R<3 :
Posisi?
Sarapan di cafe depan kampus.
Wanna join?
R<3 :
Sorry, not today.
5 menit lagi ada kelas.
Sarapan sendirian?
Setelah ini kamu masih ada kelas?
Kelasnya cuma pagi ini aja.
Quiznya Pak Fadil pula. Huhuhuhu :''(
R<3 :
Oh ya?
How lucky XDDD
Hahahahaha
Akhirnya telat berapa menit?
Sungguh, aku menahan hasrat untuk tertawa keras. Bukannya apa, rasanya bangga saja karena bisa datang tepat waktu di kelas Pak Fadil. Karena selama ini, momen ketika seorang Echana Chalista Natalie Reefhitch datang lebih awal di kelas Pak Fadil bisa dihitung dengan jari tangan.
Sisanya? Tepat waktu, alias bersamaan dengan sang dosen, atau malah datang terlambat. Patokannya juga bukan waktu yang ditunjukkan sesuai dengan ketentuan dunia, yakni pukul setengah delapan pagi, melainkan kehadiran beliau sendiri di dalam kelas.
Ya kali Pak Fadil terlambat atau tepat waktu! Seringnya, beliau malah datang lebih awal. Benar-benar menyusahkan para pejuang bangun pagi sepertiku!
"Anna, habiskan dulu makananmu," tegur Zean halus dengan suara baritonnya yang tenang dan berwibawa.
"Just a minute, Daddy," sahutku sambil mengetik pesan balasan untuk Rian tanpa repot-repot mengangkat wajah untuk melihat ekspresi yang Zean buat.
Nggajkl
Saltik pun tak terelakkan karena gawaiku mendadak lenyap dari tanganku. Ralat, tangan besar merebutnya dengan gerakan sangat cepat hingga aku tidak sempat membuat pertahanan. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Daddy Zean yang hobi menggangguku pacaran dengan Rian!
"YAAA!!" protesku sambil melotot ke arah Zean. "Dasar pengganggu orang pacaran!"
"That's what Daddy Zean for." Pria tampan berkulit putih bersih bak anggota boygroup Korea Selatan itu malah mengerling jahil menatapku. Rasa bersalah ataupun secuil penyesalan sama sekali tidak terlihat dari sinar mata birunya yang menghanyutkan. Sosoknya yang kebapakan dan perhatian, seketika digantikan oleh image bad boy hanya dengan sebuah seringai jahil di paras tampannya. Terlebih, pria itu tampak bahagia. Ekspresinya persis seperti kak Naki atau Chris ketika mereka sukses mengusiliku.
Yang lebih menyebalkan lagi, cengiran usil itu tidak membuat ketampanannya terkikis. Alih-alih berkurang, pesonanya justru meledak dengan mode lain yang lebih mematikan. Lihat saja para hawa di sekitar meja cafe kami. Para gadis malang itu seketika terpana meski tidak menjadi fokus target netra biru Zean.
Yaah, reaksi mereka cukup normal, sih. Aku pun begitu saat awal-awal pertemuan kami tujuh tahun yang lalu. Hanya saja, sekarang aku sudah terbiasa. Makanya, aku kebal. Walau terkadang, aku masih beberapa kali kelepasan nyaris mengumpat karena kharisma Zean yang tidak dikondisikan.
Bagaimana lagi? Pada kenyataannya, Zean memang memiliki fisik yang tidak kalah indah dari wajahnya. Dalam hal visual, pria itu sangat layak untuk masuk dalam kategori rupawan ala bangsawan. Tubuh tinggi tegap nan atletis yang juga dipadukan dengan otak encer dan attitude yang top notch, sudah pasti menambah nilai plus-nya dalam aspek menantu dan suami idaman. Anehnya, pria itu masih betah dengan status single-nya. Entah karena dia yang terlanjur nyaman, atau terlalu pemilih dalam hal pasangan.
Well, bersanding dengan pria nyaris sempurna seperti Zean memang tidak mudah. Banyak cobaan, malah. Cibiran netizen, misalnya. Beruntung, telingaku tebal. Jadi, aku lebih banyak mengabaikan komentar bernada sirik itu dan tidak mau ambil pusing.
Lain aku, lain Zean. Jika aku bisa cuek, hal itu tidak berlaku untuk Zean. Terlebih, jika komentar yang keluar berkaitan dengan pasangan dari sang mama. Pria berambut hitam pekat itu tidak punya alasan untuk tetap abai. Lebih tepatnya, pria dua puluh tahunan itu tidak diberi kesempatan untuk masa bodoh oleh mommy Jasmine, ibu Zean.
Jika teringat pada mommy Jasmine, otakku spontan memutar ingatan tentang beberapa hari yang lalu. Perempuan yang masih tampak sangat cantik di usianya yang sudah hampir berusia kepala lima itu tidak segan-segan mencecar Zean mengenai pasangan hidup pada acara makan siang kami bertiga. Bahkan, beliau juga mengatakan dengan frontal bahwa dia ingin sang putra segera menikah agar dia bisa menimang cucu secepatnya.
Lagi-lagi, aku ingin tertawa ketika teringat pada kesempatan lain yang digunakan mommy Jasmine untuk kembali menyinggung Zean masalah pernikahan. Namun, di satu sisi, rasa kasihanku pada Zean masih lebih besar. Selain sebagai pelampiasan karena tidak bisa melawan ibunya, bisa saja keusilan Zean adalah efek samping dari ke-jomblo-annya, kan? Makanya, Zean mode jahil selalu aktif tiap kali aku dan Rian sedang berdua, atau bahkan sedang chatting biasa.
"Kenapa, sih? Sirik ya lihat orang pacaran?" terkaku sambil menatapnya usil.
"Makanya cari pacar!" imbuhku dengan senyuman yang berubah menjadi seringai jahil. Baru kemudian aku tertawa, menertawakan Zean yang air mukanya sedikit mengeruh. Dia pikir aku akan selamanya diam saja tanpa perlawanan? Maaf saja, ya!
"It's not like I won't, Anna. I'm still waiting," jawab Zean kalem, lalu menatapku dengan senyum lebar.
Aku memutar mata. Tidak percaya. Dih! Klasik!
Alasan para jomblo selalu sama. Mereka menunggu yang terbaik datang. Yaah bukan alasan yang salah, sih. Tampaknya aku yang terlalu berharap akan mendapat jawaban kreatif ⎼tapi tidak imajinatif⎼ dari Zean. Tidak seperti Rian yang selalu memiliki banyak kosakata lucu. Well, sebagai guardian, Zean memang sangat bisa diandalkan. Sayangnya, pria itu payah dalam hal melucu. Terkadang, selera humor kami tidak selaras. Jadi, alih-alih membuatku ingin tertawa, aku malah merasa aneh karena candaan garingnya.
"Yeah, yeah, yeah. Keep waiting for your princess in shining light armor, then," sahutku mulai menyentuh makanan di hadapanku.
"You forget the white horse, Anna," celetuknya tiba-tiba dan aku spontan tertawa. Oke. Aku harus mengakui kalau Zean juga menyenangkan dan lucu, meskipun hal ini agak jarang terjadi.
"How about the dragon? The one which can throw fire breath?" usulku makin melantur.
"Wait. How about the witch? Is she prettier than the princess?"
"So, you're into witches now?"
Zean mengerling. "Girls like bad boys. Why can't boys do the same?"
"About liking the bad boys too?” Tanganku terangkat, menutup mulut dengan ekspresi sok kaget yang berlebihan. “Wow, you explain a lot, Zean."
Pria di hadapanku itu langsung mengusap wajahnya dengan telapak tangan, dan aku tertawa. Lebih tepatnya, aku menertawai Zean yang terlihat kehabisan kata. Sebenarnya aku paham maksud ucapannya. Namun, selama aku dapat kesempatan untuk mengusilinya, kenapa harus kulewatkan?
"I prefer waiting for you till my last breath, Anna."
Haish! Jawaban garing itu lagi! "Well, keep waiting, Pretty boy." Aku tertawa hambar. Meskipun aku tahu kalau Zean mengatakannya dengan nada bercanda, tapi kali ini guyonannya sama sekali tidak lucu. Selain karena Zean mengatakan hal yang kurang lebih memiliki arti yang sama terlalu sering, nada bicaranya sama sekali tidak selaras dengan ekspresi seriusnya. Seperti sekarang.
Bukankah Zean sudah tahu jelas kalau hubunganku dan Rian sangat langgeng, ya? Aku juga yakin kalau dia juga tahu tentang aku dan Rian yang sudah mulai bicara tentang pernikahan setelah tujuh tahun hubungan istimewa kami terbangun. Apakah aku perlu menegaskan lagi? Atau aku saja yang terlalu menganggap ini serius?
Tiba-tiba gawaiku berdenting. Pertanda bahwa ada pesan masuk.
Aku menatap Zean dan pria itu langsung mengeluarkan gawaiku yang dia simpan di saku celananya. Zean melihat layarnya sebentar, kemudian kembali menyimpannya di tempat semula.
Nah lho?!
Karena tidak melihat tanda-tanda bahwa gawaiku akan dikembalikan, aku mencoba peruntungan.
Kedua tanganku terulur ke arah Zean dengan posisi telapak tangan menghadap langit-langit.
"Can I get my phone back, please?" pintaku sambil menatap Zean memelas.
Kedua netra biru Zean menoleh ke arah piringku sebentar, kemudian kembali menatapku. Sepertinya aku tahu apa yang akan dia katakan.
"Finish your breakfast first."Tuh kan! Spontan, aku berdecih. Mataku menyipit, menatap Zean sebal."Stingy!" olokku lirih sambil kembali menyantap pancake yang baru kumakan sesuap. Dua detik kemudian, gawaiku kembali berdenting. Lagi dan lagi. Sayangnya, Zean masih tampak tidak peduli."Pesannya dari siapa?" tanyaku setelah menelan makanan dalam mulutku. Setidaknya, separuh pancake di atas piringku sudah
"Vouchers."Dahiku berkerut heran. "Vouchers?"Zean mengangguk. "Wishing vouchers. Three is enough."Mataku ⎼yang kata orang sudah sipit⎼ makin menyipit, menatap Zean curiga. Bagaimanapun, biasanya kupon keinginan itu inisiatif pemberi. Bukan request penerimanya."Kamu nggak akan minta yang aneh-aneh, 'kan?"Pemuda itu menggeleng. Kali ini bibirnya membentuk cengiran jahil.
Tuh, kan.Meski pencahayaannya remang-remang, aku masih bisa mengenali mobil mewah di luar jendela sisi kananku sebagai city car kesayangan Zean. Itu artinya, kami sudah sampai tujuan, dan kedua saudaraku itu benar-benar merealisasikan prasangkaku sebelumnya. Bahwa mereka tidak akan membangunkanku saat sudah tiba. Yang tidak kusangka, mereka benar-benar meninggalkanku di dalam mobil yang sudah diparkir di dalam garasi.Pintar sekali. Kalau begini, tidak ada yang akan tahu kalau aku masih terlelap di dalam mobil. Kecuali, jika ada yang mau berjalan jauh ke dalam garasi kediaman Kanatta yang sudah seperti showroom mobil mewah di basement
"Anna." Zean tiba-tiba menahan sikuku saat kami tengah menyusuri ruang tengah kediaman Austin Kanatta yang megah. Saat aku menoleh ke arahnya, Zean menatapku cemas bercampur ragu. Ia tetap diam, tetapi matanya sesekali melirik ke arah kak Naki dan Chris, seolah menunggu keduanya mencapai ruang makan terlebih dahulu. Begitu kedua saudaraku benar-benar dalam radius yang cukup jauh untuk menguping, aku mencoba bertanya, "Ada apa, Zean?" Pemuda yang mengenakan kemeja putih dengan dua kancing teratasnya dibuka dan lengan yang dilipat hingga siku itu menggaruk tengkuknya gugup. Tidak biasanya Zean seperti ini. "Ehm ... ini tentang kado ulang tahunku," jawabnya masih terlihat ragu. "Oh, kontrak itu? Kenapa?"
"Ian memang cemas setengah mati saat Jessica kecelakaan setelah basket summer camp-nya. Tetapi, jauh di lubuk hatinya, aku yakin kalau Ian bahagia karena kecelakaan itu membuat Jessica tidak bisa lagi bermain basket." Aku seketika terdiam. Sejujurnya, aku kesulitan mencari sisi positif dari cerita daddy Austin barusan. Karena sebagai sesama pecinta basket, juga dengan pengalamanku dengan "olahraga dan Papa", aku otomatis tidak menyukai kenyataan itu. Terlepas dari itu memang kenyataan yang ada, atau hanya kesimpulan yang diambil oleh daddy Austin. Karena secinta apapun papa pada mama, tetap saja itu terdengar sangat egois.
INI PENIPUAN! Aku tidak menyangka kalau Zean akan menipuku di saat seperti ini! Benar-benar tidak bisa dipercaya! Baiklah. Zean tidak sepenuhnya bersalah. Ini juga bagian dari konsekuensi karena aku malas bertanya dan asal percaya pada orang lain. Tetapi, tetap saja aku kesal setengah mati! Bisa-bisanya Zean menjebakku semudah ini! Yang lebih menyebalkan lagi, pria itu malah menahan tawa saat bertemu pandang dengan mataku yang menyorot sinis ke arahnya. Dia pikir aku sedang merajuk biasa?! Dasar keterlaluan! Daddy macam apa yang berani menjebak putrinya seperti ini? “I’ve told you, Dear! I’ve seen it coming! Anna will be our daughter-in-law sooner or later!
Aprilyn Shimaru, alias kakak perempuan Rian, adalah gadis yang dicintai oleh kak Naki. Setelah kesalahpahaman beberapa tahun yang lalu yang membuat hubungan mereka kandas, kakak sulungku akhirnya bisa memulihkan kembali hubungan mereka. Bahkan, sekarang mereka berdua sedang dalam tahap persiapan pernikahan. Sejak awal, aku memang tidak setuju dengan hubungan kedua insan itu. Sedalam apapun cinta kak Naki padanya, perempuan itu juga sudah melukai kak Naki sama dalamnya. Well, hubungan memang begitu, sih. Hanya, aku masih belum bisa lupa bagaimana perasaan keluargaku yang nyaris kehilangan kak Naki karena perempuan itu. Jadi, aku sendiri sedang dalam proses memaafkannya karena kakak sulungku terlihat lebih bahagia setelah mereka berhubungan lagi. Sudah? Begitu saja? Ten
Dahi papa Ian mengerut. Samar-samar, ia menatapku bingung. “Ada apa, Echana?” Aku segera menggeleng, lalu tersenyum. “Nggak apa-apa, Pa.” Sekedar informasi, aku masih cukup waras untuk tidak mengutarakan pertanyaan yang baru saja terbesit dalam benakku. Semarah apapun, aku masih tidak cukup berani untuk membuat papa Ian turut merasakan amarahku. Aku sudah cukup bersyukur dengan kehadiran Jessica Graciella Reefhitch sebagai ibuku yang sangat pengertian dan peduli. Tanpa kata, wanita kelahiran Surabaya itu sudah tahu ada yang salah dengan anak-anaknya hanya dalam sekali lihat. Benar-benar pelengkap dari sosok Sebastian Arthur Reefhitch yang kaku, semaunya sendiri, dan tidak peka. Terlebih, papa Ian sedang dalam mode sangat