Kau tidak boleh menangis, Echana! Tidak sekarang! Tidak di depan Rian si pengkhianat!
Dengan dorongan semangat dan motivasi tinggi dari dalam diri, aku kembali mencoba menghempaskan cekalan tangan Rian. Beruntung, kali ini aku berhasil. Dengan tangan yang bebas, aku juga menepis tangan Rian yang barusan sok gentlemen mau menghapus air mataku.
“I’m so done with you, Shimaru!” desisku tajam sambil menatapnya lurus di mata.
Dulu, mata itu selalu menatapku memuja. Memandangku begitu sayang. Namun, kini sepasang kelereng hitam itu menatapku mengiba agar mendapatkan kesempatan untuk didengarkan.
“I have n
Benar saja. Pemuda yang sudah membuka mulut itu, seketika mengatupkan kembali bibir merahnya. Ia terdiam, seperti kehabisan kata. Aku pun menghela napas kasar, lalu menyentak tanganku hingga genggamannya terlepas. “We’re done, Yan! Thank you for these seven memorable years. You’ve taught me a really great lesson,” ujarku sambil berusaha tersenyum setulus mungkin. Meskipun berat, sampai pada akhirnya, aku tetap ingin terlihat tangguh. Seorang Echana Reefhitch tidak boleh terlihat lemah di hadapan siapapun. Terlebih, di depan orang yang sudah menghancurkanku. “Eka, aku⏤” “Rian, stop!”
“Eka! Echana!” panggil Rian saat aku mulai beranjak. Sialnya, ternyata Rian masih belum kapok juga. Bocah itu minta dilukai seperti apa agar mau berhenti, sih?! “Ian, jangan banyak bergerak! Bahumu bisa cedera lebih parah!” Herannya, suara Rebecca justru membuat niatku untuk pergi semakin kuat. Meskipun bukan emosi yang positif, tetapi itu cukup kuat untuk membuat kakiku yang terasa berat untuk segera pergi dari tempat itu. Yup! Perasaan itu bernama muak. Memangnya siapa yang sudi tetap bertahan di sana untuk melihat kemesraan mereka? Aku sih nggak! Lebih baik aku pergi dari sini dan menenangkan jantungku yang masih berdegup kencang karena amarah yang masih membara!
Sebelum aku kembali dilempar seperti tadi, aku segera menyiapkan kuda-kuda untuk membantingnya, seperti yang kulakukan pada Rian beberapa saat yang lalu.Tenang saja. Aku akan mengurangi kekuatan dan lebih memperhatikan posisi rotasi lengannya saat kubanting. Jadi, tidak akan ada Rian yang kedua untuk hari ini.Sayangnya, gerakan pemuda itu tiba-tiba berhenti sebelum mencapai batas toleransiku. Padahal aku tidak keberatan kalau harus membanting satu orang lagi. Bisa dibilang, porsi emosi negatif-ku masih banyak, dan aku perlu “menyalurkannya” sebelum menjadi penyakit.Karena penasaran, aku pun menoleh. Ternyata ada seseorang yang sedang mencengkram pergelangan tangan si penghalang jalan sok pembela kebenaran. Pantas saja dia tiba-tiba berhenti.&l
"Mana kunci mobil Kak Eka?" Aku melirik Lucas yang tiba-tiba berdiri di depanku. Ia tahu betul kalau mood-ku sedang buruk. Kenapa sekarang malah mengusikku, sih? “Kamu mau apa?” tanyaku galak. “Aku antar kak Eka pulang.” Spontan, aku mengernyitkan dahi dan menatapnya curiga. “Antar aku pulang? Bukannya kamu tadi bawa kendaraan sendiri?” Pemuda itu tiba-tiba menghela napas panjang, sok sabar. Kok nyebelin, ya? “Dengan kondisi emosi begitu, kak Eka pikir aku bisa tenang kalau tetep biarin kakak nyetir? Kalau nanti kecelakaan, gimana? Apal
Aku mendecakkan lidah sambil melirik ke arah radio dengan sebal. Dengan gerakan malas, aku kembali duduk tegak, lalu mencondongkan tubuh ke arah dashboard tengah.“Kenapa lagi, sih, Kak?” tanya Lucas terdengar bingung.“Telingaku sakit dengerin lagunya,” jawabku sambil menekan tombol untuk memindahkan frekuensi radio tanpa melihat ke arahnya.Well, sebenarnya ini bukan salah penyanyi atau lagunya, sih. Liriknya yang bertema perpisahan atau putus cinta lah yang membuatku terganggu.Tidak tanggung-tanggung, ini sudah lagu kelima secara berturut-turut. Disiarkan oleh saluran radio yang berbeda, pula! Padah
“Kak.""Hm?""Kalau kata penyiarnya tadi bener, di dua perempatan depan mulai macet panjang karena ada perbaikan jalan, Kak."Kebetulan, Lucas melambatkan mobil karena lampu lalu lintas yang menyala merah. Jadi, aku segera melihat sekitar dengan seksama.Benar saja. Di depan sana, jalanan terlihat mulai padat. Banyak kendaraan mulai bergerak lambat, dan semua lajur juga penuh."Oh iya, ya. Dua perempatan lagi kita sudah sampai sana." gumamku lirih, menyetujui ucapan Lucas beberapa detik yang lalu."Gimana? Mau diterusin lewat sana, atau mau ganti rute, nih?"Aku diam sejenak. Menimbang keputusan. Saat aku kembali meli
Bukannya merasa terhibur, kesedihanku seolah langsung disumbat. Yup! He just ruined the mood! Berkat Lucas, cairan bening yang sudah bersiap di ujung mataku mendadak batal meluncur. Well, I guess it’s a good thing. Segera, aku mendongakkan kepala, memaksa air mataku yang hampir lolos keluar dari ujung mata, kembali masuk. Setelah aku yakin tidak akan ada air mata yang akan jatuh, aku menoleh menatapnya. Namun, sebelum aku mengatakan apapun, Lucas mendahuluiku. “Rere juga sering gitu, kok, Kak. Jadi, nggak usah malu. Itu normal,” celotehnya dengan fokus mata masih menatap jalan. Dahiku berkerut tidak percaya. Lu
Spontan, aku menatap Lucas tidak terima.“Serius deh, Kak. Cukup satu orang aja yang gamon-nya nggak masuk akal seperti Rere. Kak Eka jangan ikutan begitu juga,” katanya dengan ekspresi lelah.“Luke, please.” Aku memutar mata malas. “Aku bukan Rere. Aku juga nggak tahu apa yang sudah Rere alami sampai perasaannya sedalam itu ke mantannya."Aku memberikan jeda sesaat. "Tapi, aku cukup yakin kalau aku nggak akan begitu karena Rian.”Berikutnya, aku menarik napas panjang. Dalam diam, aku berusaha memantapkan hati sambil mengulang kalimat terakhir di dalam benakku seperti merapalkan mantra.Ak