“Siapa lagi sih?” Aileen baru akan kembali ke pantri saat terdengar bel berbunyi untuk kedua kalinya.
“Leen.”
Aileen ingin membanting pintu di depan hidung laki-laki itu, tetapi Gama lebih dulu menyelipkan kaki panjangnya di sela pintu. “Gama! Aku lagi marah, mending kamu jauh-jauh!”
“Sejak kapan aku takut sama kamu?” Gama lantas mendorong pintu yang sedang ditahan Aileen dengan sekuat tenaga.
Beberapa detik dihabiskan mereka berdua di ambang pintu. Aileen yang berusaha menahan pintu dan Gama yang tanpa kenal lelah berusaha mendorong pintu.
Pada akhirnya, Aileen kalah. Dan masih selalu kalah bila berhadapan dengan Gama. Inilah alasan Aileen membenci Gama, sejak kecil. Walau di awal pertemuan—kala itu mereka masih kelas 1 SD—keduanya sempat dekat dan sering bermain bersama. Akan tetapi semua berubah sejak Gama ternyata lebih unggul dari Aileen dalam segala hal. Aileen, si anak sulung yang terbiasa menjadi nomor satu, tidak pernah kenal arti kekalahan, maka kalah dari Gama adalah sebuah penghinaan bagi harga dirinya.
“Tunggu, Leen. Bukannya kamu masih tinggal sama orang tua kamu? Sejak kapan kamu punya apartemen? Dibolehin?” Gama mengabaikan keadaan ruang tamu unit itu yang seperti kapal pecah. Langkahnya lurus menuju pantri … yang ternyata keadaannya tidak jauh berbeda. “Disaster!” Gama terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.
“Aku mau tinggal di mana bukan urusan kamu, Gam. Mind your own business!”
Gama mendekati Aileen, berhenti tepat di depannya lalu memegang kedua lengan bagian atas wanita yang terlihat garang namun tetap menggemaskan baginya. “Kalo aku nggak kenal kamu, aku nggak akan mencet bel untuk kedua kalinya, Leen.”
“Ya trus kamu mau ngapain?”
“Ngopi di unitku yuk, Leen. Tadinya aku pengen ngopi di sini, tapi … kayaknya kurang kondusif ya suasananya.”
Aileen melirik ke sekitarnya dan menyadari kekacauan yang ia perbuat karena lepas kendali. “Ih males. Siapa juga yang mau ngopi sama kamu?”
“Mau kutelepon Ervin biar jemput kamu di sini?”
Seketika Aileen mendongak, menatap Gama dengan tatapan kesal karena membawa nama adiknya yang overprotective. Setara dengan overprotective-nya sang papa. Bukan hanya itu, Aileen juga kesal karena tinggi Gama yang jauh di atas dirinya hingga membuatnya harus mendongak.
Gama menelan salivanya dengan susah payah kala mendapatkan tatapan tajam dari Aileen. Dalam hitungan detik, Gama mundur. Ia tidak ingin debaran jantungnya terdengar oleh Aileen. “Ayo, Leen. Pilihan di kamu. Mau ngopi sebentar di sebelah atau … aku telepon Ervin.”
Dengusan kesal dari Aileen membuat Gama terkekeh, lantas merangkul pundak Aileen seperti seorang teman.
Aileen mencoba mengedikkan bahu agar tangan Gama lepas dari pundaknya, tapi Gama tetaplah Gama, yang (hampir) tidak pernah menurut padanya.
Hanya beberapa detik, keduanya tiba di depan unit apartemen Gama. Gama menempelkan sidik jarinya ke handle pintu, membukanya, dan mempersilakan Aileen masuk. “Welcome. Nggak terlalu berantakan kan? Duduk aja, Leen. Kamu mau ngopi atau ngeteh?”
Aileen tidak menjawab, tetapi langkahnya mengekor Gama. Posisi ruangan di unit apartemen Gama sama persis dengan unitnya, yang berbeda hanya interior masing-masing unit. Jadi Aileen tahu kalau langkah Gama menuju ke pantri.
“Leen, mau minum apa?”
“Ada cola?”
“Serius kamu mau minum cola jam segini? Cewek biasanya nggak minum—”
“Aku bukan artis yang biasa ada di sekeliling kamu ya.”
“Aku boleh tersanjung nggak sih? Aku nggak nyangka kamu ternyata tau kerjaanku apa.”
“Nggak usah sok tersanjung. Karena sekarang kamu lagi kayak membual, tau nggak? Siapa juga yang nggak tau Gama Mahardika, produser film yang filmnya nggak pernah gagal.”
Gama hanya tersenyum. Alih-alih menyeduh kopi, Gama menuruti keinginan Aileen dan mengambil dua kaleng cola dari dalam kulkas. “Mau pake es batu?” tanya Adam saat mengangsurkan kaleng cola ke hadapan Aileen.
“Nggak nawarin burger sekalian, Gam?”
“Wah, kalo itu kita mesti turun ke café di bawah. Aku masih pengen berdua sama kamu, tapi kalo kamu mau burger ya … ayo kita turun.”
Aileen mengabaikan ucapan Gama, ia lebih pusing dengan nail art-nya yang mungkin rusak kalau ia mencoba membuka kaleng cola.
Tanpa kata, tangan Gama terulur untuk meraih kaleng cola di tangan Aileen dan membukakannya untuk wanita itu.
“Happy?” tanya Aileen.
“Hah?”
“Happy menang lagi dari aku? Keadaanku cukup jadi bahan ketawa kamu kan?”
“Leen!” Gama meletakkan cola yang bahkan belum sempat diminumnya. “Cuma kamu, Leen, yang dari dulu nganggep aku saingan kamu. Aku nggak pernah berniat selalu jadi yang di atas kamu. Lagian juga aku nggak tau apa yang terjadi sama kamu, makanya aku ngajak kamu ke sini buat nenangin diri.”
Aileen mengetuk-ngetuk kuku imitasinya ke kaleng cola, menimbulkan suara yang membuat Gama bergidik.
“Kenapa? Apa yang bikin kamu hancurin isi apartemen?” tanya Gama lagi.
“Mau kuganti semua isinya.”
“Ya nggak dihancurin juga dong, Leen.” Gama menggelengkan kepalanya. Kalau ucapan itu bukan berasal dari penerus Candra Group, mungkin ia akan menyiram air ke kepala Aileen untuk menyadarkannya. Namun karena yang mengucapkan hal itu adalah seorang Aileen Callia Candra, ia bisa apa, karena jelas Aileen punya kemampuan untuk melakukannya. “Aku belum pernah lihat kamu begini, Leen.”
“Kalo orang denger, kesannya kita kayak sahabat deket gitu.”
“Yaaa … paling nggak aku cowok satu-satunya yang berani bawa kamu kabur sampe hampir dilaporin ke polisi sama orang tua kamu.”
Aileen tergelak. Ya, ia benci laki-laki di sampingnya itu, tapi memang ada masa di mana mereka berteman baik sampai melakukan hal-hal absurd. Salah satunya, kisah yang baru disebutkan Gama.
Waktu SD, Gama—yang baru pindah ke sekolah Aileen—mengajak Aileen pulang berjalan kaki karena jemputan Aileen yang sedikit terlambat. Orang tua Aileen panik mencari keberadaan Aileen yang ternyata diajak jalan oleh tetangga mereka sendiri.
“Thanks loh, Gam. Gara-gara kamu, semua anggota keluargaku jadi diikutin orang suruhannya Papa.”
“So, coba sekarang cerita ke aku kayak kamu dulu waktu masih mau berteman sama aku, waktu kamu belum tau kalo aku lebih pinter dari kamu, waktu aku belum ngerebut semua gelarmu di sekolah.”
Wah! Emosi Aileen kembali terpantik. Baru saja ia ingin berterima kasih kepada Gama atas perhatian kecil darinya, tapi … mulut Gama membuat Aileen ingin mencekik laki-laki itu sekarang juga.
“Kenapa? Pacarmu selingkuh?”
Aileen terdiam, bingung kenapa Gama bisa menebak masalahnya dengan tepat.
“Beneran? Kamu begini cuma gara-gara pacarmu selingkuh?”
“Dia nggak cuma selingkuh, Gam. Aku ngelihat mereka make out. Dan asal kamu tau, selingkuhannya itu sekretarisnya sendiri.”
“What? Di sebelah?”
Aileen mengangguk. ‘Damn it!’ Perasaan Aileen benar-benar campur aduk antara marah, kesal, dan sedih.
“Ya berarti dia memang nggak pantes buat kamu.”
“Masalahnya adalah … aku udah bilang ke Papa sama Mama bakal bawa laki-laki yang mau kunikahi ke rumah, weekend ini. Aku mesti bilang apa ke orang tuaku?”
“Ya bilang aja apa adanya. Apa susahnya?”
“Gama!”
“Ya terus mau gimana, Leen? Mau tetap sama laki-laki itu? Selingkuh itu bukan pilihan, Leen. Selingkuh itu tabiat. Berharap sembuh? Kemungkinannya kecil banget.”
“Aku tau! Aku nggak bilang bakal balik sama dia juga kan? Tapi kamu mestinya juga tau, kalau aku nggak pernah ngajak pacarku ke rumah. Aku cuma mau ngajak cowok ke rumah kalau aku udah yakin bakal nikahin dia.”
Mata Aileen mulai berkaca-kaca. Nyatanya dia tetaplah seorang perempuan, sekuat apa pun dia berusaha untuk tidak terlihat terpuruk. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menjalin hubungan, jadi wajar kan kalau ia terluka?
“Jangan nangis! Buat apa nangis? Kamu ngerasa kalah, karena dia selingkuh sama seorang sekretaris atau karena kamu nggak bisa nepatin janjimu ke orang tuamu?”
“Gama!” Dua-duanya. Sejujurnya, dua hal itu yang membuat Aileen meneteskan air matanya. Ia kalah dari seorang Erika yang memang selalu ada di samping Bara. Ia juga tidak bisa membawakan calon suami ke hadapan orang tuanya.
Gama bangkit dari duduknya, sambil berdiri di samping Aileen, ia memeluk tubuh wanita yang biasanya selalu menolak keberadaannya. “Udah kubilang, aku nggak mau ngelihat kamu nangis gara-gara cowok begitu.”
Aileen tidak bisa mendorong Gama, atau lebih tepatnya tidak ingin. Ia butuh seseorang untuk menjadi tumpuan, minimal untuk malam itu saja. Jadi, alih-alih mendorong tubuh Gama, Aileen malah melingkarkan tangannya ke pinggang Gama.
Ya, Aileen harus mengakui kalau ia kalah lagi. Malam itu, ia juga kalah dengan keberadaan Gama yang ternyata bisa menjadi sandarannya.
“Bawa aku ke orang tuamu, Leen.”
Masih dengan sisa air matanya, Aileen mendongak dan menatap Gama dengan bingung. “Hah? Maksudnya?”
Gama menunduk, menautkan bibirnya pada bibir Aileen yang masih sedikit terbuka karena baru saja bicara.
Aileen terkesiap, entah berapa detik, Aileen tidak bisa menghitungnya. Saat kesadarannya terkumpul, bibir yang tadi menguasainya tiba-tiba saja sudah menjauh.
“Kenalkan aku sebagai calon suamimu. Aku … nggak terlalu buruk untuk itu kan?”
“Ada gila-gilanya kan pikiran Gama? Apa … dia lagi riset untuk film dia yang berikutnya?” Aileen mendengkus kesal, masih tidak habis pikir dengan ucapan Gama malam sebelumnya.Kemala—sahabat Aileen sejak SMA yang juga mengenal Gama—tergelak mendengar cerita Aileen. Masih terlalu absurd banginya mendapati Gama melamar Aileen dengan cara seperti itu. Tapi … apa kejadian itu bisa disebut ‘melamar’?“Mungkin dia emang udah ada rasa sama kamu dari dulu. Kamu aja yang selama ini nganggep dia kayak musuh.”“Ada rasa dari mana?” Aileen menepis ucapan Kemala sambil menggelengkan kepala dengan raut wajah geli.“Tapi sebenernya sweet banget sih, Leen. Ngelamar dengan cara yang … beda gitu.”Aileen mendelik kesal. Lamaran apa? Itu hanya trik Gama untuk mencuri ciuman darinya. Lagi-lagi Aileen ingin mengumpat jika mengingatnya. Kenapa juga dia bisa mematung saa
“Leen, ada vice presdir mau ketemu.”Aileen mendelik kesal ke arah Vania yang baru masuk ke ruangannya dan berdiri tidak jauh dari pintu. “Masih idup dia?”“Karena belum kamu bunuh, ya … dia masih berkeliaran dengan bebas.”“Ck!” Aileen berdecak kesal. Kalau bukan karena egonya untuk memberi pelajaran kepada Bara, ia tidak akan membiarkan Bara menginjakkan kaki di gedung milik papanya sejak detik ketika dia tahu kalau Bara telah main serong.“Gimana? Mau ketemu nggak? Atau … biarin aja dia masuk ke sini. Kita siksa dia berdua. Rasanya gatel juga mau nyiksa dia.”“Nggak mau ah. Bilang aja aku lagi super sibuk, bisa makan orang kalo diganggu.”“Ok.” Vania pasrah dengan keinginan Aileen, lagipula memang tugasnya sebagai sekretaris untuk mengkondisikan apa yang Aileen minta. Namun belum sempat Vania keluar dari ruangan Aileen, pint
“Ada masalah, Kak?”Aileen menggeleng pelan kala mendengar bisikan papanya saat rapat akan dimulai, padahal setengah mati Aileen menahan diri untuk tidak mengangguk sekaligus mengatur emosinya agar tidak menendang Bara dari ruang rapat. Aileen bahkan telah mempertimbangkan untuk berpindah posisi agar tidak duduk berhadapan dengan Bara, namun akan terlihat mencurigakan kalau ia yang biasa duduk di sisi kanan papanya tiba-tiba berpindah tempat duduk.Sementara Bara mencoba untuk bersikap tenang. Ia sudah meminta Erika untuk tidak menemaninya pada rapat dewan direksi siang itu demi menjaga mood Aileen yang sedang tidak baik. Kalau Aileen terus-terusan merajuk seperti itu, ia akan memecat Erika kalau hal itu bisa mengembalikan Aileen ke dalam pelukannya. Lagipula ia bukannya jatuh cinta setengah mati kepada Erika. Body Erika memang selalu menjadi godaan tersendiri untuknya, tapi kalau bisa memutar waktu, ia tidak akan selingkuh dengan Erika …, setidaknya ia tidak akan mencumbu Erika di ap
“Pa, Ma!” Aileen sampai harus menyadarkan kedua orang tuanya yang membisu setelah ia mengatakan bahwa Gama adalah calon suami yang dipilihnya.Jelas Naren dan Rhea hanya bisa terdiam sambil mencerna apa yang baru saja didengarnya. Memang Aileen dan Gama selalu satu sekolah, kecuali setelah kuliah. Namun setahu mereka, hubungan Aileen dan Gama merenggang sejak Aileen merasa kalau Gama adalah saingan terberatnya untuk meraih prestasi.Lantas bagaimana mungkin anak sulung mereka bisa menjalin hubungan dengan tetangga sebelah rumah? Sejak kapan mereka berhubungan? Kapan mereka meluangkan waktu untuk bertemu? Banyak pertanyaan yang membuat Naren dan Rhea setengah tidak percaya dengan pernyataan anak sulung mereka itu.“Kenapa kamu masih pake piyama gitu kalo mau ngenalin calon suami kamu, Kak?”Aileen seketika menunduk dan mengamati pakaian tidur yang masih dikenakannya. Niatnya semula hanyalah untuk mengusir Bara dari rumah, siapa sangka ia malah menjebloskan diri sendiri ke dalam umpan y
“Tadinya Papa mau jodohin kamu sama Bara, Kak.”Aileen, Gama, dan kedua orang tua Aileen telah berkumpul di ruang kerja setelah Bara pamit pulang dengan raut wajah tidak terima karena harus pulang lebih dulu dan menyerahkan posisinya sebagai pasangan Aileen kepada laki-laki yang muncul tiba-tiba di hari itu. Tapi demi apa pun, Bara tidak berani bertahan di sana dengan tatapan Aileen yang mematikan.“Kenapa?” tanya Aileen setengah penasaran. Kenapa tidak dari dulu ia dijodohkan dengan Bara? Kalau begitu kan kemungkinan ia bisa meresmikan hubungannya dengan Bara jauh-jauh hari.‘Trus pas udah nikah, diselingkuhin! Mirip kayak cerita novel sama sinetron.’ Tiba-tiba Aileen tersadar dengan pemikirannya sendiri. Bukan masalah waktu. Justru mengerikan kalau ia telah menikah dengan Bara dan berakhir dengan diselingkuhi.“Ya … Bara kandidat yang cocok menurut Papa.”“Apa bagusnya Bara sih, Pa?” Aileen mendengkus kesal karena ternyata papanya pernah mempertimbangkan Bara sebagai pendamping untu
“Aileen, diminum dulu,” tegur Gama saat memperhatikan Aileen—yang sejak mereka menginjakkan kaki ke dalam cafe—hanya melamun sambil menatap ke luar café.“Hah?”“Diminum dulu, Sayang.”Aileen dengan refleks menggerakkan kaki untuk menendang tulang kering Gama ketika mendengar laki-laki itu memanggilnya ‘Sayang’.Gama hanya mengernyitkan kening sambil menahan geraman kesakitannya. “Jangan kasar sama calon suami, Leen.”Memutar kedua bola matanya dengan malas, Aileen mendengkus pelan. “Ada cara nggak untuk ngebatalin semuanya? Maksudku … aku kemaren cuma berniat untuk lepas dari Bara. Aku nggak mau Bara cerita tentang hubunganku dulu sama dia ke orang tuaku. Aku nggak tau kalau semuanya malah semakin runyam.”“Kenapa harus dibatalin?” Kali ini Gama benar-benar serius menatap Aileen. Ia tidak ingin Aileen menganggapnya hanya bercanda meskipun Aileen belum bisa mempercayainya.“Kenapa harus diterusin kalau kita berdua sebenernya nggak ada perasaan apa-apa?”“Loh! Aku kan tadi udah ngaku d
“Sejak kapan kalian berhubungan?” tanya Alfa yang agak tidak percaya dengan permintaan izin dari adiknya. Adiknya itu, tidak bisa dibilang cupu dalam hal asmara, tapi bukan juga player yang berganti wanita seperti berganti celana dalam. Hanya saja, ini pertama kalinya Gama mengajak seorang perempuan untuk dikenalkan kepadanya, meskipun ia tahu kalau sebelumnya Gama pernah sangat mencintai seorang perempuan.“Jangan nanya sejak kapannya, Kak. Yang penting kan ke depannya gimana, aku serius atau nggak?”Alfa terlihat menimbang-nimbang sesaat sebelum akhirnya memilih beralih kepada Aileen. “Kamu mau Leen sama dia? Nggak salah pilih?”Aileen tersenyum tipis. Ia bahkan melemparkan pertanyaan yang sama untuk dirinya sendiri dan belum bisa menemukan jawaban, lantas bagaimana sekarang ia harus menjawab pertanyaan dari Alfa itu?“Kakak jangan bikin Aileen ragu lagi dong! Wanita karir itu nggak gampang diyakinin untuk diajak nikah.” Gama yang akhirnya menyahut demi menyelamatkan Aileen yang sed
"Kok aku deg-degan sih mau masuk ke kantormu, Leen.”Aileen merotasikan kedua bola matanya dengan malas. Ia berjalan beberapa langkah di depan Gama dan sengaja mempertahankan kecepatan langkahnya agar tidak perlu berjalan berdampingan dengan laki-laki itu. Namun, dalam sekejap Gama berhasil mensejajari langkahnya.“Sana, daftar dulu ke resepsionis.” Lagi-lagi sengaja Aileen mengisengi Gama.“Harus? Kan aku sama kamu. Masa nggak boleh masuk?” tanya Gama heran. Pasalnya ia tahu kalau Aileen bukan pegawai biasa. Aileen seorang direktur di perusahaan itu, ditambah lagi anak pemilik perusahaan. Mana mungkin Aileen tidak bisa ‘menyelundupkannya’ masuk. “Serius nggak bisa, Leen? Kamu kan orang dalem.”“Iiih! Peraturan ya peraturan, Gam!” Aileen berhenti di dekat swing barrier gate sambil menunjuk ke arah resepsionis dengan dagunya.Gama mendengkus pelan sebelum akhirnya pasrah berjalan ke depan meja resepsionis.Dari jauh Aileen menahan tawanya melihat Gama bersungut kesal sambil membuka dom
"Kamu serius?" Gama mengernyitkan kening setelah mendengar permintaan Aileen sore itu. Aileen mengangguk dengan wajah penuh harapnya. "Kenapa tiba-tiba?" Gama masih belum bisa menghilangkan rasa herannya. Meski memang sejak ada seorang putri menggemaskan di tengah-tengah mereka, Aileen jadi lebih lembut dan … hopeless romantic—kalau bisa Gama simpulkan dengan sebuah frasa. Dan Gama tidak pernah keberatan menghujani Aileen dengan keromantisan seperti yang diinginkan Aileen. "Pengen aja, Gam. Nggak mau ya?" Aileen tidak sadar kalau ia memperlihatkan rasa kecewanya karena Gama seakan menolak ajakannya. "Bukan nggak mau. Tapi semuanya pasti udah beda. Nggak bakal sama kayak dulu. Udah puluhan tahun kan." "Ya nggak apa-apa. Sekalian olahraga. Ya?" rengek Aileen. "Jarak segitu mana bisa disebut olahraga, Cinta. Kalau dulu aja kita kuat apalagi sekarang." "Tapi kan—” Aileen langsung terdiam saat Gama berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri. Ia akhirnya bisa terseny
“Kakek juga punya villa di Bandung, ngapain kita nginep di hotel?” Aileen mengerucutkan bibir kala mobil yang dikendarai sopir berhenti di depan sebuah hotel. Ya meskipun ia juga salah satu bisnis di bawah jaringan Candra Group, tetap saja ia lebih nyaman jika menginap di villa kakeknya. “Villanya Kakek lagi direnov kata Mama.” “Hah? Renov? Apanya?” “Cuma dirapi-rapiin aja dikit. Nanti kita ke sana kok, Mama minta tolong aku buat sekalian ngelihat hasilnya. Tapi sekarang kamu mesti istirahat dulu. Villa Kakek masih ke atas lagi kan, sekitar satu jam dari sini. Kita udah empat jam di perjalanan. Aku nggak mau kamu kecapekan, jadi kita mesti istirahat dulu.” “Iya kita lama di perjalanan itu karena kamu berkali-kali nyuruh sopir buat pelan-pelan.” “Kan biar Kakak nggak keguncang-guncang.” Aileen mengernyitkan kening. Kadang ia masih bingung dengan panggilan ‘Kakak’ yang disebut Gama. Pasalnya dari kecil pun ia dipanggil ‘Kakak’ oleh semua anggota keluarganya, termasuk mama dan papan
“Aku mau nikahin Aileen lagi.”Tiga orang di hadapan Gama—Ervin, Yara, dan Kemala—menatap Gama dengan bingung.“Maksudku, aku mau … semacam ngulang acara pernikahanku sama Aileen. Akad nikahnya sih nggak. Cuma perayaannya aja,” terang Aileen saat melihat ketiga orang di hadapannya benar-benar terlihat kebingungan. “Bisa bantu aku? Karena aku maunya ini jadi kejutan buat Aileen, aku nggak bisa nanya langsung dia maunya gimana. Kalian sebagai orang terdekat Aileen, pasti pernah dong denger gimana pernikahan impian Aileen.”“Emangnya itu bakal ngobatin sakit hatinya Kak Aileen?” sindir Ervin terang-terangan.“Mungkin nggak. Tapi aku mau mewujudkan pernikahan impian Aileen.”Gama sudah memikirkannya jauh-jauh hari. Mungkin ia tidak bisa mengobati sakit hati Aileen karena kelakuannya dulu yang menjadikan acara pernikahan mereka sebagai ajang balas dendam kepada mantan kekasihnya. Tapi setidaknya, ia ingin Aileen memiliki kenangan tentang acara pernikahan yang pernah Aileen impikan.“Jadi,
“Kak Beta, ini adeknya bisa dibawa pergi nggak? Apaan sih? Ngomong aneh-aneh,” gerutu Aileen. “Kamu pikir aku sejahat apa sampe bisa gugurin anakku …, kalau bener aku hamil. Aku bukan dia.”Gama menutup mulutnya, begitu juga dengan Beta yang entah mengapa merasa tersindir, padahal Aileen tidak berniat menyindir siapa pun. Ia hanya mengungkap fakta.“Kayaknya kalian perlu ngobrol. Aku tinggal ya, Gam. Kopermu nanti biar dianter orang ke rumahmu.” Beta lantas beralih ke Aileen. “Selamat ya, Leen. Jangan lupa cek lagi ke dokter.”Aileen hanya bisa mengangguk sambil menatap kepergian kakak iparnya itu. Ia masih malas melihat Gama yang ada di hadapannya, padahal berminggu-minggu sebelumnya ia benar-benar ingin bertemu dengan Gama.“Mau ke dokter sekarang? Kak Beta ada jadwal praktek jam dua. Tapi kalo kamu mau ke dokter lain, coba … biar aku tanya ke stafku di kantor, ada yang udah punya anak kok. Siapa tau dokter kandungannya bagus. Atau … tanya Mama—”“Gam.” Aileen menggeleng. “Jangan bi
"Gama!""Hm?"Kemala semakin menggeram kesal mendengar gumaman Gama. Jelas kalau Gama baru saja bangun tidur atau bahkan sekarang pun masih memejamkan mata setengah tidur."Lo tau kan kalo Aileen nggak enak badan? Lo tau kan kalo Aileen muntah-muntah?" sentak Kemala."Hm?""Bangun, Gam! Gue perlu ngomong serius sama lo."Aileen menatap kosong kepada Kemala. Ia sedang mengabaikan kenyataan bahwa Kemala sedang menghubungi suaminya karena ada kemyataan lain yang harus ia hadapi.Gama terkesiap. Ia kini benar-benar dalam mode siaga. "Aileen kenapa, Mal? Lo masih sama dia kan?""Udah gila ya lo? Denger istri lagi begitu bukannya pulang? Nggak mampu beli tiket lo? Apa urusan di sana lebih penting daripada istri lo?""Mal, Aileen kenapa?"Kemala masih berusaha menenangkan diri sambil mengatur napasnya. Di otaknya hanya ada sumpah serapah untuk Gama. Karena itu, ia tidak menjawab apa pun yang ditanyakan Gama. Fokusnya adalah mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada di kepalanya."Pulang lo pagi
“Kamu mau balik, Kak? Ngapain? Di rumah juga nggak ada orang kan.”“Kangen rumah, Pa,” jawab Aileen sembari ikut duduk di samping papanya dan bergelayut manja di lengan sang Papa.“Kangen rumah apa kangen suami? Belum pulang juga tuh si Gama? Emangnya nggak bisa nyempetin waktunya? Weekend gitu, pulang ke Jakarta sebentar. Cuma Kalimantan loh, bukannya Amerika.”“Masalah di tambang belum selesai, Pa. Kalo dia pulang, malah makin lama di sananya nanti,” jawab Aileen menenangkan sang Papa yang sepertinya mulai kesal.Apa itu artinya Aileen tidak kesal dengan suaminya?Jangan salah! Aileen juga kesal setengah mati karena Gama tidak kunjung pulang setelah satu bulan pergi ke Kalimantan. Kadang ia bahkan curiga kalau Gama memiliki perempuan lain di sana. Namun, sleep call yang mereka lakukan setiap malam tidak menunjukkan hal-hal yang mencurigakan."Ajak Bibi, atau Mbak, atau siapa pun dari sini, Kak. Mama sama Papa nggak tenang kalo kamu sendirian di rumah." Rhea menepuk punggung tangan A
“Dari mana lo yakin dia nggak akan balik lagi?” “Yakinlah, at least untuk sementara.” Kemala mengangguk pasti. “Kontraknya lima tahun. Lama ya tanda tangan kontraknya kalo diitung-itung, hampir satu tahun kan ya, setelah kalian depak dia dulu. Tapi sekarang lo bisa lega kan?” Aileen terkekeh. Memang lebih lama dari yang diperkirakannya. Ia dan Gama juga tidak terlalu mengurus kepindahan Arabella atau apa pun yang berkenaan dengan perempuan itu. Namun, pada akhirnya ada kepastian bahwa Arabella akan berkarir di luar untuk sementara waktu. Meski tidak ada yang namanya kontrak untuk selamanya. Suatu hari nanti, kemungkinan besar Arabella akan kembali lagi. Entah apa yang akan terjadi pada hubungannya dengan Gama ketika hal itu terjadi. Lima tahun lagi, mungkin saja hubungannya dengan Gama jadi lebih erat dengan hadirnya seorang anak. Atau … mungkin juga hubungannya jalan di tempat seperti sekarang karena ia yang masih merasa ragu dengan hubungan rumah tangganya. Ini bukan hanya tenta
“Beneran nggak ada kerjaan urgent?”Aileen mengangguk begitu mendengar pertanyaan Gama yang dilemparkannya berkali-kali sejak suaminya itu memintanya untuk ikut bertemu dengan Adit—suami Beta.“Mas Adit ngebolehin nggak ya kalo aku ngajak Risa ke rumah Ibu?” Gama menggaruk kepalanya yang tidak gatal.Perceraian Beta dan Adit memang masih dalam proses. Tapi karena Adit juga masih harus bekerja dan Adit tidak ingin Risa terkontaminasi dengan kelakuan buruk Beta, maka Adit membawa Risa ke Semarang untuk diasuh oleh orang tuanya. Itu juga yang sedang diperjuangkan Adit—hak asuh Risa.“Nanti kita coba yakinin, kalau niat kita cuma ngobatin kangennya Ibu, bukan mau ngambil Risa dan bikin Risa jauh dari Mas Adit.”Jam makan siang sudah hampir berakhir ketika Gama memarkirkan mobilnya di area parkir sebuah hotel.“Ayo, Mas Adit udah nunggu di lobby.”Benar seperti yang dikatakan Gama, Adit tengah duduk di sofa yang berada di lobby hotel sembari memangku Risa yang masih berumur dua tahun.“Hai
“Iklan yang itu cancel juga, Ra.”Arabella menatap manajernya dengan tatapan nyalang. “Gimana sih kamu? Gitu aja nggak becus! Udah berapa iklan yang cancel? Berapa acara yang juga cancel? Kamu bisa bayangin nggak seberapa besar kerugianku?”Jemmi menggaruk pelipisnya. Ia juga tidak bisa apa-apa ketika klien artisnya itu satu per satu memutuskan untuk mundur. Bukan ia tidak becus, tapi ia sudah mencoba negosiasi ulang, berkali-kali, tetapi tetap saja klien mereka memutuskan untuk membatalkan kontrak, baik yang sudah ditandatangani, atau bahkan yang masih tawar-menawar.“Turunin rate-ku deh,” ketus Arabella. Ia yakin banyak juga artis di luar sana yang menurunkan rate-nya di masa paceklik seperti dirinya sekarang. Ini bukan lagi perkara ‘yang penting dapur ngebul’. Kalau hanya untuk urusan hidup sehari-hari, tabungannya jauh lebih daripada cukup. Tetapi ini masalah eksistensi di dunia hiburan. Jangan sampai orang-orang lantas lupa ada seorang artis yang bernama Arabella.“Sudah, Ra. Kam