"Mana kunci mobil Kak Eka?"
Aku melirik Lucas yang tiba-tiba berdiri di depanku. Ia tahu betul kalau mood-ku sedang buruk. Kenapa sekarang malah mengusikku, sih?
“Kamu mau apa?” tanyaku galak.
“Aku antar kak Eka pulang.”
Spontan, aku mengernyitkan dahi dan menatapnya curiga. “Antar aku pulang? Bukannya kamu tadi bawa kendaraan sendiri?”
Pemuda itu tiba-tiba menghela napas panjang, sok sabar. Kok nyebelin, ya?
“Dengan kondisi emosi begitu, kak Eka pikir aku bisa tenang kalau tetep biarin kakak nyetir? Kalau nanti kecelakaan, gimana? Apal
Aku mendecakkan lidah sambil melirik ke arah radio dengan sebal. Dengan gerakan malas, aku kembali duduk tegak, lalu mencondongkan tubuh ke arah dashboard tengah.“Kenapa lagi, sih, Kak?” tanya Lucas terdengar bingung.“Telingaku sakit dengerin lagunya,” jawabku sambil menekan tombol untuk memindahkan frekuensi radio tanpa melihat ke arahnya.Well, sebenarnya ini bukan salah penyanyi atau lagunya, sih. Liriknya yang bertema perpisahan atau putus cinta lah yang membuatku terganggu.Tidak tanggung-tanggung, ini sudah lagu kelima secara berturut-turut. Disiarkan oleh saluran radio yang berbeda, pula! Padah
“Kak.""Hm?""Kalau kata penyiarnya tadi bener, di dua perempatan depan mulai macet panjang karena ada perbaikan jalan, Kak."Kebetulan, Lucas melambatkan mobil karena lampu lalu lintas yang menyala merah. Jadi, aku segera melihat sekitar dengan seksama.Benar saja. Di depan sana, jalanan terlihat mulai padat. Banyak kendaraan mulai bergerak lambat, dan semua lajur juga penuh."Oh iya, ya. Dua perempatan lagi kita sudah sampai sana." gumamku lirih, menyetujui ucapan Lucas beberapa detik yang lalu."Gimana? Mau diterusin lewat sana, atau mau ganti rute, nih?"Aku diam sejenak. Menimbang keputusan. Saat aku kembali meli
Bukannya merasa terhibur, kesedihanku seolah langsung disumbat. Yup! He just ruined the mood! Berkat Lucas, cairan bening yang sudah bersiap di ujung mataku mendadak batal meluncur. Well, I guess it’s a good thing. Segera, aku mendongakkan kepala, memaksa air mataku yang hampir lolos keluar dari ujung mata, kembali masuk. Setelah aku yakin tidak akan ada air mata yang akan jatuh, aku menoleh menatapnya. Namun, sebelum aku mengatakan apapun, Lucas mendahuluiku. “Rere juga sering gitu, kok, Kak. Jadi, nggak usah malu. Itu normal,” celotehnya dengan fokus mata masih menatap jalan. Dahiku berkerut tidak percaya. Lu
Spontan, aku menatap Lucas tidak terima.“Serius deh, Kak. Cukup satu orang aja yang gamon-nya nggak masuk akal seperti Rere. Kak Eka jangan ikutan begitu juga,” katanya dengan ekspresi lelah.“Luke, please.” Aku memutar mata malas. “Aku bukan Rere. Aku juga nggak tahu apa yang sudah Rere alami sampai perasaannya sedalam itu ke mantannya."Aku memberikan jeda sesaat. "Tapi, aku cukup yakin kalau aku nggak akan begitu karena Rian.”Berikutnya, aku menarik napas panjang. Dalam diam, aku berusaha memantapkan hati sambil mengulang kalimat terakhir di dalam benakku seperti merapalkan mantra.Ak
Kalau biasanya ada banyak pemberitahuan dari aplikasi belanja online tentang barang yang masih ada di keranjang belanjaan, kali ini sosial media-ku yang kebanjiran notifikasi.Mayoritas adalah pemberitahuan bahwa ada komentar baru untuk postingan yang menautkan akunku. Sebenarnya aku cukup penasaran dengan kontennya, tetapi aku tidak terlalu ambil pusing karena ada yang harus kulakukan lebih dulu.Sayangnya, aplikasi chatting yang kupakai pun mendapat banyak pesan. Bahkan, ada beberapa orang yang menelponku, tetapi tidak kuangkat. Mungkin karena gawaiku yang entah sejak kapan sudah dalam mode hening. Jadi, benda itu tetap tenang di dalam tasku sepanjang perjalanan tadi.
Selama beberapa menit, aku masih terdiam di tempat. Mataku masih menatap nanar layar gawaiku. LCD seluas 5 inch di tanganku itu masih menampilkan caption feed sosial media yang baru selesai kubaca beberapa saat yang lalu. Aku memang agak terkejut karena pemilihan kata dan penggunaan bahasanya sudah mirip dengan artikel tabloid yang biasanya memuat gosip artis-artis terkini. Namun, yang membuatku tercenung agak lama adalah kesan yang aku terima setelah membaca keterangan dari kiriman itu. Bahkan, aku membacanya sampai tiga kali karena masih tidak percaya. Aku juga membacanya dengan lebih lambat dan hati-hati pada kali kedua dan ketiga. Hatiku memang sakit, tetapi aku berusaha untuk tidak membuat emosiku terlibat terlalu jauh saat aku mengambil pesan yang aku terima.&nb
Meskipun sudah sering melihatnya dalam tujuh tahun terakhir, tetapi aku masih belum bisa sepenuhnya kebal dengan tatapan penuh perhatian dari Zean. Terutama, pada saat hatiku sedang lemah seperti sekarang.Seringnya, aku lebih suka menyembuhkan lukaku seorang diri. Walau harus menempuh jalan yang rumit dan waktu yang panjang, aku tidak keberatan. Karena setelah berbagai macam trial and error, akhirnya aku tahu dimana letak kesalahanku.Hampir bisa dipastikan bahwa akar dari ini semua berawal dari aku yang menaruh harapan pada orang lain. Secara tidak langsung, aku jadi menuntut mereka untuk memenuhi ekspektasiku. Sayangnya, kenyataan juga tidak berjalan seperti yang aku harapkan. Oleh karena itu, aku berakhir kecewa. Jadi,
"Lho? Makanannya sudah habis, Kak? Lapar atau doyan, nih?" tanya Lucas yang baru saja tiba. Aku terjingkat sesaat, lalu memelototi Lucas sebagai ganti protes karena mulutku sedang sibuk mengunyah. Salahkan suara bass-nya yang agak lantang. Karenanya, lamunanku seketika buyar. Iya, gara-gara Zean keceplosan nama panjang Lucas, pikiranku jadi tidak tenang. Bukannya melebih-lebihkan, tetapi menurutku, situasinya memang cukup mencurigakan. Zean memang sudah menjelaskan, kalau ia dan Lucas sempat berpapasan beberapa kali saat hendak atau pulang dari apartemenku. Jadi, pada kesempatan terakhir, mereka sempat berkenalan. Sayangnya, ada satu hal yang sepertinya belum Zean ketahui. Yaitu, kebiasaan Lucas yang hanya akan mengenalkan diri dengan nama len