Di bawah cahaya bulan yang pucat, angin berembus dingin di lembah gunung belakang kediaman Keluarga Ye. Aroma tanah basah bercampur dengan jejak darah yang telah mengering, menjadi saksi bisu atas pertarungan yang baru saja berakhir. Jing Qian berdiri, matanya berkilat-kilat menatap sosok di hadapannya—Ye Xuanqing.Mata rubah ekor tujuh itu memerah, bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga kesedihan yang membuncah di dadanya. Napasnya terengah, dadanya naik turun menahan dendam yang berkecamuk.Di hadapan Jing Qian, Ye Xuanqing berdiri tegak dengan jubah berbulunya masih bernoda darah akibat pertarungan tadi.Jing Qian berteriak, suaranya penuh kemarahan dan kesedihan. "Ye Xuanqing! Kau berdiri di sini dengan wajah tak berdosa, seolah-olah kau bukan penyebab kehancuran Gunung Jiaguan! Kau... kau telah membunuh ayahku!""Jing Qian... aku tidak—"Suara Ye Xuanqing melemah, dia ingin segera menjelaskan tapi mendengar korban dari perburuan siluman tiga bulan lalu adalah ayah Jing Qian, y
Debu beterbangan di udara, bercampur dengan aroma darah dan bunga teratai hitam yang mulai memudar. Jung Jinsi berdiri tegak, napasnya memburu, pedang di tangannya berlumuran darah hitam pekat milik Hei Lian Hua. Siluman teratai hitam itu terhuyung, luka di tubuhnya terus mengeluarkan asap gelap.Jung Jinsi menyipitkan mata, melihat bagaimana Hei Lian Hua berusaha berdiri meski jelas tubuhnya tak mampu lagi menahan pertarungan lebih lama."Hei Lian Hua, permainanmu sudah selesai." Jung Jinsi menatap datar ke arah perempuan siluman itu.Hei Lian Hua justru tersenyum miring, darah hitam mengalir dari sudut bibirnya. Dia kemudian mengusap kasar darah hitam itu dengan punggung tangannya. "Hah! kau pikir kau sudah menang, Jung Jinsi? Heh… Aku bukan seseorang yang bisa dikalahkan dengan mudah."Tiba-tiba, angin kencang berhembus. Langit yang tadinya berwarna merah saga berubah gelap seketika. Aura mencekam menyelimuti tempat itu, membuat Jung Jinsi spontan bersiap dalam posisi b
Kabut tebal menyelimuti pinggiran kota Fanlan. Bulan pucat menggantung lesu di langit, menerangi rumah-rumah reyot yang tampak lebih muram dari biasanya. Di kejauhan, suara lolongan anjing liar menggema, seakan memberi peringatan bahwa sesuatu yang berbahaya mengintai dalam gelap.Di dalam sebuah bangunan tua yang tersembunyi di balik pepohonan rimbun, Ye Xuanqing berdiri dengan ekspresi tajam. Matanya yang dingin menatap peta yang terbentang di atas meja kayu. Di sekelilingnya, beberapa pengawal berjaga dalam diam.Kali ini mereka berdua sudah berada dipinggiran kota Fanlan, tepat setelah Ye Xuanqing mengobati lukanya sendiri akibat pertarungan denan Jing Qian.Ye Xuanqing dengan suaranya tenang, tapi mengandung ketegasan. "Fen Rou, kau tahu apa yang terjadi di pinggiran Fanlan, bukan?"Fen Rou: mengangguk mengiyakan, ekspresinya serius. "Ya, Adipati. Serangkaian perampokan terjadi dalam satu malam. Semua korban adalah saudagar kaya atau pemilik benda-benda berharga. Tidak ada jejak
MEMULAI DARI AWAL?Fajar di gunung belakang kediaman keluarga Ye terasa sunyi, hanya ditemani cahaya matahari yang bersinar samar dan lembut menyinari pepohonan yang menjulang tinggi. Di antara kabut tipis yang menyelimuti hutan, Ye Xuanqing melangkah perlahan dengan hati penuh keraguan. Hembusan angin membawa aroma bunga liar yang bercampur dengan hembusan napasnya yang berat. Ia menggenggam erat kantong kecil berisi makanan hangat yang baru saja ia buat sendiri.Di sebuah batu besar di tengah hutan, seorang perempuan cantik duduk dengan anggun. Jung Jinsi, perempuan siluman rubah berekor sembilan, mengenakan jubah merah yang berkibar lembut tertiup angin. Mata emasnya yang tajam menatap lurus ke arah Ye Xuanqing, seakan mampu menembus isi hatinya."Apa yang kau lakukan di sini, Xuanqing?" suara Jung Jinsi terdengar datar, tanpa emosi.Ye Xuanqing menarik napas dalam sebelum menjawab, "Aku datang untuk menemuimu, Jinsi. Aku ingin bicara... ingin memperbaiki kesalahanku."Jung Jinsi
“Kau sungguh tidak mengingatnya? Dia saudari mu, Jing Qian mengatakan kalau kalian keluarga siluman rubah yang menetap di Gunung Jiaguan.”Ye Xuanqing mengulang kembali penjelasan yang diberikan oleh Jing Qian padanya. Hawa dingin merambat di sepanjang tulang punggungnya, bukan karena suhu udara, melainkan karena sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pertemuan dengan Jing Qian. Saat ini mereka jugab Sudha masuk ke dalam ruang tamu bangunan kediaman.“Apa yang sebenarnya kau ketahui tentang perempuan itu?” Jung Jinsi bertanya dengan nada terkontrol, tetapi ada ketegangan yang kentara di matanya.Ye Xuanqing menghela napas pelan, seolah menyusun kata-kata yang tepat sebelum berbicara. “Jing Qian... dia bukan sembarang siluman rubah. Dia memiliki tujuh ekor, menandakan usianya yang panjang dan kekuatan yang luar biasa. Tapi yang lebih mencurigakan bukanlah kekuatannya, melainkan klaimnya sebagai saudarimu.”Jung Jinsi mengepalkan tangannya. “Aku memang memiliki seorang saudari, tapi a
Jung Jinsi menghantamkan telapak tangannya ke segel dengan penuh amarah. Energi spiritualnya meledak, menghantam perisai tak kasatmata yang mengurungnya. Getaran kuat menyebar ke seluruh penjuru gunung belakang, membuat pepohonan bergemuruh dan angin bertiup kencang.Untuk sesaat, ia pikir usahanya berhasil. Retakan halus muncul di permukaan segel, berpendar dengan cahaya keemasan. Namun, sebelum ia sempat melancarkan serangan kedua.BRAK!Gelombang energi yang luar biasa kuat terpental kembali ke arahnya, menghantam tubuhnya dengan brutal. Jung Jinsi terhempas ke belakang, dadanya terasa sesak seakan ditimpa beban raksasa. Rasa sakit yang tajam menjalar dari telapak tangannya, merambat hingga ke seluruh tubuhnya."Ugh!" Ia terbatuk, dan sesuatu yang hangat serta anyir mengalir dari sudut bibirnya. Darah.Ye Xuanqing bergerak cepat, menangkap tubuh Jung Jinsi sebelum ia jatuh ke tanah. Wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi kekhawatiran. "Bodoh! Aku sudah bilang kau tidak bisa me
Ye Xuanqing dan Fen Rou berjalan terburu-buru keluar dari Departemen Kehakiman, mereka segera pergi ke kantor Departemen Keuangan Kekaisaran yang memang masih satu kompleks dengan istana dan beberapa biro pemerintahan yang lain.“Dengar, Fen Rou… kau jangan tunjukkan wajah mencurigakan di dalam sana. Berikan saja surat undangan kepada Tuan Xu Yao dengan baik, lalu pastikan jimat pengintai suara kau letakkan dengan baik pada surat itu!” perinyah Ye Xuanqing ketika mereka berdua berjalan menuju ke Departemen Keuangan.“Tentu saja, anda tidak perlu khawatir.” Fen Rou menjawab dengan mantap.“Kala begitu kau uruslah dengan baik, aku akan mencari petunjuk lain di Biro Penangkap Siluman. Seharusnya Ming Tian masih ada di sana untuk mengintrogasi salah satu Qui Ze yang ditanggap tahun lalu.” Ye Xuanqing berkata tenang, membeberkan rencananya pada sang rekan.“Sya akan memberi kabar melalui suar cahaya jika semuanya sudah selesai,” imbuh Fen Rou yang diangguki oleh sang Adipati.Setelahnya Y
Ye Xuanqing berdiri dengan ekspresi dingin, sementara Ming Tian bersandar di meja kayu kecil, lengan terlipat, menatap siluman itu dengan tatapan tajam."Ulangi lagi," suara Ye Xuanqing terdengar tenang, namun mengandung tekanan yang tak terbantahkan. "Perempuan yang kau lihat beberapa tahun lalu... Apa yang dia kenakan?"Siluman Qui Ze terkekeh pelan, bibirnya pecah dan berdarah. "Sudah kubilang... Aku melihatnya di perbatasan selatan, tempat para siluman pengincar harta Qui Ze sering bersembunyi. Dia memakai jubah hitam dan wajahnya tertutup cadar." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Tapi yang paling aneh adalah giok merah darah berbentuk bulan sabit yang tergantung di lehernya."Ye Xuanqing dan Ming Tian saling bertukar pandang."Giok merah darah berbentuk bulan sabit?" Ming Tian mengulang pelan, alisnya mengernyit. "Itu bukan giok biasa."Ye Xuanqing menarik napas dalam. "Itu adalah harta warisan keluarga Zhao," katanya. "Giok tersebut hanya diwariskan kepada putri keluarga Z
Gerbang istana dibuka perlahan, Ye Xuanqing bersama dengan Ming Tian dan Fen Rou masuk ke dalam istana sembari menunggang kuda. Barulah saat berada di halam istana, mereka turun dari kuda masing-masing dan menyerahkannya pada penjaga yang ada.Tugas utama sang adipati muda hari ini adalah melihat dan mengintrogasi sendiri Ibu Suri, Zhao Weini. Wanita tua itu sudah terlalu lama diam, dan kekaisaran perlu jawabannya untuk memeberikan hukuman dan menyelesaikan masalah dengan tuntas.“Kita langsung pergi ke paviliun angin timur, Ibu Suri diasingkan di sana saat ini adipati.” Ming Tian berujar pelan, dia memang tahu kondisi terkini dari sang pelaku utama kerusuhan di kekaisaran itu.Ye Xuanqing melirik sekilas ke arah Ming Tian yang memang berjalan dibelakangnya lalu mengangguk. “Ya, kita langsung pergi ke sana sekarang.”Namun baru saja hendak berbelok di koridor, sosok Putri Daiyan sudah muncul. Perempuan itu masih ditemani oleh dua pelayan muda dibelakangnya.“Adipati Ye!” panggil Zhao
Cahaya mentari menyelinap lewat celah kisi-kisi jendela, memantul lembut di atas lantai batu giok yang mengilap. Di paviliun utama, aroma teh qianye baru saja dituangkan oleh pelayan.Di kursi kehormatan duduk Ye Qingyu, pemilik wajah tenang namun berwibawa. Pakaiannya sederhana, namun dari cara duduk dan tatapan matanya, jelas bahwa ia adalah seorang yang terbiasa memimpin medan tempur.Di hadapannya duduk Mu Wangyan, Komisaris Perfektur Shinjing. Lelaki itu tampak santun, mengenakan jubah hitam bersulam perak khas pejabat tinggi. Matanya sempit, senyumnya tipis dan tidak pernah benar-benar sampai ke mata.“Sejak kapan komisaris perfektur, Kota Shinjing memiliki hubungan dengan Tuan Besar Ye?” Jung Jinsi yang duduk di sudur paviliun bertanya pada dirinya sambil menyuap buah kering pelan-pelan, seolah tak ikut dalam pembicaraan. Namun dari matanya yang terfokus dan telinganya yang tajam, ia sudah waspada sejak pria itu masuk. Ada semacam tirai tipis yang menghalangi dirinya, sehingga
Langit di atas Ibukota tampak lebih gelap dari biasanya, meski tak ada badai. Angin yang bertiup terasa membawa aroma darah dan dupa. Di kediaman Ye, suasana terasa tegang. Para pengawal berjaga dua kali lipat, dan paviliun belakang tempat Xuanqing dan Jinsi tinggal dijaga ketat oleh barrier spiritual. Hari ini adalah hari ke-7 pasca serangan yang dilakukan oleh Ye Xuanqing dan Jung Jinsi ke istana. Setelah hari itu, tidak ada tanda-tanda pergerakan apapun. Selain itu Ibu Suri juga bungkam, meski sudah diinterogasi. Di ruang utama, Ye Xuanqing menatap peta yang terbentang di hadapannya. Di sampingnya berdiri Jinsi, masih pucat tapi tekad di matanya tak pernah surut. Di seberang meja berdiri Ming Tian, Fen Rou, dan Jing Qian, masing-masing dengan ekspresi murung. “Ada yang janggal,” gumam Jing Qian, melipat lengannya. “Formasi pemecah jiwa itu terlalu rumit untuk dibuat hanya oleh Ibu Suri dan dua siluman." “Benar,” sahut Ye Xuanqing. “Menurut dokumen yang ditemukan di balik d
Kabut kelabu menyelimuti tembok tinggi istana barat. Di bawah cahaya bulan yang tertutup awan, dua sosok melintas cepat di antara bayangan tembok. Ye Xuanqing mengenakan jubah pemburu berlapis perak, pedang Huoguang miliknya tergantung di pinggangnya. Sementara di sisinya, Jung Jinsi menyatu sempurna dalam gelap, rambut hitam panjangnya disembunyikan di balik penutup kepala hitam. Suara gemerisik langkah mereka nyaris tak terdengar. Mereka menyusup dari gerbang air bawah, melewati lorong rahasia yang hanya diketahui oleh mereka yang pernah hidup di dalam istana. “Sudah lama sejak aku masuk dari jalur ini,” bisik Jung Jinsi pelan, matanya menyipit menatap lengkung lorong batu. "Terakhir kali aku masuk, untuk mencari informasi tentang Ibu Suri. Ye Xuanqing menoleh sekilas. “Dan sekarang kita masuk lagi lewat sini untuk menggagalkan semua rencana wanita tua itu!" "Karena itu, kita harus melakukan yang terbaik. Jangan sampai usaha kita gagal," balas Jung Jinsi dengan wajah y
Ye Xuanqing duduk dengan tenang, mengenakan jubah panjang warna arang dengan bordiran awan perak di tepinya. Wajahnya teduh, namun ada gurat berat yang tak tersembunyi di matanya. Di hadapannya, Jung Jinsi duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan, menyandarkan dagu di tangannya.“Kau diam sejak bertemu dengan Putri Daiyan," ucap Jinsi pelan, matanya menatap pria itu dengan lembut. “Apa sang Putri Daiyan berkata sesuatu yang tak kau suka?” tanyanya pelan. Ye Xuanqing tak langsung menjawab. Ia menatap cangkir teh yang belum disentuh, lalu menghela napas. “Bukan dia yang jadi masalah. Tapi kabar yang dia bawa.”Jinsi mengangkat satu alis. “Pasti ini sesuatu dari Ibu Suri?” tebaknya dengan wajah yang serius. Ye Xuanqing menoleh padanya, lalu mengangguk samar. "Ibu Suri sudah bertindak terlalu jauh, bahkan sebelum kita bisa menerka apa saja yang dia perbuat.""Apa yang dia lakukan sebenarnya?" Jung Jinsi mendekat, semakin dekat dengan Ye Xuanqing dan menggenggam tangannya erat. "Form
"Apa?" Ye Xuanqing masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. Namun sorot mata Zhao Yun Mei tidak menunjukkan kebohongan, hanya ada keteguhan yang coba dia tunjukkan saat ini. "Seharusnya Zhao Weini, ibu ku hanya selir agung. Tapi karena kematian permaisuri sebelumnya dia menduduki posisi permaisuri itu dengan berat. Kaisar ke-7 mendesak ibu untuk memberi penerus tahta, tapi dia tak kunjung dikaruniai keturunan." Ada jeda yang cukup lama saat Zhao Yun Mei menjelaskan masa lalu keluarga Kekaisaran Sheng. Fakta masa lalu yang dilupakan oleh rakyat, atau justru kabarnya tidak dibiarkan keluar dari dinding istana. "Ibu ku frustasi, dia tertekan dari berbagai sisi. Bahkan pria yang seharusnya menjadi tempatnya bersandar malah memberikan luka dan tekanan yang luar biasa hebat. Karena dibutakan oleh luka dan keserakahan, Ibu akhirnya pergi ke pegunungan barat bertahun-tahun lalu sebelum kakak ku lahir." Mata Ye Xuanqing membulat sempurna mendengar itu semua, Zha
Pagi hari menyapa dengan sinar matahari hangat yang menembus celah pepohonan. Di sebuah tempat perlindungan sederhana dekat mata air yang ada di gunung belakang kediaman keluarga Ye. Ye Xuanqing duduk bersandar di pohon, sementara Jung Jinsi menyeduh teh. Jing Qian tengah memeriksa formasi pelindung di sekitar tempat itu, dan Fen Rou membersihkan bilah belatinya. Ming Tian duduk di atas batu besar, menatap langit dengan ekspresi tenang. "Apa yang kita berlima hadapi semalam pasti sebuah konspirasi besar," ucap Ye Xuanqing membuka percakapan dengan topik yang berat. Namun semuanya langsung mengangguk, tanggap atas apa yang dibicarakan sang Adipati Muda. Ming Tian yang semula menatap langit, perlahan beralih pada rekan kultivasinya. "Dia adalah tangan kanan Hei Lian Hua, dan mereka berada di pihak Ibu Suri. itu semua sudah jelas!" "Tapi aku tidak bisa percaya kalau Lu Sangyun dan Hei Lian Hua sepenuhnya berpihak pada wanita tua itu. Siluman seperti mereka sangat sulit untuk diajak
Ye Xuanqing dan Ming Tian semakin berjalan cepat setelah pertarungan melawan siluman mimpi buruk, Lu Sangyun. Mereka kembali ke kediaman Keluarga Ye melalui gerbang belakang. Tepat dihalaman belakang itu pula Jung Jinsi, Jing Qian dan Fen Rou berada. Mereka bertiga juga baru saja tiba di kediaman. Terbukti dengan nafas mereka yang masih satu-satu. "Kalian sudah kembali," ucap Ye Xuanqing merasa lega begitu dia melangkahkan kaki masuk ke kediaman. semua orang menoleh ke arahnya, termasuk Jung Jinsi. Dia langsung tersenyum manis dan berlari kecil menuju sang Adipati. "Xuanqing, kau kembali dengan selamat juga." Jung Jinsi begitu lega. Meskipun dia sendiri hampir menjadi mayat jika kalah dengan Hei Lian Hua tadi. "Tentu saja, apapun yang terjadi aku pasti akan kembali." Ye Xuanqing menjawabnya dengan senyum tipis. Kemudian Fen Rou maju terlebih dahulu, dia hendak melaporkan apa yang mereka lihat saat menyusup ke istana Kekaisaran Sheng. "Adipati, kami melihat—" "Fen Rou cu
Di tengah hutan yang diterangi cahaya bulan pucat, Ye Xuanqing dan Ming Tian bergegas melintasi pepohonan. Langkah mereka cepat, menembus dedaunan dan bayangan yang bergoyang. Mereka harus segera menyusul Jung Jinsi, Jing Qian, dan Fen Rou sebelum semuanya terlambat. Namun, sesampainya di tepi jurang berbatu, mereka terhenti. Kabut hitam pekat bergulung-gulung di depan mereka. Di tengah kabut yang berputar, sosok perempuan melangkah maju. Mata keemasan yang menyala penuh kebencian menatap mereka. Rambut panjangnya tergerai seperti bayangan kelam, berkilauan di bawah sinar bulan. Gaun ungu tuanya berayun lembut, sementara aura mengerikan menguar dari tubuhnya. "Lu Sangyun," bisik Ming Tian dengan suara rendah. "Tangan kanan Hei Lian Hua," sambung Ye Xuanqing dengan ekspresi dingin. Lu Sangyun menyeringai, bibirnya melengkung dengan keangkuhan. "Kalian benar-benar mengira bisa melawan Ibu Suri? Kalian tak lebih dari bidak kecil dalam permainan ini." "Meski begitu, kami tida