Rebecca Agatha sudah mengincar Rian sejak SMA. Perempuan yang begitu berdedikasi untuk merebut Rian dariku. Awalnya aku tidak banyak peduli padanya. Toh, Rian juga lebih sering mengabaikannya. Namun, situasi berubah setelah liburan semester di kelas satu SMA.
Entah hanya kebetulan atau tidak, penampilan fisiknya ⎼yang sejak awal sudah memiliki banyak kesamaan denganku⎼ menjadi kian mirip. Rambutnya yang semula berwarna hitam panjang bergelombang, diubah menjadi kecoklatan. Persis seperti rambutku. Matanya yang agak sipit, kini memakai softlens hingga terlihat lebih bulat, seperti milikku.
Sejauh itu, aku tidak mau memikirkan yang aneh-aneh. Namun, aku makin merasa aneh ketika tahu bahwa gadis itu juga mengganti nama panggilannya ⎼yang semula adalah Agatha⎼ menjadi Recca. Ba
“Chariz sendiri yang mergokin Zack selingkuh?”“HA?!” Aku terdiam sejenak. Kenapa jadi bahas Chariz? Kenapa pula Zack dibawa-bawa?“Syukurlah kalau akhirnya kebenaran terkuak, Beb. Aku beneran kasihan sama Chariz," sambung Rian yang membuatku spontan menutup mulut dengan satu tangan yang bebas."Aku juga benar-benar nggak nyangka kalau Zack begitu, Yang," komentarku singkat, sengaja memancing agar Rian kembali bercerita.Benar saja, topik pembicaraan kami seketika teralihkan. Apalagi kalau bukan karena skandal kekasih Chariz yang -kata Rian- sudah berselingkuh sekian lama. Pembicaraan kami pun mengalir begitu saja ke cabang topik lain yang berakhir sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembicaraan awal. Yah, memang seasyik itu berbincang
TAK! TAK! TAK! TAK! Ujung jariku mengetuk gelisah kemudi mobil Zean siang ini. Pagi ini, pria itu ngotot meminjamkan mobilnya karena Baby, city car yang biasa kukendarai, masih dirawat di bengkel. Well, thanks to that, aku jadi bisa lebih leluasa kemana-mana. Terlebih, dalam Shinichi* Time-ku kali ini. Kemarin malam, Rian berhasil membuat dua orang gadis lainnya marah-marah. Ya. Aku menunjukkan hasil kiriman Lucas pada Chariz dan juga Reina. Well, kedua sahabatku bertanya, dan aku masih belum cukup stabil untuk bercer
“Kamu ngapain di sini?” tanyaku spontan dengan nada menegur. Pemuda itu balas menatapku tidak terima. “Harusnya aku yang tanya. Kak Eka ngapain di sini?” Bibirku terbuka, tetapi segera kukatupkan lagi. Tidak mungkin aku bilang kalau aku kemari untuk melabrak kekasihku yang selingkuh, kan? Pemuda berkaos putih dengan jaket denim dan ripped jeans itu bersedekap sambil berjalan ke arahku. Netra hitamnya menatapku penuh selidik. Reaksiku? Tentu saja aku balas menatapnya galak. Seniornya kan aku! “Jangan-jangan kak Eka mau ngelabrak yang kemarin, ya?” tebak Lucas, lawan bicaraku, sambil memiringkan kepalanya dengan wajah sok imut.
Suatu kali, ketika aku berusia lima belas tahun, aku tidak sengaja memergoki kak Naki sedang menonton video dewasa. Dan berikutnya, kami bertengkar. To be precise, I'm the one that freaked out. Karena kaget dan panik, aku spontan mengomeli kak Naki. Kakak sulungku yang sama kagetnya, tentu balik mengomel. Aku menyalahkan aksi kak Naki yang menonton film tidak senonoh, sedangkan kak Naki menyalahkanku karena masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu. Padahal jelas-jelas dia yang tidak menutupnya dengan benar. Makanya, aku hanya mengetuk ringan sebelum membuka pintu berwarna putih itu lebar-lebar dan mendapati aksinya yang mengejutkan. Karena sama-sama tidak mau kalah, kami mulai bertengkar. Lebih tepatnya, kami berdebat hebat dengan suara yang tidak pe
Kau tidak boleh menangis, Echana! Tidak sekarang! Tidak di depan Rian si pengkhianat!Dengan dorongan semangat dan motivasi tinggi dari dalam diri, aku kembali mencoba menghempaskan cekalan tangan Rian. Beruntung, kali ini aku berhasil. Dengan tangan yang bebas, aku juga menepis tangan Rian yang barusan sok gentlemen mau menghapus air mataku.“I’m so done with you, Shimaru!” desisku tajam sambil menatapnya lurus di mata.Dulu, mata itu selalu menatapku memuja. Memandangku begitu sayang. Namun, kini sepasang kelereng hitam itu menatapku mengiba agar mendapatkan kesempatan untuk didengarkan.“I have n
Benar saja. Pemuda yang sudah membuka mulut itu, seketika mengatupkan kembali bibir merahnya. Ia terdiam, seperti kehabisan kata. Aku pun menghela napas kasar, lalu menyentak tanganku hingga genggamannya terlepas. “We’re done, Yan! Thank you for these seven memorable years. You’ve taught me a really great lesson,” ujarku sambil berusaha tersenyum setulus mungkin. Meskipun berat, sampai pada akhirnya, aku tetap ingin terlihat tangguh. Seorang Echana Reefhitch tidak boleh terlihat lemah di hadapan siapapun. Terlebih, di depan orang yang sudah menghancurkanku. “Eka, aku⏤” “Rian, stop!”
“Eka! Echana!” panggil Rian saat aku mulai beranjak. Sialnya, ternyata Rian masih belum kapok juga. Bocah itu minta dilukai seperti apa agar mau berhenti, sih?! “Ian, jangan banyak bergerak! Bahumu bisa cedera lebih parah!” Herannya, suara Rebecca justru membuat niatku untuk pergi semakin kuat. Meskipun bukan emosi yang positif, tetapi itu cukup kuat untuk membuat kakiku yang terasa berat untuk segera pergi dari tempat itu. Yup! Perasaan itu bernama muak. Memangnya siapa yang sudi tetap bertahan di sana untuk melihat kemesraan mereka? Aku sih nggak! Lebih baik aku pergi dari sini dan menenangkan jantungku yang masih berdegup kencang karena amarah yang masih membara!
Sebelum aku kembali dilempar seperti tadi, aku segera menyiapkan kuda-kuda untuk membantingnya, seperti yang kulakukan pada Rian beberapa saat yang lalu.Tenang saja. Aku akan mengurangi kekuatan dan lebih memperhatikan posisi rotasi lengannya saat kubanting. Jadi, tidak akan ada Rian yang kedua untuk hari ini.Sayangnya, gerakan pemuda itu tiba-tiba berhenti sebelum mencapai batas toleransiku. Padahal aku tidak keberatan kalau harus membanting satu orang lagi. Bisa dibilang, porsi emosi negatif-ku masih banyak, dan aku perlu “menyalurkannya” sebelum menjadi penyakit.Karena penasaran, aku pun menoleh. Ternyata ada seseorang yang sedang mencengkram pergelangan tangan si penghalang jalan sok pembela kebenaran. Pantas saja dia tiba-tiba berhenti.&l