Beranda / Thriller / Red Shoes Murderer / Bab 9, Mayat Tersenyum di Central Park

Share

Bab 9, Mayat Tersenyum di Central Park

Penulis: Cathalea
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-19 13:29:52

Suasana Central Park seperti biasanya, selalu ramai oleh pengunjung, terutama di musim semi ini. Rindangnya pepohonan dan bunga-bunga yang bermekaran memberikan pemandangan yang menyejukkan mata.

Bagaikan dejavu, Kent dan Angela kembali mengulagi peritiwa yang sama. Berhadapan dengan mayat tanpa identitas di sebuah taman di tengah-tengah kota.

Tepat di bawah patung perunggu, gadis itu ditemukan tak bernyawa dalam kondisi yang mengenaskan.

Tubuhnya terbaring kaku dengan tangan dan kaki terikat. Di lehernya terdapat luka sayatan yang mengenai arteri. Sepasang kakinya mengenakan sepatu berwarna merah, dipukuli hingga remuk tak berbentuk. Di tungkai yang tersisa lagi-lagi ada rajahan angka yang membentuk angka tiga.

Bedanya, kali ini ia mengukir senyum di wajah gadis itu dengan menjahit bibirnya menggunakan benang warna merah.

"Ada kartu identitas?" tanya Kent.

"Tidak," jawab Angela. "Tidak ada saku, dan celah untuk meletakkan dompet," sambungn
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Red Shoes Murderer   Bab 10, Sandi Rahasia di Tubuh Korban

    "Maksud Anda, pelaku meninggalkan sandi di mulut korban?" tanya Endrico. Kent mengangguk."Sembilan puluh sembilan persen, aku yakin pelaku meninggalkan pesan berupa sandi di mulut korban," jawab Kent optimis. "Bagaimana kita bisa memecahkan sandi yang hanya dipahami pelaku?" tanya Benyamin pesimis. "Jika kalian pernah ikut pramuka, kalian pasti mengenali sandi ini," jawab Kent kemudian. Ia mengambil marker, lalu menggambarkan pola sandi di papan tulis. Semua mata terpaku, tertuju pada gambar yang dibuat oleh Kent sambil menerka dan mengingat sejumlah sandi yang ada di pramuka. "Well ... sudah ada gambaran?" tanya Kent sambil meletakkan marker di sakunya. "Bukankah itu sandi kotak?" Keira yang baru saja masuk dengan beberapa gelas minuman tiba-tiba ikut menjawab. Di belakangnya Brad Jewel menyusul, lalu duduk sembarangan di kursi yang kosong. "Bingo," puji Kent seraya mengangkat ibu jarinya ke arah Keira. "Oh

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 11, Surat Kaleng

    Rumah Adam Hawkins berada di kawasan kelas menengah. Rumah-rumah berjejer rapi dalam ukuran beragam. Namun, tidak ada yang begitu besar. Halamannya tidak bisa dikatakan luas, hanya cukup menampung satu mobil keluarga berukuran sedang. Sementara di bagian dalam pagar beberapa tanaman tumbuh tak terawat. Beberapa petugas berdiri di depan pagar rumah, memastikan target tidak lagi bisa melarikan diri. Angela sampai di rumah itu, memperlihatkan kartu pengenalnya, lalu masuk ke dalam rumah. Di dalamnya, tepat di sofa ruang tamu, seorang pemuda duduk terpekur di hadapan seorang wanita paruh baya yang sedang memasang wajah bengis. Dia mendelik tidak senang melihat kedatangan Angela. "Selamat sore, Ny. Hawkins. Saya Angela Joey dari Unit Pembunuhan NYPD," ujarnya memperkenalkan diri, seraya memperlihatkan tanda pengenalnya. Paras garang itu langsung melunak. Ekspresinya tidak lagi terlihat mengancam. "Oh, akhirnya Anda sampai juga, Detektif Joey. Saya

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 12, Mimpi Buruk Kent Bigael

    Pada usia 15 tahun, ketika para remaja mulai merasakan jatuh cinta. Membuat janji temu di bioskop, lalu menghabiskan akhir pekan dengan sebuah kecupan di kening. Namun, tidak begitu halnya dengan Kent Bigael.Ya, begitulah orang-orang mengenalnya sekarang. Detektif Kent Bigael. Pria menjelang 40 tahun, bertubuh tinggi besar, dengan bekas luka di beberapa bagian tubuh.Tidak ada satu pun orang yang tahu jika Kent Bigael yang dijuluki 'Malaikat Maut' itu dulunya adalah seorang remaja manja, putra konglomerat Manhattan dengan nama lahir Brian Burnout. Ayahnya, Kevin Burnout pemilik sejumlah perusahaan besar di Manhattan.Kent Bigael kecil hidup bergelimang harta dan kemewahan. Akan tetapi, tidak pernah tampil di depan publik. Seolah-olah memiliki firasat buruk, Kevin Burnout merahasiakan identitas putra tunggalnya itu dari khalayak ramai. Dia tidak mengizinkan putranya diliput oleh media. Dia bahkan menyiapkan home schooling untuk pendidikan anaknya. Hanya keluarga

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 13, Identitas Korban Kedua

    Namanya Valencia Gonzalez, usia 27 tahun, berkerja sebagai tenaga administrasi di MNE Ekspress. Sejak orang tuanya meninggal dunia, Valencia tinggal bersama keluarga pamannya, Raul Gonzalez, di kawasan Low East Side.Raul Gonzalez, pria berdarah Mexico bertubuh sedang. Di usianya yang menyentuh angka 60, wajahnya masih terlihat tampan, dengan lingkar manik berwarna coklat. Wajahnya ramah, tatapannya pun terlihat hangat. Satu kekurangannya yang terlihat jelas. Ia jelas termasuk suami yang berada dalam barisan suami-suami takut istri.Hilda Chavez, wanita berusia lima puluhan yang tidak bisa dikatakan ramah. Senyumnya sedikit, sehingga terkesan dingin dan galak. Di lehernya tergantung kalung dengan liontin salib berukuran besar, seolah ingin menegaskan keyakinan yang ia anut.Saat Angela memperlihatkan foto Valencia kepada pasangan suami istri itu, hanya Raul yang menunjukkan gurat kesedihan di matanya, sedangkan Hilda hanya melirik tipis, tanpa reaksi yang berart

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 14, Misteri Gantungan Kunci

    Sementara Angela menanyai Melissa, Kent menemui staf lainnya untuk melihat rekaman CCTV. "Bisa tolong buka file rekaman tanggal 10 Mei?" pinta Kent sopan. "Sekitar pukul sembilan pagi," lanjutnya. Staff bernama Bobby itu menuruti permintaan Kent, membuka folder rekaman CCTV tanggal 10 Mei. "Stop!" seru Kent. Layar monitor memperlihatkan seseorang menggunakan masker masuk membawa paket. Kent mengenali kemasan paket berwarna merah itu, persis sama dengan paket yang ia terima kemarin. Dia pun masih ingat dengan detail data yang tertera pada resi di kemasan paket itu, dimana tertera dengan jelas paket itu diterima oleh MNE Ekspress pada tanggal 10 Mei 2020, pukul 9 pagi, dan diantarkan kepadanya pada tanggal 11 Mei. Kent memperhatikan dengan teliti gambar sosok yang mengantarkan paket itu, mencoba mencocokkannya dengan seseorang yang ia kenal, tapi hasilnya nihil. Sosok itu benar-benar asing di matanya. Angela masuk dengan buku catatannya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-21
  • Red Shoes Murderer   Bab 15, Nyanyian Neraka

    Naomi ...Valencia ...dan segera menyusul Charlotte.Mereka adalah para malaikat suci yang telah ternoda oleh sepatu penghuni neraka itu.Saat ini seisi kota sibuk membicarakanku. Mereka bilang aku biadap, kejam, dan sadis.Hei! Coba kalian pikir, lebih sadis mana aku, atau gadis-gadis yang telah menjadi budak iblis ini?Saat ini mereka tersenyum manis di depan kalian, tapi tahukah kalian jika tak lama lagi senyumnya akan berubah menjadi seringaian licik menakutkan?Suara polos mereka bahkan akan terdengar seperti nyanyian neraka yang menyeramkan. Bahkan langkah kaki mereka akan berubah menjadi irama yang memacu mereka untuk berbuat sesat.Seperti orang itu. Iya, orang itu yang telah membuatku begini. Dia yang memulai neraka dunia ini, dan aku bersyukur karena dia yang sekarang telah jadi abu.Kalian masih menganggap yang aku lakukan k

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-23
  • Red Shoes Murderer   Bab 16, Rahasia Adam Hawkins

    Suasana di ruangan berukuran sembilan meter persegi itu tampak tegang mencekam. Dua pria dengan postur tubuh berbeda duduk berhadapan dengan meja berbentuk segi empat di tengah-tengah mereka. Keduanya terdiam, hanya sorot mata yang saling menatap, terlihat menyuarakan apa yang ada di dalam hati dan pikiran masing-masing. Adam Hawkins, pemuda berwajah polos itu menunggu Kent bersuara terlebih dahulu. Ia berusaha untuk tampak tenang meski di dalam hati berkata sebaliknya. Ia mengutuk Olivia, Naomi, dan Valencia berkali-kali karena telah menyeretnya ke dalam kasus ini. "Jadi kau memacari Naomi Heitcher, tapi di belakangnya juga mengencani Valencia Gonzalez?" Kent mengulangi pertanyaannya. Pemuda itu mendebas kasar. Ia menghirup udara sepuasnya, lalu menghempaskannya dengan kuat. Sepertinya ia ingin sekali memaki pria besar di depannya itu, tapi ia sadar berurusan dengan Kent Bigael tentu saja hal nomor satu yang harus ia hindari. Ia kembali menga

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-26
  • Red Shoes Murderer   Bab 17, Kejutan dari Adam Hawkins

    Adam Hawkins berjalan gontai ke luar dari gedung NYPD. Ia akhirnya dibebaskan setelah menjalani interogasi maraton dua puluh jam. Mulai dari detektif Endrico, Angela, sampai Kent Bigael.Tubuhnya terasa lelah dia ingin segera pulang lalu beristirahat total hingga keesokan harinya.Namun, hatinya gelisah. Rasa bersalah hadir di sudut hatinya yang paling dalam. Ia ingin menghubungi seseorang tapi ia tahu ponselnya telah disadap dan dirinya pun telah diikuti seseorang. Adam Hawkins sadar dirinya tidak akan pernah lagi memiliki kebebasan, tapi kegelisahan ini harus segera ia tuntaskan jika bisa ia ingin meluapkan semua kekesalannya pada seseorang.Ia bersyukur Tuhan mendengar doanya, dan memahami kegelisahan yang dirasakannya. Tepat di sudut jalan mendekati rumahnya Adam Hawkins melihat boks telepon umum. Ia pun memutuskan untuk mampir ke sana.Ia sempat memperhatikan kiri dan kanan sebelum memutuskan menekan nomor, menghubungi seseorang yang saat ini sangat

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-27

Bab terbaru

  • Red Shoes Murderer   Bab 32, Identitas Pelaku

    Kent menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri, sekarang ia kembali fokus pada penjelasan wanita yang ada di hadapannya itu. Ia tak sabar ingin mendengar informasi yang busa dijadikan petunjuk untuk menangkap pelaku."Oh, panti asuhan yang pernah terbakar sekitar sepuluh tahun yang lalu itu, bukan?" jawab Kent."Benar," jawab Madam Smith."Saat itu saya bertugas sebagai pemimpin panti, dibantu oleh beberapa pekerja yang bertugas sebagai tukang masak, supir, dan pesuruh. Ada dua belas orang anak yang kami asuh saat itu. Empat orang perempuan, sisanya laki-laki. Suatu hari, seorang anak perempuan yang paling besar mengamuk tanpa alasan yang jelas. Dia membakar panti sehingga menyebabkan banyak korban meninggal, tewas terbakar tanpa bisa menyelamatkan diri."Sampai di situ ia berhenti sejenak untuk mengatur napas. Namun, sebelum ia melanjutkan cerita, Kent terlebih dahulu menyela."Anda bilang seorang anak perempuan membakar panti tanpa alasan ya

  • Red Shoes Murderer   Bab 31, Pengakuan Penyintas

    "Penyintas?" gumam Kent, dengan tatapan nyaris tak percaya.Sungguh ia sangat mengharapkan munculnya tokoh penyintas ini untuk membuka identitas pelaku. Informasi dari penyintas bisa dikatakan sembilan puluh sembilan benar. Mengantongi informasi itu ibarat menemukan jalan tol yang mulus dan bebas hambatan untuk menangkap pelaku."Berikan alamat Anda, Nyonya. Saya akan segera ke sana," pinta Kent dengan penuh semangat.Wanita itu menyebutkan alamatnya, dan Kent mencatat alamat itu di dalam kepalanya. Ia bergegas memasukkan ponsel itu ke sakunya lalu pamit pada Angela yang sejak tadi penasaran dengan sosok yang menelepon Kent."Telepon dari siapa, Pak?" tanya Angela."Aku belum bisa katakan, sebaiknya kamu tidak penasaran tentang itu. Aku pergi dulu, Joey. Ada sesuatu yang harus segera kuperiksa. Kamu tidak apa 'kan aku tinggal sendiri?"Angela tertawa, merasa aneh dengan sikap Kent yang tiba-tiba sangat protektif pada dirinya.

  • Red Shoes Murderer   Bab 30, Penyintas

    "Hasil tes DNA menunjukkan 99,75% identik dengan korban kedua," lanjut David."Yes!" sorak Kent dengan suara tertahan."Kalau boleh tahu, di mana Anda dapat gantungan kunci ini, Pak?" tanya David penasaran.Kent mengambil semua barang bukti itu dari tangan David, lalu menyimpannya di dalam laci di bawah mejanya. Tak lupa, ia menguncinya agar aman."Nanti aku akan katakan padamu. Sekarang aku ingin kamu merahasiakan hal ini dari siapa pun. Aku akan menjebak pelaku itu untuk menyerahkan diri," kata Kent.Malam itu Kent tidak pulang ke rumah. Ia mematikan semua lampu, lalu bersembunyi di ruang rapat. Ia yakin sekali, pelaku pasti berusaha menemukan gantungan kuncinya yang hilang itu. Namun, sampai pagi menjelang tidak ada satu pun yang datang ke kantor malam itu.Keesokan paginya, Kent dikejutkan oleh Keira yang mulai bertugas membersihkan ruangan."Ya, Tuhan. Pak Kent?! Bapak tidur di sini?" seru Keira kaget.Kent menguap lebar,

  • Red Shoes Murderer   Bab 29, Petunjuk Penting

    Sementara David pergi, Kent lanjut memimpin rapat tim gugus tugas."Pak, bagaimana kondisi Angela? Apakah ... dia baik-baik saja?" tanya Endrico khawatir."Luka bakarnya cukup parah, tetapi secara keseluruhan dia baik-baik saja. Dia bisa mengenaliku meski kesulitan untuk bicara," jawab Kent.Pria bertubuh besar itu sebenarnya jarang menunjukkan ekspresi atas apa pun yang terjadi di hadapannya, tetapi kali ini berbeda. Musibah yang dialami Angela cukup telak mengenai hatinya. Saat ini dia dalam keadaan sangat marah sebenarnya. Akan tetapi, dirinya juga seorang profesional yang harus bisa memisahkan masalah pribadi dengan perkerjaan. Meski jantungnya terasa ingin meledak, Kent berusaha untuk tampak tenang agar bisa menyelidiki kasus pembakaran apartemen Angela dengan baik. Di samping itu, kasus pembunuhan berantai ini juga tetap harus jadi prioritas agar tidak ada lagi korban berjatuhan."Sial! Siapa pelaku ini sebenarnya? Berani sekali menyerang rumah petu

  • Red Shoes Murderer   Bab 28, Darah Kering di Gantungan Kunci

    Kilatan cahaya dari mobil polisi menyilaukan mata dini hari itu. Seorang tunawisma memberitahu patroli tentang penemuannya di taman kecil yang selalu gelap tanpa ada lampu taman seperti taman kota pada umumnya.Saat ditelusuri, benar kata tunawisma itu. Mayat gadis itu di letakkan begitu saja tepat di jalan masuk menuju taman. Seperti korban-korban sebelumnya, korban kali ini juga memiliki ciri-ciri yang sama.Sambil berkacak pinggang, Kent menghela napas panjang."Pelaku semakin percaya diri," komentar Lionel. Ternyata dokter forensik itu sudah berdiri di sampingnya sejak beberapa saat lalu."Benar. Seolah menantang dan mengejek kita karena masih belum mampu menangkapnya," sahut Kent.Seorang petugas mendekat."Seperti korban sebelumnya, tidak ada tanda pengenal, Pak. Tapi, bisa dipastikan dia adalah jemaat gereja X," lapor petugas bernama Jimmy itu."Bagaimana kau tahu? Apakah dari pakaiannya?" tanya Kent."Benar. Setiap ming

  • Red Shoes Murderer   Bab 27, Tanpa Jeda

    Jam sudah menunjukkan waktu pukul 3 dini hari ketika Kent Bigael menapakkan kaki di halaman rumah sakit. Sepasang kakinya yang panjang bergerak cepat menuju instalasi gawat darurat tempat dimana Angela sedang dirawat saat ini.Beberapa menit yang lalu ia mendapat kabar, Angela kritis karena ledakan di apartemennya. Kent yang baru saja hendak memejamkan mata langsung melompat dari tempat tidur, kemudian melarikan mobilnya dalam kecepatan penuh menuju rumah sakit.Rasa cemas dan was-was terpancar jelas di wajahnya."Joey!"Kent berseru dengan suara kuat begitu dirinya telah berada di dalam ruang IGD. Ia terus meneriakkan nama belakang Angela sambil menyibak satu persatu gorden yang menutupi ranjang."Maaf, Pak. Anda mencari siapa? Biar saya bantu," tawar seorang paramedis.Tangannya membentang di hadapan Kent, menghalangi pria bertubuh besar itu untuk menyibak gorden lebih banyak. Ia mengerti pria itu dalam keadaan panik, tapi sikapnya telah m

  • Red Shoes Murderer   Bab 26, Ledakan di Tengah Malam

    "Sebelumnya saya minta maaf. Apakah sesuatu terjadi pada Charlotte?"Wanita itu akhirnya mengajukan pertanyaan yang sejak awal mengusik pikirannya. Selama tinggal di komplek perumahan itu, ia belum pernah sekalipun melihat ataupun mendengar petugas kepolisian datang mengunjungi dan menanyai warga. Apalagi polisi dari unit pembunuhan. Wanita itu yakin, sesuatu hal yang tidak wajar pasti telah terjadi.Suasana hening sejenak, karena Kent tidak langsung menjawab. Namun Angela yang tidak sabaran, langsung menjawab pertanyaan itu dengan cepat."Ya, kemarin sore, dia ditemukan tewas di Inwood Hill Park."Wanita itu kaget dan spontan membentuk salib dengan jari di dadanya."Ya, Tuhan. Berarti itukah alasan mereka bertanya-tanya tentang Charlotte sebelum pindah?" tanyanya pada diri sendiri dengan suara samar, nyaris berbisik.Namun, ternyata masih cukup nyaring di telinga Kent Bigael. Pria bertubuh besar itu pun langsung balik bertanya dengan cepat.

  • Red Shoes Murderer   Bab 25, Kesaksian

    Alan Parkhust berperawakan sedang. Kulitnya putih pucat, dengan beberapa tatto di lengan kanan dan kirinya. Dilihat dari sudut mana pun, tidak ada hal yang menarik dari pria itu. Sorot matanya licik, dan dia juga sering menunjukkan senyum sinis. Satu-satunya pesona pria itu hanyalah suaranya yang merdu. Saat ia berbicara, nadanya tenang, kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar manis dan hangat. Mungkin itu yang membuat para gadis dengan mudah termakan rayuannya.Saat ini, dia terpaksa menunda semua hasrat gombalnya itu, karena sekarang dia harus berurusan dengan para penyidik. Terkait atau tidak, keterangannya dibutuhkan untuk mengungkap kematian Charlotte."Haruskah kau berbuat sejauh ini?" serangnya pada David yang baru saja memasuki ruangan itu."Ini masih kurang, Bung. Seharusnya aku mematahkan kakimu sejak lama," jawab David dingin.Bukannya diam, Alan justru mengeluarkan suara tawa yang penuh dengan ejekan."Lalu apa yang kau tunggu? La

  • Red Shoes Murderer   Bab 24, Muslihat Keji

    Jam di dinding baru saja menunjukkan pukul enam pagi, tapi David sudah berada di ruang rapat kantor Unit Pembunuhan NYPD. Wajahnya yang tampan terlihat pucat, ia duduk gelisah dengan jari yang tidak berhenti mengetuk meja. Sesekali helaan napas panjang disertai hembusan yang kuat terdengar dari mulutnya. Suara langkah kaki di luar ruangan terdengar semakin jelas. David menoleh, memindai lewat dinding kaca untuk melihat pemilik langkah kaki itu, tapi belum sempat ia melihat sosok itu dengan jelas, Kent Bigael muncul dari pintu. "Ada apa sampai kau memintaku datang sepagi ini?" tanyanya langsung, begitu melangkah masuk, lalu bergabung bersama David, duduk berhadapan di depan meja rapat. David tidak langsung menjawab, ia mengeluarkan amplop besar dari tas, lalu memberikannya kepada pimpinan gugus tugas itu. "Ini laporan forensik dari dokter Garcia, Pak," ujarnya. Kent menerima amplop itu, tanpa melepaskan pandangan dari wajah David. Pengalaman se

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status