekolah, kecuali setelah kuliah. Namun setahu mereka, hubungan Aileen dan Gama merenggang sejak Aileen merasa kalau Gama adalah saingan terberatnya untuk meraih prestasi.Lantas bagaimana mungkin anak sulung mereka bisa menjalin hubungan dengan tetangga sebelah rumah? Sejak kapan mereka berhubungan? Kapan mereka meluangkan waktu untuk bertemu? Banyak pertanyaan yang membuat Naren dan Rhea setengah tidak percaya dengan pernyataan anak sulung mereka itu.“Kenapa kamu masih pake piyama gitu kalo mau ngenalin calon suami kamu, Kak?”Aileen seketika menunduk dan mengamati pakaian tidur yang masih dikenakannya. Niatnya semula hanyalah untuk mengusir Bara dari rumah, siapa sangka ia malah menjebloskan diri sendiri ke dalam umpan y
“Tadinya Papa mau jodohin kamu sama Bara, Kak.”Aileen, Gama, dan kedua orang tua Aileen telah berkumpul di ruang kerja setelah Bara pamit pulang dengan raut wajah tidak terima karena harus pulang lebih dulu dan menyerahkan posisinya sebagai pasangan Aileen kepada laki-laki yang muncul tiba-tiba di hari itu. Tapi demi apa pun, Bara tidak berani bertahan di sana dengan tatapan Aileen yang mematikan.“Kenapa?” tanya Aileen setengah penasaran. Kenapa tidak dari dulu ia dijodohkan dengan Bara? Kalau begitu kan kemungkinan ia bisa meresmikan hubungannya dengan Bara jauh-jauh hari.‘Trus pas udah nikah, diselingkuhin! Mirip kayak cerita novel sama sinetron.’ Tiba-tiba Aileen tersadar dengan pemikirannya sendiri. Bukan masalah waktu. Justru mengerikan kalau ia telah menikah dengan Bara dan berakhir dengan diselingkuhi.“Ya … Bara kandidat yang cocok menurut Papa.”“Apa bagusnya Bara sih, Pa?” Aileen mendengkus kesal karena ternyata papanya pernah mempertimbangkan Bara sebagai pendamping untu
“Aileen, diminum dulu,” tegur Gama saat memperhatikan Aileen—yang sejak mereka menginjakkan kaki ke dalam cafe—hanya melamun sambil menatap ke luar café.“Hah?”“Diminum dulu, Sayang.”Aileen dengan refleks menggerakkan kaki untuk menendang tulang kering Gama ketika mendengar laki-laki itu memanggilnya ‘Sayang’.Gama hanya mengernyitkan kening sambil menahan geraman kesakitannya. “Jangan kasar sama calon suami, Leen.”Memutar kedua bola matanya dengan malas, Aileen mendengkus pelan. “Ada cara nggak untuk ngebatalin semuanya? Maksudku … aku kemaren cuma berniat untuk lepas dari Bara. Aku nggak mau Bara cerita tentang hubunganku dulu sama dia ke orang tuaku. Aku nggak tau kalau semuanya malah semakin runyam.”“Kenapa harus dibatalin?” Kali ini Gama benar-benar serius menatap Aileen. Ia tidak ingin Aileen menganggapnya hanya bercanda meskipun Aileen belum bisa mempercayainya.“Kenapa harus diterusin kalau kita berdua sebenernya nggak ada perasaan apa-apa?”“Loh! Aku kan tadi udah ngaku d
“Sejak kapan kalian berhubungan?” tanya Alfa yang agak tidak percaya dengan permintaan izin dari adiknya. Adiknya itu, tidak bisa dibilang cupu dalam hal asmara, tapi bukan juga player yang berganti wanita seperti berganti celana dalam. Hanya saja, ini pertama kalinya Gama mengajak seorang perempuan untuk dikenalkan kepadanya, meskipun ia tahu kalau sebelumnya Gama pernah sangat mencintai seorang perempuan.“Jangan nanya sejak kapannya, Kak. Yang penting kan ke depannya gimana, aku serius atau nggak?”Alfa terlihat menimbang-nimbang sesaat sebelum akhirnya memilih beralih kepada Aileen. “Kamu mau Leen sama dia? Nggak salah pilih?”Aileen tersenyum tipis. Ia bahkan melemparkan pertanyaan yang sama untuk dirinya sendiri dan belum bisa menemukan jawaban, lantas bagaimana sekarang ia harus menjawab pertanyaan dari Alfa itu?“Kakak jangan bikin Aileen ragu lagi dong! Wanita karir itu nggak gampang diyakinin untuk diajak nikah.” Gama yang akhirnya menyahut demi menyelamatkan Aileen yang sed
"Kok aku deg-degan sih mau masuk ke kantormu, Leen.”Aileen merotasikan kedua bola matanya dengan malas. Ia berjalan beberapa langkah di depan Gama dan sengaja mempertahankan kecepatan langkahnya agar tidak perlu berjalan berdampingan dengan laki-laki itu. Namun, dalam sekejap Gama berhasil mensejajari langkahnya.“Sana, daftar dulu ke resepsionis.” Lagi-lagi sengaja Aileen mengisengi Gama.“Harus? Kan aku sama kamu. Masa nggak boleh masuk?” tanya Gama heran. Pasalnya ia tahu kalau Aileen bukan pegawai biasa. Aileen seorang direktur di perusahaan itu, ditambah lagi anak pemilik perusahaan. Mana mungkin Aileen tidak bisa ‘menyelundupkannya’ masuk. “Serius nggak bisa, Leen? Kamu kan orang dalem.”“Iiih! Peraturan ya peraturan, Gam!” Aileen berhenti di dekat swing barrier gate sambil menunjuk ke arah resepsionis dengan dagunya.Gama mendengkus pelan sebelum akhirnya pasrah berjalan ke depan meja resepsionis.Dari jauh Aileen menahan tawanya melihat Gama bersungut kesal sambil membuka dom
"Aku waktu itu lagi kehilangan arah. Bukan berarti kamu bisa macem-macem lagi ke aku. Kamu … mesti tau batasnya.”“Right. I’m sorry. Kupikir kamu lagi marah banget dan perlu ditenangin lagi.” Gama mundur, demi menjaga kewarasan otaknya. Namun, karena Gama tidak menjawab pertanyaannya tadi dan malah mempertahankan senyuman tengilnya, Aileen jadi ingin mencekik leher Gama.“Udah kan? Udah liat ruang kerjaku? Sana, pulang!”Bukannya menuruti perkataan Aileen, Gama memilih melemparkan diri ke sofa yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. “Aku lagi nggak ada kerjaan. Ibu nggak ada di rumah. Di apartemen sendirian. Bosen, Leen. Kamu kerja aja, aku nggak bakal ganggu.”“Mana ada orang kerja ditontonin?”“Nanti kalo aku lagi kerja, kamu boleh kok nontonin aku kerja,” balas Gama tidak ingin kalah.Aileen menggeleng pasrah. “Mau minum apa?”“Kamu duduk sini aja. Aku nggak haus.” Gama menepuk sisi sofa yang kosong di sampingnya. “Ada yang perlu aku omongin.”“Tadi katanya disuruh kerja, s
"Kamu serius?" Gama mengernyitkan kening setelah mendengar permintaan Aileen sore itu. Aileen mengangguk dengan wajah penuh harapnya. "Kenapa tiba-tiba?" Gama masih belum bisa menghilangkan rasa herannya. Meski memang sejak ada seorang putri menggemaskan di tengah-tengah mereka, Aileen jadi lebih lembut dan … hopeless romantic—kalau bisa Gama simpulkan dengan sebuah frasa. Dan Gama tidak pernah keberatan menghujani Aileen dengan keromantisan seperti yang diinginkan Aileen. "Pengen aja, Gam. Nggak mau ya?" Aileen tidak sadar kalau ia memperlihatkan rasa kecewanya karena Gama seakan menolak ajakannya. "Bukan nggak mau. Tapi semuanya pasti udah beda. Nggak bakal sama kayak dulu. Udah puluhan tahun kan." "Ya nggak apa-apa. Sekalian olahraga. Ya?" rengek Aileen. "Jarak segitu mana bisa disebut olahraga, Cinta. Kalau dulu aja kita kuat apalagi sekarang." "Tapi kan—” Aileen langsung terdiam saat Gama berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri. Ia akhirnya bisa terseny
“Kakek juga punya villa di Bandung, ngapain kita nginep di hotel?” Aileen mengerucutkan bibir kala mobil yang dikendarai sopir berhenti di depan sebuah hotel. Ya meskipun ia juga salah satu bisnis di bawah jaringan Candra Group, tetap saja ia lebih nyaman jika menginap di villa kakeknya. “Villanya Kakek lagi direnov kata Mama.” “Hah? Renov? Apanya?” “Cuma dirapi-rapiin aja dikit. Nanti kita ke sana kok, Mama minta tolong aku buat sekalian ngelihat hasilnya. Tapi sekarang kamu mesti istirahat dulu. Villa Kakek masih ke atas lagi kan, sekitar satu jam dari sini. Kita udah empat jam di perjalanan. Aku nggak mau kamu kecapekan, jadi kita mesti istirahat dulu.” “Iya kita lama di perjalanan itu karena kamu berkali-kali nyuruh sopir buat pelan-pelan.” “Kan biar Kakak nggak keguncang-guncang.” Aileen mengernyitkan kening. Kadang ia masih bingung dengan panggilan ‘Kakak’ yang disebut Gama. Pasalnya dari kecil pun ia dipanggil ‘Kakak’ oleh semua anggota keluarganya, termasuk mama dan papan
“Aku mau nikahin Aileen lagi.”Tiga orang di hadapan Gama—Ervin, Yara, dan Kemala—menatap Gama dengan bingung.“Maksudku, aku mau … semacam ngulang acara pernikahanku sama Aileen. Akad nikahnya sih nggak. Cuma perayaannya aja,” terang Aileen saat melihat ketiga orang di hadapannya benar-benar terlihat kebingungan. “Bisa bantu aku? Karena aku maunya ini jadi kejutan buat Aileen, aku nggak bisa nanya langsung dia maunya gimana. Kalian sebagai orang terdekat Aileen, pasti pernah dong denger gimana pernikahan impian Aileen.”“Emangnya itu bakal ngobatin sakit hatinya Kak Aileen?” sindir Ervin terang-terangan.“Mungkin nggak. Tapi aku mau mewujudkan pernikahan impian Aileen.”Gama sudah memikirkannya jauh-jauh hari. Mungkin ia tidak bisa mengobati sakit hati Aileen karena kelakuannya dulu yang menjadikan acara pernikahan mereka sebagai ajang balas dendam kepada mantan kekasihnya. Tapi setidaknya, ia ingin Aileen memiliki kenangan tentang acara pernikahan yang pernah Aileen impikan.“Jadi,
“Kak Beta, ini adeknya bisa dibawa pergi nggak? Apaan sih? Ngomong aneh-aneh,” gerutu Aileen. “Kamu pikir aku sejahat apa sampe bisa gugurin anakku …, kalau bener aku hamil. Aku bukan dia.”Gama menutup mulutnya, begitu juga dengan Beta yang entah mengapa merasa tersindir, padahal Aileen tidak berniat menyindir siapa pun. Ia hanya mengungkap fakta.“Kayaknya kalian perlu ngobrol. Aku tinggal ya, Gam. Kopermu nanti biar dianter orang ke rumahmu.” Beta lantas beralih ke Aileen. “Selamat ya, Leen. Jangan lupa cek lagi ke dokter.”Aileen hanya bisa mengangguk sambil menatap kepergian kakak iparnya itu. Ia masih malas melihat Gama yang ada di hadapannya, padahal berminggu-minggu sebelumnya ia benar-benar ingin bertemu dengan Gama.“Mau ke dokter sekarang? Kak Beta ada jadwal praktek jam dua. Tapi kalo kamu mau ke dokter lain, coba … biar aku tanya ke stafku di kantor, ada yang udah punya anak kok. Siapa tau dokter kandungannya bagus. Atau … tanya Mama—”“Gam.” Aileen menggeleng. “Jangan bi
"Gama!""Hm?"Kemala semakin menggeram kesal mendengar gumaman Gama. Jelas kalau Gama baru saja bangun tidur atau bahkan sekarang pun masih memejamkan mata setengah tidur."Lo tau kan kalo Aileen nggak enak badan? Lo tau kan kalo Aileen muntah-muntah?" sentak Kemala."Hm?""Bangun, Gam! Gue perlu ngomong serius sama lo."Aileen menatap kosong kepada Kemala. Ia sedang mengabaikan kenyataan bahwa Kemala sedang menghubungi suaminya karena ada kemyataan lain yang harus ia hadapi.Gama terkesiap. Ia kini benar-benar dalam mode siaga. "Aileen kenapa, Mal? Lo masih sama dia kan?""Udah gila ya lo? Denger istri lagi begitu bukannya pulang? Nggak mampu beli tiket lo? Apa urusan di sana lebih penting daripada istri lo?""Mal, Aileen kenapa?"Kemala masih berusaha menenangkan diri sambil mengatur napasnya. Di otaknya hanya ada sumpah serapah untuk Gama. Karena itu, ia tidak menjawab apa pun yang ditanyakan Gama. Fokusnya adalah mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada di kepalanya."Pulang lo pagi
“Kamu mau balik, Kak? Ngapain? Di rumah juga nggak ada orang kan.”“Kangen rumah, Pa,” jawab Aileen sembari ikut duduk di samping papanya dan bergelayut manja di lengan sang Papa.“Kangen rumah apa kangen suami? Belum pulang juga tuh si Gama? Emangnya nggak bisa nyempetin waktunya? Weekend gitu, pulang ke Jakarta sebentar. Cuma Kalimantan loh, bukannya Amerika.”“Masalah di tambang belum selesai, Pa. Kalo dia pulang, malah makin lama di sananya nanti,” jawab Aileen menenangkan sang Papa yang sepertinya mulai kesal.Apa itu artinya Aileen tidak kesal dengan suaminya?Jangan salah! Aileen juga kesal setengah mati karena Gama tidak kunjung pulang setelah satu bulan pergi ke Kalimantan. Kadang ia bahkan curiga kalau Gama memiliki perempuan lain di sana. Namun, sleep call yang mereka lakukan setiap malam tidak menunjukkan hal-hal yang mencurigakan."Ajak Bibi, atau Mbak, atau siapa pun dari sini, Kak. Mama sama Papa nggak tenang kalo kamu sendirian di rumah." Rhea menepuk punggung tangan A
“Dari mana lo yakin dia nggak akan balik lagi?” “Yakinlah, at least untuk sementara.” Kemala mengangguk pasti. “Kontraknya lima tahun. Lama ya tanda tangan kontraknya kalo diitung-itung, hampir satu tahun kan ya, setelah kalian depak dia dulu. Tapi sekarang lo bisa lega kan?” Aileen terkekeh. Memang lebih lama dari yang diperkirakannya. Ia dan Gama juga tidak terlalu mengurus kepindahan Arabella atau apa pun yang berkenaan dengan perempuan itu. Namun, pada akhirnya ada kepastian bahwa Arabella akan berkarir di luar untuk sementara waktu. Meski tidak ada yang namanya kontrak untuk selamanya. Suatu hari nanti, kemungkinan besar Arabella akan kembali lagi. Entah apa yang akan terjadi pada hubungannya dengan Gama ketika hal itu terjadi. Lima tahun lagi, mungkin saja hubungannya dengan Gama jadi lebih erat dengan hadirnya seorang anak. Atau … mungkin juga hubungannya jalan di tempat seperti sekarang karena ia yang masih merasa ragu dengan hubungan rumah tangganya. Ini bukan hanya tenta
“Beneran nggak ada kerjaan urgent?”Aileen mengangguk begitu mendengar pertanyaan Gama yang dilemparkannya berkali-kali sejak suaminya itu memintanya untuk ikut bertemu dengan Adit—suami Beta.“Mas Adit ngebolehin nggak ya kalo aku ngajak Risa ke rumah Ibu?” Gama menggaruk kepalanya yang tidak gatal.Perceraian Beta dan Adit memang masih dalam proses. Tapi karena Adit juga masih harus bekerja dan Adit tidak ingin Risa terkontaminasi dengan kelakuan buruk Beta, maka Adit membawa Risa ke Semarang untuk diasuh oleh orang tuanya. Itu juga yang sedang diperjuangkan Adit—hak asuh Risa.“Nanti kita coba yakinin, kalau niat kita cuma ngobatin kangennya Ibu, bukan mau ngambil Risa dan bikin Risa jauh dari Mas Adit.”Jam makan siang sudah hampir berakhir ketika Gama memarkirkan mobilnya di area parkir sebuah hotel.“Ayo, Mas Adit udah nunggu di lobby.”Benar seperti yang dikatakan Gama, Adit tengah duduk di sofa yang berada di lobby hotel sembari memangku Risa yang masih berumur dua tahun.“Hai
“Iklan yang itu cancel juga, Ra.”Arabella menatap manajernya dengan tatapan nyalang. “Gimana sih kamu? Gitu aja nggak becus! Udah berapa iklan yang cancel? Berapa acara yang juga cancel? Kamu bisa bayangin nggak seberapa besar kerugianku?”Jemmi menggaruk pelipisnya. Ia juga tidak bisa apa-apa ketika klien artisnya itu satu per satu memutuskan untuk mundur. Bukan ia tidak becus, tapi ia sudah mencoba negosiasi ulang, berkali-kali, tetapi tetap saja klien mereka memutuskan untuk membatalkan kontrak, baik yang sudah ditandatangani, atau bahkan yang masih tawar-menawar.“Turunin rate-ku deh,” ketus Arabella. Ia yakin banyak juga artis di luar sana yang menurunkan rate-nya di masa paceklik seperti dirinya sekarang. Ini bukan lagi perkara ‘yang penting dapur ngebul’. Kalau hanya untuk urusan hidup sehari-hari, tabungannya jauh lebih daripada cukup. Tetapi ini masalah eksistensi di dunia hiburan. Jangan sampai orang-orang lantas lupa ada seorang artis yang bernama Arabella.“Sudah, Ra. Kam