TAK! TAK! TAK! TAK!
Ujung jariku mengetuk gelisah kemudi mobil Zean siang ini. Pagi ini, pria itu ngotot meminjamkan mobilnya karena Baby, city car yang biasa kukendarai, masih dirawat di bengkel. Well, thanks to that, aku jadi bisa lebih leluasa kemana-mana. Terlebih, dalam Shinichi* Time-ku kali ini.
Kemarin malam, Rian berhasil membuat dua orang gadis lainnya marah-marah. Ya. Aku menunjukkan hasil kiriman Lucas pada Chariz dan juga Reina. Well, kedua sahabatku bertanya, dan aku masih belum cukup stabil untuk bercer
*Shinichi = Shinichi Kudo (Meitantei Conan / Detective Conan) [cr : Aoyama Gosho]
“Kamu ngapain di sini?” tanyaku spontan dengan nada menegur. Pemuda itu balas menatapku tidak terima. “Harusnya aku yang tanya. Kak Eka ngapain di sini?” Bibirku terbuka, tetapi segera kukatupkan lagi. Tidak mungkin aku bilang kalau aku kemari untuk melabrak kekasihku yang selingkuh, kan? Pemuda berkaos putih dengan jaket denim dan ripped jeans itu bersedekap sambil berjalan ke arahku. Netra hitamnya menatapku penuh selidik. Reaksiku? Tentu saja aku balas menatapnya galak. Seniornya kan aku! “Jangan-jangan kak Eka mau ngelabrak yang kemarin, ya?” tebak Lucas, lawan bicaraku, sambil memiringkan kepalanya dengan wajah sok imut.
Suatu kali, ketika aku berusia lima belas tahun, aku tidak sengaja memergoki kak Naki sedang menonton video dewasa. Dan berikutnya, kami bertengkar. To be precise, I'm the one that freaked out. Karena kaget dan panik, aku spontan mengomeli kak Naki. Kakak sulungku yang sama kagetnya, tentu balik mengomel. Aku menyalahkan aksi kak Naki yang menonton film tidak senonoh, sedangkan kak Naki menyalahkanku karena masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu. Padahal jelas-jelas dia yang tidak menutupnya dengan benar. Makanya, aku hanya mengetuk ringan sebelum membuka pintu berwarna putih itu lebar-lebar dan mendapati aksinya yang mengejutkan. Karena sama-sama tidak mau kalah, kami mulai bertengkar. Lebih tepatnya, kami berdebat hebat dengan suara yang tidak pe
Kau tidak boleh menangis, Echana! Tidak sekarang! Tidak di depan Rian si pengkhianat!Dengan dorongan semangat dan motivasi tinggi dari dalam diri, aku kembali mencoba menghempaskan cekalan tangan Rian. Beruntung, kali ini aku berhasil. Dengan tangan yang bebas, aku juga menepis tangan Rian yang barusan sok gentlemen mau menghapus air mataku.“I’m so done with you, Shimaru!” desisku tajam sambil menatapnya lurus di mata.Dulu, mata itu selalu menatapku memuja. Memandangku begitu sayang. Namun, kini sepasang kelereng hitam itu menatapku mengiba agar mendapatkan kesempatan untuk didengarkan.“I have n
Benar saja. Pemuda yang sudah membuka mulut itu, seketika mengatupkan kembali bibir merahnya. Ia terdiam, seperti kehabisan kata. Aku pun menghela napas kasar, lalu menyentak tanganku hingga genggamannya terlepas. “We’re done, Yan! Thank you for these seven memorable years. You’ve taught me a really great lesson,” ujarku sambil berusaha tersenyum setulus mungkin. Meskipun berat, sampai pada akhirnya, aku tetap ingin terlihat tangguh. Seorang Echana Reefhitch tidak boleh terlihat lemah di hadapan siapapun. Terlebih, di depan orang yang sudah menghancurkanku. “Eka, aku⏤” “Rian, stop!”
“Eka! Echana!” panggil Rian saat aku mulai beranjak. Sialnya, ternyata Rian masih belum kapok juga. Bocah itu minta dilukai seperti apa agar mau berhenti, sih?! “Ian, jangan banyak bergerak! Bahumu bisa cedera lebih parah!” Herannya, suara Rebecca justru membuat niatku untuk pergi semakin kuat. Meskipun bukan emosi yang positif, tetapi itu cukup kuat untuk membuat kakiku yang terasa berat untuk segera pergi dari tempat itu. Yup! Perasaan itu bernama muak. Memangnya siapa yang sudi tetap bertahan di sana untuk melihat kemesraan mereka? Aku sih nggak! Lebih baik aku pergi dari sini dan menenangkan jantungku yang masih berdegup kencang karena amarah yang masih membara!
Sebelum aku kembali dilempar seperti tadi, aku segera menyiapkan kuda-kuda untuk membantingnya, seperti yang kulakukan pada Rian beberapa saat yang lalu.Tenang saja. Aku akan mengurangi kekuatan dan lebih memperhatikan posisi rotasi lengannya saat kubanting. Jadi, tidak akan ada Rian yang kedua untuk hari ini.Sayangnya, gerakan pemuda itu tiba-tiba berhenti sebelum mencapai batas toleransiku. Padahal aku tidak keberatan kalau harus membanting satu orang lagi. Bisa dibilang, porsi emosi negatif-ku masih banyak, dan aku perlu “menyalurkannya” sebelum menjadi penyakit.Karena penasaran, aku pun menoleh. Ternyata ada seseorang yang sedang mencengkram pergelangan tangan si penghalang jalan sok pembela kebenaran. Pantas saja dia tiba-tiba berhenti.&l
"Mana kunci mobil Kak Eka?" Aku melirik Lucas yang tiba-tiba berdiri di depanku. Ia tahu betul kalau mood-ku sedang buruk. Kenapa sekarang malah mengusikku, sih? “Kamu mau apa?” tanyaku galak. “Aku antar kak Eka pulang.” Spontan, aku mengernyitkan dahi dan menatapnya curiga. “Antar aku pulang? Bukannya kamu tadi bawa kendaraan sendiri?” Pemuda itu tiba-tiba menghela napas panjang, sok sabar. Kok nyebelin, ya? “Dengan kondisi emosi begitu, kak Eka pikir aku bisa tenang kalau tetep biarin kakak nyetir? Kalau nanti kecelakaan, gimana? Apal
Aku mendecakkan lidah sambil melirik ke arah radio dengan sebal. Dengan gerakan malas, aku kembali duduk tegak, lalu mencondongkan tubuh ke arah dashboard tengah.“Kenapa lagi, sih, Kak?” tanya Lucas terdengar bingung.“Telingaku sakit dengerin lagunya,” jawabku sambil menekan tombol untuk memindahkan frekuensi radio tanpa melihat ke arahnya.Well, sebenarnya ini bukan salah penyanyi atau lagunya, sih. Liriknya yang bertema perpisahan atau putus cinta lah yang membuatku terganggu.Tidak tanggung-tanggung, ini sudah lagu kelima secara berturut-turut. Disiarkan oleh saluran radio yang berbeda, pula! Padah