Beranda / Thriller / Red Shoes Murderer / Bab 2, Malaikat Malam

Share

Bab 2, Malaikat Malam

Penulis: Cathalea
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-19 13:27:04

Besok, tepat sepuluh tahun peristiwa itu. Telingaku berdengung, potongan-potongan peristiwa itu kembali bermunculan. Menyesakkan napas. Menyiutkan nyali. Dorongan iblis itu terasa nyata kembali. Derap langkah berwarna darah itu terngiang kembali, membuat sekujur tubuh kembali meremang terbayang kekejamannya.

Ahh ... sial.

Selalu begini. Selalu menyakitkan seperti ini. Aku tidak sanggup lagi menahan diri lebih lama. Sekarang aku sudah cukup kuat untuk melakukannya. Aku harus segera bersihkan kota ini dari para pemuja iblis, seperti orang itu.

Oh ... Iya. Orang itu. Sekarang pasti sudah menjadi debu, kan? Suatu saat dia harus berterimakasih padaku, karena telah membebaskannya dari pengaruh iblis yang terkutuk itu.

Kalian yang memakai sepatu warna darah, bersiaplah. Aku juga akan segera bebaskan kalian dari kutukan itu segera.

***

Sabtu malam di sudut kota.

Suara dentuman musik terdengar begitu memekakkan telinga. Aku duduk di antara para gadis muda yang menggeliatkan tubuh mereka dengan binal. Tubuhnya terbungkus gaun ketat, dadanya menonjol, pahanya terpampang nyata.

Sangat erotis dan menggiurkan di mata para pria.

Namun, bagiku yang paling menyolok bukanlah tubuh seksinya.

Bagiku, yang meresahkan bukanlah dada montoknya.

Bagiku, yang mendebarkan adalah sepatu warna merah darah yang membungkus kaki jenjangnya.

Mengapa dia harus memakai sepatu milik iblis itu? Tidakkah kau tahu jika sepatu itu bisa mengubah watak manusia?

Sepatu merah itu merupakan sepatu iblis, yang setiap hentakan langkah merupakan bisikan iblis yang akan membawamu menjadi sekutunya.

"Ah ... sayang sekali," sesalku.

Wajah cantik itu akan segera berubah menjadi  wajah iblis. Senyum manisnya segera akan berganti dengan seringai menyeramkan. Kerling mata menggoda itu segera akan berubah menjadi tatapan tajam yang menghunjam. Hatinya akan mengeras menjadi batu, sehingga ia tidak akan lagi mengenal apa itu belas kasih.

Ah ... sayang sekali.

Namun, kali ini aku tidak akan berdiam diri lagi.

Aku harus menyelamatkannya.

Aku harus membebaskan kaki jenjang itu dari belenggu iblis yang menyesatkan. Sepatu darah itu harus disingkirkan untuk selamanya.

"Hai!" aku menyapanya dengan senyum terbaik. Dia balas tersenyum lalu duduk di sampingku. Aroma tubuhnya menyeruak, menusuk indra penciumanku.

"Sendirian?" tanyanya dengan kerlingan mata menggoda.

"Tadinya. Sekarang tidak lagi," jawabku. Dia tersenyum manja, menyodorkan segelas anggur ke arahku. 

"Aku harus mengemudi," tolakku halus.

"Kau cantik sekali. Sepatumu juga indah, serasi dengan kecantikanmu," pujiku.

Dia tersenyum. Gigi gingsulnya sesekali muncul, seolah memberi tahu dirinyalah yang menjadi penyebab senyum itu terlihat memikat.

"Benarkah? Sepatu ini baru aku beli. Harganya mahal. Tapi aku suka," jawabnya. Sebelah tangannya terulur, membelai ujung sepatu itu dengan bangga.

Kalian lihat, kan? Iblis itu telah memperdaya mereka begitu dalam.

Aku berdehem, menegakkan punggung lalu menatapnya dengan serius.

"Mau jalan-jalan denganku?" ajakku lagi.

"Kemana?" tanyanya.

"Kemana saja yang kau mau," jawabku.

"Tapi aku tidak mau cuma-cuma. Kau harus membayarku mahal. Sedikitnya 1000 dollar," katanya.

Dasar iblis! Makiku di dalam hati. Kalian lihat, kan? Malaikat ini perlahan mulai berubah menjadi iblis.

"Tenang saja. Aku punya 3000 dollar tunai di dompetku. Semua bisa kuberikan padamu," jawabku seraya menepuk saku.

Kerlingan nakalnya langsung berubah liar.

"Baiklah. Ayo kita pergi," katanya, lalu dengan semangat meraih tanganku.

Aku mendekap erat tubuhnya. Berjalan bersisian, keluar dari kelab malam yang bising itu.

"Namamu siapa?" tanyaku sambil terus merangkul pinggangnya melewati lorong gelap, jalan pintas menuju tempat aku memarkir Pastiur, mobil kesayanganku.

"Aku Valencia. Panggil aku Cia," ujarnya sembari menatapku manja. Pengaruh alkohol sepertinya mulai memabukkannya. Matanya sayu, bibirnya merekah menggoda. 

Aku yakin tidak ada pria yang mampu bertahan di hadapkan pada godaan bibir merah sensual itu.

"Baiklah, Cia. Mari kita terbang malam ini," ucapku. Kulingkarkan sebelah tangan dibahunya yang terbuka.

Dia mengangguk manja, tanpa tahu sebelah tanganku telah menghunus hipodermis kecil di belakang kepalanya.

"Tidurlah, Cia. Nikmatilah mimpi indahmu selagi bisa."

Tanganku menghujam leher mulusnya. Cia cantik itu terkulai seketika. Aku membopongnya menuju mobil, lalu menghilang di kegelapan malam.

***

Iblis-iblis di neraka, kalian lihatlah, beberapa saat lagi malaikat malam ini akan aku bebaskan dari belenggu kalian.

Mulai malam ini mari kita bertaruh, kalian atau aku yang akan memenangkan pertarungan ini?

Aku terus melaju memecah kesunyian malam menuju tempat yang telah lama kusediakan.

"Jangan khawatir, Cia. Tempat itu sudah aku bersihkan. Nanti kau bisa tidur nyenyak menjelang hari pembebasanmu," bisikku pelan.

Kulirik sepatu merah yang membungkus kaki itu. Jantungku langsung berdebar kencang. 

"Dasar iblis ... Tunggulah pembalasanku. Aku bersumpah akan membersihkan kota ini dari para pendosa yang memujamu."

Aku sudah sampai di tempat tujuan. Perlahan aku turunkan Cia, lalu kutaruh di atas dipan.

Samar-samar kudengar erangan dari mulutnya.

"Sabar, Cia Manis. Sebentar lagi aku akan berikan obat penawar rasa nyeri untukmu."

Aku raih tas kecil yang berisikan hypodermis berbagai ukuran. Aku ambil yang paling kecil, lalu kuisi dengan cairan bening. Tidak banyak, hanya setengah tabung hipodermis itu.

"Lihat, Cia. Obat ini tidak akan membunuhmu. Aku hanya ingin kau bisa menyelesaikan ritual pembebasan ini dengan lancar."

Aku memasukkan kembali hipodermis itu ketempatnya.

Kubelai lembut rambutnya yang hitam. Matanya semakin sayu, mulai memasuki mimpi indahnya.

Aku tersenyum. Puas. Tidak lama lagi, malaikat-malaikat ini akan kembali ke jiwa mereka yang suci.

"Sekarang tidurlah. Aku akan kembali beberapa saat lagi. Sekarang, waktunya aku untuk mengurus Naomi. Dia telah menunggu cukup lama."

***

Bab terkait

  • Red Shoes Murderer   Bab 3, Angela Joey

    Angela Joey, wanita tiga puluh dua tahun dengan wajah cantik dan body proporsional. Siapa saja pasti setuju jika Angela mengaku dirinya seorang artis. Namun, siapa sangka jika di balik wajah menawan itu Angela merupakan pemegang sabuk juara MMA? Angela merupakan petinju elit yang di usia tiga puluh tahunnya telah mengantongi 18 gelar juara tanpa kalah. Tujuh di antaranya merupakan menang KO. Tubuh seksi yang dimilikinya merupakan modal besar yang pastinya memuluskan langkah kakinya di dunia selebritis. Namun, Angela memiliki impian yang berbeda. Besar sebagai anak dari pensiunan detektif terkenal membuat Angela bermimpi untuk mengikuti jejak ayahnya sebagai polisi. Namun, impian Angela tidak pernah tercapai di saat ayahnya masih hidup. Hal itu membuat Angela harus menimba ilmu di lain tempat. Angela telah mencoba menjadi dokter dengan masuk fakultas kedokteran. Hasilnya, di semester ke-4 ia mengundurkan diri. Lalu ia mengambil jurusan hukum. Itu pun hanya ber

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 4, Mayat di Taman Bunga

    Sakura Park, terletak di antara Gereja Riverside dan International House, merupakan taman yang nyaman dan hijau. Dilengkapi dengan gazebo-gazebo indah, sehingga ketika sakura bermekaran para pengunjung bisa menikmati piknik dengan menggelar tikar di bawah pohon. Keindahan taman ini semakin memesona ketika musim semi tiba, karena sakura mulai bermekaran memperlihatkan kemolekan parasnya. Namun, pemandangan indah sakura yang bermekaran itu harus terusik dengan ditemukannya sesosok mayat tanpa identitas di tengah-tengah rerumputan yang hijau. Mobil patroli tampak berkilatan di bahu jalan Sakura Park. Beberapa polisi berseragam berjaga-jaga di sekitar mayat itu ditemukan. Kent dan Angela tiba di lokasi kejadian, menyusul Brad Jewel yang langsung berlari memeriksa tempat kejadian. Bukan hal yang baru bagi Kent, Brad akan selalu menjadi orang pertama mengunjungi TKP setelah mereka menerima laporan. Pria yang seharusnya duduk tenang di balik meja itu faktanya tidak

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 5, Gadis itu Naomi Heitcher

    Brian Wale, pria bertubuh tegap dengan wajah rupawan. Rambutnya kemerahan, sepasang netra berwarna coklat, tapi senyumnya terlihat kikuk. Ia terlihat seperti orang yang sedang ketakutan karena saat berbicara terdengar gugup. Gerak tubuhnya pun selalu terlihat gelisah. Kent dan Angela memperkenalkan diri, lalu duduk di depan meja kerja lelaki itu. "Apakah Anda mengenal liontin ini?" tanya Kent. Langsung tanpa basa-basi, dengan nada mengintimidasi. Ia membuka telapak tangannya, sebuah liontin tergantung pada jari-jarinya. Brian mengenakan kacamatanya, lalu mencondongkan wajah, memangkas jarak antara dirinya dengan liontin itu. "Sepertinya buatan sanggar ini. Maaf ... boleh saya memegangnya? Jika memang buatan kami ... pasti ada kode ... di belakangnya," jawab Brian dengan gugup. Kent menyerahkan liontin itu ke tangan Brian. Bergegas pria itu membalikkan liontin itu, lalu menyorotnya menggunakan kaca pembesar. "1717," gumamnya. "S

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 6, Iblis Berwujud Malaikat

    Dengan langkah ringan aku menuju tempat itu. Hari ini aku merasa berbahagia, karena satu malaikat telah kubebaskan dari belenggu iblis berwujud sepatu merah itu. Aku buka pintu sambil bersenandung kecil, gadis lainnya langsung menyambutku dengan tatapan memelas. Dia Valencia, yang masih berada di bawah pengaruh obat itu. "Halo, Cia Cantik. Apa kabar? Kau menungguku?" sapaku dengan senyum ramah. Mata indahnya bergetar, aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tapi pengaruh obat itu masih kuat. Melumpuhkan semua syarafnya sehingga ia tak mampu bergerak dan berkata-kata. "Kau lapar?" tanyaku. "Bertahanlah, sayang. Kau harus puasa agar ritual pembebasanmu berjalan lancar," kataku memberi penjelasan, sambil membelai rambutnya. Aku meraih tas kecil yang berisi hipodermis, kembali mengisi tabung kecil itu hingga setengahnya. "Hari mulai larut, tidurlah C

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 7, Wajah Duka Matthew Heitcher

    Keluarga Heitcher tidak bisa dikatakan kaya, bahkan mungkin terlalu berlebihan jika dikatakan sederhana. Kediaman mereka terletak di kawasan kumuh, dimana rumah-rumah berjejer rapat dengan halaman yang sempit. Tidak ada yang benar-benar menyolok dari rumah-rumah itu, kecuali satu dan dua di antaranya berusaha memberikan sentuhan berbeda seperti cat yang norak dan ornamen-ornamen natal yang ditempelkan di pintu. Rumah keluarga Heitcher adalah salah satu yang menyolok itu. Bagian pintu di cat warna oranye, kusen pintu dan jendela berwarna biru tua. Lupakan tentang aturan nuansa warna dan gradasi warna yang membuat matamu nyaman. Bisa terlihat berbeda saja bagi mereka sudah cukup bagus. Matthew Heitcher, pria paruh baya dengan tubuh ringkih. Badannya tinggal kulit pembalut tulang, tanpa ada satu pun otot yang terlihat. Sesekali terdengar batuk yang sangat menyiksa dadanya. Setiap kali ia terbatuk, air matanya pasti keluar, sementara jari-jarinya yang kurus akan memegang

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 8, Kejujuran Olivia Turner

    Olivia membeku dengan wajah pucat. Ia tahu, saat ini dirinya benar-benar telanjang di hadapan Kent Bigael. Memang benar gosip yang ia dengar selama ini, Kent Bigael adalah "Malaikat Maut-nya para Tersangka". Tidak ada satu pun tersangka yang bisa lolos dari mata elangnya yang tajam. Dan kali ini Olivia membuktikan sendiri semua gosip itu bukanlah rumor tak berdasar. "Aku bertanya, Olivia," tegur Kent, masih dengan suara rendahnya. "T-t-t-ti-dak ada y-y-yang aku sembunyikan, Pak," jawab Olivia gugup. Getaran suaranya sangat jelas terdengar. Kent tersenyum sinis, menatap Olivia dengan tatapan tajam menukik. "Aku sudah bilang, kan? Coba sebutkan lagi, siapa aku, Olivia?" "Kent Bigael, Malaikat Maut-nya para tersangka," cicit Olivia. "Nah! Kau sudah tahu. Mengapa masih belum berkata jujur?" desak Kent. Olivia masih diam, duduk mematung tanpa suara. Namun, keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. "Jadi kau memilih u

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 9, Mayat Tersenyum di Central Park

    Suasana Central Park seperti biasanya, selalu ramai oleh pengunjung, terutama di musim semi ini. Rindangnya pepohonan dan bunga-bunga yang bermekaran memberikan pemandangan yang menyejukkan mata. Bagaikan dejavu, Kent dan Angela kembali mengulagi peritiwa yang sama. Berhadapan dengan mayat tanpa identitas di sebuah taman di tengah-tengah kota. Tepat di bawah patung perunggu, gadis itu ditemukan tak bernyawa dalam kondisi yang mengenaskan. Tubuhnya terbaring kaku dengan tangan dan kaki terikat. Di lehernya terdapat luka sayatan yang mengenai arteri. Sepasang kakinya mengenakan sepatu berwarna merah, dipukuli hingga remuk tak berbentuk. Di tungkai yang tersisa lagi-lagi ada rajahan angka yang membentuk angka tiga. Bedanya, kali ini ia mengukir senyum di wajah gadis itu dengan menjahit bibirnya menggunakan benang warna merah. "Ada kartu identitas?" tanya Kent."Tidak," jawab Angela. "Tidak ada saku, dan celah untuk meletakkan dompet," sambungn

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 10, Sandi Rahasia di Tubuh Korban

    "Maksud Anda, pelaku meninggalkan sandi di mulut korban?" tanya Endrico. Kent mengangguk."Sembilan puluh sembilan persen, aku yakin pelaku meninggalkan pesan berupa sandi di mulut korban," jawab Kent optimis. "Bagaimana kita bisa memecahkan sandi yang hanya dipahami pelaku?" tanya Benyamin pesimis. "Jika kalian pernah ikut pramuka, kalian pasti mengenali sandi ini," jawab Kent kemudian. Ia mengambil marker, lalu menggambarkan pola sandi di papan tulis. Semua mata terpaku, tertuju pada gambar yang dibuat oleh Kent sambil menerka dan mengingat sejumlah sandi yang ada di pramuka. "Well ... sudah ada gambaran?" tanya Kent sambil meletakkan marker di sakunya. "Bukankah itu sandi kotak?" Keira yang baru saja masuk dengan beberapa gelas minuman tiba-tiba ikut menjawab. Di belakangnya Brad Jewel menyusul, lalu duduk sembarangan di kursi yang kosong. "Bingo," puji Kent seraya mengangkat ibu jarinya ke arah Keira. "Oh

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19

Bab terbaru

  • Red Shoes Murderer   Bab 32, Identitas Pelaku

    Kent menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri, sekarang ia kembali fokus pada penjelasan wanita yang ada di hadapannya itu. Ia tak sabar ingin mendengar informasi yang busa dijadikan petunjuk untuk menangkap pelaku."Oh, panti asuhan yang pernah terbakar sekitar sepuluh tahun yang lalu itu, bukan?" jawab Kent."Benar," jawab Madam Smith."Saat itu saya bertugas sebagai pemimpin panti, dibantu oleh beberapa pekerja yang bertugas sebagai tukang masak, supir, dan pesuruh. Ada dua belas orang anak yang kami asuh saat itu. Empat orang perempuan, sisanya laki-laki. Suatu hari, seorang anak perempuan yang paling besar mengamuk tanpa alasan yang jelas. Dia membakar panti sehingga menyebabkan banyak korban meninggal, tewas terbakar tanpa bisa menyelamatkan diri."Sampai di situ ia berhenti sejenak untuk mengatur napas. Namun, sebelum ia melanjutkan cerita, Kent terlebih dahulu menyela."Anda bilang seorang anak perempuan membakar panti tanpa alasan ya

  • Red Shoes Murderer   Bab 31, Pengakuan Penyintas

    "Penyintas?" gumam Kent, dengan tatapan nyaris tak percaya.Sungguh ia sangat mengharapkan munculnya tokoh penyintas ini untuk membuka identitas pelaku. Informasi dari penyintas bisa dikatakan sembilan puluh sembilan benar. Mengantongi informasi itu ibarat menemukan jalan tol yang mulus dan bebas hambatan untuk menangkap pelaku."Berikan alamat Anda, Nyonya. Saya akan segera ke sana," pinta Kent dengan penuh semangat.Wanita itu menyebutkan alamatnya, dan Kent mencatat alamat itu di dalam kepalanya. Ia bergegas memasukkan ponsel itu ke sakunya lalu pamit pada Angela yang sejak tadi penasaran dengan sosok yang menelepon Kent."Telepon dari siapa, Pak?" tanya Angela."Aku belum bisa katakan, sebaiknya kamu tidak penasaran tentang itu. Aku pergi dulu, Joey. Ada sesuatu yang harus segera kuperiksa. Kamu tidak apa 'kan aku tinggal sendiri?"Angela tertawa, merasa aneh dengan sikap Kent yang tiba-tiba sangat protektif pada dirinya.

  • Red Shoes Murderer   Bab 30, Penyintas

    "Hasil tes DNA menunjukkan 99,75% identik dengan korban kedua," lanjut David."Yes!" sorak Kent dengan suara tertahan."Kalau boleh tahu, di mana Anda dapat gantungan kunci ini, Pak?" tanya David penasaran.Kent mengambil semua barang bukti itu dari tangan David, lalu menyimpannya di dalam laci di bawah mejanya. Tak lupa, ia menguncinya agar aman."Nanti aku akan katakan padamu. Sekarang aku ingin kamu merahasiakan hal ini dari siapa pun. Aku akan menjebak pelaku itu untuk menyerahkan diri," kata Kent.Malam itu Kent tidak pulang ke rumah. Ia mematikan semua lampu, lalu bersembunyi di ruang rapat. Ia yakin sekali, pelaku pasti berusaha menemukan gantungan kuncinya yang hilang itu. Namun, sampai pagi menjelang tidak ada satu pun yang datang ke kantor malam itu.Keesokan paginya, Kent dikejutkan oleh Keira yang mulai bertugas membersihkan ruangan."Ya, Tuhan. Pak Kent?! Bapak tidur di sini?" seru Keira kaget.Kent menguap lebar,

  • Red Shoes Murderer   Bab 29, Petunjuk Penting

    Sementara David pergi, Kent lanjut memimpin rapat tim gugus tugas."Pak, bagaimana kondisi Angela? Apakah ... dia baik-baik saja?" tanya Endrico khawatir."Luka bakarnya cukup parah, tetapi secara keseluruhan dia baik-baik saja. Dia bisa mengenaliku meski kesulitan untuk bicara," jawab Kent.Pria bertubuh besar itu sebenarnya jarang menunjukkan ekspresi atas apa pun yang terjadi di hadapannya, tetapi kali ini berbeda. Musibah yang dialami Angela cukup telak mengenai hatinya. Saat ini dia dalam keadaan sangat marah sebenarnya. Akan tetapi, dirinya juga seorang profesional yang harus bisa memisahkan masalah pribadi dengan perkerjaan. Meski jantungnya terasa ingin meledak, Kent berusaha untuk tampak tenang agar bisa menyelidiki kasus pembakaran apartemen Angela dengan baik. Di samping itu, kasus pembunuhan berantai ini juga tetap harus jadi prioritas agar tidak ada lagi korban berjatuhan."Sial! Siapa pelaku ini sebenarnya? Berani sekali menyerang rumah petu

  • Red Shoes Murderer   Bab 28, Darah Kering di Gantungan Kunci

    Kilatan cahaya dari mobil polisi menyilaukan mata dini hari itu. Seorang tunawisma memberitahu patroli tentang penemuannya di taman kecil yang selalu gelap tanpa ada lampu taman seperti taman kota pada umumnya.Saat ditelusuri, benar kata tunawisma itu. Mayat gadis itu di letakkan begitu saja tepat di jalan masuk menuju taman. Seperti korban-korban sebelumnya, korban kali ini juga memiliki ciri-ciri yang sama.Sambil berkacak pinggang, Kent menghela napas panjang."Pelaku semakin percaya diri," komentar Lionel. Ternyata dokter forensik itu sudah berdiri di sampingnya sejak beberapa saat lalu."Benar. Seolah menantang dan mengejek kita karena masih belum mampu menangkapnya," sahut Kent.Seorang petugas mendekat."Seperti korban sebelumnya, tidak ada tanda pengenal, Pak. Tapi, bisa dipastikan dia adalah jemaat gereja X," lapor petugas bernama Jimmy itu."Bagaimana kau tahu? Apakah dari pakaiannya?" tanya Kent."Benar. Setiap ming

  • Red Shoes Murderer   Bab 27, Tanpa Jeda

    Jam sudah menunjukkan waktu pukul 3 dini hari ketika Kent Bigael menapakkan kaki di halaman rumah sakit. Sepasang kakinya yang panjang bergerak cepat menuju instalasi gawat darurat tempat dimana Angela sedang dirawat saat ini.Beberapa menit yang lalu ia mendapat kabar, Angela kritis karena ledakan di apartemennya. Kent yang baru saja hendak memejamkan mata langsung melompat dari tempat tidur, kemudian melarikan mobilnya dalam kecepatan penuh menuju rumah sakit.Rasa cemas dan was-was terpancar jelas di wajahnya."Joey!"Kent berseru dengan suara kuat begitu dirinya telah berada di dalam ruang IGD. Ia terus meneriakkan nama belakang Angela sambil menyibak satu persatu gorden yang menutupi ranjang."Maaf, Pak. Anda mencari siapa? Biar saya bantu," tawar seorang paramedis.Tangannya membentang di hadapan Kent, menghalangi pria bertubuh besar itu untuk menyibak gorden lebih banyak. Ia mengerti pria itu dalam keadaan panik, tapi sikapnya telah m

  • Red Shoes Murderer   Bab 26, Ledakan di Tengah Malam

    "Sebelumnya saya minta maaf. Apakah sesuatu terjadi pada Charlotte?"Wanita itu akhirnya mengajukan pertanyaan yang sejak awal mengusik pikirannya. Selama tinggal di komplek perumahan itu, ia belum pernah sekalipun melihat ataupun mendengar petugas kepolisian datang mengunjungi dan menanyai warga. Apalagi polisi dari unit pembunuhan. Wanita itu yakin, sesuatu hal yang tidak wajar pasti telah terjadi.Suasana hening sejenak, karena Kent tidak langsung menjawab. Namun Angela yang tidak sabaran, langsung menjawab pertanyaan itu dengan cepat."Ya, kemarin sore, dia ditemukan tewas di Inwood Hill Park."Wanita itu kaget dan spontan membentuk salib dengan jari di dadanya."Ya, Tuhan. Berarti itukah alasan mereka bertanya-tanya tentang Charlotte sebelum pindah?" tanyanya pada diri sendiri dengan suara samar, nyaris berbisik.Namun, ternyata masih cukup nyaring di telinga Kent Bigael. Pria bertubuh besar itu pun langsung balik bertanya dengan cepat.

  • Red Shoes Murderer   Bab 25, Kesaksian

    Alan Parkhust berperawakan sedang. Kulitnya putih pucat, dengan beberapa tatto di lengan kanan dan kirinya. Dilihat dari sudut mana pun, tidak ada hal yang menarik dari pria itu. Sorot matanya licik, dan dia juga sering menunjukkan senyum sinis. Satu-satunya pesona pria itu hanyalah suaranya yang merdu. Saat ia berbicara, nadanya tenang, kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar manis dan hangat. Mungkin itu yang membuat para gadis dengan mudah termakan rayuannya.Saat ini, dia terpaksa menunda semua hasrat gombalnya itu, karena sekarang dia harus berurusan dengan para penyidik. Terkait atau tidak, keterangannya dibutuhkan untuk mengungkap kematian Charlotte."Haruskah kau berbuat sejauh ini?" serangnya pada David yang baru saja memasuki ruangan itu."Ini masih kurang, Bung. Seharusnya aku mematahkan kakimu sejak lama," jawab David dingin.Bukannya diam, Alan justru mengeluarkan suara tawa yang penuh dengan ejekan."Lalu apa yang kau tunggu? La

  • Red Shoes Murderer   Bab 24, Muslihat Keji

    Jam di dinding baru saja menunjukkan pukul enam pagi, tapi David sudah berada di ruang rapat kantor Unit Pembunuhan NYPD. Wajahnya yang tampan terlihat pucat, ia duduk gelisah dengan jari yang tidak berhenti mengetuk meja. Sesekali helaan napas panjang disertai hembusan yang kuat terdengar dari mulutnya. Suara langkah kaki di luar ruangan terdengar semakin jelas. David menoleh, memindai lewat dinding kaca untuk melihat pemilik langkah kaki itu, tapi belum sempat ia melihat sosok itu dengan jelas, Kent Bigael muncul dari pintu. "Ada apa sampai kau memintaku datang sepagi ini?" tanyanya langsung, begitu melangkah masuk, lalu bergabung bersama David, duduk berhadapan di depan meja rapat. David tidak langsung menjawab, ia mengeluarkan amplop besar dari tas, lalu memberikannya kepada pimpinan gugus tugas itu. "Ini laporan forensik dari dokter Garcia, Pak," ujarnya. Kent menerima amplop itu, tanpa melepaskan pandangan dari wajah David. Pengalaman se

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status