Lalu Rabu bergerak turun. Dia memastikan sekeliiling dulu, sebelum akhirnya mendekati pagar rumah Shae. Namun, suara keributan yang samar-samar dia dengar, membuatnya mempercepat langkah. Dia memanjat pagar yang terkunci itu, lalu mendekat ke jendela sebelah kanan rumah. Tirainya masih tertutup, tapi suara di dalam terdengar.
“Lepasin, gue, Theo!” jerit Shae.
“Lo lupa kita saudara? Lo lupa kalau kita cuma punya satu sama lain?”
Rabu menahan napas mendengar hal yang menurutnya sampah itu. Pasalnya, dulu dia sering mendengar ucapan itu tiap kali mengantar pulang Shae dan Katha seusai bersenang-senang di pesta.
“Saudara? Lo masih bilang gitu setelah hal bejat yang lo lakuin ke gue?”
“Gue nggak sengaja, Sha. Itu kesalahan. Lagian gue mabuk. Mana gue tau itu elo.”
Hal mengerikan seperti itu diucapkan oleh Theo dengan nada super santai. Sampai-sampai Rabu menggenggam tangannya kuat-kuat agar tak meme
Shae menangis histeris sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Bahkan tangisannya semakin parah kala Rendra dimasukkan ke UGD dengan para dokter dan perawat yang terlihat panik.Katha yang melihat itu juga ikut gemetar. Namun, dia sekuat tenaga menahan tangis untuk menguatkan Shae. Sahabatnya itu terlalu syok. Apalagi saat melihat Rendra dibawa ke rumah sakit dengan posisi pisau yang masih menancap pada perut dan darah yang terus-terusan merembes di pakaiannya.Tangis Shae baru lenyap setelah perempuan itu pingsan di depan brankar Rendra. Dia akhirnya ikut dibaringkan di UGD, sementara Rendra dibawa ke ruang operasi.Masalahnya, kondisi Shae jadi mengkhawatirnya ketika sadar. Dia terlihat linglung.“Sha,” panggil Katha untuk yang kesekian kalinya. Dia menyentuh lengan Shae lembut.Shae membuka mata. Dia melihat Katha dengan tatapan bingung selama beberapa detik.“Kita pulang dulu, ya. Pulang ke rumah gue,” ajak Katha
"Gue nggak salah. Si brengsek itu yang berbuat rusuh duluan. Dia mecahin kaca rumah gue, terus menerobos masuk seenaknya. Harusnya gue yang tuntut dia!" teriak Theo. Dia sekarang ada di kantor polisi bersama dengan Rabu.Rabu sendiri jengah mendengar amukan Theo yang merasa dirinya tidak pantas dibawa ke kantor polisi. Padahal kali ini kejadiannya sudah teramat sangat parah, sebab membahayakan nyawa orang lain."Bapak kalau tidak tenang, bisa langsung saya masukkan sel," ujar seorang polisi yang kelelahan mencoba mendapatkan keterangan dari pelaku."Lo kata gue bisa tenang dituduh begini?" sahut Theo. Dia bahkan menendang meja yang ada di depannya.Kalau tidak ingat sedang berada di kantor polisi, mungkin saat ini Rabu sudah menghabisi muka Theo yang seolah tak berdosa itu. Dia geram, sebab setiap dia memberikan keterangan, lelaki itu terus saja membuat keributan dengan menyalahkan balik Rendra maupun Shae."Lo mau nyangkal gimana juga, saksi kita
Rabu tidak berhasil bicara pada Rena. Perempuan itu malah histeris dan mengumpati Shae tanpa henti. Hal itu akhirnnya membuat dia dan Katha memutuskan untuk membawa Shae pulang. Sebab, perempuan itu tampak sangat terpukul."Lo harus istirahat, Sha," ujar Katha ketika sampai di rumah.Rumah yang dimaksud adalah rumah Rabu. Dia merasa tidak bisa meninggalkan Shae di apartemen Rendra. Selain karena tahu kondisi mental sahabatnya, tentu Rena juga akan sangat marah kalau tahu Shae masih ada di apartemen Rendra."Besok Tante Rena pasti udah lebih tenang. Kita bakal segera tahu kabar Rendra," lanjut Katha.Rabu memperhatikan keduanya sambil berdiri bersandar di sebelah pintu tak berdaun pintu menuju ruang makan. Dia sendiri sebetulnya khawatir dengan keadaan Rendra. Sebab, sempat dia lihat bahwa pisau yang menusuk perut lelaki itu terlalu dalam. Belum lagi Rendra kehilangan kesadaran begitu ambulan datang.Rabu jadi menyalahkan dirinya sendiri. Harusnya t
“Tha, maaf,” ujar Rabu pelan, tapi masih bisa didengar Katha. Katha menatap bingung. Setelah itu dia sedikit terkejut melihat Rabu menarik Shae dalam pelukannya. Lantas, sahabat perempuannya itu menagis tersedu-sedu dalam pelukan Rabu. Harusnya Katha merasa biasa saja. Selama ini dia baik-baik saja melihat Rabu bersama perempuan lain, atau bahkan bercanda dengan Shae. Akan tetapi, entah kenapa matanya tidak ingin melihat pemandanga itu. Dia akhirnya memalingkan muka, lalu berkata sebelum beranjak, “Gue siapin air hangat dulu buat Shae.” Rabu mengangguk. Dia mengusap-usap punggung Shae sambil membisikkan kalimat-kalimat menenangkan. Sayangnya hal itu tertangkap mata Katha. Perempuan itu akhirnya melangkah cepat ke dalam kamar. Sampai di kamar dia menutup pintu dan bersandar di sana. Napasnya sedikit memburu, hingga dia perlu menarik dan mengembuskan napas beberapa kali, sambil memengangi dadanya. “Ada yang aneh sama jantung gue,” keluhnya. Dia
Rabu berhasil berbicara dengan keluarga Rendra. Namun, dia hanya bisa mendapat informasi soal keadaan lelaki itu, tanpa diizinkan menjenguk. Apalagi sampai membawa Shae. Pada akhirnya Shae hanya bisa menunggu di rumah Katha dan Rabu, sementara Rabu terus berusaha update soal kondisi Rendra yang masih koma. “Bu, Shae dua hari ini susah banget disuruh makan,” ujar Katha kala sedang mempersiapkan sarapan bersama Rabu. “Nggak bisa dibujuk lagi?” Katha menggeleng. “Udah susah banget.” Rabu menghela napas. “Gue maklum. Dia pasti terpukul atas semua rentetan masalah yang terjadi di hidupnya.” Tangan Katha yang sedang mengocok telur terhenti. Dia menatap kuning dan putih telur yang belum tercampur sempurna. “Gue kadang ngerasa Tuhan terlalu kejam sama dia.” “Jangan bicara begitu. Tuhan pasti punya rencana terbaik untuk Shae nantinya. Buktinya setelah mengalami hal buruk dari kakaknya, dia dipertemukan dengan Rendra yang tulus m
Katha benar-benar panik dan terpukul. Selama perjalanan menuju rumah sakit, hingga sampai, dia tak hentinya menangis. Ingatannya selalu kembali pada saat dia pertama menemukan Shae tidak sadarkan diri di kamar, sementara beberapa pil obat tidur berserakan di lantai. “Sejak kapan dia minum itu?” Pertanyaan semacam itu terus-terusan muncul di kepala Katha. Sebab, Shae tidak pernah mau jika dia ajak ke psikolog untuk konsultasi. Jadi, dia pikir bahwa Shae mungkin baik-baik saja dan hanya sedikit terguncang. Namun nyatanya, dugaannya yang terlalu positif malah membuatnya alpa mengawasi sahabatnya itu. “Tha,” panggil Rabu sambil memegang bahu Katha. Perempuan yang duduk di lorong tunggu rawat inap itu menoleh dengan mata sembab. Tangisnya memang sudah terhenti, namun kini pikirannya yang mengeluarkan banyak air mata penyesalan. “Ayo makan dulu,” ajak Rabu. Dia mengangkat kantong plastik yang tadi siang mereka bawa dari Angkasa. Sekarang sudah pukul
“Lo udah di rumah sakit?” tanya Rabu dari seberang telepon.Katha mengangguk meski dia tau Rabu tak bisa melihat. Namun, setelahnya dia menjawab, “Iya. Ini gue hampir nyampe kamarnya Shae.”“Kata Langit dia udah oke, Tha. Lo ajak becandaan aja,” ujar Rabu lagi.“Siap. Ini gue bawa jajanan kesukaan dia.” Katha melirik paper bag yang sedang dia pegang.“Good. Gue nanti sepulang meeting jemput lo ke sana. Maaf, ya, nggak bisa jemput dari kantor dan nganterin.” Suara Rabu terdengar menyesal.Katha terkekeh. Ini sikap baru yang dia terima dari Rabu. Kalau dulu Rabu harus meeting dan membatalkan pertemuan mereka, lelaki itu hanya membatalkan tanpa bicara kata maaf. Dan sesuatu yang baru seperti ini menggelitik Katha. Antara terganggu dan terkesima. Entah, dia tak bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini.“Iya, iya. Pemberitahuannya dadakan. Gue tau. Tenang aja kali, Bu,” sahu
Ocehan Rena membuat Katha jengah. Sedangkan wajah bingung Shae juga ingin membuatnya menjitak sang sahabat. Situasi di mana dia seharusnya tidak ikut camput ini tetap saja membuatnya berang. Dia tahu perihal rencana Rendra, Rena mengira sang putra sudah melaksanakan rencananya, tapi yang paling parah obyeknya tidak tahu apa-apa.“Saya benar-benar tidak mengerti,” ucap Shae akhirnya setelah sekian lama terdiam.“Kamu masih bersikap seperti ini meskipun sejak tadi saya sudah mohon-mohon?” tanya Rena kesal. Seakan-akan Shae baru saja menghinanya.“Saya benar-benar tidak mengerti. Lamaran? Lamaran apa?” tanya Shae. Dia sudah bisa menduga dari ocehan Rena sejak tadi, bahwa perempuan paruh baya itu berpikir anaknya melamar dirinya. Padahal tidak ada kata-kata semacam itu.“Astaga!” pekik Rena. “Kamu benar-benar tidak punya perasaan!”“Tante,” panggil Katha akhirnya.Dia memeca