Katha benar-benar panik dan terpukul. Selama perjalanan menuju rumah sakit, hingga sampai, dia tak hentinya menangis. Ingatannya selalu kembali pada saat dia pertama menemukan Shae tidak sadarkan diri di kamar, sementara beberapa pil obat tidur berserakan di lantai.
“Sejak kapan dia minum itu?” Pertanyaan semacam itu terus-terusan muncul di kepala Katha. Sebab, Shae tidak pernah mau jika dia ajak ke psikolog untuk konsultasi. Jadi, dia pikir bahwa Shae mungkin baik-baik saja dan hanya sedikit terguncang. Namun nyatanya, dugaannya yang terlalu positif malah membuatnya alpa mengawasi sahabatnya itu.
“Tha,” panggil Rabu sambil memegang bahu Katha.
Perempuan yang duduk di lorong tunggu rawat inap itu menoleh dengan mata sembab. Tangisnya memang sudah terhenti, namun kini pikirannya yang mengeluarkan banyak air mata penyesalan.
“Ayo makan dulu,” ajak Rabu. Dia mengangkat kantong plastik yang tadi siang mereka bawa dari Angkasa.
Sekarang sudah pukul
“Lo udah di rumah sakit?” tanya Rabu dari seberang telepon.Katha mengangguk meski dia tau Rabu tak bisa melihat. Namun, setelahnya dia menjawab, “Iya. Ini gue hampir nyampe kamarnya Shae.”“Kata Langit dia udah oke, Tha. Lo ajak becandaan aja,” ujar Rabu lagi.“Siap. Ini gue bawa jajanan kesukaan dia.” Katha melirik paper bag yang sedang dia pegang.“Good. Gue nanti sepulang meeting jemput lo ke sana. Maaf, ya, nggak bisa jemput dari kantor dan nganterin.” Suara Rabu terdengar menyesal.Katha terkekeh. Ini sikap baru yang dia terima dari Rabu. Kalau dulu Rabu harus meeting dan membatalkan pertemuan mereka, lelaki itu hanya membatalkan tanpa bicara kata maaf. Dan sesuatu yang baru seperti ini menggelitik Katha. Antara terganggu dan terkesima. Entah, dia tak bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini.“Iya, iya. Pemberitahuannya dadakan. Gue tau. Tenang aja kali, Bu,” sahu
Ocehan Rena membuat Katha jengah. Sedangkan wajah bingung Shae juga ingin membuatnya menjitak sang sahabat. Situasi di mana dia seharusnya tidak ikut camput ini tetap saja membuatnya berang. Dia tahu perihal rencana Rendra, Rena mengira sang putra sudah melaksanakan rencananya, tapi yang paling parah obyeknya tidak tahu apa-apa.“Saya benar-benar tidak mengerti,” ucap Shae akhirnya setelah sekian lama terdiam.“Kamu masih bersikap seperti ini meskipun sejak tadi saya sudah mohon-mohon?” tanya Rena kesal. Seakan-akan Shae baru saja menghinanya.“Saya benar-benar tidak mengerti. Lamaran? Lamaran apa?” tanya Shae. Dia sudah bisa menduga dari ocehan Rena sejak tadi, bahwa perempuan paruh baya itu berpikir anaknya melamar dirinya. Padahal tidak ada kata-kata semacam itu.“Astaga!” pekik Rena. “Kamu benar-benar tidak punya perasaan!”“Tante,” panggil Katha akhirnya.Dia memeca
“Lo ngomong apa aja ke mamanya Rendra?” tanya Shae saat Katha masuk kembali ke kamarnya.Sementara itu Katha mendengkus. Wajahnya merah padam, tapi dia belum mengatakan apa-apa. Langkahnya menghentak menuju Shae. Dia lantas naik ke brankar—padahal itu dilarang—dan duduk bersila di dekat kaki Shae.“Gue kesel banget, sumpah!” seru Katha. “Untung deh tuh orang nggak jadi mertua gue.”Shae mengernyit. “Dia ngomong apa sama lo?” Kali ini pertanyaannya terbalik dibanding sebelumnya. Melihat respon Katha, sepertinya memang Rena sudah mengatakan berbagai macam hal yang membuat perempuan itu marah.Katha bergerak kasar di atar brankar hingga membuat suara berderit kecil.“Jangan banyak gerak,” tegur Shae.Akhirnya Katha menghela napas berulang kali, berusaha meredam emosinya. Dia akhirnya turun dari brankar dan mengambil air minum. Setelah menghabiskan separuh isi botol air mine
"Gue ...." Shae menggantung ucapannya. Entah kenapa dia tiba-tiba ragu.Sementara Katha dan Rendra sama-sama tegang menunggu jawaban Shae. Rendra takut perempuan itu menolak, sebab selama ini memang Shae lebih banyak mengabaikan perasaannya yang sudah dia tunjukkan terang-terangan. Sedangkan Katha malah takut sahabatnya menerima lamaran itu, karena tatapan Rendra begitu bersungguh-sungguh."Lo nggak kepikiran buat nerima, kan, Sha?" tanya Katha memecah sunyi yang diciptakan Shae. "Lo diam-diam ada perasaan ke Rendra?"Mata Rendra dan Shae seketika melebar mendengar ucapan Katha."Lo ngomong apa, sih, Tha?" tanya Katha dengan kernyitan yang muncul di dahinya.Mendengar tanggapan Shae, Rendra merasakan sedikit kekecewaan. Dia perlahan mulai pesimis, meski sebelumnya juga tidak bisa dibilang dia optimis sepenuhnya."Nggak, kan, Tha?" Katha terpaksa bersikap kejam pada Rendra. Dia merasa itu lebih baik dibanding dia membiarkan sang sahabat berul
“Ha? Pasar malam?” tanya Katha setelah mobil berhenti. Dia terkekeh, kemudian melepas seat belt. “Gila. Kapan ya, gue terakhir ke pasar malam?”Rabu mengulas senyum. Dia suka melihat raut Katha yang jauh lebih menyala kali ini. Karena kasus Shae, istrinya itu lebih banyak terlihat murung. Auranya jadi banyak negatifnya. Maka dari itu, tiba-tiba saja tadi sewaktu bekerja dia kepikiran untuk bawa Katha ke pasar malam.“Masih inget nggak pertama kali lo ajak gue ke pasar malam?” tanya Katha. Matanya berbinar di dalam keremangan mobil.“Inget,” sahut Rabu. Dia tertawa kala kenangan itu melintas lagi di kepalanya.“Kalau diingat sekarang, malu banget, Bu.” Katha tertawa nyaring. “Bisa-bisanya gue sok jijik gitu, ya.”Dulu saat pertama Rabu mengajak Katha ke pasar malam sewaktu masih tinggal di Malang, Katha memang pernah marah-marah. Hari itu kebetulan hujan deras. Jadi sewaktu mala
“Gue bisa pulang ke rumah, Tha,” ujar Shae dari kursi belakang. Katha menoleh, lalu menggelengkan kepala. “Udah, pokoknya lo tinggal sama kita,” ujar Katha. Shae memang pagi ini keluar dari rumah sakit. Berhubung ini hari Minggu, jadi Rabu dan Katha bisa menjemput Shae bersama. Dan atas keputusan Katha, dia ingin Shae tinggal bersamanya dan Rabu sampai waktu yang tidak ditentukan. “Rumah lo masih perbaikan.” Rabu angkat bicara. “Theo memang udah dalam proses hukum dan sedang ditahan. Tapi, ada di rumah itu nggak akan bikin kondisi lo membaik.” Shae menghela napas kasar, kesal karena apa yang dibilang Rabu benar adanya. Bahkan saat memejamkan mata, dia bisa ingat jelas bagaimana perlakuan Theo padanya, juga saat Rendra tertusuk pisau. “Rendra ada nemuin lo lagi?” tanya Rabu setelah keheningan beberapa menit. Katha otomatis menengok ke belakang, dan Rabu menoleh dari spion tengah mobil. Shae menggelengkan kepala. “Nggak. Dia ngga
“Eh, Sha?” Katha otomatis berdiri dari posisi duduknya. Sementara Langit menatap waspada. Khawatir kalau Shae mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, dan jadi tersinggung. Shae melebarkan matanya. “Kalian tau apa yang barusan gue lihat?” tanyanya. Langit dan Katha seketika mengernyit. ‘Lihat’ artinya Shae tidak mendengar pembicaraan mereka. Maka diam-diam mereka menghela napas lega Sedangkan Rabu sejak tadi tenang. Dia terlalu lemas untuk ikut berbicara sebab terlalu lama menahan lapar. “Apa?” tanya Langit akhirnya, memecah suasana hening yang sebetulnya dirasa canggung olehnya dan Katha. “Habis dari toilet, gue kayak lihat Sakha,” ujar Shae. “Tapi aneh deh. Dia kayak merhatiin sekitar banget. Kayak lagi waspada,” lanjutnya. Ucapan itu seketika membuat Langit dan Shae saling berpandangan. Apa yang mereka berdua sembunyikan, ternyata akhirnya dilihat juga oleh Shae. Lalu, ekor mata Katha berusaha melihat Rabu. Lelaki itu yang semula cuek, k
“Udah hilang sebelnya?” tanya Rabu saat turun dari mobil. Katha yang sudah lebih dulu turun akhirnya mengangguk. “Capek juga diteror,” jawabnya. Rabu terkekeh. Lalu berjalan bersama Katha masuk ke rumah. Begitu pintu terbuka, ada aroma sedap yang tercium. Keduanya refleks langsung menuju dapur usai mengucap salam. “Wih, gila banget,” komentar Katha ketika melihat Shae memakai celemek di dapur. Shae menoleh dengan mata terbelalak. “Kalian udah pulang?” tanyanya sambil melirik jam dinding yang ada di dapur. Jam masih menunjukkan pukul tiga sore, tapi keduanya sudah pulang dari kantor. Sebuah keadaan yang cukup aneh. “Kalian ada masalah?” tanyanya. Seketika Katha memutar matanya malas. “Masalahnya elo, nih,” ujarnya sambil menyodorkan tas karton berukuran kecil. “Apa ini?” tanya Shae dengan kening berkerut. “Handphone,” jawab Katha. Karena Shae tak kunjung mengambil alih tas karton itu dari tangannya, akhirnya dia letakkan tas itu