Jung Jinsi menghantamkan telapak tangannya ke segel dengan penuh amarah. Energi spiritualnya meledak, menghantam perisai tak kasatmata yang mengurungnya. Getaran kuat menyebar ke seluruh penjuru gunung belakang, membuat pepohonan bergemuruh dan angin bertiup kencang.Untuk sesaat, ia pikir usahanya berhasil. Retakan halus muncul di permukaan segel, berpendar dengan cahaya keemasan. Namun, sebelum ia sempat melancarkan serangan kedua.BRAK!Gelombang energi yang luar biasa kuat terpental kembali ke arahnya, menghantam tubuhnya dengan brutal. Jung Jinsi terhempas ke belakang, dadanya terasa sesak seakan ditimpa beban raksasa. Rasa sakit yang tajam menjalar dari telapak tangannya, merambat hingga ke seluruh tubuhnya."Ugh!" Ia terbatuk, dan sesuatu yang hangat serta anyir mengalir dari sudut bibirnya. Darah.Ye Xuanqing bergerak cepat, menangkap tubuh Jung Jinsi sebelum ia jatuh ke tanah. Wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi kekhawatiran. "Bodoh! Aku sudah bilang kau tidak bisa me
Ye Xuanqing dan Fen Rou berjalan terburu-buru keluar dari Departemen Kehakiman, mereka segera pergi ke kantor Departemen Keuangan Kekaisaran yang memang masih satu kompleks dengan istana dan beberapa biro pemerintahan yang lain.“Dengar, Fen Rou… kau jangan tunjukkan wajah mencurigakan di dalam sana. Berikan saja surat undangan kepada Tuan Xu Yao dengan baik, lalu pastikan jimat pengintai suara kau letakkan dengan baik pada surat itu!” perinyah Ye Xuanqing ketika mereka berdua berjalan menuju ke Departemen Keuangan.“Tentu saja, anda tidak perlu khawatir.” Fen Rou menjawab dengan mantap.“Kala begitu kau uruslah dengan baik, aku akan mencari petunjuk lain di Biro Penangkap Siluman. Seharusnya Ming Tian masih ada di sana untuk mengintrogasi salah satu Qui Ze yang ditanggap tahun lalu.” Ye Xuanqing berkata tenang, membeberkan rencananya pada sang rekan.“Sya akan memberi kabar melalui suar cahaya jika semuanya sudah selesai,” imbuh Fen Rou yang diangguki oleh sang Adipati.Setelahnya Y
Ye Xuanqing berdiri dengan ekspresi dingin, sementara Ming Tian bersandar di meja kayu kecil, lengan terlipat, menatap siluman itu dengan tatapan tajam."Ulangi lagi," suara Ye Xuanqing terdengar tenang, namun mengandung tekanan yang tak terbantahkan. "Perempuan yang kau lihat beberapa tahun lalu... Apa yang dia kenakan?"Siluman Qui Ze terkekeh pelan, bibirnya pecah dan berdarah. "Sudah kubilang... Aku melihatnya di perbatasan selatan, tempat para siluman pengincar harta Qui Ze sering bersembunyi. Dia memakai jubah hitam dan wajahnya tertutup cadar." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Tapi yang paling aneh adalah giok merah darah berbentuk bulan sabit yang tergantung di lehernya."Ye Xuanqing dan Ming Tian saling bertukar pandang."Giok merah darah berbentuk bulan sabit?" Ming Tian mengulang pelan, alisnya mengernyit. "Itu bukan giok biasa."Ye Xuanqing menarik napas dalam. "Itu adalah harta warisan keluarga Zhao," katanya. "Giok tersebut hanya diwariskan kepada putri keluarga Z
MENYELAMATKAN KEKAISARAN & ORANG BERHARGAYe Xuanqing dan Ming Tian segera pergi dari biro penangkap siluman. Keduanya hendak menuju gunung belakang kediaman Keluarga Ye, begitu ditengah jalan setapak yang dikelilingi hutan pinus suar cahaya berwarna merah muncul. Kuda yang ditunggangi keduanya berhenti, terkejut melihat suar cahaya kemerahan yang menggantung di udara.Ming Tian meneatap lurus ke arah suar cahaya itu, dia tampak waspada. “Siapa yang emngirim suar cahaya pada kita?” tanyanya dengan nada yang tenang meski ada ketegangan yang terdengar.“Pesan dari Fen Rou,” balas Ye Xuanqing kemudian turun dari kudanya.Pemburu siluman tingkat lima itu turun, dan dengan langkah pelan tapi pasti dia menghampiri suar cahaya yang masih menggantung di udara tanpa redup sedikit pun. Tangan kokoh pria itu menengadah, lalu suar cahaya itu berubah menjadi sebuah kertas jimat.[Saya sudah menyampaikan undangan pada Tuan Xu Yao, dia memang berada di departemen keuangan saat itu. Dia menerima un
Angin malam bertiup pelan, membawa aroma dedaunan lembap setelah embun mulai turun. Jung Jinsi melangkah santai menuju pintu kediaman tempat ia ditahan, jari-jarinya mengusap pinggiran kusen kayu yang dingin. Sementara itu, Ming Tian tetap berjaga di teras, berdiri tegap dengan pandangan mengawasi sekitar."Aku masuk dulu," ujar Jung Jinsi tanpa menoleh.Ming Tian hanya mengangguk, tetap waspada. Namun, baru saja Jung Jinsi hendak mendorong pintu, angin kencang tiba-tiba berputar di halaman. Mata Ming Tian menyipit, merasakan hawa aneh yang mendekat dengan cepat.Dalam sekejap, sesosok bayangan melesat dari balik pepohonan, menerjang ke arahnya dengan kuku tajam mengarah ke lehernya.Ming Tian bereaksi cepat. Ia menarik pedangnya dan menangkis serangan itu dengan satu gerakan lincah. Benturan kekuatan spiritual membuat debu beterbangan di sekeliling mereka. Sosok yang menyerangnya melompat mundur, memperlihatkan wujudnya di bawah cahaya bulan.Seorang perempuan dengan pakaian merah tu
Malam telah merayap naik saat Ye Xuanqing kembali ke kediaman keluarga Ye. Cahaya lentera berpendar lembut di sepanjang koridor, bayangannya terpantul di lantai batu yang dingin. Begitu langkahnya memasuki aula utama, ia mendapati seorang pria paruh baya dengan jubah hijau tua duduk di kursi utama. Wajahnya berwibawa, dengan sorot mata tajam yang penuh perhitungan.“Ayah,” Ye Xuanqing menundukkan kepala dengan hormat.Ye Qingyu menatap putranya dengan pandangan yang sulit dibaca. Dengan gerakan tangan, ia menyuruh Ye Xuanqing duduk.“Kau datang di saat yang tepat,” ucapnya tanpa basa-basi. “Ada kabar penting yang harus kau ketahui.”Ye Xuanqing mengangguk, tubuhnya menegang. Ia bisa merasakan bahwa pembicaraan ini tidak akan sederhana.“Kondisi politik di ibu kota semakin memanas,” Ye Qingyu melanjutkan. “Para bangsawan dan pejabat tinggi mulai terbagi dalam dua kubu. Kubu pertama adalah mereka yang tetap setia pada keluarga Zhao dan mendukung pemerintahan yang di dominasi oleh Z
Fajar masih enggan menampakkan sinarnya ketika seorang pria berjubah hitam dengan tudung menutupi kepalanya memasuki Kediaman Keluarga Ye. Ia bergerak cepat dan tanpa suara, seperti bayangan yang menyelinap di antara kegelapan. Tak ada yang mengetahui kehadirannya selain seorang pria yang telah menunggunya di sebuah paviliun kecil di taman belakang."Aku sudah menduga kau akan datang, Yun Taek," ujar Ye Qingyu sambil menuangkan teh ke dalam dua cawan. Suaranya terdengar tenang, seolah ini adalah pertemuan biasa antara dua sahabat, bukan perjumpaan rahasia antara seorang kaisar dan kepala Keluarga Ye.Pria berjubah hitam itu menurunkan tudungnya, memperlihatkan wajah yang tegas dan penuh kebijaksanaan. Kaisar Zhao Yun Taek, penguasa kedelapan Dinasti Sheng, menatap sahabat lamanya dengan senyum samar."Aku tidak bisa berlama-lama di sini, Qingyu. Mata-mata Ibu Suri masih mengawasi setiap gerak-gerikku. Aku datang untuk memberitahumu sesuatu yang penting." Zhao Yun Taek mulai duduk berh
MENERKA PERTAHANANMendengar perintah sang ayah, Ye Xuanqing tersenyum samar. Dia merasa ada setitik harapan kalau kedepannya sang ayah bisa menerima kehadiran Jung Jinsi seperti sebelumnya. Sang adipati muda itu pun mengangguk patuh, setelahnya dia berdiri untuk pamit menyelesaikan pekerjaannya hari itu.Saat berjalan menuju ruang kerjanya, Ye Xuanqing mengingat Jung Jinsi yang masih tertahan di gunung belakang. Dia kemudian berbelok ke halaamn samping, hendak memeriksa peisai yang dia buat untuk menahan perempuan siluman itu.“Jika Ming Tian masih ada di sana, seharusnya Jung Jinsi juga tetap ada di sana saat ini.” Adipati itu mulai menggerakkkan tangannya membentuk sebuah formasi sederhana.Kemudian dia mulai menggambar mantra di udara. Sesaat setelahnya sinar berbentuk persegi panjang muncul. Sinar itu menampakkan proyeksi keadaan gunung belakang kediaman Ye.Ye Xuanqing bisa melihat keadaan dengan jelas, Jung Jinsi masih ada di gunung belakang. Dia tetap erada di sana dengan waja
Langit di atas Ibukota tampak lebih gelap dari biasanya, meski tak ada badai. Angin yang bertiup terasa membawa aroma darah dan dupa. Di kediaman Ye, suasana terasa tegang. Para pengawal berjaga dua kali lipat, dan paviliun belakang tempat Xuanqing dan Jinsi tinggal dijaga ketat oleh barrier spiritual. Hari ini adalah hari ke-7 pasca serangan yang dilakukan oleh Ye Xuanqing dan Jung Jinsi ke istana. Setelah hari itu, tidak ada tanda-tanda pergerakan apapun. Selain itu Ibu Suri juga bungkam, meski sudah diinterogasi. Di ruang utama, Ye Xuanqing menatap peta yang terbentang di hadapannya. Di sampingnya berdiri Jinsi, masih pucat tapi tekad di matanya tak pernah surut. Di seberang meja berdiri Ming Tian, Fen Rou, dan Jing Qian, masing-masing dengan ekspresi murung. “Ada yang janggal,” gumam Jing Qian, melipat lengannya. “Formasi pemecah jiwa itu terlalu rumit untuk dibuat hanya oleh Ibu Suri dan dua siluman." “Benar,” sahut Ye Xuanqing. “Menurut dokumen yang ditemukan di balik d
Kabut kelabu menyelimuti tembok tinggi istana barat. Di bawah cahaya bulan yang tertutup awan, dua sosok melintas cepat di antara bayangan tembok. Ye Xuanqing mengenakan jubah pemburu berlapis perak, pedang Huoguang miliknya tergantung di pinggangnya. Sementara di sisinya, Jung Jinsi menyatu sempurna dalam gelap, rambut hitam panjangnya disembunyikan di balik penutup kepala hitam. Suara gemerisik langkah mereka nyaris tak terdengar. Mereka menyusup dari gerbang air bawah, melewati lorong rahasia yang hanya diketahui oleh mereka yang pernah hidup di dalam istana. “Sudah lama sejak aku masuk dari jalur ini,” bisik Jung Jinsi pelan, matanya menyipit menatap lengkung lorong batu. "Terakhir kali aku masuk, untuk mencari informasi tentang Ibu Suri. Ye Xuanqing menoleh sekilas. “Dan sekarang kita masuk lagi lewat sini untuk menggagalkan semua rencana wanita tua itu!" "Karena itu, kita harus melakukan yang terbaik. Jangan sampai usaha kita gagal," balas Jung Jinsi dengan wajah y
Ye Xuanqing duduk dengan tenang, mengenakan jubah panjang warna arang dengan bordiran awan perak di tepinya. Wajahnya teduh, namun ada gurat berat yang tak tersembunyi di matanya. Di hadapannya, Jung Jinsi duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan, menyandarkan dagu di tangannya.“Kau diam sejak bertemu dengan Putri Daiyan," ucap Jinsi pelan, matanya menatap pria itu dengan lembut. “Apa sang Putri Daiyan berkata sesuatu yang tak kau suka?” tanyanya pelan. Ye Xuanqing tak langsung menjawab. Ia menatap cangkir teh yang belum disentuh, lalu menghela napas. “Bukan dia yang jadi masalah. Tapi kabar yang dia bawa.”Jinsi mengangkat satu alis. “Pasti ini sesuatu dari Ibu Suri?” tebaknya dengan wajah yang serius. Ye Xuanqing menoleh padanya, lalu mengangguk samar. "Ibu Suri sudah bertindak terlalu jauh, bahkan sebelum kita bisa menerka apa saja yang dia perbuat.""Apa yang dia lakukan sebenarnya?" Jung Jinsi mendekat, semakin dekat dengan Ye Xuanqing dan menggenggam tangannya erat. "Form
"Apa?" Ye Xuanqing masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. Namun sorot mata Zhao Yun Mei tidak menunjukkan kebohongan, hanya ada keteguhan yang coba dia tunjukkan saat ini. "Seharusnya Zhao Weini, ibu ku hanya selir agung. Tapi karena kematian permaisuri sebelumnya dia menduduki posisi permaisuri itu dengan berat. Kaisar ke-7 mendesak ibu untuk memberi penerus tahta, tapi dia tak kunjung dikaruniai keturunan." Ada jeda yang cukup lama saat Zhao Yun Mei menjelaskan masa lalu keluarga Kekaisaran Sheng. Fakta masa lalu yang dilupakan oleh rakyat, atau justru kabarnya tidak dibiarkan keluar dari dinding istana. "Ibu ku frustasi, dia tertekan dari berbagai sisi. Bahkan pria yang seharusnya menjadi tempatnya bersandar malah memberikan luka dan tekanan yang luar biasa hebat. Karena dibutakan oleh luka dan keserakahan, Ibu akhirnya pergi ke pegunungan barat bertahun-tahun lalu sebelum kakak ku lahir." Mata Ye Xuanqing membulat sempurna mendengar itu semua, Zha
Pagi hari menyapa dengan sinar matahari hangat yang menembus celah pepohonan. Di sebuah tempat perlindungan sederhana dekat mata air yang ada di gunung belakang kediaman keluarga Ye. Ye Xuanqing duduk bersandar di pohon, sementara Jung Jinsi menyeduh teh. Jing Qian tengah memeriksa formasi pelindung di sekitar tempat itu, dan Fen Rou membersihkan bilah belatinya. Ming Tian duduk di atas batu besar, menatap langit dengan ekspresi tenang. "Apa yang kita berlima hadapi semalam pasti sebuah konspirasi besar," ucap Ye Xuanqing membuka percakapan dengan topik yang berat. Namun semuanya langsung mengangguk, tanggap atas apa yang dibicarakan sang Adipati Muda. Ming Tian yang semula menatap langit, perlahan beralih pada rekan kultivasinya. "Dia adalah tangan kanan Hei Lian Hua, dan mereka berada di pihak Ibu Suri. itu semua sudah jelas!" "Tapi aku tidak bisa percaya kalau Lu Sangyun dan Hei Lian Hua sepenuhnya berpihak pada wanita tua itu. Siluman seperti mereka sangat sulit untuk diajak
Ye Xuanqing dan Ming Tian semakin berjalan cepat setelah pertarungan melawan siluman mimpi buruk, Lu Sangyun. Mereka kembali ke kediaman Keluarga Ye melalui gerbang belakang. Tepat dihalaman belakang itu pula Jung Jinsi, Jing Qian dan Fen Rou berada. Mereka bertiga juga baru saja tiba di kediaman. Terbukti dengan nafas mereka yang masih satu-satu. "Kalian sudah kembali," ucap Ye Xuanqing merasa lega begitu dia melangkahkan kaki masuk ke kediaman. semua orang menoleh ke arahnya, termasuk Jung Jinsi. Dia langsung tersenyum manis dan berlari kecil menuju sang Adipati. "Xuanqing, kau kembali dengan selamat juga." Jung Jinsi begitu lega. Meskipun dia sendiri hampir menjadi mayat jika kalah dengan Hei Lian Hua tadi. "Tentu saja, apapun yang terjadi aku pasti akan kembali." Ye Xuanqing menjawabnya dengan senyum tipis. Kemudian Fen Rou maju terlebih dahulu, dia hendak melaporkan apa yang mereka lihat saat menyusup ke istana Kekaisaran Sheng. "Adipati, kami melihat—" "Fen Rou cu
Di tengah hutan yang diterangi cahaya bulan pucat, Ye Xuanqing dan Ming Tian bergegas melintasi pepohonan. Langkah mereka cepat, menembus dedaunan dan bayangan yang bergoyang. Mereka harus segera menyusul Jung Jinsi, Jing Qian, dan Fen Rou sebelum semuanya terlambat. Namun, sesampainya di tepi jurang berbatu, mereka terhenti. Kabut hitam pekat bergulung-gulung di depan mereka. Di tengah kabut yang berputar, sosok perempuan melangkah maju. Mata keemasan yang menyala penuh kebencian menatap mereka. Rambut panjangnya tergerai seperti bayangan kelam, berkilauan di bawah sinar bulan. Gaun ungu tuanya berayun lembut, sementara aura mengerikan menguar dari tubuhnya. "Lu Sangyun," bisik Ming Tian dengan suara rendah. "Tangan kanan Hei Lian Hua," sambung Ye Xuanqing dengan ekspresi dingin. Lu Sangyun menyeringai, bibirnya melengkung dengan keangkuhan. "Kalian benar-benar mengira bisa melawan Ibu Suri? Kalian tak lebih dari bidak kecil dalam permainan ini." "Meski begitu, kami tida
Malam yang awalnya hanya diwarnai riuh rendah pasar kini berubah menjadi penuh ketegangan. Dari kejauhan, Ye Xuanqing dan Ming Tian melihat tiga sosok yang berlari dengan cepat, diikuti oleh sekelompok penjaga bersenjata yang mengejar mereka dengan teriakan tajam. "Berhenti disana!" "Jangan lari!" "Berhenti, dasar penyusup!" Teriakan-teriakan para penjaga bergema ditengah malam, mengejar Jung Jinsi, Jing Qian, dan Fen Rou yang terus berlari menghindari istana Kekaisaran Sheng. "Mereka berhasil keluar, tapi dalam keadaan dikejar," ujar Ming Tian dengan nada datar, namun tubuhnya sudah bergerak. Ye Xuanqing meraih lengan bajunya, menahan. "Jangan bertindak gegabah. Kita harus mengalihkan perhatian para penjaga, bukan menarik perhatian lebih banyak." Ming Tian menyeringai. "Bukankah itu hal yang sama?" Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah ke tengah jalan, berjalan dengan sikap santai seolah tak terjadi apa-apa. Saat para penjaga semakin dekat, ia pura-pura tersandung seb
Di luar gerbang istana, suasana malam tetap hidup dengan aktivitas warga. Lampion-lampion berayun pelan diterpa angin, menerangi pedagang yang masih berjualan dan pengunjung yang menikmati makanan di kedai pinggir jalan. Di antara keramaian, dua sosok duduk di sudut kedai teh yang cukup gelap, memperhatikan gerbang istana dengan waspada. Ye Xuanqing, dengan pakaian sederhana layaknya rakyat biasa, mengaduk tehnya perlahan. Di sebelahnya, Ming Tian tampak lebih santai, menikmati makanan yang ia pesan, tetapi matanya tetap tajam mengawasi situasi sekitar. “Nyonya Muda dan yang lain sudah masuk,” bisik Ming Tian sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. Xuanqing tidak segera menjawab. Ia justru mengalihkan pandangannya ke sekelompok warga yang duduk tak jauh dari mereka, terlibat dalam percakapan yang cukup serius. “Aku dengar pajak kembali dinaikkan bulan ini. Bagaimana mungkin kita bisa bertahan?” keluh seorang pria paruh baya, mengusap wajahnya yang penuh keringat. Seorang wanita tu