"Anna."
Zean tiba-tiba menahan sikuku saat kami tengah menyusuri ruang tengah kediaman Austin Kanatta yang megah. Saat aku menoleh ke arahnya, Zean menatapku cemas bercampur ragu. Ia tetap diam, tetapi matanya sesekali melirik ke arah kak Naki dan Chris, seolah menunggu keduanya mencapai ruang makan terlebih dahulu.
Begitu kedua saudaraku benar-benar dalam radius yang cukup jauh untuk menguping, aku mencoba bertanya, "Ada apa, Zean?"
Pemuda yang mengenakan kemeja putih dengan dua kancing teratasnya dibuka dan lengan yang dilipat hingga siku itu menggaruk tengkuknya gugup. Tidak biasanya Zean seperti ini.
"Ehm ... ini tentang kado ulang tahunku," jawabnya masih terlihat ragu.
"Oh, kontrak itu? Kenapa?"
Zean memberikan cengiran yang aku tidak paham untuk apa. "Anna berjanji akan mengabulkannya, kan?"
Aku diam sejenak, tidak langsung menjawab. Entah kenapa firasatku tidak enak.
"Selama situasinya tidak melanggar norma dan hukum,” jawabku setelah diam sejenak. “Kenapa, Zean? Kamu nggak percaya sama aku?"
“It’s not like that. It’s just ….” Zean kembali terdiam. Tiba-tiba tangan kanannya terangkat, menyugar rambut hitam pekatnya dengan gerakan frustasi. Ekspresinya pun memberikan kesan yang sama. Pria itu sedang memikirkan sesuatu yang membebani batinnya.
“It’s ok kalau kamu belum siap buat cerita, Zean. Take your time. You can tell me anytime you are ready.” Tangan kananku terangkat, mengusap punggung lebarnya sambil tersenyum lebar.
Pria itu menatapku sesaat. Tatapan matanya seperti sedang menimbang keputusan. Reaksiku? Aku hanya tersenyum lebar, bahkan menahan tawa karena ekspresi Zean yang terlihat agak lucu. Beberapa saat kemudian, pria itu mengembus napas panjang.
“Actually, I’ve got a bad feeling about tonight’s dinner,” aku Zean lirih. “Jadi, sepertinya aku akan menggunakan hadiah ulang tahunku malam ini. Is it ok?”
Begitu otakku selesai mencerna pertanyaan Zean, aku tertawa. Tangan kananku yang tadinya mengusap punggung Zean pun beralih menepuk lengan kekarnya gemas.
“Ya ampun! Aku pikir ada apa, Zean! Kamu bikin aku panik aja!” omelku gemas.
Zean hanya cengar-cengir. “Berarti, boleh?”
Aku mengangguk mantap. “Of course, Handsome! It’s your birthday gift, anyway.”
“Thank you, Anna,” ujarnya seraya mengusap rambutku. Lengkap dengan senyum indah terukir di wajah tampannya.
"Ekhm! Ekhm!"
Suara dari arah ruang makan membuatku dan Zean langsung menoleh. Tangan Zean, yang masih menyentuh kepalaku pun, otomatis ditarik kembali ke sisi tubuhnya dengan posisi canggung begitu mengenali si pemilik suara.
Daddy Austin menghampiri kami dengan tatapan jahilnya yang khas. Melihat arah datangnya, sepertinya daddy baru saja dari toilet.
"Let's have the dinner first, Lovebirds. Setelahnya, kalian bisa lanjut bermesraan," godanya sambil mengerling jahil ketika sudah berdiri di dekatku dan Zean.
"Oh, come on, Dad!" erang Zean sambil memutar mata.
"What? You want to eat her instead, Son?"
Zean melotot sambil menutup kedua telingaku dengan masing-masing tangannya. Meskipun sebenarnya usahanya terbilang sia-sia karena aku masih bisa mendengar jelas pembicaraan mereka.
"Dad! Language!" tegur Zean panik, sedangkan daddy Austin malah tertawa.
Yang lucu di keluarga seorang Austin Richard Kanatta adalah peran mereka yang kadang tertukar. Daddy Austin yang usil dan suka menyeletuk jahil menggoda Zean, dan putra tunggalnya yang suka kaku dan kadang kelewat serius. Aku sudah tidak kaget lagi saat Zean menegur sang ayah karena menggodanya berlebihan. Toh, hal itu hanya berlaku di rumah. Karena di luar kediaman mereka, keduanya tampak begitu berwibawa dan bercanda sekenanya. Mungkin itu yang disebut Papa dengan "menjaga image keluarga", yakni tetap berwibawa dan bermartabat agar nama keluarga tidak dipandang sebelah mata. Apalagi dengan status sosial yang berada, seperti keluarga Kanatta.
Sekedar informasi, perusahaan keluarga yang dirintis oleh kakek buyut Zean itu benar-benar besar. Lingkup usahanya luas, yang merambah ke berbagai macam sektor usaha dengan kantor cabang yang menjamur di mana-mana. Dimulai dari permesinan, lalu merambah ke sektor elektronik, perminyakan, dan pertambangan. Bahkan, beberapa bulan yang lalu, aku dengar dari Zean, kalau mereka juga akan segera merambah ke sektor pangan. Otomatis, status sosial keluarga Kanatta yang sudah di level super elit, merangkak kian tinggi.
Jangan coba-coba membandingkan dengan usaha yang sedang ditekuni papa Ian. Perbedaan levelnya terlalu jauh. Bukan lagi langit dan bumi, tapi sudah seperti galaksi Bima Sakti dan galaksi Andromeda. Bisa dibilang, aku sangat beruntung karena dianggap sebagai bagian dari keluarga Kanatta dengan panggilan Anna.
Bukannya aku tidak bersyukur dengan keluargaku, sih. Aku tahu betul kalau papa Ian, kak Naki dan Chris sedikit “istimewa” dalam menunjukkan kasih sayang dan perhatian mereka padaku. Tapi, aku juga tidak munafik kalau ada kalanya aku mendambakan kasih sayang yang “umum” dari keluargaku. Sayangnya, peran kosong itu diisi oleh keluarga Austin Richard Kanatta. Lagipula, tidak ada salahnya kalau aku punya daddy, mommy dan kakak lain di luar keluargaku, kan? It’s not a sin, anyway!
"Hai, Sweetheart." Daddy Austin beralih menatapku, kemudian merentangkan tangannya. Membuka lebar lengannya agar aku peluk. Tidak butuh banyak waktu hingga aku berlari ke arahnya, kemudian menerjang dengan pelukan.
"DADDY!!" sorakku manja dan Daddy Austin terkekeh sembari membalas pelukanku.
"I miss you," imbuhku saat pelukan Daddy Austin menjadi lebih erat.
"I miss you too, Sweetheart." Sahabat Papa sejak SMA itu melepas pelukannya, kemudian mengusap rambutku sayang.
Dalam hati, aku merasa miris. Sejauh yang aku ingat, aku tidak pernah bermanja seperti ini dengan papa Ian, ayah kandungku. Boro-boro bermanja, dipuji saja hampir tidak pernah. Tidak peduli seberapa keras aku berjuang mendapat banyak prestasi, aku masih tidak ada apa-apanya dari kak Naki.
Mari salahkan kakak sulungku yang mematok standar kebanggaan yang terlalu tinggi. Jika kejahilannya dikesampingkan, kak Naki memang sosok pria yang luar biasa. Namun, sebagai dampaknya, aku yang hanyalah manusia biasa ini, harus berjuang setengah mati untuk melampaui prestasinya agar ditatap bangga oleh seorang Sebastian Reefhitch. Sialnya, sampai detik ini, usahaku belum ada yang sepenuhnya berhasil. Atau aku yang masih kurang berusaha, ya?
"Bagaimana pertandingan basket sore ini? Menang?" Pertanyaan yang terdengar penuh perhatian dari daddy Austin itu membuat fokusku otomatis kembali padanya. Pria itu menanti jawabanku dengan tatapan menyimak, seolah menegaskan bahwa pertanyaannya barusan bukanlah basa basi belaka.
Kedua ujung bibirku tak kuasa terangkat. Netra coklatku pun seketika menatapnya dengan binar bangga, seperti anak kecil yang hendak membanggakan prestasinya.
"Tentu saja! Aku juga bermain full set. Itulah mengapa kami menang," jawabku separuh menyombong, kemudian tertawa.
Detik berikutnya, daddy Austin ikut tertawa, dengan tawanya yang menggelegar.
"Really? Wow! That's my little girl!" Pria yang berusia diakhir empat puluh tahunnya itu kembali mengusap puncak kepalaku lembut. Membuatku merasa nyaman dan sungguh disayang. Tidak seperti seseorang yang malah menghalangiku untuk berkembang di hal lain diluar minat yang ia izinkan.
Seolah bisa membaca pikiranku, tangan daddy Austin yang tadinya mengusap rambutku, kini beralih merangkul bahuku, lalu menepuknya pelan. Membuatku langsung menatapnya bingung.
"Dulu Jessica juga pemain basket sepertimu, Anna."
Aku terdiam sesaat. Terkejut. Oke, ini hal baru. Papa dan Mama sangat jarang menceritakan masa lalu mereka. Jadi, bukan salahku jika aku tahu dari orang lain, kan?
"Jessica begitu jago hingga membuat Ian langsung menyukainya. Tetapi, karena begitu cinta pada basket, Ian tidak menjadi prioritasnya." Daddy dan aku kemudian terkekeh. Kompak menertawai nasib papa Ian dalam cerita Daddy Austin.
"He gotta hate basket so much," komentarku begitu teringat hubungan kedua orangtuaku.
"Indeed," dan kami kembali tertawa.
Jika kebanyakan orang tua akan lebih mencintai anak mereka, itu tidak terjadi pada papa Ian. Mama masih, dan akan selalu, menjadi prioritasnya. Baru kemudian, anak-anaknya. Jika anak-anak menjadi opsi pertama, maka itu adalah perintah Yang Mulia Ratu Jessica Diandra Reefhitch.
Bukan karena bucin …. Oke. Papa Ian memang cukup memuja sang istri hingga hampir selalu mengabulkan inginnya. Bisa jadi, karena dalam mayoritas keadaan, mama selalu menurut pada keputusan papa. Jadi, papa pun tidak segan untuk memihak mama dalam banyak kesempatan. Tidak seperti aku yang suka memberontak dan semaunya sendiri. Membuat papa jadi sering darah tinggi. Atau mungkin, aku memang bukan anak mereka? Karena kadar kecocokanku dengan keluarga daddy Austin lebih besar dibandingkan dengan keluargaku sendiri.
Tiba-tiba daddy Austin mendekatkan wajahnya, dan berbisik di telingaku.
"Daddy beritahu satu rahasia, tapi jangan sampai ini didengar siapapun, ya? Terutama Mamamu."
Seketika, aku mengangguk antusias. Bahkan tanganku bergerak dari salah satu ujung bibir ke ujung lainnya, seperti sedang menarik resleting tak terlihat.
Daddy Austin terkekeh sebentar, kemudian berbisik di telingaku.
"Ian memang cemas setengah mati saat Jessica kecelakaan setelah basket summer camp-nya. Tetapi, jauh di lubuk hatinya, aku yakin kalau Ian bahagia karena kecelakaan itu membuat Jessica tidak bisa lagi bermain basket." Aku seketika terdiam. Sejujurnya, aku kesulitan mencari sisi positif dari cerita daddy Austin barusan. Karena sebagai sesama pecinta basket, juga dengan pengalamanku dengan "olahraga dan Papa", aku otomatis tidak menyukai kenyataan itu. Terlepas dari itu memang kenyataan yang ada, atau hanya kesimpulan yang diambil oleh daddy Austin. Karena secinta apapun papa pada mama, tetap saja itu terdengar sangat egois.
INI PENIPUAN! Aku tidak menyangka kalau Zean akan menipuku di saat seperti ini! Benar-benar tidak bisa dipercaya! Baiklah. Zean tidak sepenuhnya bersalah. Ini juga bagian dari konsekuensi karena aku malas bertanya dan asal percaya pada orang lain. Tetapi, tetap saja aku kesal setengah mati! Bisa-bisanya Zean menjebakku semudah ini! Yang lebih menyebalkan lagi, pria itu malah menahan tawa saat bertemu pandang dengan mataku yang menyorot sinis ke arahnya. Dia pikir aku sedang merajuk biasa?! Dasar keterlaluan! Daddy macam apa yang berani menjebak putrinya seperti ini? “I’ve told you, Dear! I’ve seen it coming! Anna will be our daughter-in-law sooner or later!
Aprilyn Shimaru, alias kakak perempuan Rian, adalah gadis yang dicintai oleh kak Naki. Setelah kesalahpahaman beberapa tahun yang lalu yang membuat hubungan mereka kandas, kakak sulungku akhirnya bisa memulihkan kembali hubungan mereka. Bahkan, sekarang mereka berdua sedang dalam tahap persiapan pernikahan. Sejak awal, aku memang tidak setuju dengan hubungan kedua insan itu. Sedalam apapun cinta kak Naki padanya, perempuan itu juga sudah melukai kak Naki sama dalamnya. Well, hubungan memang begitu, sih. Hanya, aku masih belum bisa lupa bagaimana perasaan keluargaku yang nyaris kehilangan kak Naki karena perempuan itu. Jadi, aku sendiri sedang dalam proses memaafkannya karena kakak sulungku terlihat lebih bahagia setelah mereka berhubungan lagi. Sudah? Begitu saja? Ten
Dahi papa Ian mengerut. Samar-samar, ia menatapku bingung. “Ada apa, Echana?” Aku segera menggeleng, lalu tersenyum. “Nggak apa-apa, Pa.” Sekedar informasi, aku masih cukup waras untuk tidak mengutarakan pertanyaan yang baru saja terbesit dalam benakku. Semarah apapun, aku masih tidak cukup berani untuk membuat papa Ian turut merasakan amarahku. Aku sudah cukup bersyukur dengan kehadiran Jessica Graciella Reefhitch sebagai ibuku yang sangat pengertian dan peduli. Tanpa kata, wanita kelahiran Surabaya itu sudah tahu ada yang salah dengan anak-anaknya hanya dalam sekali lihat. Benar-benar pelengkap dari sosok Sebastian Arthur Reefhitch yang kaku, semaunya sendiri, dan tidak peka. Terlebih, papa Ian sedang dalam mode sangat
Malam ini benar-benar melelahkan. Aku memang sudah menyerahkan acara pemutusan pertunangan pada Zean, tetapi tetap saja otakku tidak bisa tenang sepenuhnya. Terlebih, karena beberapa jam sebelumnya, Zean menjebakku dengan sangat mulus. Tidak menutup kemungkinan kalau ia akan melakukan trik yang sama dikemudian hari, bukan? Secara teori, aku tahu kalau aku harus berhenti memikirkannya agar tidak makin sakit kepala. Namun, kenyataan tidak pernah sebaik itu padaku. Buktinya, hati dan pikiranku tidak berhasil mendapat ketenangan meski sudah kupaksa beristirahat sambil menutup mata. Padahal, kedua saudaraku tidak banyak bicara selama perjalanan. Lagu yang dimainkan oleh radio kerap kali mendominasi tumpangan kami. Biasanya, dengan begitu aku akan lebih cepat terlelap. Di luar dugaan, ternyata kerja pikiranku masih terlalu berat untuk membiarkan otakku berist
"Dan kak Eka percaya gitu aja?" JLEB! Pertanyaan Chris meluncur begitu saja, seperti anak panah tak kasat mata yang tiba-tiba menusukku tepat di jantung. UGH! Kenapa pertanyaan bocah itu tepat sasaran, sih? "Memangnya kenapa?” balasku separuh sewot. “Selama ini Zean selalu menepati janjinya, kok. Zean juga yang selalu ada sewaktu aku perlu. Sekarang, saat sekalinya dia butuh bantuan, you ask me to turn my back?" Selama beberapa saat, kami adu pelotot. Pertandingan tidak penting itu pun berakhir dengan Chris yang tiba-tiba menghela napas kasar seraya membuang pandangan ke arah lain. Ia tampak mulai kesal.
“UHUKK! UHUKK!” Ruang tengah penthouse Reina yang luas seketika dipenuhi oleh suara batuk heboh dari Chariz yang tiba-tiba tersedak. Karena tidak sedang minum, Reina hanya tercengang di tempatnya selama beberapa saat. Baru kemudian, tangannya terulur. Ia menepuk-nepuk pelan punggung Chariz yang belum berhenti batuk, sedangkan aku segera menuangkan jus jeruk ke dalam gelas kosong gadis itu. "Eka kebiasaan, deh. Kasih kabar mengejutkan jangan waktu kita lagi makan, dong!" protes Reina ketika Chariz sudah berhenti batuk. "Biskuitku juga jadi jatuh, nih," gerutunya lagi seraya melirik biskuit yang jatuh di dekat tempat ia duduk.
Rebecca Agatha sudah mengincar Rian sejak SMA. Perempuan yang begitu berdedikasi untuk merebut Rian dariku. Awalnya aku tidak banyak peduli padanya. Toh, Rian juga lebih sering mengabaikannya. Namun, situasi berubah setelah liburan semester di kelas satu SMA. Entah hanya kebetulan atau tidak, penampilan fisiknya ⎼yang sejak awal sudah memiliki banyak kesamaan denganku⎼ menjadi kian mirip. Rambutnya yang semula berwarna hitam panjang bergelombang, diubah menjadi kecoklatan. Persis seperti rambutku. Matanya yang agak sipit, kini memakai softlens hingga terlihat lebih bulat, seperti milikku. Sejauh itu, aku tidak mau memikirkan yang aneh-aneh. Namun, aku makin merasa aneh ketika tahu bahwa gadis itu juga mengganti nama panggilannya ⎼yang semula adalah Agatha⎼ menjadi Recca. Ba
Netra biru itu melebar sekilas. Ia menatapku tidak percaya. Lebih tepatnya, ia terlihat seperti tidak menyangka kalau aku akan mengaku secepat ini. Tepat ketika Zean mengalihkan pandangan sambil menghela napas panjang, aku sudah mulai menyiapkan hati untuk omelan yang lebih panjang. "HAHAHAHA!" Bukannya omelan, yang terdengar setelah helaan napas yang dramatis itu justru tawa lepas Zean. Otomatis, dahiku langsung mengernyit. Tak kuasa, aku menatap Zean heran separuh bingung. Bukankah tadi dia sedang marah? Kenapa sekarang Zean malah tertawa? Memangnya ada yang lucu? Sayangnya, alih-alih menjawab keheranan yang terpancar di wajahku, si tampan di layar gawaiku itu malah menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ekspresinya menunjukkan seolah ia sedang berusaha keras menahan tawa saat netra birunya menatapku. Yang lebih parah, tawa Zean tidak juga berhenti setelah lima detik penuh, meskipun tawanya sudah agak reda. Wah! Ini benar-benar rekor! Pasalnya, Zean yang aku kenal selama ini
"Apakah seharusnya aku tidak mengingat lagu itu?" Sengaja, kuungkapkan salah satu prasangkaku. Selama beberapa detik, tidak ada jawaban dari tempat Zean. Namun, saat aku akan memeriksa layar gawaiku, memastikan bahwa telepon masih tersambung, tiba-tiba terdengar suara tawa. Ya. Zean memang tertawa, tetapi entah kenapa aku merasa kalau tawa Zean terdengar sedih. "Bukan begitu, Anna. Aku justru senang Anna mengingatnya, karena aku sendiri hampir melupakannya." Kali ini Zean terdengar tulus. Sama sekali tidak berusaha menutupi nada sedih seperti beberapa detik yang lalu. "Terima kasih karena masih mengingat dan menyanyikan lagu itu untukku, Anna. I think I'll have a really nice dream tonight." Kedua ujung bibirku tak kuasa terangkat. Dalam benak, aku membayangkan Zean, dengan wajah letihnya, sedang tersenyum saat mengatakannya. "Istirahatlah, Zean. Thank you for the best present ever. Good night. Sleep tight." "My pleasure, Princess. Good night." ***** "Ma," panggilku lirih
"HOAAEEEMM!" Tiba-tiba Zean menguap. "Can we talk about it next time, Anna? Please?" mohonnya dengan nada lelah. Apakah Zean sedang berusaha menghindar? "Karena ini akan jadi pembahasan yang panjang, Anna. Dan menurutku, akan lebih baik jika aku menjelaskannya secara langsung padamu. Bagaimana?" "Lagipula, aku juga tidak ingin menyita waktu istirahatmu lebih lama dari ini," imbuh Zean lagi setelah jeda sedetik. Usai menimbang keputusan selama beberapa saat, aku mengangguk pelan. Ketika aku melihat jam dinding, ternyata sudah jam dua subuh. Pantas saja tadi Zean bicara begitu. "Baiklah. Ini sudah terlalu larut, dan kamu juga perlu beristirahat." Diam-diam, aku menghela napas panjang. Menyesali kebodohan dan tingkahku yang tidak tahu diri. Bisa-bisanya aku sempat berpikir untuk menginterogasi Zean saat ini juga demi memuaskan rasa penasaranku. "Should I sing you a lullaby?" tanya Zean tiba-tiba. Setelah berkedip dua kali dan mencerna kata-katanya, aku spontan tertawa. "Kan
Aku menyipitkan mata menatap Papa. “Papa tidak percaya pada kemampuanku? Atau Papa tidak suka aku magang di sana?” Sejujurnya, aku sedikit terluka dengan cara Papa mengucapkannya. Aku tak kuasa merasa bahwa Papa meremehkanku. Atau memang sejak awal, Papa tidak memiliki ekspektasi apa pun padaku? Karena itu, ia berpikir kalau kepercayaan diri tentang hasil studiku adalah hal yang menggelikan? Papa menatapku sekilas, lalu menggeleng. “Maksudku bukan begitu.” Ia berdehem sekilas, lalu melanjutkan bicara. "Aku yakin kau akan diterima magang di sana. Hanya, aku tidak yakin kau akan betah magang di sana." Alisku berkedut. Dahiku mengernyit. "Memangnya kenapa?" "Sayang? Astaga! Ternyata kau ada di sini!" Seketika, pembicaraan kami terputus. Fokus mata kami beralih pada sosok yang baru saja memasuki dapur. Dengan langkah lebar dan wajah penuh kelegaan, perempuan cantik yang mengenakan camisole dress dengan motif yang sama dengan piyama Papa itu menghampiri kami. Ia menarik kursi di samp
Papa mengangguk santai."Ada 'Tikus' di perusahaan yang membawa kabur dana perusahaan dengan jumlah yang cukup besar. Sialnya, ternyata dia cukup cerdik dan licin karena butuh waktu yang agak lama untuk menangkapnya," cerita Papa sambil mengambil lagi sepotong puding mangga ke dalam mangkuknya."Kebetulan, peristiwa itu juga terjadi pada saat kondisi keuangan perusahaan sedang tidak bagus. Jadi, efeknya cukup berat, dan tuntutan dari para pemegang saham membuat situasi menjadi lebih buruk lagi."Papa diam sejenak sambil menatapku beberapa saat, seolah sedang memeriksa reaksiku. Jadi, aku balas menatapnya dengan tatapan menyimak."Lalu, apa yang terjadi?" tanyaku.Papa menarik salah satu ujung bibirnya dan membentuk seringai s
Langit di luar sana masih gelap. Angka yang berfungsi sebagai penunjuk waktu di layar gawaiku juga menegaskan bahwa sekarang masih tengah malam. And here I am, tiduran di atas tempat tidur dengan benak dan mata yang masih terjaga seratus persen. Jadi, daripada aku membuang waktu tidak jelas karena tidak bisa tidur, lebih baik aku membuat susu hangat. Well, rencananya sih begitu. Tetapi ketika aku membuka pintu lemari es, hatiku langsung dicobai. Bagaimana tidak? Padahal tadi pagi aku cek lemari es ini hanya berisi sayur dan buah-buahan. Sama sekali tidak ada camilan. Namun, di depanku sekarang ada dua kotak besar dengan logo toko dessert kesukaanku yang ditata bersisian di sab tengah. "TUNGGU DULU! Jangan-jangan ini puding dan fruit cake yang Mama bilang tadi?" Daripada bimbang terlalu lama, aku nekat mengeluarkan salah satu kotak dan memeriksanya. Kalau memang isinya bukan dessert yang kuinginkan, aku tinggal mengembalikan ke tempat semula, 'kan? Dengan hati-hati, aku letakka
Dari segala situasi yang pernah kualami, saat ini adalah momen terlangka dalam hidupku. Bagaimana tidak? Orang yang selama ini berkoar-koar akan selalu memihakku, malah berada di seberang, tempat "lawanku" berpijak. Sementara sosok yang selama ini kupikir sama sekali tidak menyukai eksistensiku, malah mengeluarkan statement seolah ia berada di pihakku. Well, secara keseluruhan, yang diucapkan Papa Ian memang terdengar normal. Netral. Tidak berpihak. Namun, pada saat yang sama, aku merasa sedang dibela. "Kau sudah makan malam?" Pertanyaan Papa Ian kemudian membuatku kembali terkejut.
Suasana di sekitarku perlahan menjadi senyap. Sambil menatapnya menyimak, aku berusaha fokus mendengarkan suara Zean.“Lho? Kak Eka sudah pulang?”ASTAGA!Seketika aku terlonjak kaget. Kemudian, aku segera menoleh ke arah asal suara.Rencananya, aku hendak memarahi adik bungsuku karena memanggilku tiba-tiba dan membuat Zean mengurungkan penjelasannya. Namun, ketika aku melihat Chris yang sedang berjalan ke arahku sambil memberiku tatapan bingung, aku langsung membatalkan niatku.Memarahinya di lokasi yang masih bisa didengar oleh Papa Ian tidak akan memberikan kesan yang baik pada reuni kami. Jadi, aku hanya menghela napas panjang, berusaha menenangkan jantungku yang masih berdegup kenca
Awalnya, aku memang ingin menyerah untuk menebak hadiah dari Zean. Sayangnya, rasa penasaranku jauh lebih besar. Jadi, meskipun aku terus berusaha mengalihkan pikiran, imajinasiku selalu kembali memikirkan segala kemungkinan yang bisa menjadi hadiah pria itu.“Kamu nggak kasih hadiah yang berbahaya ‘kan, Zean?” tanyaku curiga seraya melirik Zean tajam ketika kami berdiri di depan pintu rumahku.Pria yang berdiri di sampingku itu langsung menahan tawa setelah mendengar pertanyaanku.“Kalau Anna memang sepenasaran itu, bagaimana kalau kuberitahu saja apa hadiahnya?” tawarnya sambil menatapku menggoda.Segera, aku menggeleng tegas. “Nggak! Nggak usah! Jangan spoiler