“Ada masalah, Kak?”
Aileen menggeleng pelan kala mendengar bisikan papanya saat rapat akan dimulai, padahal setengah mati Aileen menahan diri untuk tidak mengangguk sekaligus mengatur emosinya agar tidak menendang Bara dari ruang rapat. Aileen bahkan telah mempertimbangkan untuk berpindah posisi agar tidak duduk berhadapan dengan Bara, namun akan terlihat mencurigakan kalau ia yang biasa duduk di sisi kanan papanya tiba-tiba berpindah tempat duduk.
Sementara Bara mencoba untuk bersikap tenang. Ia sudah meminta Erika untuk tidak menemaninya pada rapat dewan direksi siang itu demi menjaga mood Aileen yang sedang tidak baik. Kalau Aileen terus-terusan merajuk seperti itu, ia akan memecat Erika kalau hal itu bisa mengembalikan Aileen ke dalam pelukannya. Lagipula ia bukannya jatuh cinta setengah mati kepada Erika. Body Erika memang selalu menjadi godaan tersendiri untuknya, tapi kalau bisa memutar waktu, ia tidak akan selingkuh dengan Erika …, setidaknya ia tidak akan mencumbu Erika di apartemen Aileen dan membuat Aileen memergoki mereka.
“Ok, kita mulai rapatnya.” Kalimat Naren—sang Direktur Utama Candra Group—itu seketika membuat semua anggota dewan direksi fokus pada bahan rapat yang akan mereka paparkan.
“Er,” panggil Bara tanpa sadar.
Karena Bara tepat berada di samping kiri Naren, panggilan Bara itu membuat Naren sontak ikut menoleh.
“Nyari sekretarismu?”
“Eh? Maaf, Pak. Saya lupa kalau bahan meeting sudah di saya.”
Naren mengangguk asal, lalu mengembalikan fokusnya pada tab di hadapannya.
Sedangkan Aileen yang sejak tadi juga memperhatikan kejadian itu hanya mengangkat satu sudut bibirnya.
Witing tresna jalaran saka kulina. Menurut Aileen, mungkin pepatah jawa itu cocok untuk Bara dan Erika. Sepanjang pengetahuannya, Bara memang baru mengenal Erika sejak Erika melamar pekerjaan menjadi sekretaris di perusahaan. Saat itu, Aileen juga tidak mencegah Bara untuk memilih Erika sebagai sekretarisnya. Come on, dia bukan wanita posesif.
‘Atau mungkin memang love at the first sight?’ tanya Aileen pada dirinya sendiri sambil tanpa sadar menatap Bara. Aileen baru mengalihkan pandangan saat Bara tiba-tiba saja menatapnya.
“Bu Aileen, bisa minta bahan meeting dari divisi legal? Kebetulan saya belum dapat yang dari divisi legal.” Pelan saja Bara mengucapkannya, namun Naren yang berada di antara Aileen jelas bisa mendengar, begitu juga Aileen yang hanya menatap Bara tidak lebih dari satu detik sebelum menoleh kepada Vania—sekretarisnya, sebagai kode agar Vania mengurus apa pun itu yang diminta oleh Bara.
“Kok bisa bahan dari divisi legal belum diterima vice presdir?” Naren hanya bertanya, tidak bermaksud menuduh Aileen ataupun Bara. Posisinya sebagai Direktur Utama Candra Group dengan anak kandung sebagai Direktur Legal membuatnya harus bisa berdiri di dua kapal, sebagai pemimpin perusahaan dan sebagai seorang ayah.
Tanpa banyak bicara, Aileen mendoron ponsel ke arah papanya. Menunjukkan email yang dikirim oleh Vania ke Erika dan ditembuskan kepada dirinya tepat dua jam sebelum rapat dimulai. Prinsipnya Aileen maupun sekretarisnya sama sekali tidak bersalah karena mengirim bahan rapat kepada vice presdir sesuai SOP yang mereka sepakati untuk agenda rapat dewan direksi.
Naren mengangguk-angguk. “Sekretarismu mungkin yang lupa ngasih,” ucap Naren yang ditujukan kepada Bara.
“Iya, Pak. Mungkin begitu.” Bara tahu kalau ini adalah ulah Erika yang sedang marah karena ia mengusirnya dari apartemen Aileen pada malam itu.
“Kalian berdua ada masalah?” tanya Naren tanpa mengacuhkan direksi lain yang sedang menunggu kelanjutan agenda rapat.
Aileen menatap papanya sambil tersenyum simpul. “Nggak ada, Pak. Silakan dilanjutkan rapatnya.”
***
Aileen mengerjap pelan saat terbangun dari tidurnya. Bukan karena sinar matahari yang tembus melalui virtrase tipis jendela kamarnya seperti adegan dalam film-film. Itu tidak mungkin terjadi di dalam kamarnya karena virtrase tipis di jendela kamarnya masih berlapis dengan gordyn tebal berwarna abu-abu gelap. Tidak mungkin sinar matahari bisa mengintip malu-malu melalui lapisan itu.
Ia terbangun karena suara mamanya yang berteriak dari lantai bawah, sedang pamit untuk pergi mengunjungi kediaman Om Ranu—adik mamanya itu.
Mendekap lebih erat guling yang menemaninya tidur, Aileen mendesah pelan. Harusnya hari itu menjadi hari yang paling ditunggu-tunggunya setelah sekian lama. Hari di mana ia akan mengenalkan laki-laki yang ia cinta kepada orang tuanya untuk meminta restu melangkah ke jenjang yang lebih serius.
Nyatanya ia harus merelakan semuanya berakhir.
Mungkin karena merasa hari itu tidak ada agenda apa-apa lagi di rumah, maka orang tuanya memilih pergi ke rumah Om Ranu. Atau mungkin juga mamanya pergi ke sana untuk curhat dengan keluarga Om Ranu tentang batalnya acara hari itu. Entahlah. Aileen sudah tidak peduli, daripada terjebak dengan Bara yang tukang selingkuh itu seumur hidupnya.
Aileen kembali memejamkan mata. Menghabiskan waktu di hari libur dengan tidur adalah kebahagiaan tersendiri untuknya.
“Mbak Aileen!”
Panggilan itu berulang beberapa kali sampai akhirnya Aileen pasrah dan membuka matanya.
“Kenapa, Bi?” sahut Aileen dari dalam kamar. Ia tahu itu suara salah satu ART-nya.
“Ada tamu, Mbak. Mau ketemu Mbak Aileen.”
Aileen mengernyit bingung. Seingatnya, ia tidak memiliki janji dengan siapa pun, apalagi dengan seseorang untuk datang ke rumahnya. “Siapa, Bi?”
“Mas Bara, Mbak.”
Aileen terkesiap lalu bangkit dari posisi tidurnya. Ia sampai melemparkan bedcover yang tadi membalut tubuhnya saat tidur. “Siapa, Bi?” tanya Aileen sekali lagi. Rasanya pendengarannya salah.
“Mas Bara, Mbak.”
Barulah sekarang Aileen yakin kalau laki-laki tidak tahu malu itu yang datang ke rumahnya karena ia tidak memiliki kenalan lain bernama Bara.
“Jangan boleh masuk, Bi!”
“Eh? Nggak boleh masuk, Mbak?”
“Jangan. Suruh security usir aja, Bi.”
“Tapi Mas Bara kan wakil Bapak di kantor, Mbak. Nggak ada yang berani ngusir.”
Aileen menggeram kesal kemudian turun dari kasur. Kalau tidak ada seorang pun di rumahnya yang berani mengusir Bara, maka dia sendiri yang akan mengusir laki-laki tersebut seperti apa yang dilakukannya di apartemen beberapa hari lalu.
“Emang kenapa diusir, Mbak?” tanya perempuan paruh baya yang sudah bertahun-tahun mengabdikan dirinya pada keluarga Candra.
Aileen yang baru membuka pintu kamar dan mendapati pertanyaan itu, hanya bisa bungkam.
“Soalnya Mas Bara nyari Mbak Aileen, kalau Mas Bara nyari Bapak pasti saya kasih tau kalau Bapak nggak di rumah. Malah tadinya Bibi pikir Mas Bara ada janji makan siang di sini.”
“Emang sekarang jam berapa?” Aileen sampai lupa mengecek jam di ponselnya. Ia bahkan meninggalkan ponselnya begitu saja di dalam kamar demi mengusir Bara.
“Hampir jam dua belas, Mbak.”
“Papa Mama belum pulang kan?”
“Belum, Mbak.”
Aileen bisa sedikit menghela napas lega karena orang tuanya belum kembali. Pokoknya, yang terpenting untuk Aileen saat ini adalah mengusir Bara. Jangan sampai orang tuanya melihat Bara ada di rumah dan berniat menemuinya.
Begitu sampai di anak tangga terbawah, Aileen meminta ART untuk meninggalkannya.
“Ngapain?” tegur Aileen saat menginjakkan kaki di ruang tamu.
Bara tersenyum. “Leen. Hari ini kan harusnya kamu ngenalin aku ke orang tuamu.”
“Orang kalo urat malunya udah putus jadinya kayak kamu ya? Nggak tau malu.”
“Leen, ayolah. Hubungan kita udah bertahun-tahun, masa harus selesai karena satu kekhilafanku.”
Aileen hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil berjalan ke sudut ruangan di mana terdapat pesawat telepon yang biasa digunakan untuk berkomunikasi di dalam rumah. Namun kali ini Aileen tidak menghubungi ART-nya yang mayoritas berada di dapur mendekati jam makan siang, tetapi menghubungi security yang sedang berjaga di pos depan.
“Pak, tolong seret keluar orang yang ngaku punya janji sama saya. Orangnya di ruang tamu ya. Cepetan.”
“Leen. Apa kamu nggak keterlaluan?” Bara masih mencoba menarik perhatian Aileen dengan berusaha mencengkeram pergelangan tangan Aileen. Namun Aileen dengan sigap menepisnya.
Karena merasa benar-benar kesal dengan keberadaan Bara, maka Aileen keluar menuju teras dan berteriak memanggil security yang belum juga datang.
“Kenapa sih, Leen, teriak-teriak?” Bukan sosok security yang mendekat, melainkan sosok Gama yang siang itu berpenampilan cukup rapi untuk sekadar datang berkunjung, padahal rumahnya tepat berada di sebelah kanan rumah Aileen. “Mana? Siapa yang mau diusir? Sini biar aku yang ngurus.”
“Aku manggil security, kenapa kamu yang nongol? Sejak kapan kamu jadi security di rumahku?”
Gama hanya tergelak, tidak menganggap pedasnya omongan Aileen sebagai sesuatu yang serius, padahal bola mata Aileen seperti hampir copot dari rongganya. “Eh gini-gini aku pernah belajar pencak silat langsung waktu aku jadi produser film action. Yah walaupun cuma beberapa gerakan, tapi jangan remehin kemampuanku.”
Aileen memutar kedua bola matanya dengan malas. Apa yang patut disombongkan dari belajar beladiri sepintas lewat seperti itu?
“Siapa, Leen?” tanya Bara yang sejak tadi memperhatikan perdebatan antara Aileen dan Gama.
“Nih, orangnya. Katanya mau bantu ngusir.” Aileen menyingkir, memberi ruang kepada Gama dan Bara andai mereka mau adu jotos.
Gama menatap Bara. Pantas sejak tadi ia merasa familiar dengan laki-laki yang berdiri tidak jauh dari Aileen. Mungkin mereka pernah berpapasan di apartemen Aileen. Karena kalau dirunut dari cerita Aileen, sepertinya laki-laki itu yang lebih sering menempati apartemen Aileen.
“Dia siapa, Leen? Jangan bilang … kamu juga selingkuh sama dia selama ini?” cecar Bara.
Entah kapan Gama bergeser, yang jelas tidak lama setelah Bara melemparkan pertanyaan itu, tangan Gama sudah berada di kerah kemeja Bara dan mencengkeramnya dengan kuat.
“Mulut lo jangan asal tuduh. Lo laki apa banci? Lo yang selingkuh, tapi malah nuduh Aileen yang selngkuh!”
“Pergi! Sekarang!” Aileen kali ini benar-benar menatap Bara dengan serius, sambil satu tangannya berusaha melepaskan cengkeraman tangan Gama di kemeja Bara. Bukan apa-apa, Aileen baru saja ingat kalau Bara rutin latihan kick boxing. Sungguh tidak lucu kalau nanti ia harus mengantara Gama pulang dengan keadaan babak belur. “Jangan cari ribut! Pergi, Bara! Atau aku cerita semuanya ke papaku, termasuk bagian kamu selingkuhin aku dan bercumbu sama sekretarismu.”
Gama tersenyum menunjukkan seringainya. Apa salah kalau ia merasa menang karena Aileen membelanya?
Bara masih ingin protes, tapi sepertinya ultimatum dari Aileen cukup berbahaya untuk karirnya.
Saat itulah tiba-tiba sebuah mobil—yang sudah sangat dikenal Aileen—memasuki gerbang rumah.
“Damn it!” Aileen benar-benar mengumpat nyaring dan bisa didengar baik oleh Gama maupun Bara. Karena terlambat bagi Aileen untuk mengusir Bara dan meminta Gama untuk pulang. Papa mamanya telah kembali.
“Loh, kok rame?” tanya Rhea begitu melihat anak sulungnya berada di teras dengan dua pria, yang dua-duanya sudah ia kenal.
“Bara, apa saya lupa ada janji sama kamu?” tanya Naren bingung.
“Nggak, Pak. Memang kita nggak ada janji untuk urusan pekerjaan, tapi—”
“Pa, Ma. Aku mau ngenalin calonku.” Aileen tiba-tiba menyela ucapan Bara, karena ia yakin Bara akan membuka hubungan mereka yang telah berakhir.
“Hah? Bukannya nggak jadi, Kak?” Rhea bergantian menatap dua pria di hadapannya.
Aileen hanya perlu bergeser satu langkah untuk memupus jarak dengan Gama dan melingkarkan tangannya di lengan Gama. “Mama Papa udah kenal kan, tetangga sebelah. Gama udah ngelamar aku minggu lalu. Dia yang mau kukenalin ke Mama Papa sebagai calon suamiku.”
“Pa, Ma!” Aileen sampai harus menyadarkan kedua orang tuanya yang membisu setelah ia mengatakan bahwa Gama adalah calon suami yang dipilihnya.Jelas Naren dan Rhea hanya bisa terdiam sambil mencerna apa yang baru saja didengarnya. Memang Aileen dan Gama selalu satu sekolah, kecuali setelah kuliah. Namun setahu mereka, hubungan Aileen dan Gama merenggang sejak Aileen merasa kalau Gama adalah saingan terberatnya untuk meraih prestasi.Lantas bagaimana mungkin anak sulung mereka bisa menjalin hubungan dengan tetangga sebelah rumah? Sejak kapan mereka berhubungan? Kapan mereka meluangkan waktu untuk bertemu? Banyak pertanyaan yang membuat Naren dan Rhea setengah tidak percaya dengan pernyataan anak sulung mereka itu.“Kenapa kamu masih pake piyama gitu kalo mau ngenalin calon suami kamu, Kak?”Aileen seketika menunduk dan mengamati pakaian tidur yang masih dikenakannya. Niatnya semula hanyalah untuk mengusir Bara dari rumah, siapa sangka ia malah menjebloskan diri sendiri ke dalam umpan y
“Tadinya Papa mau jodohin kamu sama Bara, Kak.”Aileen, Gama, dan kedua orang tua Aileen telah berkumpul di ruang kerja setelah Bara pamit pulang dengan raut wajah tidak terima karena harus pulang lebih dulu dan menyerahkan posisinya sebagai pasangan Aileen kepada laki-laki yang muncul tiba-tiba di hari itu. Tapi demi apa pun, Bara tidak berani bertahan di sana dengan tatapan Aileen yang mematikan.“Kenapa?” tanya Aileen setengah penasaran. Kenapa tidak dari dulu ia dijodohkan dengan Bara? Kalau begitu kan kemungkinan ia bisa meresmikan hubungannya dengan Bara jauh-jauh hari.‘Trus pas udah nikah, diselingkuhin! Mirip kayak cerita novel sama sinetron.’ Tiba-tiba Aileen tersadar dengan pemikirannya sendiri. Bukan masalah waktu. Justru mengerikan kalau ia telah menikah dengan Bara dan berakhir dengan diselingkuhi.“Ya … Bara kandidat yang cocok menurut Papa.”“Apa bagusnya Bara sih, Pa?” Aileen mendengkus kesal karena ternyata papanya pernah mempertimbangkan Bara sebagai pendamping untu
“Aileen, diminum dulu,” tegur Gama saat memperhatikan Aileen—yang sejak mereka menginjakkan kaki ke dalam cafe—hanya melamun sambil menatap ke luar café.“Hah?”“Diminum dulu, Sayang.”Aileen dengan refleks menggerakkan kaki untuk menendang tulang kering Gama ketika mendengar laki-laki itu memanggilnya ‘Sayang’.Gama hanya mengernyitkan kening sambil menahan geraman kesakitannya. “Jangan kasar sama calon suami, Leen.”Memutar kedua bola matanya dengan malas, Aileen mendengkus pelan. “Ada cara nggak untuk ngebatalin semuanya? Maksudku … aku kemaren cuma berniat untuk lepas dari Bara. Aku nggak mau Bara cerita tentang hubunganku dulu sama dia ke orang tuaku. Aku nggak tau kalau semuanya malah semakin runyam.”“Kenapa harus dibatalin?” Kali ini Gama benar-benar serius menatap Aileen. Ia tidak ingin Aileen menganggapnya hanya bercanda meskipun Aileen belum bisa mempercayainya.“Kenapa harus diterusin kalau kita berdua sebenernya nggak ada perasaan apa-apa?”“Loh! Aku kan tadi udah ngaku d
“Sejak kapan kalian berhubungan?” tanya Alfa yang agak tidak percaya dengan permintaan izin dari adiknya. Adiknya itu, tidak bisa dibilang cupu dalam hal asmara, tapi bukan juga player yang berganti wanita seperti berganti celana dalam. Hanya saja, ini pertama kalinya Gama mengajak seorang perempuan untuk dikenalkan kepadanya, meskipun ia tahu kalau sebelumnya Gama pernah sangat mencintai seorang perempuan.“Jangan nanya sejak kapannya, Kak. Yang penting kan ke depannya gimana, aku serius atau nggak?”Alfa terlihat menimbang-nimbang sesaat sebelum akhirnya memilih beralih kepada Aileen. “Kamu mau Leen sama dia? Nggak salah pilih?”Aileen tersenyum tipis. Ia bahkan melemparkan pertanyaan yang sama untuk dirinya sendiri dan belum bisa menemukan jawaban, lantas bagaimana sekarang ia harus menjawab pertanyaan dari Alfa itu?“Kakak jangan bikin Aileen ragu lagi dong! Wanita karir itu nggak gampang diyakinin untuk diajak nikah.” Gama yang akhirnya menyahut demi menyelamatkan Aileen yang sed
"Kok aku deg-degan sih mau masuk ke kantormu, Leen.”Aileen merotasikan kedua bola matanya dengan malas. Ia berjalan beberapa langkah di depan Gama dan sengaja mempertahankan kecepatan langkahnya agar tidak perlu berjalan berdampingan dengan laki-laki itu. Namun, dalam sekejap Gama berhasil mensejajari langkahnya.“Sana, daftar dulu ke resepsionis.” Lagi-lagi sengaja Aileen mengisengi Gama.“Harus? Kan aku sama kamu. Masa nggak boleh masuk?” tanya Gama heran. Pasalnya ia tahu kalau Aileen bukan pegawai biasa. Aileen seorang direktur di perusahaan itu, ditambah lagi anak pemilik perusahaan. Mana mungkin Aileen tidak bisa ‘menyelundupkannya’ masuk. “Serius nggak bisa, Leen? Kamu kan orang dalem.”“Iiih! Peraturan ya peraturan, Gam!” Aileen berhenti di dekat swing barrier gate sambil menunjuk ke arah resepsionis dengan dagunya.Gama mendengkus pelan sebelum akhirnya pasrah berjalan ke depan meja resepsionis.Dari jauh Aileen menahan tawanya melihat Gama bersungut kesal sambil membuka dom
"Aku waktu itu lagi kehilangan arah. Bukan berarti kamu bisa macem-macem lagi ke aku. Kamu … mesti tau batasnya.”“Right. I’m sorry. Kupikir kamu lagi marah banget dan perlu ditenangin lagi.” Gama mundur, demi menjaga kewarasan otaknya. Namun, karena Gama tidak menjawab pertanyaannya tadi dan malah mempertahankan senyuman tengilnya, Aileen jadi ingin mencekik leher Gama.“Udah kan? Udah liat ruang kerjaku? Sana, pulang!”Bukannya menuruti perkataan Aileen, Gama memilih melemparkan diri ke sofa yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. “Aku lagi nggak ada kerjaan. Ibu nggak ada di rumah. Di apartemen sendirian. Bosen, Leen. Kamu kerja aja, aku nggak bakal ganggu.”“Mana ada orang kerja ditontonin?”“Nanti kalo aku lagi kerja, kamu boleh kok nontonin aku kerja,” balas Gama tidak ingin kalah.Aileen menggeleng pasrah. “Mau minum apa?”“Kamu duduk sini aja. Aku nggak haus.” Gama menepuk sisi sofa yang kosong di sampingnya. “Ada yang perlu aku omongin.”“Tadi katanya disuruh kerja, s
Trias akhirnya sadar siapa sosok perempuan yang akan dikenalkan anak bungsunya sebagai calon istri. “Aileen?” Ia lantas memeluk singkat dan menarik lengan Aileen, meminta Aileen duduk di sampingnya.Aileen mengangguk sungkan. Sebenarnya ia merasa agak tidak enak karena berpenampilan terlalu seksi di hadapan orang tua, siapa pun itu, tidak terkecuali orang tua Gama. Namun ini upaya terakhirnya untuk menghentikan pernikahannya dengan Gama.“Kok bisa sih?”Gama mendesah lega. Sepertinya sang ibu lebih kaget dengan sosok Aileen yang ia kenalkan sebagai calon istri, dibanding kaget karena pakaian Aileen yang malam itu agak terbuka.“Kamu kan selama ini males banget ngeliat Gama, Leen.”“Bu!” Gama ingin protes dengan kata-kata sang ibu, tetapi memang begitu nyatanya. Aileen melihatnya seperti melihat musuh bebuyutan padahal tak pernah sekali pun ia menganggap Aileen sebagai musuh.“Kamu beneran mau sama Gama? Dia kan—” Trias sampai kehilangan kata-kata untuk menggambarkan bagaimana sifat an
“Belum siap-siap, Vin?” Aileen baru saja turun dan mendapati Ervin—adiknya—tengah meregangkan otot di teras dekat ruang makan.“Masih pagi, Kak. Bentar lagi.”“Mama mana, Vin?” tanya Aileen yang hanya melihat ART di ruang makan sedang menyiapkan sarapan mereka. Padahal biasanya mamanya hampir tidak pernah absen membantu menyiapkan sarapan.“Ke sebelah tadi bilangnya.”“Oooh.” Beberapa detik kemudian, Aileen baru sadar apa arti ucapan Ervin. “Maksudnya ke sebelah? Ke … tempat Tante Trias?”“Iya, tumben-tumbenan kan.”Aileen mendadak panik. Bergegas—bahkan hampir seperti berlari kecil—Aileen menyusul mamanya.“Permisi, Pak. Saya—” Aileen berpikir sejenak saat menghadapi security di depan rumah Gama. Mengaku sebagai calon istri Gama mungkin bisa lebih mudah memberinya akses masuk, tapi bulu-bulu halus di belakang lehernya tiba-tiba saja meremang hanya sekadar membayangkan. “Saya tetangga sebelah. Mama saya lagi berkunjung ke Tante Trias. Saya mau ke dalam ketemu mama saya sama Tante Tria
"Kamu serius?" Gama mengernyitkan kening setelah mendengar permintaan Aileen sore itu. Aileen mengangguk dengan wajah penuh harapnya. "Kenapa tiba-tiba?" Gama masih belum bisa menghilangkan rasa herannya. Meski memang sejak ada seorang putri menggemaskan di tengah-tengah mereka, Aileen jadi lebih lembut dan … hopeless romantic—kalau bisa Gama simpulkan dengan sebuah frasa. Dan Gama tidak pernah keberatan menghujani Aileen dengan keromantisan seperti yang diinginkan Aileen. "Pengen aja, Gam. Nggak mau ya?" Aileen tidak sadar kalau ia memperlihatkan rasa kecewanya karena Gama seakan menolak ajakannya. "Bukan nggak mau. Tapi semuanya pasti udah beda. Nggak bakal sama kayak dulu. Udah puluhan tahun kan." "Ya nggak apa-apa. Sekalian olahraga. Ya?" rengek Aileen. "Jarak segitu mana bisa disebut olahraga, Cinta. Kalau dulu aja kita kuat apalagi sekarang." "Tapi kan—” Aileen langsung terdiam saat Gama berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri. Ia akhirnya bisa terseny
“Kakek juga punya villa di Bandung, ngapain kita nginep di hotel?” Aileen mengerucutkan bibir kala mobil yang dikendarai sopir berhenti di depan sebuah hotel. Ya meskipun ia juga salah satu bisnis di bawah jaringan Candra Group, tetap saja ia lebih nyaman jika menginap di villa kakeknya. “Villanya Kakek lagi direnov kata Mama.” “Hah? Renov? Apanya?” “Cuma dirapi-rapiin aja dikit. Nanti kita ke sana kok, Mama minta tolong aku buat sekalian ngelihat hasilnya. Tapi sekarang kamu mesti istirahat dulu. Villa Kakek masih ke atas lagi kan, sekitar satu jam dari sini. Kita udah empat jam di perjalanan. Aku nggak mau kamu kecapekan, jadi kita mesti istirahat dulu.” “Iya kita lama di perjalanan itu karena kamu berkali-kali nyuruh sopir buat pelan-pelan.” “Kan biar Kakak nggak keguncang-guncang.” Aileen mengernyitkan kening. Kadang ia masih bingung dengan panggilan ‘Kakak’ yang disebut Gama. Pasalnya dari kecil pun ia dipanggil ‘Kakak’ oleh semua anggota keluarganya, termasuk mama dan papan
“Aku mau nikahin Aileen lagi.”Tiga orang di hadapan Gama—Ervin, Yara, dan Kemala—menatap Gama dengan bingung.“Maksudku, aku mau … semacam ngulang acara pernikahanku sama Aileen. Akad nikahnya sih nggak. Cuma perayaannya aja,” terang Aileen saat melihat ketiga orang di hadapannya benar-benar terlihat kebingungan. “Bisa bantu aku? Karena aku maunya ini jadi kejutan buat Aileen, aku nggak bisa nanya langsung dia maunya gimana. Kalian sebagai orang terdekat Aileen, pasti pernah dong denger gimana pernikahan impian Aileen.”“Emangnya itu bakal ngobatin sakit hatinya Kak Aileen?” sindir Ervin terang-terangan.“Mungkin nggak. Tapi aku mau mewujudkan pernikahan impian Aileen.”Gama sudah memikirkannya jauh-jauh hari. Mungkin ia tidak bisa mengobati sakit hati Aileen karena kelakuannya dulu yang menjadikan acara pernikahan mereka sebagai ajang balas dendam kepada mantan kekasihnya. Tapi setidaknya, ia ingin Aileen memiliki kenangan tentang acara pernikahan yang pernah Aileen impikan.“Jadi,
“Kak Beta, ini adeknya bisa dibawa pergi nggak? Apaan sih? Ngomong aneh-aneh,” gerutu Aileen. “Kamu pikir aku sejahat apa sampe bisa gugurin anakku …, kalau bener aku hamil. Aku bukan dia.”Gama menutup mulutnya, begitu juga dengan Beta yang entah mengapa merasa tersindir, padahal Aileen tidak berniat menyindir siapa pun. Ia hanya mengungkap fakta.“Kayaknya kalian perlu ngobrol. Aku tinggal ya, Gam. Kopermu nanti biar dianter orang ke rumahmu.” Beta lantas beralih ke Aileen. “Selamat ya, Leen. Jangan lupa cek lagi ke dokter.”Aileen hanya bisa mengangguk sambil menatap kepergian kakak iparnya itu. Ia masih malas melihat Gama yang ada di hadapannya, padahal berminggu-minggu sebelumnya ia benar-benar ingin bertemu dengan Gama.“Mau ke dokter sekarang? Kak Beta ada jadwal praktek jam dua. Tapi kalo kamu mau ke dokter lain, coba … biar aku tanya ke stafku di kantor, ada yang udah punya anak kok. Siapa tau dokter kandungannya bagus. Atau … tanya Mama—”“Gam.” Aileen menggeleng. “Jangan bi
"Gama!""Hm?"Kemala semakin menggeram kesal mendengar gumaman Gama. Jelas kalau Gama baru saja bangun tidur atau bahkan sekarang pun masih memejamkan mata setengah tidur."Lo tau kan kalo Aileen nggak enak badan? Lo tau kan kalo Aileen muntah-muntah?" sentak Kemala."Hm?""Bangun, Gam! Gue perlu ngomong serius sama lo."Aileen menatap kosong kepada Kemala. Ia sedang mengabaikan kenyataan bahwa Kemala sedang menghubungi suaminya karena ada kemyataan lain yang harus ia hadapi.Gama terkesiap. Ia kini benar-benar dalam mode siaga. "Aileen kenapa, Mal? Lo masih sama dia kan?""Udah gila ya lo? Denger istri lagi begitu bukannya pulang? Nggak mampu beli tiket lo? Apa urusan di sana lebih penting daripada istri lo?""Mal, Aileen kenapa?"Kemala masih berusaha menenangkan diri sambil mengatur napasnya. Di otaknya hanya ada sumpah serapah untuk Gama. Karena itu, ia tidak menjawab apa pun yang ditanyakan Gama. Fokusnya adalah mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada di kepalanya."Pulang lo pagi
“Kamu mau balik, Kak? Ngapain? Di rumah juga nggak ada orang kan.”“Kangen rumah, Pa,” jawab Aileen sembari ikut duduk di samping papanya dan bergelayut manja di lengan sang Papa.“Kangen rumah apa kangen suami? Belum pulang juga tuh si Gama? Emangnya nggak bisa nyempetin waktunya? Weekend gitu, pulang ke Jakarta sebentar. Cuma Kalimantan loh, bukannya Amerika.”“Masalah di tambang belum selesai, Pa. Kalo dia pulang, malah makin lama di sananya nanti,” jawab Aileen menenangkan sang Papa yang sepertinya mulai kesal.Apa itu artinya Aileen tidak kesal dengan suaminya?Jangan salah! Aileen juga kesal setengah mati karena Gama tidak kunjung pulang setelah satu bulan pergi ke Kalimantan. Kadang ia bahkan curiga kalau Gama memiliki perempuan lain di sana. Namun, sleep call yang mereka lakukan setiap malam tidak menunjukkan hal-hal yang mencurigakan."Ajak Bibi, atau Mbak, atau siapa pun dari sini, Kak. Mama sama Papa nggak tenang kalo kamu sendirian di rumah." Rhea menepuk punggung tangan A
“Dari mana lo yakin dia nggak akan balik lagi?” “Yakinlah, at least untuk sementara.” Kemala mengangguk pasti. “Kontraknya lima tahun. Lama ya tanda tangan kontraknya kalo diitung-itung, hampir satu tahun kan ya, setelah kalian depak dia dulu. Tapi sekarang lo bisa lega kan?” Aileen terkekeh. Memang lebih lama dari yang diperkirakannya. Ia dan Gama juga tidak terlalu mengurus kepindahan Arabella atau apa pun yang berkenaan dengan perempuan itu. Namun, pada akhirnya ada kepastian bahwa Arabella akan berkarir di luar untuk sementara waktu. Meski tidak ada yang namanya kontrak untuk selamanya. Suatu hari nanti, kemungkinan besar Arabella akan kembali lagi. Entah apa yang akan terjadi pada hubungannya dengan Gama ketika hal itu terjadi. Lima tahun lagi, mungkin saja hubungannya dengan Gama jadi lebih erat dengan hadirnya seorang anak. Atau … mungkin juga hubungannya jalan di tempat seperti sekarang karena ia yang masih merasa ragu dengan hubungan rumah tangganya. Ini bukan hanya tenta
“Beneran nggak ada kerjaan urgent?”Aileen mengangguk begitu mendengar pertanyaan Gama yang dilemparkannya berkali-kali sejak suaminya itu memintanya untuk ikut bertemu dengan Adit—suami Beta.“Mas Adit ngebolehin nggak ya kalo aku ngajak Risa ke rumah Ibu?” Gama menggaruk kepalanya yang tidak gatal.Perceraian Beta dan Adit memang masih dalam proses. Tapi karena Adit juga masih harus bekerja dan Adit tidak ingin Risa terkontaminasi dengan kelakuan buruk Beta, maka Adit membawa Risa ke Semarang untuk diasuh oleh orang tuanya. Itu juga yang sedang diperjuangkan Adit—hak asuh Risa.“Nanti kita coba yakinin, kalau niat kita cuma ngobatin kangennya Ibu, bukan mau ngambil Risa dan bikin Risa jauh dari Mas Adit.”Jam makan siang sudah hampir berakhir ketika Gama memarkirkan mobilnya di area parkir sebuah hotel.“Ayo, Mas Adit udah nunggu di lobby.”Benar seperti yang dikatakan Gama, Adit tengah duduk di sofa yang berada di lobby hotel sembari memangku Risa yang masih berumur dua tahun.“Hai
“Iklan yang itu cancel juga, Ra.”Arabella menatap manajernya dengan tatapan nyalang. “Gimana sih kamu? Gitu aja nggak becus! Udah berapa iklan yang cancel? Berapa acara yang juga cancel? Kamu bisa bayangin nggak seberapa besar kerugianku?”Jemmi menggaruk pelipisnya. Ia juga tidak bisa apa-apa ketika klien artisnya itu satu per satu memutuskan untuk mundur. Bukan ia tidak becus, tapi ia sudah mencoba negosiasi ulang, berkali-kali, tetapi tetap saja klien mereka memutuskan untuk membatalkan kontrak, baik yang sudah ditandatangani, atau bahkan yang masih tawar-menawar.“Turunin rate-ku deh,” ketus Arabella. Ia yakin banyak juga artis di luar sana yang menurunkan rate-nya di masa paceklik seperti dirinya sekarang. Ini bukan lagi perkara ‘yang penting dapur ngebul’. Kalau hanya untuk urusan hidup sehari-hari, tabungannya jauh lebih daripada cukup. Tetapi ini masalah eksistensi di dunia hiburan. Jangan sampai orang-orang lantas lupa ada seorang artis yang bernama Arabella.“Sudah, Ra. Kam