"Finish your breakfast first."
Tuh kan! Spontan, aku berdecih. Mataku menyipit, menatap Zean sebal.
"Stingy!" olokku lirih sambil kembali menyantap pancake yang baru kumakan sesuap. Dua detik kemudian, gawaiku kembali berdenting. Lagi dan lagi. Sayangnya, Zean masih tampak tidak peduli.
"Pesannya dari siapa?" tanyaku setelah menelan makanan dalam mulutku. Setidaknya, separuh pancake di atas piringku sudah ludes. Rasa ingin tahuku makin tak terbendung ketika gawaiku kembali berdenting sebanyak lima kali secara beruntun.
"Sepertinya ada yang penting, ya, Zean? Kok aku sampai di-spam gitu?" tanyaku lagi separuh mengkode Zean agar memeriksa gawaiku. Dalam hati, aku sungguh berharap Zean mengembalikan gadget-ku.
Setidaknya, aku sudah menghabiskan separuh makananku, kan?
Pria itu merogoh lagi sakunya, mengeluarkan gawaiku. Begitu melihat nama yang muncul di layar, Zean mendadak mengernyitkan dahi. Namun, begitu dia melihat ke arah piringku, pria itu kembali mengantongi smartphone-ku seperti sebelumnya. Wajahnya sama sekali tidak memancarkan niat untuk mengembalikan barang sitaannya padaku.
Jika sebagai seorang kakak, Zean memang tipikal kakak terbaik. Namun, hal itu tidak berlaku jika ia dalam mode Daddy seperti ini. Zean benar-benar menjadi menyebalkan. Pria yang lebih tua lima tahun dariku itu begitu keras kepala. Meskipun ketentuan yang dia berikan bukan hal yang sulit ⎼dan juga relatif logis⎼ tapi tetap saja menyebalkan karena aku diperlakukan seperti anak kecil.
Oke, aku memang kadang kelepasan menjadi childish. Namun, mari kesampingkan itu terlebih dahulu karena ada hal yang lebih penting. Mengambil kembali gadget-ku, misalnya.
"Siapa, Zean?" tanyaku lagi karena Zean tampak enggan menjawab.
"Reina," jawab Zean sambil melirikku, kemudian ke arah piringku. Aku tahu apa yang hendak dia katakan. Namun, aku bersyukur Zean menyimpannya untuk dirinya sendiri. Aku sungguh tidak mau diceramahi seperti anak kecil untuk saat ini.
Tepat ketika makananku sudah hampir habis, gawaiku berdenting lagi. Aku pun kembali menyahut, "Wah, pasti ada kabar penting. Soalnya Reina nggak hobi spam kalo nggak ada yang penting."
Oke. Ini agak bohong. Karena meskipun Reina di dunia nyata adalah sosok yang irit bicara, tapi di chatroom kami, berisiknya seorang Reina Zadda bisa mengalahkan kecepatan kereta. Bahkan, spam adalah nama tengah Reina o****e mode.
"She just sent you stickers," jawab Zean enggan.
"Berarti ada yang penting banget di pesan sebelumnya, Zean. Jadi, dia sampai bela-belain kirim stiker biar chat-nya nggak tenggelam."
Dahi Zean mengerut heran. Dia menatapku heran, separuh tidak paham. "Really? Don’t you get annoyed by her?"
Aku hanya menggeleng sambil memasukkan potongan pancake terakhir ke dalam mulutku. Karena Reina, Chariz, dan aku, sudah bersahabat sejak kelas dua SD, bisa dibilang, kami sudah kebal pada kebiasaan buruk masing-masing. Bahkan, kami menganggapnya sebagai salah satu ciri khas. Haruskah aku menjelaskan hal itu juga pada Zean? Hmmm, I guess not.
"I'm done!" seruku dengan mulut masih penuh, sambil menyodorkan telapak tanganku ke arah Zean. Gerakan yang mengisyaratkan agar pria berambut pendek itu mengembalikan smartphone-ku yang sedari tadi dia sandra. Setelahnya, mulutku sibuk mengunyah dengan cepat.
"Telan dulu makanannya," titah Zean, masih dengan nada kebapakannya.
Mataku kembali menyipit tajam, menatap Zean sebal karena banyak maunya. Pun begitu, rahangku menurut. Bahkan, aku mengunyah lebih cepat dari sebelumnya.
"Pelan-pelan, Anna. Nanti kamu terse⎼"
“UHUK! UHUK!”
Zean terlambat. Aku sudah tersedak duluan.
"See? I've told you!" omel Zean sambil menyodorkan jus jeruknya padaku dengan wajah cemas separuh kesal. "Minum dulu. Pelan-pelan!"
Reaksiku? Tentu saja aku pura-pura tidak dengar. Zean akan mengomel lebih panjang ala ibu-ibu kalau aku berani menutup telinga saat dia mengomel. Jadi, kuurungkan niat untuk melakukannya. Lagipula, Zean tidak pernah mengomel panjang, dan dia berbuat begini karena peduli padaku. Dia 'kan “Daddy Zean”.
Tanganku terulur, meraih gelas yang disodorkan Zean, tanpa menatap wajahnya. Malu? Bukan. Aku malas saja kalau nanti tatapan mata kami bertemu, Zean malah menyeringai karena sok benar. Kan menyebalkan!
Setelah aku meneguk separuh jus jeruk Zean dan tenggorokanku kembali lega, barulah aku menatap Zean. Sialnya, pria itu tiba-tiba menyeringai saat pandangan mata kami beradu. Netra birunya tampak seperti ingin tertawa ketika tangannya bergerak, menyodorkan gawaiku. Persis seperti bayanganku sebelumnya.
"Makanya, kalau dikasih tahu tuh nurut." Nada menggoda yang digunakan Zean membuatku makin merasa kesal. Sialnya, yang dikatakan Zean ada benarnya. Jadi, aku tidak bisa menyanggah ataupun membuat perasaanku menjadi sedikit lebih baik.
"Hng," gumamku cuek pada akhirnya, sambil meraih gawaiku cepat. Tidak lucu kalau Zean tiba-tiba berubah pikiran, atau malah mendapat alasan lain untuk menahannya lebih lama. Meskipun kemungkinan bahwa Zean akan melakukannya teramat kecil, tidak ada salahnya berjaga-jaga, kan?
Ketika aku melihat notifikasi, aku refleks terkekeh melihat spam Reina. Ada dua puluh pesan. Dasar Reina! Dia benar-benar niat “menyampahi” inbox-ku. Atau gadis cantik itu memang sedang gabut?
Sambil menahan tawa, aku mulai membaca satu per satu pesan Reina.
ReinaEeeekkkkaaaaaaaa
Di mana?
Nanti malam bbq di rumahku, ya?
Nggak ada acara, kan?
Besok nggak ada kuliah, kan?
Ya?
Ya?
Ya?
Oke.
Fix.
You've joined the party.
Sembilan pesan lainnya adalah stiker cium dari Reina. Kurang kerjaan, bukan? That's Reina Zadda for you.
"Nanti malam Anna ada rencana?" tanya Zean tiba-tiba saat aku hendak mengetik balasan untuk Reina.
"Ini diajak Reina barbeque di rumahnya," jawabku tanpa menatap Zean.
"Jangan datang."
Seketika aku menatap Zean. Netra coklat tuaku menatapnya protes. Aku sudah bersahabat dengan Reina dan Chariz jauh sebelum bertemu Zean. Dan sekarang pria lajang itu mau sok membatasi pertemananku seperti papa Ian?! Ada apa ini?!
Tepat ketika aku hendak menyuarakan protes, tiba-tiba Zean menambahkan, "please," dengan nada memelas. Netra birunya pun memancarkan sinar yang sama. Sebuah keputusasaan. Tampaknya, pria itu sudah tahu kalau aku akan memilih berkumpul dengan kedua sahabatku dibandingkan dengannya.
"We'll have dinner at my house tonight. Please come. You have to come."
Di akhir kalimat, ada nada memohon separuh memaksa ala Zean. Dari tatapan matanya ⎼yang kalau dilihat terlalu lama bisa bikin tenggelam⎼ aku merasa ada hal penting yang tidak dikatakan oleh Zean.
Tapi apa?
Keluarga kami memang dekat karena papa Ian dan daddy Austin ⎼ayah Zean⎼ adalah sahabat sejak SMA. Jadi, sejak reuni mereka pada tujuh tahun yang lalu, muncul peraturan tidak tertulis kalau keluarga kami mengadakan makan malam bersama minimal satu kali dalam sebulan. Kalau ingatanku tidak salah, jadwal makan malam bersama pada bulan ini sudah dilakukan dua pekan yang lalu. Jadi, kenapa makan malamnya diadakan lagi?
Aku hendak menanyakannya pada Zean, tapi air muka pria itu masih terlihat memohon karena aku memang belum memberikan jawaban. Oke. Kalau Zean sampai seperti ini, berarti memang ada acara khusus.
Tapi apa? Memangnya ada yang ulang ta⎼ TUNGGU!! Sekarang tanggal berapa?!
Bibirku terkesiap saat otakku terpikir satu hal. Seketika, fokusku kembali kepada benda persegi panjang yang agak pipih di tanganku. Dengan gerakan cepat, aku menekan simbol rumah di layar gawaiku dan muncullah yang kucari. Bersamaan dengan otakku yang sudah mengingat ini hari apa, umpatan hampir meluncur dari mulutku.
Today is his freaking birthday!
“Zean …,” panggilku lirih seraya menatapnya dengan tatapan bersalah. Namun, Zean langsung tersenyum, seolah tahu apa yang ada dalam pikiranku. Sejak kami dekat, dan aku tahu kapan tanggal ulang tahun Zean, aku belum pernah kelolosan seperti hari ini.
Dengan ini, berarti aku gagal membuat kejutan selama enam kali berturut-turut untuk perayaan ulang tahun Zean. Karena setiap aku berulang tahun, Zean selalu memberiku kejutan yang menyenangkan. Makanya, aku juga ingin melakukan hal yang sama untuk Zean. Pria yang sangat baik dan istimewa itu layak untuk mengalami hal baik dan istimewa, terlebih, di hari istimewanya. Tidak seperti Duo Reefhitch yang malah fokus membuatku darah tinggi di hari istimewaku!
UGH! Ini semua karena quiz Pak Fadil! Demi nilai A yang belum pernah kudapatkan dari mata kuliah beliau, aku jadi mengalami distorsi waktu. Oke, ini agak berlebihan. Tetapi, tugas mata kuliah lain dan persiapan untuk quiz kelas Pak Fadil memang benar-benar menyita fokusku seminggu belakangan ini. Aku sampai terpaku pada kalender hanya untuk menghitung deadline tugas.
Untung Zean baik hati. Setidaknya, pria itu masih berusaha bernegosiasi mengenai jadwalku. Tidak seperti seseorang yang asal perintah seenaknya agar ⎼apapun yang terjadi⎼ aku mengikuti jadwal acaranya. Semendadak apapun rencananya. Sialnya, pria itu adalah ayah kandungku sendiri.
Tepat ketika aku membuka mulut, Zean tiba-tiba menempelkan jari telunjuknya di depan bibirku. Masih dengan senyum yang bisa membuat banyak hati perempuan hanyut itu, Zean menggelengkan kepala pelan.
"It's ok, Anna. Ucapannya juga ditunda dulu buat nanti malam, ya?" ujarnya lembut bak seorang ayah yang sangat pengertian. Kemudian, pria itu menarik tangannya sambil terkekeh lirih. Tangan yang sama ⎼yang mengisyaratkan agar aku diam⎼ berpindah, mengusap puncak kepalaku. "Jadi, nanti malam Anna datang, 'kan?"
Aku langsung mengangguk. Aku, Chariz, dan Reina sudah sepuluh tahun lebih bersahabat. Jadi, kurasa mereka akan maklum jika kali ini aku memprioritaskan Zean.
Because it is my Daddy Zean's birthday.
Lagipula, aku yakin seratus persen kalau aku akan dalam masalah jika Papa tahu aku lebih memilih untuk makan-makan dengan Reina dan Chariz dibandingkan makan malam dengan keluarga Zean. Apalagi acara barbeque di tempat Reina hampir tiap bulan diadakan, meskipun jadwalnya tidak tetap. Berkat karir modeling Reina yang makin gemilang, acara kumpul kami pun mengikuti jadwal si Global-Top-Model-gonna-be. Tidak sepertiku yang bekerja sambilan sebagai guru les beberapa siswa SMP dan SMA, yang jadwalnya cenderung teratur dan tidak terlalu padat.
"Ada kado yang sedang kau inginkan, Zean?" tanyaku sambil tersenyum lebar. Meskipun aku tidak bisa memberinya kado sekarang, setidaknya aku bisa mempersiapkannya untuk, nanti malam, kan? Itupun jika Zean tidak minta yang aneh-aneh.
Well, sebagai seseorang dari kalangan crazy rich, Zean memang tidak bisa diberi kado sembarangan. Bukan karena seleranya yang tinggi atau cenderung pemilih. Lebih tepatnya, karena Zean sudah punya segalanya. Jadi, lebih baik aku menanyakan langsung kepada yang bersangkutan daripada menebak-nebak tidak jelas.
"Ada," jawab Zean setelah berpikir sejenak.
"Apa? Mahal, nggak?"
Zean menggeleng.
"Susah?"
Zean diam sejenak. "Not really."
"Berbahaya?"
Zean tertawa. "Totally not."
Aku menyipitkan mataku dan menatap Zean penuh harap. "Can I fullfill it?"
"Of course," jawab Zean dengan wajah full smile.
Seketika, senyumnya tertular padaku. "Oke. What is it?"
"Vouchers."Dahiku berkerut heran. "Vouchers?"Zean mengangguk. "Wishing vouchers. Three is enough."Mataku ⎼yang kata orang sudah sipit⎼ makin menyipit, menatap Zean curiga. Bagaimanapun, biasanya kupon keinginan itu inisiatif pemberi. Bukan request penerimanya."Kamu nggak akan minta yang aneh-aneh, 'kan?"Pemuda itu menggeleng. Kali ini bibirnya membentuk cengiran jahil.
Tuh, kan.Meski pencahayaannya remang-remang, aku masih bisa mengenali mobil mewah di luar jendela sisi kananku sebagai city car kesayangan Zean. Itu artinya, kami sudah sampai tujuan, dan kedua saudaraku itu benar-benar merealisasikan prasangkaku sebelumnya. Bahwa mereka tidak akan membangunkanku saat sudah tiba. Yang tidak kusangka, mereka benar-benar meninggalkanku di dalam mobil yang sudah diparkir di dalam garasi.Pintar sekali. Kalau begini, tidak ada yang akan tahu kalau aku masih terlelap di dalam mobil. Kecuali, jika ada yang mau berjalan jauh ke dalam garasi kediaman Kanatta yang sudah seperti showroom mobil mewah di basement
"Anna." Zean tiba-tiba menahan sikuku saat kami tengah menyusuri ruang tengah kediaman Austin Kanatta yang megah. Saat aku menoleh ke arahnya, Zean menatapku cemas bercampur ragu. Ia tetap diam, tetapi matanya sesekali melirik ke arah kak Naki dan Chris, seolah menunggu keduanya mencapai ruang makan terlebih dahulu. Begitu kedua saudaraku benar-benar dalam radius yang cukup jauh untuk menguping, aku mencoba bertanya, "Ada apa, Zean?" Pemuda yang mengenakan kemeja putih dengan dua kancing teratasnya dibuka dan lengan yang dilipat hingga siku itu menggaruk tengkuknya gugup. Tidak biasanya Zean seperti ini. "Ehm ... ini tentang kado ulang tahunku," jawabnya masih terlihat ragu. "Oh, kontrak itu? Kenapa?"
"Ian memang cemas setengah mati saat Jessica kecelakaan setelah basket summer camp-nya. Tetapi, jauh di lubuk hatinya, aku yakin kalau Ian bahagia karena kecelakaan itu membuat Jessica tidak bisa lagi bermain basket." Aku seketika terdiam. Sejujurnya, aku kesulitan mencari sisi positif dari cerita daddy Austin barusan. Karena sebagai sesama pecinta basket, juga dengan pengalamanku dengan "olahraga dan Papa", aku otomatis tidak menyukai kenyataan itu. Terlepas dari itu memang kenyataan yang ada, atau hanya kesimpulan yang diambil oleh daddy Austin. Karena secinta apapun papa pada mama, tetap saja itu terdengar sangat egois.
INI PENIPUAN! Aku tidak menyangka kalau Zean akan menipuku di saat seperti ini! Benar-benar tidak bisa dipercaya! Baiklah. Zean tidak sepenuhnya bersalah. Ini juga bagian dari konsekuensi karena aku malas bertanya dan asal percaya pada orang lain. Tetapi, tetap saja aku kesal setengah mati! Bisa-bisanya Zean menjebakku semudah ini! Yang lebih menyebalkan lagi, pria itu malah menahan tawa saat bertemu pandang dengan mataku yang menyorot sinis ke arahnya. Dia pikir aku sedang merajuk biasa?! Dasar keterlaluan! Daddy macam apa yang berani menjebak putrinya seperti ini? “I’ve told you, Dear! I’ve seen it coming! Anna will be our daughter-in-law sooner or later!
Aprilyn Shimaru, alias kakak perempuan Rian, adalah gadis yang dicintai oleh kak Naki. Setelah kesalahpahaman beberapa tahun yang lalu yang membuat hubungan mereka kandas, kakak sulungku akhirnya bisa memulihkan kembali hubungan mereka. Bahkan, sekarang mereka berdua sedang dalam tahap persiapan pernikahan. Sejak awal, aku memang tidak setuju dengan hubungan kedua insan itu. Sedalam apapun cinta kak Naki padanya, perempuan itu juga sudah melukai kak Naki sama dalamnya. Well, hubungan memang begitu, sih. Hanya, aku masih belum bisa lupa bagaimana perasaan keluargaku yang nyaris kehilangan kak Naki karena perempuan itu. Jadi, aku sendiri sedang dalam proses memaafkannya karena kakak sulungku terlihat lebih bahagia setelah mereka berhubungan lagi. Sudah? Begitu saja? Ten
Dahi papa Ian mengerut. Samar-samar, ia menatapku bingung. “Ada apa, Echana?” Aku segera menggeleng, lalu tersenyum. “Nggak apa-apa, Pa.” Sekedar informasi, aku masih cukup waras untuk tidak mengutarakan pertanyaan yang baru saja terbesit dalam benakku. Semarah apapun, aku masih tidak cukup berani untuk membuat papa Ian turut merasakan amarahku. Aku sudah cukup bersyukur dengan kehadiran Jessica Graciella Reefhitch sebagai ibuku yang sangat pengertian dan peduli. Tanpa kata, wanita kelahiran Surabaya itu sudah tahu ada yang salah dengan anak-anaknya hanya dalam sekali lihat. Benar-benar pelengkap dari sosok Sebastian Arthur Reefhitch yang kaku, semaunya sendiri, dan tidak peka. Terlebih, papa Ian sedang dalam mode sangat
Malam ini benar-benar melelahkan. Aku memang sudah menyerahkan acara pemutusan pertunangan pada Zean, tetapi tetap saja otakku tidak bisa tenang sepenuhnya. Terlebih, karena beberapa jam sebelumnya, Zean menjebakku dengan sangat mulus. Tidak menutup kemungkinan kalau ia akan melakukan trik yang sama dikemudian hari, bukan? Secara teori, aku tahu kalau aku harus berhenti memikirkannya agar tidak makin sakit kepala. Namun, kenyataan tidak pernah sebaik itu padaku. Buktinya, hati dan pikiranku tidak berhasil mendapat ketenangan meski sudah kupaksa beristirahat sambil menutup mata. Padahal, kedua saudaraku tidak banyak bicara selama perjalanan. Lagu yang dimainkan oleh radio kerap kali mendominasi tumpangan kami. Biasanya, dengan begitu aku akan lebih cepat terlelap. Di luar dugaan, ternyata kerja pikiranku masih terlalu berat untuk membiarkan otakku berist