Dahi papa Ian mengerut. Samar-samar, ia menatapku bingung. “Ada apa, Echana?”
Aku segera menggeleng, lalu tersenyum. “Nggak apa-apa, Pa.”
Sekedar informasi, aku masih cukup waras untuk tidak mengutarakan pertanyaan yang baru saja terbesit dalam benakku. Semarah apapun, aku masih tidak cukup berani untuk membuat papa Ian turut merasakan amarahku. Aku sudah cukup bersyukur dengan kehadiran Jessica Graciella Reefhitch sebagai ibuku yang sangat pengertian dan peduli. Tanpa kata, wanita kelahiran Surabaya itu sudah tahu ada yang salah dengan anak-anaknya hanya dalam sekali lihat. Benar-benar pelengkap dari sosok Sebastian Arthur Reefhitch yang kaku, semaunya sendiri, dan tidak peka.
Terlebih, papa Ian sedang dalam mode sangat
Malam ini benar-benar melelahkan. Aku memang sudah menyerahkan acara pemutusan pertunangan pada Zean, tetapi tetap saja otakku tidak bisa tenang sepenuhnya. Terlebih, karena beberapa jam sebelumnya, Zean menjebakku dengan sangat mulus. Tidak menutup kemungkinan kalau ia akan melakukan trik yang sama dikemudian hari, bukan? Secara teori, aku tahu kalau aku harus berhenti memikirkannya agar tidak makin sakit kepala. Namun, kenyataan tidak pernah sebaik itu padaku. Buktinya, hati dan pikiranku tidak berhasil mendapat ketenangan meski sudah kupaksa beristirahat sambil menutup mata. Padahal, kedua saudaraku tidak banyak bicara selama perjalanan. Lagu yang dimainkan oleh radio kerap kali mendominasi tumpangan kami. Biasanya, dengan begitu aku akan lebih cepat terlelap. Di luar dugaan, ternyata kerja pikiranku masih terlalu berat untuk membiarkan otakku berist
"Dan kak Eka percaya gitu aja?" JLEB! Pertanyaan Chris meluncur begitu saja, seperti anak panah tak kasat mata yang tiba-tiba menusukku tepat di jantung. UGH! Kenapa pertanyaan bocah itu tepat sasaran, sih? "Memangnya kenapa?” balasku separuh sewot. “Selama ini Zean selalu menepati janjinya, kok. Zean juga yang selalu ada sewaktu aku perlu. Sekarang, saat sekalinya dia butuh bantuan, you ask me to turn my back?" Selama beberapa saat, kami adu pelotot. Pertandingan tidak penting itu pun berakhir dengan Chris yang tiba-tiba menghela napas kasar seraya membuang pandangan ke arah lain. Ia tampak mulai kesal.
“UHUKK! UHUKK!” Ruang tengah penthouse Reina yang luas seketika dipenuhi oleh suara batuk heboh dari Chariz yang tiba-tiba tersedak. Karena tidak sedang minum, Reina hanya tercengang di tempatnya selama beberapa saat. Baru kemudian, tangannya terulur. Ia menepuk-nepuk pelan punggung Chariz yang belum berhenti batuk, sedangkan aku segera menuangkan jus jeruk ke dalam gelas kosong gadis itu. "Eka kebiasaan, deh. Kasih kabar mengejutkan jangan waktu kita lagi makan, dong!" protes Reina ketika Chariz sudah berhenti batuk. "Biskuitku juga jadi jatuh, nih," gerutunya lagi seraya melirik biskuit yang jatuh di dekat tempat ia duduk.
Rebecca Agatha sudah mengincar Rian sejak SMA. Perempuan yang begitu berdedikasi untuk merebut Rian dariku. Awalnya aku tidak banyak peduli padanya. Toh, Rian juga lebih sering mengabaikannya. Namun, situasi berubah setelah liburan semester di kelas satu SMA. Entah hanya kebetulan atau tidak, penampilan fisiknya ⎼yang sejak awal sudah memiliki banyak kesamaan denganku⎼ menjadi kian mirip. Rambutnya yang semula berwarna hitam panjang bergelombang, diubah menjadi kecoklatan. Persis seperti rambutku. Matanya yang agak sipit, kini memakai softlens hingga terlihat lebih bulat, seperti milikku. Sejauh itu, aku tidak mau memikirkan yang aneh-aneh. Namun, aku makin merasa aneh ketika tahu bahwa gadis itu juga mengganti nama panggilannya ⎼yang semula adalah Agatha⎼ menjadi Recca. Ba
“Chariz sendiri yang mergokin Zack selingkuh?”“HA?!” Aku terdiam sejenak. Kenapa jadi bahas Chariz? Kenapa pula Zack dibawa-bawa?“Syukurlah kalau akhirnya kebenaran terkuak, Beb. Aku beneran kasihan sama Chariz," sambung Rian yang membuatku spontan menutup mulut dengan satu tangan yang bebas."Aku juga benar-benar nggak nyangka kalau Zack begitu, Yang," komentarku singkat, sengaja memancing agar Rian kembali bercerita.Benar saja, topik pembicaraan kami seketika teralihkan. Apalagi kalau bukan karena skandal kekasih Chariz yang -kata Rian- sudah berselingkuh sekian lama. Pembicaraan kami pun mengalir begitu saja ke cabang topik lain yang berakhir sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembicaraan awal. Yah, memang seasyik itu berbincang
TAK! TAK! TAK! TAK! Ujung jariku mengetuk gelisah kemudi mobil Zean siang ini. Pagi ini, pria itu ngotot meminjamkan mobilnya karena Baby, city car yang biasa kukendarai, masih dirawat di bengkel. Well, thanks to that, aku jadi bisa lebih leluasa kemana-mana. Terlebih, dalam Shinichi* Time-ku kali ini. Kemarin malam, Rian berhasil membuat dua orang gadis lainnya marah-marah. Ya. Aku menunjukkan hasil kiriman Lucas pada Chariz dan juga Reina. Well, kedua sahabatku bertanya, dan aku masih belum cukup stabil untuk bercer
“Kamu ngapain di sini?” tanyaku spontan dengan nada menegur. Pemuda itu balas menatapku tidak terima. “Harusnya aku yang tanya. Kak Eka ngapain di sini?” Bibirku terbuka, tetapi segera kukatupkan lagi. Tidak mungkin aku bilang kalau aku kemari untuk melabrak kekasihku yang selingkuh, kan? Pemuda berkaos putih dengan jaket denim dan ripped jeans itu bersedekap sambil berjalan ke arahku. Netra hitamnya menatapku penuh selidik. Reaksiku? Tentu saja aku balas menatapnya galak. Seniornya kan aku! “Jangan-jangan kak Eka mau ngelabrak yang kemarin, ya?” tebak Lucas, lawan bicaraku, sambil memiringkan kepalanya dengan wajah sok imut.
Suatu kali, ketika aku berusia lima belas tahun, aku tidak sengaja memergoki kak Naki sedang menonton video dewasa. Dan berikutnya, kami bertengkar. To be precise, I'm the one that freaked out. Karena kaget dan panik, aku spontan mengomeli kak Naki. Kakak sulungku yang sama kagetnya, tentu balik mengomel. Aku menyalahkan aksi kak Naki yang menonton film tidak senonoh, sedangkan kak Naki menyalahkanku karena masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu. Padahal jelas-jelas dia yang tidak menutupnya dengan benar. Makanya, aku hanya mengetuk ringan sebelum membuka pintu berwarna putih itu lebar-lebar dan mendapati aksinya yang mengejutkan. Karena sama-sama tidak mau kalah, kami mulai bertengkar. Lebih tepatnya, kami berdebat hebat dengan suara yang tidak pe