"Ian memang cemas setengah mati saat Jessica kecelakaan setelah basket summer camp-nya. Tetapi, jauh di lubuk hatinya, aku yakin kalau Ian bahagia karena kecelakaan itu membuat Jessica tidak bisa lagi bermain basket."
Aku seketika terdiam. Sejujurnya, aku kesulitan mencari sisi positif dari cerita daddy Austin barusan. Karena sebagai sesama pecinta basket, juga dengan pengalamanku dengan "olahraga dan Papa", aku otomatis tidak menyukai kenyataan itu. Terlepas dari itu memang kenyataan yang ada, atau hanya kesimpulan yang diambil oleh daddy Austin. Karena secinta apapun papa pada mama, tetap saja itu terdengar sangat egois.
Tiba-tiba seseorang menutup kedua telingaku. Saat aku menoleh ke kanan, Zean sudah berdiri di sampingku, menatap ayahnya dengan tatapan menegur.
"Jangan dengarkan Daddy, Anna. Dia sama isengnya dengan kedua saudaramu."
Spontan, aku menahan tawa.
"Kenapa? Kau cemburu karena Anna lebih suka berbincang denganku? Makanya jangan terlalu kaku, Nak. Jika begini terus, tidak akan ada wanita yang betah denganmu."
"Seperti Mommy betah dengan Daddy saja," balas Zean sambil memutar mata.
"At least she loves me." Daddy Austin menyombong.
"But she loves me more." Zean menjulurkan lidahnya mengejek, dan aku tertawa melihat interaksi mereka yang lucu.
Sayangnya, suara perutku yang agak kencang menginterupsi pertunjukkan sang ayah dan anak Kanatta. Keduanya kompak terdiam sesaat. Detik berikutnya, mereka menatapku bersamaan, kemudian tertawa. Hanya aku yang menunduk malu.
"Baiklah. Baiklah. Ayo kita makan. Tuan Putri sudah lapar, rupanya," ujar daddy Austin sebelum kembali tertawa.
"Kan Daddy yang mengulur waktu makan malam kami."
Daddy Austin yang berdiri di sisi kiriku mendesis sambil menatap putra tampannya yang tinggi menjulang seperti dirinya. Namun, detik berikutnya, ia menatap Zean jahil.
"Benar juga. Kalau Daddy tidak menginterupsi waktu bermesraan kalian tadi, kalian tidak akan lupa diri dan menganggap dunia milik berdua, ya? Atau bahkan melewatkan jam makan malam karena sangat asyik bermesraan?" Daddy Austin menaik turunkan alisnya genit.
"Bukan begitu, Dad!" sanggahku langsung.
"Bermesraan apanya?" sahutan Zean terdengar lebih kesal dariku. Meski saat aku menoleh ke arahnya, Zean tampak sedang menahan senyuman.
Astaga. Kenapa akting Zean buruk sekali, sih?
"Sudah! Sudah! Ayo makan!" leraiku sambil menggandeng tangan keduanya dengan masing-masing tanganku, separuh menyeret keduanya segera menuju ruang makan. Namun, saat kami sudah dekat dengan ruang makan, tiba-tiba daddy Austin menghentikan langkah.
"Kau pergilah dulu, Nak. Daddy ada perlu sebentar dengan Anna," ujar daddy Austin yang tiba-tiba menahan salah satu sikuku. Otomatis, langkahku berhenti. Begitupula dengan Zean yang berjalan di sampingku.
Zean memang tidak banyak bicara, tetapi sorot mata birunya terang-terangan menatap sang ayah tidak percaya.
Aku spontan tertawa melihat interaksi mereka berdua. Daripada ayah dan anak, mereka lebih terlihat seperti kakak-adik jika seperti ini.
Tepat ketika aku melirik ke arah daddy Austin, aku mengenali tatapan jahil itu. He has a plan, dan sepertinya aku akan dilibatkan dalam waktu dekat.
Setelah menimbang keputusan sesaat, aku kembali menatap Zean, kemudian sedikit mendorong punggungnya agar bergerak ke arah ruang makan. "It's ok, Zean. I'd like to listen to what Daddy wanted to say first."
"Just scream if he did something weird," pesan Zean seraya melirik ayahnya curiga. Seolah sedang memberikan peringatan tanpa kata.
"Hey! What do you think your father is, Young man?" protes daddy Austin yang tentu saja diabaikan Zean.
Begitu si putra tunggal berada dalam radius yang cukup jauh, aku menatap daddy Austin sambil tersenyum lebar.
"So, what's the plan?"
Daddy Austin yang belum berkata apa-apa, spontan tersenyum lebar. Beliau tampak bangga karena aku cepat tanggap.
***
Sejujurnya, aku sedikit kecewa. Dengan gesture daddy Austin yang terlihat penuh rahasia, aku tak kuasa membayangkan acara kejutan untuk Zean yang luar biasa. Entah itu kembang api, skenario drama penculikan, atau hal menegangkan lainnya.
Sayangnya, makan malam hari ini berlangsung seperti tahun-tahun sebelumnya. Tugasku pun tetap sama, sebagai pembawa kue ulang tahun si birthday boy. Atau lebih tepatnya, aku yang bertugas mendorong troli yang membawa kue ulang tahun Zean yang selalu tampak lezat. Yang berbeda pada acara tahun ini hanyalah jenis kue dan angka pada lilin yang tertancap di atas kue.
Benar-benar membosankan.
Thanks to the chef, mood-ku kembali pulih hanya dengan melihat makanan yang tersaji di hadapanku. Seperti biasanya, kemampuan plating yang memukau dengan rasa hidangan yang memanjakan lidah seolah menjadi signature para koki keluarga Kanatta yang selevel dengan para chef hotel bintang lima. Mulai dari fruit salad sebagai pembuka, dan dilanjutkan dengan steak yang menggiurkan. Semuanya membuatku hampir menangis karena bahagia.
“Kak Eka.”
Sayangnya, kebahagiaan kecilku lagi-lagi diusik oleh pemuda kurang kerjaan yang duduk di sampingku. Siapa lagi kalau bukan si bungsu Reefhitch. Dengan gerakan malas, netra coklat tuaku melirik Chris. Karena para orangtua sedang berbincang tentang entah-apa-aku-tidak-peduli, bibirku bergerak, bertanya tanpa suara pada belia itu, “Kenapa?”
Bukannya langsung menjawab, Chris terdiam sejenak. Ia tampak ragu.
"Aku dengar, nanti dessert-nya puding mangga."
Dahiku mengernyit heran. "Lalu?"
"... Kalau kak Eka mau lagi, kakak bisa ambil punyaku."
Kerutan di dahiku semakin tebal. Tumben. Biasanya ia yang paling tidak sungkan untuk berebut dessert denganku. Apalagi kalau menunya puding yang adalah kesukaan kami.
Masih diliputi rasa curiga, aku kembali bertanya dengan nada datar, "What do you want?"
Chris hanya menggelengkan kepala. Ekspresinya juga terlihat santai. Tangannya, yang tadi sempat berhenti karena bicara denganku, kini melanjutkan aktivitas memotong steak di atas piringnya.
Melihat gelagatnya yang mencurigakan, otakku otomatis memikirkan banyak prasangka. Namun, ketika aku mengamati ekspresi wajahnya, aku mendapatkan petunjuk penting. Begitu bisa menebak apa yang sedang terjadi, bibirku pun tak kuasa tersenyum lebar.
Oh my. This freaking softboy. Hahaha!
"Kenapa? Kamu merasa bersalah karena yang tadi?" godaku seraya menahan tawa.
Gerakan tangan Chris sempat berhenti sejenak, sebelum ia kembali memotong steak-nya. Dasar bocah! Kalau reaksinya sesuai dengan tebakanku seperti ini, aku kan jadi kesulitan untuk menahan tawa.
"Kalau pada akhirnya kamu merasa bersalah, nggak usah sok ngisengin orang, Anak Muda," celetukku sambil tersenyum lebar, sengaja mengejek Chris yang kini memasang ekspresi sok tidak peduli.
"... Mau pudingnya, nggak?" tanya Chris dengan nada sebal. Ya iya lah, sebal. Kan yang kukatakan memang benar. Hahaha!
"Yes, of course!" seruku kelewat girang. Bagaimana aku tidak senang? Selain karena malam ini aku mendapatkan ekstra puding, aku juga bisa membalas keisengan si bungsu Reefhitch.
Sialnya, aku bicara cukup keras saat semuanya mendadak hening. Otomatis, semua pasang mata di ruang makan menatapku. Termasuk, papa Ian. Anehnya, beliau menatapku terkejut, tanpa ada unsur kemarahan dari caranya melihat lurus ke arahku. Biasanya, kalau aku membuat keributan yang tidak terduga, tatapan tajam nan dingin dari netra hitamnya akan menusukku tanpa ampun. Membuatku seketika merasa bersalah tanpa ada kata yang terucap. Namun, kali ini berbeda. Papa tampak terkejut, tapi ia tidak marah. Benar-benar mencurigakan!
Tepat ketika rasa penasaranku mencapai batasnya, tawa daddy Austin tiba-tiba memecah keheningan. Kemudian, disusul oleh tawa anggun dari mommy Jasmine dan mama Jessica. Baru setelahnya, papa Ian ikut tertawa lirih.
“Aku tidak menyangka kalau reaksi putrimu begini antusias, Kawan,” ujar daddy Austin di tengah tawanya.
“So do I,” jawab papa Ian lirih, masih dengan bibir yang tersenyum tipis.
Aku, yang masih belum memahami situasi, spontan melirik Chris. Sialnya, pemuda itu balas melirikku sambil mengedikkan bahu. He’s just as clueless as me.
“Eka!” panggil kak Naki dengan nada berbisik.
Aku segera menoleh ke arah kak Naki yang duduk di sisi kanan Chris. Dalam hati, aku berharap pria itu bisa memberikan kejelasan situasi sebelum aku ketahuan kalau jawaban tadi adalah untuk pembicaraan pribadiku dengan Chris.
Pasalnya, mood yang terbangun sudah terlanjur bagus. Bahkan, sangat bagus karena para tetua terlihat bahagia dengan apapun pembicaraan mereka barusan. Aku merasa kalau akan dalam masalah besar jika ternyata aku memberikan jawaban yang tidak seharusnya aku lontarkan.
“Kamu serius?” tanya kak Naki dengan ekspresi tidak percaya.
Aku mengernyitkan dahi, membentuk ekspresi bingung sebagai kode agar kak Naki merangkum situasi untukku.
“Kamu yakin?” Sialnya, kodeku tidak sampai pada kak Naki.
Saatnya mengubah target. Tepat ketika aku mengedarkan pandangan, mata coklat tuaku tidak sengaja bertemu pandang dengan Zean yang duduk di sampingku, sisi yang berlawanan dengan posisi Chris. Pria itu tersenyum, tapi sinar matanya tampak gugup. Saat aku mengirimkan kode yang sama, yang tadi kuberikan pada kak Naki, tiba-tiba Zean tersenyum lebih lebar.
“It’s ok, Anna,” ujarnya separuh tertawa. Anehnya, ia tampak ... lega? Namun, ketika aku melirik ke arah tangannya, ujung jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya bergerak bersamaan, seperti sedang mengetuk meja tiga kali. Itu adalah kode yang kami sepakati tadi pagi. Sinyal agar aku mengabulkan inginnya.
Netra coklat tuaku kembali menatap Zean, meminta konfirmasi bila aku tidak salah menangkap sinyal. Pria itu pun mengangguk samar. Baiklah. Zean adalah orang baik. Dia tidak akan menjerumuskanku dalam hal yang salah. Jadi, mari percaya saja padanya.
“Do you⎼”
“Yes.”
Aku dan mommy Jasmine tidak sengaja bicara bersamaan. Situasi mendadak menjadi canggung. Namun, lagi-lagi, hening yang terasa aneh itu dipecahkan oleh tawa daddy Austin yang terdengar lebih bersemangat dari sebelumnya. Semua orang pun tertular tawanya, dan suasana seketika menjadi ceria lagi.
“Calm down, Baby,” ujar daddy Austin kepada istrinya yang langsung direspon dengan pukulan manja di lengan oleh mommy Jasmine.
“I just want to be sure, Sweetheart. Because she looks confused,” dalih mommy Jasmine kepada sang suami, sebelum menatapku dengan senyum lebarnya yang menawan. Ia tampak sangat bahagia. Membuatku ikut tertular senyum sukacitanya.
“Thank you for accepting our marriage proposal, Anna. I’m so glad that we’re really going to be a family soon.”
Wait.... WHAT?!
INI PENIPUAN! Aku tidak menyangka kalau Zean akan menipuku di saat seperti ini! Benar-benar tidak bisa dipercaya! Baiklah. Zean tidak sepenuhnya bersalah. Ini juga bagian dari konsekuensi karena aku malas bertanya dan asal percaya pada orang lain. Tetapi, tetap saja aku kesal setengah mati! Bisa-bisanya Zean menjebakku semudah ini! Yang lebih menyebalkan lagi, pria itu malah menahan tawa saat bertemu pandang dengan mataku yang menyorot sinis ke arahnya. Dia pikir aku sedang merajuk biasa?! Dasar keterlaluan! Daddy macam apa yang berani menjebak putrinya seperti ini? “I’ve told you, Dear! I’ve seen it coming! Anna will be our daughter-in-law sooner or later!
Aprilyn Shimaru, alias kakak perempuan Rian, adalah gadis yang dicintai oleh kak Naki. Setelah kesalahpahaman beberapa tahun yang lalu yang membuat hubungan mereka kandas, kakak sulungku akhirnya bisa memulihkan kembali hubungan mereka. Bahkan, sekarang mereka berdua sedang dalam tahap persiapan pernikahan. Sejak awal, aku memang tidak setuju dengan hubungan kedua insan itu. Sedalam apapun cinta kak Naki padanya, perempuan itu juga sudah melukai kak Naki sama dalamnya. Well, hubungan memang begitu, sih. Hanya, aku masih belum bisa lupa bagaimana perasaan keluargaku yang nyaris kehilangan kak Naki karena perempuan itu. Jadi, aku sendiri sedang dalam proses memaafkannya karena kakak sulungku terlihat lebih bahagia setelah mereka berhubungan lagi. Sudah? Begitu saja? Ten
Dahi papa Ian mengerut. Samar-samar, ia menatapku bingung. “Ada apa, Echana?” Aku segera menggeleng, lalu tersenyum. “Nggak apa-apa, Pa.” Sekedar informasi, aku masih cukup waras untuk tidak mengutarakan pertanyaan yang baru saja terbesit dalam benakku. Semarah apapun, aku masih tidak cukup berani untuk membuat papa Ian turut merasakan amarahku. Aku sudah cukup bersyukur dengan kehadiran Jessica Graciella Reefhitch sebagai ibuku yang sangat pengertian dan peduli. Tanpa kata, wanita kelahiran Surabaya itu sudah tahu ada yang salah dengan anak-anaknya hanya dalam sekali lihat. Benar-benar pelengkap dari sosok Sebastian Arthur Reefhitch yang kaku, semaunya sendiri, dan tidak peka. Terlebih, papa Ian sedang dalam mode sangat
Malam ini benar-benar melelahkan. Aku memang sudah menyerahkan acara pemutusan pertunangan pada Zean, tetapi tetap saja otakku tidak bisa tenang sepenuhnya. Terlebih, karena beberapa jam sebelumnya, Zean menjebakku dengan sangat mulus. Tidak menutup kemungkinan kalau ia akan melakukan trik yang sama dikemudian hari, bukan? Secara teori, aku tahu kalau aku harus berhenti memikirkannya agar tidak makin sakit kepala. Namun, kenyataan tidak pernah sebaik itu padaku. Buktinya, hati dan pikiranku tidak berhasil mendapat ketenangan meski sudah kupaksa beristirahat sambil menutup mata. Padahal, kedua saudaraku tidak banyak bicara selama perjalanan. Lagu yang dimainkan oleh radio kerap kali mendominasi tumpangan kami. Biasanya, dengan begitu aku akan lebih cepat terlelap. Di luar dugaan, ternyata kerja pikiranku masih terlalu berat untuk membiarkan otakku berist
"Dan kak Eka percaya gitu aja?" JLEB! Pertanyaan Chris meluncur begitu saja, seperti anak panah tak kasat mata yang tiba-tiba menusukku tepat di jantung. UGH! Kenapa pertanyaan bocah itu tepat sasaran, sih? "Memangnya kenapa?” balasku separuh sewot. “Selama ini Zean selalu menepati janjinya, kok. Zean juga yang selalu ada sewaktu aku perlu. Sekarang, saat sekalinya dia butuh bantuan, you ask me to turn my back?" Selama beberapa saat, kami adu pelotot. Pertandingan tidak penting itu pun berakhir dengan Chris yang tiba-tiba menghela napas kasar seraya membuang pandangan ke arah lain. Ia tampak mulai kesal.
“UHUKK! UHUKK!” Ruang tengah penthouse Reina yang luas seketika dipenuhi oleh suara batuk heboh dari Chariz yang tiba-tiba tersedak. Karena tidak sedang minum, Reina hanya tercengang di tempatnya selama beberapa saat. Baru kemudian, tangannya terulur. Ia menepuk-nepuk pelan punggung Chariz yang belum berhenti batuk, sedangkan aku segera menuangkan jus jeruk ke dalam gelas kosong gadis itu. "Eka kebiasaan, deh. Kasih kabar mengejutkan jangan waktu kita lagi makan, dong!" protes Reina ketika Chariz sudah berhenti batuk. "Biskuitku juga jadi jatuh, nih," gerutunya lagi seraya melirik biskuit yang jatuh di dekat tempat ia duduk.
Rebecca Agatha sudah mengincar Rian sejak SMA. Perempuan yang begitu berdedikasi untuk merebut Rian dariku. Awalnya aku tidak banyak peduli padanya. Toh, Rian juga lebih sering mengabaikannya. Namun, situasi berubah setelah liburan semester di kelas satu SMA. Entah hanya kebetulan atau tidak, penampilan fisiknya ⎼yang sejak awal sudah memiliki banyak kesamaan denganku⎼ menjadi kian mirip. Rambutnya yang semula berwarna hitam panjang bergelombang, diubah menjadi kecoklatan. Persis seperti rambutku. Matanya yang agak sipit, kini memakai softlens hingga terlihat lebih bulat, seperti milikku. Sejauh itu, aku tidak mau memikirkan yang aneh-aneh. Namun, aku makin merasa aneh ketika tahu bahwa gadis itu juga mengganti nama panggilannya ⎼yang semula adalah Agatha⎼ menjadi Recca. Ba
“Chariz sendiri yang mergokin Zack selingkuh?”“HA?!” Aku terdiam sejenak. Kenapa jadi bahas Chariz? Kenapa pula Zack dibawa-bawa?“Syukurlah kalau akhirnya kebenaran terkuak, Beb. Aku beneran kasihan sama Chariz," sambung Rian yang membuatku spontan menutup mulut dengan satu tangan yang bebas."Aku juga benar-benar nggak nyangka kalau Zack begitu, Yang," komentarku singkat, sengaja memancing agar Rian kembali bercerita.Benar saja, topik pembicaraan kami seketika teralihkan. Apalagi kalau bukan karena skandal kekasih Chariz yang -kata Rian- sudah berselingkuh sekian lama. Pembicaraan kami pun mengalir begitu saja ke cabang topik lain yang berakhir sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembicaraan awal. Yah, memang seasyik itu berbincang
Netra biru itu melebar sekilas. Ia menatapku tidak percaya. Lebih tepatnya, ia terlihat seperti tidak menyangka kalau aku akan mengaku secepat ini. Tepat ketika Zean mengalihkan pandangan sambil menghela napas panjang, aku sudah mulai menyiapkan hati untuk omelan yang lebih panjang. "HAHAHAHA!" Bukannya omelan, yang terdengar setelah helaan napas yang dramatis itu justru tawa lepas Zean. Otomatis, dahiku langsung mengernyit. Tak kuasa, aku menatap Zean heran separuh bingung. Bukankah tadi dia sedang marah? Kenapa sekarang Zean malah tertawa? Memangnya ada yang lucu? Sayangnya, alih-alih menjawab keheranan yang terpancar di wajahku, si tampan di layar gawaiku itu malah menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ekspresinya menunjukkan seolah ia sedang berusaha keras menahan tawa saat netra birunya menatapku. Yang lebih parah, tawa Zean tidak juga berhenti setelah lima detik penuh, meskipun tawanya sudah agak reda. Wah! Ini benar-benar rekor! Pasalnya, Zean yang aku kenal selama ini
"Apakah seharusnya aku tidak mengingat lagu itu?" Sengaja, kuungkapkan salah satu prasangkaku. Selama beberapa detik, tidak ada jawaban dari tempat Zean. Namun, saat aku akan memeriksa layar gawaiku, memastikan bahwa telepon masih tersambung, tiba-tiba terdengar suara tawa. Ya. Zean memang tertawa, tetapi entah kenapa aku merasa kalau tawa Zean terdengar sedih. "Bukan begitu, Anna. Aku justru senang Anna mengingatnya, karena aku sendiri hampir melupakannya." Kali ini Zean terdengar tulus. Sama sekali tidak berusaha menutupi nada sedih seperti beberapa detik yang lalu. "Terima kasih karena masih mengingat dan menyanyikan lagu itu untukku, Anna. I think I'll have a really nice dream tonight." Kedua ujung bibirku tak kuasa terangkat. Dalam benak, aku membayangkan Zean, dengan wajah letihnya, sedang tersenyum saat mengatakannya. "Istirahatlah, Zean. Thank you for the best present ever. Good night. Sleep tight." "My pleasure, Princess. Good night." ***** "Ma," panggilku lirih
"HOAAEEEMM!" Tiba-tiba Zean menguap. "Can we talk about it next time, Anna? Please?" mohonnya dengan nada lelah. Apakah Zean sedang berusaha menghindar? "Karena ini akan jadi pembahasan yang panjang, Anna. Dan menurutku, akan lebih baik jika aku menjelaskannya secara langsung padamu. Bagaimana?" "Lagipula, aku juga tidak ingin menyita waktu istirahatmu lebih lama dari ini," imbuh Zean lagi setelah jeda sedetik. Usai menimbang keputusan selama beberapa saat, aku mengangguk pelan. Ketika aku melihat jam dinding, ternyata sudah jam dua subuh. Pantas saja tadi Zean bicara begitu. "Baiklah. Ini sudah terlalu larut, dan kamu juga perlu beristirahat." Diam-diam, aku menghela napas panjang. Menyesali kebodohan dan tingkahku yang tidak tahu diri. Bisa-bisanya aku sempat berpikir untuk menginterogasi Zean saat ini juga demi memuaskan rasa penasaranku. "Should I sing you a lullaby?" tanya Zean tiba-tiba. Setelah berkedip dua kali dan mencerna kata-katanya, aku spontan tertawa. "Kan
Aku menyipitkan mata menatap Papa. “Papa tidak percaya pada kemampuanku? Atau Papa tidak suka aku magang di sana?” Sejujurnya, aku sedikit terluka dengan cara Papa mengucapkannya. Aku tak kuasa merasa bahwa Papa meremehkanku. Atau memang sejak awal, Papa tidak memiliki ekspektasi apa pun padaku? Karena itu, ia berpikir kalau kepercayaan diri tentang hasil studiku adalah hal yang menggelikan? Papa menatapku sekilas, lalu menggeleng. “Maksudku bukan begitu.” Ia berdehem sekilas, lalu melanjutkan bicara. "Aku yakin kau akan diterima magang di sana. Hanya, aku tidak yakin kau akan betah magang di sana." Alisku berkedut. Dahiku mengernyit. "Memangnya kenapa?" "Sayang? Astaga! Ternyata kau ada di sini!" Seketika, pembicaraan kami terputus. Fokus mata kami beralih pada sosok yang baru saja memasuki dapur. Dengan langkah lebar dan wajah penuh kelegaan, perempuan cantik yang mengenakan camisole dress dengan motif yang sama dengan piyama Papa itu menghampiri kami. Ia menarik kursi di samp
Papa mengangguk santai."Ada 'Tikus' di perusahaan yang membawa kabur dana perusahaan dengan jumlah yang cukup besar. Sialnya, ternyata dia cukup cerdik dan licin karena butuh waktu yang agak lama untuk menangkapnya," cerita Papa sambil mengambil lagi sepotong puding mangga ke dalam mangkuknya."Kebetulan, peristiwa itu juga terjadi pada saat kondisi keuangan perusahaan sedang tidak bagus. Jadi, efeknya cukup berat, dan tuntutan dari para pemegang saham membuat situasi menjadi lebih buruk lagi."Papa diam sejenak sambil menatapku beberapa saat, seolah sedang memeriksa reaksiku. Jadi, aku balas menatapnya dengan tatapan menyimak."Lalu, apa yang terjadi?" tanyaku.Papa menarik salah satu ujung bibirnya dan membentuk seringai s
Langit di luar sana masih gelap. Angka yang berfungsi sebagai penunjuk waktu di layar gawaiku juga menegaskan bahwa sekarang masih tengah malam. And here I am, tiduran di atas tempat tidur dengan benak dan mata yang masih terjaga seratus persen. Jadi, daripada aku membuang waktu tidak jelas karena tidak bisa tidur, lebih baik aku membuat susu hangat. Well, rencananya sih begitu. Tetapi ketika aku membuka pintu lemari es, hatiku langsung dicobai. Bagaimana tidak? Padahal tadi pagi aku cek lemari es ini hanya berisi sayur dan buah-buahan. Sama sekali tidak ada camilan. Namun, di depanku sekarang ada dua kotak besar dengan logo toko dessert kesukaanku yang ditata bersisian di sab tengah. "TUNGGU DULU! Jangan-jangan ini puding dan fruit cake yang Mama bilang tadi?" Daripada bimbang terlalu lama, aku nekat mengeluarkan salah satu kotak dan memeriksanya. Kalau memang isinya bukan dessert yang kuinginkan, aku tinggal mengembalikan ke tempat semula, 'kan? Dengan hati-hati, aku letakka
Dari segala situasi yang pernah kualami, saat ini adalah momen terlangka dalam hidupku. Bagaimana tidak? Orang yang selama ini berkoar-koar akan selalu memihakku, malah berada di seberang, tempat "lawanku" berpijak. Sementara sosok yang selama ini kupikir sama sekali tidak menyukai eksistensiku, malah mengeluarkan statement seolah ia berada di pihakku. Well, secara keseluruhan, yang diucapkan Papa Ian memang terdengar normal. Netral. Tidak berpihak. Namun, pada saat yang sama, aku merasa sedang dibela. "Kau sudah makan malam?" Pertanyaan Papa Ian kemudian membuatku kembali terkejut.
Suasana di sekitarku perlahan menjadi senyap. Sambil menatapnya menyimak, aku berusaha fokus mendengarkan suara Zean.“Lho? Kak Eka sudah pulang?”ASTAGA!Seketika aku terlonjak kaget. Kemudian, aku segera menoleh ke arah asal suara.Rencananya, aku hendak memarahi adik bungsuku karena memanggilku tiba-tiba dan membuat Zean mengurungkan penjelasannya. Namun, ketika aku melihat Chris yang sedang berjalan ke arahku sambil memberiku tatapan bingung, aku langsung membatalkan niatku.Memarahinya di lokasi yang masih bisa didengar oleh Papa Ian tidak akan memberikan kesan yang baik pada reuni kami. Jadi, aku hanya menghela napas panjang, berusaha menenangkan jantungku yang masih berdegup kenca
Awalnya, aku memang ingin menyerah untuk menebak hadiah dari Zean. Sayangnya, rasa penasaranku jauh lebih besar. Jadi, meskipun aku terus berusaha mengalihkan pikiran, imajinasiku selalu kembali memikirkan segala kemungkinan yang bisa menjadi hadiah pria itu.“Kamu nggak kasih hadiah yang berbahaya ‘kan, Zean?” tanyaku curiga seraya melirik Zean tajam ketika kami berdiri di depan pintu rumahku.Pria yang berdiri di sampingku itu langsung menahan tawa setelah mendengar pertanyaanku.“Kalau Anna memang sepenasaran itu, bagaimana kalau kuberitahu saja apa hadiahnya?” tawarnya sambil menatapku menggoda.Segera, aku menggeleng tegas. “Nggak! Nggak usah! Jangan spoiler