Home / Thriller / Red Shoes Murderer / Bab 1, Kent Bigael

Share

Bab 1, Kent Bigael

Author: Cathalea
last update Last Updated: 2021-08-19 13:25:44

Tingginya 190 sentimeter, bahu lebar dan besar, tangan yang kokoh dan kasar yang pastinya menjanjikan sebuah peringatan besar bagi orang-orang yang ingin berurusan dengannya.

Rambutnya coklat gelap, tapi akan terlihat terang saat berada di bawah matahari. Konon orang-orang bilang itu karena kekurangan pigmen. Tapi bagi Kent Bigael rambut coklat pirangnya adalah sebuah simbol bahwa dirinya berada lebih lama di luar ruangan. Itu adalah sebuah mahkota atas nama pengabdian. 

Sorot matanya tajam, dengan lingkar emerald berwarna abu-abu. Saat ia sedang emosi, lingkar emerald itu akan berubah menjadi putih seperti perak. Menyilaukan siapa saja yang menantang.

Ia mengenakan mantel kulit panjang yang warnanya sudah sangat lusuh. Akan tetapi, tetap tidak mengurangi kegagahannya. Otot-ototnya yang kekar tampak menyembul di beberapa area terbuka. Bahkan jaket kulit itu pun terlihat meregang karena tertarik oleh otot-ototnya yang mengembang.

Ia melangkah masuk ke dalam kelab malam itu, duduk di meja sudut, lalu memindai seisi ruangan dengan sepasang netranya yang tajam. Hari ini adalah ke tiga kalinya ia datang ke kelab itu untuk mengintai seorang tersangka kasus perkosaan bernama Paul Joke.

Bukan hanya sekadar pelaku perkosaan Paul Joke merupakan bangsat di atas para bangsat. Kejahatannya segunung, mulai dari pencurian, perampokan, hingga narkoba.

Selama ini Kent tidak begitu ambil pusing dengan semua kejahatannya. Namun, begitu nama Paul Joke muncul dalam daftar tersangka kasus perkosaan anak di bawah umur, Kent tidak bisa lagi tinggal diam. Ia bertekad akan menyeret Paul Joke ke pengadilan dengan semua barang bukti yang tidak bisa ia bantah.

Jika bisa disamakan dengan binatang, maka Paul Joke adalah belut yang licin. Ia sudah beberapa kali berhasil meloloskan diri. Namun, kali ini Kent bersumpah, tidak akan pulang sebelum pria bejat bernama Paul Joke itu berhasil ia tangkap dengan tangannya sendiri.

Kali ini Kent telah memiliki umpan yang jitu. Ia tahu Paul adalah seorang pecandu yang menyukai gadis-gadis muda. Malam ini, jika pria itu datang ia akan memakan umpannya, dan saat itu juga Kent akan membekuknya.

Pukul 3 dinihari, orang yang ditunggu-tunggu memasuki kelab itu. Mata kelamnya memindai seluruh ruangan, dan langsung bertemu pandang dengan Kent. Ia mengerti, mereka saling memahami. Tanpa komando, mereka pun bertemu di meja paling sudut itu.

"Apa yang bisa kau tawarkan padaku?" tanyanya tanpa basa basi.

Ketika berada dalam posisi penjual dan pembeli begini, Kent tahu betul sebagai penjual ia harus bisa mengatur irama agar pembeli tertarik dengan dagangannya. Kent merogoh kantong sebelah kirinya, dengan perlahan mengeluarkan selembar kertas lalu menyerahkannya kepada Paul.

Paul mengamati gambar yang ada di kertas itu. Seorang gadis remaja berwajah manis tampak sedang memasang pose mengundang. Hasrat Paul langsung terbaca pada wajahnya. Pipinya merona, senyuman pun tidak lepas dari bibirnya yang tebal.

"Hmm ... cantik ... dan menggoda sekali," ujarnya dengan suara yang terdengar tercekat di tenggorokan.

"Dimana dia sekarang?" tanyanya lagi tak sabar.

"Kau mau sekarang?" Kent balik bertanya.

"Ya, jika bisa secepatnya saja. Untuk apa ditunda-tunda," jawabnya sambil menyeringai.

"Bagus. Dia ada di bawah. Menunggu dengan pasrah di dalam mobil," jawab Kent dengan memasang senyum misteri.

Sepasang netra Paul bersinar.

"Kau mengikatnya?" tanyanya lagi.

Kent menggeleng.

"Trivam propofol, setengah dosis," jawabnya.

"Ayolah. Tunggu apa lagi," ujar Paul tak sabar, lalu bangkit memberi isyarat pada Kent untuk turut bangkit bersamanya.

Kedua pria itu keluar dari kelab malam, berjalan menuju mobil Kent yang terparkir di antara dua bangunan besar. Beberapa langkah dari mobilnya, Kent berbalik, lalu bertanya pada Paul.

"Kau membawa uangnya?"

Paul mengangguk sambil menepuk saku bajunya. Ia terus melangkah mendekat ke mobil yang Kent maksud. Kepalanya melongok lewat jendela, melihat sesosok gadis berbaju seragam terbaring pasrah dalam tidur pulasnya. Paul mengacungkan jempol, memberi isyarat oke kepada Kent.

Kent tersenyum. Ia mengeluarkan sebundel kunci dari sakunya, memilih satu anak kunci lalu memasukkannya ke slot kunci pintu depan. Namun, belum sepenuhnya anak kunci itu masuk, kunci itu justru jatuh ke tanah.

Kent menunduk, lalu dengan gerakan secepat kilat ia meraih batang besi yang memang sudah ia sembunyikan sejak awal. Ia bangkit, lalu melayangkan batang besi itu ke wajah Paul. Pria itu tidak sempat mengelak, batang hidungnya patah, gumpalan darah merah dan tulang rawan bertonjolan keluar.

Pukulan itu tidak mematikan, tapi bisa dipastikan bisa melumpuhkan untuk beberapa saat dan berhasil membuat cacat seumur hidup. Kemudian dengan gerakan secepat kilat, Kent menyambar revolver yang tersembunyi di pinggang kiri Paul. 

Paul sangat marah dan frustasi. Sebisa mungkin ia tunjukkan amarahnya di depan Kent. Namun, sia-sia. Kent bergeming dengan tatapannya yang tajam. Aura membunuh mencuat tajam lewat tatapannya.

"Kamu ... sssssi-sssiapa?" tanya Paul terbata dengan ekspresi ketakutan.

Kent tidak menjawab. Ia justru berjalan menuju bagasi belakang, mengeluarkan tali tambang berukuran besar, lalu melangkah mendekati Paul.

"Aku? Aku adalah malaikat mautmu," jawab Kent dengan seringai mengerikan.

Tangan-tangannya yang kekar mulai membelit tubuh Paul dengan tambang itu, mengikatnya kuat hingga ia menyerupai kepompong, lalu mengikatkan ujungnya ke bumper belakang mobil.

"Malam ini mari kita pesta karnaval. Tidak perlu jauh-jauh. Dari sini sampai instalasi gawat darurat RS. Santa Maria," kata Kent lagi.

"Kau sudah gila! Kau psycho!" cecar Paul panik. Kepanikannya semakin menjadi ketika sosok tinggi besar itu masuk ke mobil, menyalakan mesin, lalu menginjak pedal gas. Paul tahu neraka dunianya baru saja dimulai.

Setelah berjalan 100 meter, Kent menghentikan mobilnya, lalu turun mendekati Paul. 

"Bagaimana, Bung? Karnavalnya cukup seru?" tanya Kent sambil menjambak rambut lelaki itu.

Paul tidak menjawab, hanya mampu memasang wajah mengiba berharap Kent akan berbaik hati dan mengurangi kekejamannya.

Akan tetapi, menghukum paul dengan menyeretnya di jalanan itu sebenarnya masih belum cukup untuk membayar kejahatannya. Kent bahkan telah merelakan beratus-ratus jam kehidupan pribadinya hanya untuk mengintai keberadaan setan berwujud manusia itu. Lalu kini, di saat mentari bersiap untuk meninggalkan peraduannya, jerih payah Kent itu terbayar juga.

***

Tiga puluh menit kemudian, mereka telah berada di ruang gawat darurat RS. Santa Maria. Paul duduk di atas ranjang, sementara Kent berdiri bersisian dengan dokter muda bernama Peter yang siap mencatat semua yang ia lihat, temukan, dan rasakan. 

Peter memeriksa semua luka Paul, lalu mencatatnya dengan detail. Usai memeriksa semua luka, ia lanjut menurunkan celana Paul Joke berikut pakaian dalamnya. Kent mendebas kasar. Paul Joke telah mencukur bersih rambut kemaluannya. 

Sepertinya ia sudah menduga para penegak hukum akan berusaha keras untuk mendapatkan sample DNA-nya.

Namun, seberapa bersihkah dirimu mampu bercukur?

Kent tersenyum, berjalan santai ke arah Paul. Ia mendekatkan mulut ke telinga lelaki itu lalu membisikkan kata.

"Rumput yang kau cabut pun masih meninggalkan akarnya, Bung. Lantas apa yang membuatmu merasa yakin bisa mencukurnya sampai bersih?"

Peter mengacungkan ujung pingset di tangannya ke arah Paul. Pendek, tidak sampai setengah sentimeter, tapi segitu sudah cukup untuk melakukan uji DNA. Kent bersumpah, ia tidak akan gagal lagi. Kali ini Paul Joke benar-benar sudah berada di dalam genggamannya.

Paul mendesah. Hatinya berkecamuk antara kesal dan kecewa.

"Lagi pula apa susahnya menunggu rambut itu tumbuh lagi?" ujar Kent melangkah pergi dengan senyum kemenangan terpatri di wajahnya.

***

Related chapters

  • Red Shoes Murderer   Bab 2, Malaikat Malam

    Besok, tepat sepuluh tahun peristiwa itu. Telingaku berdengung, potongan-potongan peristiwa itu kembali bermunculan. Menyesakkan napas. Menyiutkan nyali. Dorongan iblis itu terasa nyata kembali. Derap langkah berwarna darah itu terngiang kembali, membuat sekujur tubuh kembali meremang terbayang kekejamannya. Ahh ... sial. Selalu begini. Selalu menyakitkan seperti ini.Aku tidak sanggup lagi menahan diri lebih lama. Sekarang aku sudah cukup kuat untuk melakukannya. Aku harus segera bersihkan kota ini dari para pemuja iblis, seperti orang itu. Oh ... Iya. Orang itu. Sekarang pasti sudah menjadi debu, kan? Suatu saat dia harus berterimakasih padaku, karena telah membebaskannya dari pengaruh iblis yang terkutuk itu. Kalian yang memakai sepatu warna darah, bersiaplah. Aku juga akan segera bebaskan kalian dari kutukan itu segera. *** Sabtu malam di sudut kota.

    Last Updated : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 3, Angela Joey

    Angela Joey, wanita tiga puluh dua tahun dengan wajah cantik dan body proporsional. Siapa saja pasti setuju jika Angela mengaku dirinya seorang artis. Namun, siapa sangka jika di balik wajah menawan itu Angela merupakan pemegang sabuk juara MMA? Angela merupakan petinju elit yang di usia tiga puluh tahunnya telah mengantongi 18 gelar juara tanpa kalah. Tujuh di antaranya merupakan menang KO. Tubuh seksi yang dimilikinya merupakan modal besar yang pastinya memuluskan langkah kakinya di dunia selebritis. Namun, Angela memiliki impian yang berbeda. Besar sebagai anak dari pensiunan detektif terkenal membuat Angela bermimpi untuk mengikuti jejak ayahnya sebagai polisi. Namun, impian Angela tidak pernah tercapai di saat ayahnya masih hidup. Hal itu membuat Angela harus menimba ilmu di lain tempat. Angela telah mencoba menjadi dokter dengan masuk fakultas kedokteran. Hasilnya, di semester ke-4 ia mengundurkan diri. Lalu ia mengambil jurusan hukum. Itu pun hanya ber

    Last Updated : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 4, Mayat di Taman Bunga

    Sakura Park, terletak di antara Gereja Riverside dan International House, merupakan taman yang nyaman dan hijau. Dilengkapi dengan gazebo-gazebo indah, sehingga ketika sakura bermekaran para pengunjung bisa menikmati piknik dengan menggelar tikar di bawah pohon. Keindahan taman ini semakin memesona ketika musim semi tiba, karena sakura mulai bermekaran memperlihatkan kemolekan parasnya. Namun, pemandangan indah sakura yang bermekaran itu harus terusik dengan ditemukannya sesosok mayat tanpa identitas di tengah-tengah rerumputan yang hijau. Mobil patroli tampak berkilatan di bahu jalan Sakura Park. Beberapa polisi berseragam berjaga-jaga di sekitar mayat itu ditemukan. Kent dan Angela tiba di lokasi kejadian, menyusul Brad Jewel yang langsung berlari memeriksa tempat kejadian. Bukan hal yang baru bagi Kent, Brad akan selalu menjadi orang pertama mengunjungi TKP setelah mereka menerima laporan. Pria yang seharusnya duduk tenang di balik meja itu faktanya tidak

    Last Updated : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 5, Gadis itu Naomi Heitcher

    Brian Wale, pria bertubuh tegap dengan wajah rupawan. Rambutnya kemerahan, sepasang netra berwarna coklat, tapi senyumnya terlihat kikuk. Ia terlihat seperti orang yang sedang ketakutan karena saat berbicara terdengar gugup. Gerak tubuhnya pun selalu terlihat gelisah. Kent dan Angela memperkenalkan diri, lalu duduk di depan meja kerja lelaki itu. "Apakah Anda mengenal liontin ini?" tanya Kent. Langsung tanpa basa-basi, dengan nada mengintimidasi. Ia membuka telapak tangannya, sebuah liontin tergantung pada jari-jarinya. Brian mengenakan kacamatanya, lalu mencondongkan wajah, memangkas jarak antara dirinya dengan liontin itu. "Sepertinya buatan sanggar ini. Maaf ... boleh saya memegangnya? Jika memang buatan kami ... pasti ada kode ... di belakangnya," jawab Brian dengan gugup. Kent menyerahkan liontin itu ke tangan Brian. Bergegas pria itu membalikkan liontin itu, lalu menyorotnya menggunakan kaca pembesar. "1717," gumamnya. "S

    Last Updated : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 6, Iblis Berwujud Malaikat

    Dengan langkah ringan aku menuju tempat itu. Hari ini aku merasa berbahagia, karena satu malaikat telah kubebaskan dari belenggu iblis berwujud sepatu merah itu. Aku buka pintu sambil bersenandung kecil, gadis lainnya langsung menyambutku dengan tatapan memelas. Dia Valencia, yang masih berada di bawah pengaruh obat itu. "Halo, Cia Cantik. Apa kabar? Kau menungguku?" sapaku dengan senyum ramah. Mata indahnya bergetar, aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tapi pengaruh obat itu masih kuat. Melumpuhkan semua syarafnya sehingga ia tak mampu bergerak dan berkata-kata. "Kau lapar?" tanyaku. "Bertahanlah, sayang. Kau harus puasa agar ritual pembebasanmu berjalan lancar," kataku memberi penjelasan, sambil membelai rambutnya. Aku meraih tas kecil yang berisi hipodermis, kembali mengisi tabung kecil itu hingga setengahnya. "Hari mulai larut, tidurlah C

    Last Updated : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 7, Wajah Duka Matthew Heitcher

    Keluarga Heitcher tidak bisa dikatakan kaya, bahkan mungkin terlalu berlebihan jika dikatakan sederhana. Kediaman mereka terletak di kawasan kumuh, dimana rumah-rumah berjejer rapat dengan halaman yang sempit. Tidak ada yang benar-benar menyolok dari rumah-rumah itu, kecuali satu dan dua di antaranya berusaha memberikan sentuhan berbeda seperti cat yang norak dan ornamen-ornamen natal yang ditempelkan di pintu. Rumah keluarga Heitcher adalah salah satu yang menyolok itu. Bagian pintu di cat warna oranye, kusen pintu dan jendela berwarna biru tua. Lupakan tentang aturan nuansa warna dan gradasi warna yang membuat matamu nyaman. Bisa terlihat berbeda saja bagi mereka sudah cukup bagus. Matthew Heitcher, pria paruh baya dengan tubuh ringkih. Badannya tinggal kulit pembalut tulang, tanpa ada satu pun otot yang terlihat. Sesekali terdengar batuk yang sangat menyiksa dadanya. Setiap kali ia terbatuk, air matanya pasti keluar, sementara jari-jarinya yang kurus akan memegang

    Last Updated : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 8, Kejujuran Olivia Turner

    Olivia membeku dengan wajah pucat. Ia tahu, saat ini dirinya benar-benar telanjang di hadapan Kent Bigael. Memang benar gosip yang ia dengar selama ini, Kent Bigael adalah "Malaikat Maut-nya para Tersangka". Tidak ada satu pun tersangka yang bisa lolos dari mata elangnya yang tajam. Dan kali ini Olivia membuktikan sendiri semua gosip itu bukanlah rumor tak berdasar. "Aku bertanya, Olivia," tegur Kent, masih dengan suara rendahnya. "T-t-t-ti-dak ada y-y-yang aku sembunyikan, Pak," jawab Olivia gugup. Getaran suaranya sangat jelas terdengar. Kent tersenyum sinis, menatap Olivia dengan tatapan tajam menukik. "Aku sudah bilang, kan? Coba sebutkan lagi, siapa aku, Olivia?" "Kent Bigael, Malaikat Maut-nya para tersangka," cicit Olivia. "Nah! Kau sudah tahu. Mengapa masih belum berkata jujur?" desak Kent. Olivia masih diam, duduk mematung tanpa suara. Namun, keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. "Jadi kau memilih u

    Last Updated : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 9, Mayat Tersenyum di Central Park

    Suasana Central Park seperti biasanya, selalu ramai oleh pengunjung, terutama di musim semi ini. Rindangnya pepohonan dan bunga-bunga yang bermekaran memberikan pemandangan yang menyejukkan mata. Bagaikan dejavu, Kent dan Angela kembali mengulagi peritiwa yang sama. Berhadapan dengan mayat tanpa identitas di sebuah taman di tengah-tengah kota. Tepat di bawah patung perunggu, gadis itu ditemukan tak bernyawa dalam kondisi yang mengenaskan. Tubuhnya terbaring kaku dengan tangan dan kaki terikat. Di lehernya terdapat luka sayatan yang mengenai arteri. Sepasang kakinya mengenakan sepatu berwarna merah, dipukuli hingga remuk tak berbentuk. Di tungkai yang tersisa lagi-lagi ada rajahan angka yang membentuk angka tiga. Bedanya, kali ini ia mengukir senyum di wajah gadis itu dengan menjahit bibirnya menggunakan benang warna merah. "Ada kartu identitas?" tanya Kent."Tidak," jawab Angela. "Tidak ada saku, dan celah untuk meletakkan dompet," sambungn

    Last Updated : 2021-08-19

Latest chapter

  • Red Shoes Murderer   Bab 32, Identitas Pelaku

    Kent menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri, sekarang ia kembali fokus pada penjelasan wanita yang ada di hadapannya itu. Ia tak sabar ingin mendengar informasi yang busa dijadikan petunjuk untuk menangkap pelaku."Oh, panti asuhan yang pernah terbakar sekitar sepuluh tahun yang lalu itu, bukan?" jawab Kent."Benar," jawab Madam Smith."Saat itu saya bertugas sebagai pemimpin panti, dibantu oleh beberapa pekerja yang bertugas sebagai tukang masak, supir, dan pesuruh. Ada dua belas orang anak yang kami asuh saat itu. Empat orang perempuan, sisanya laki-laki. Suatu hari, seorang anak perempuan yang paling besar mengamuk tanpa alasan yang jelas. Dia membakar panti sehingga menyebabkan banyak korban meninggal, tewas terbakar tanpa bisa menyelamatkan diri."Sampai di situ ia berhenti sejenak untuk mengatur napas. Namun, sebelum ia melanjutkan cerita, Kent terlebih dahulu menyela."Anda bilang seorang anak perempuan membakar panti tanpa alasan ya

  • Red Shoes Murderer   Bab 31, Pengakuan Penyintas

    "Penyintas?" gumam Kent, dengan tatapan nyaris tak percaya.Sungguh ia sangat mengharapkan munculnya tokoh penyintas ini untuk membuka identitas pelaku. Informasi dari penyintas bisa dikatakan sembilan puluh sembilan benar. Mengantongi informasi itu ibarat menemukan jalan tol yang mulus dan bebas hambatan untuk menangkap pelaku."Berikan alamat Anda, Nyonya. Saya akan segera ke sana," pinta Kent dengan penuh semangat.Wanita itu menyebutkan alamatnya, dan Kent mencatat alamat itu di dalam kepalanya. Ia bergegas memasukkan ponsel itu ke sakunya lalu pamit pada Angela yang sejak tadi penasaran dengan sosok yang menelepon Kent."Telepon dari siapa, Pak?" tanya Angela."Aku belum bisa katakan, sebaiknya kamu tidak penasaran tentang itu. Aku pergi dulu, Joey. Ada sesuatu yang harus segera kuperiksa. Kamu tidak apa 'kan aku tinggal sendiri?"Angela tertawa, merasa aneh dengan sikap Kent yang tiba-tiba sangat protektif pada dirinya.

  • Red Shoes Murderer   Bab 30, Penyintas

    "Hasil tes DNA menunjukkan 99,75% identik dengan korban kedua," lanjut David."Yes!" sorak Kent dengan suara tertahan."Kalau boleh tahu, di mana Anda dapat gantungan kunci ini, Pak?" tanya David penasaran.Kent mengambil semua barang bukti itu dari tangan David, lalu menyimpannya di dalam laci di bawah mejanya. Tak lupa, ia menguncinya agar aman."Nanti aku akan katakan padamu. Sekarang aku ingin kamu merahasiakan hal ini dari siapa pun. Aku akan menjebak pelaku itu untuk menyerahkan diri," kata Kent.Malam itu Kent tidak pulang ke rumah. Ia mematikan semua lampu, lalu bersembunyi di ruang rapat. Ia yakin sekali, pelaku pasti berusaha menemukan gantungan kuncinya yang hilang itu. Namun, sampai pagi menjelang tidak ada satu pun yang datang ke kantor malam itu.Keesokan paginya, Kent dikejutkan oleh Keira yang mulai bertugas membersihkan ruangan."Ya, Tuhan. Pak Kent?! Bapak tidur di sini?" seru Keira kaget.Kent menguap lebar,

  • Red Shoes Murderer   Bab 29, Petunjuk Penting

    Sementara David pergi, Kent lanjut memimpin rapat tim gugus tugas."Pak, bagaimana kondisi Angela? Apakah ... dia baik-baik saja?" tanya Endrico khawatir."Luka bakarnya cukup parah, tetapi secara keseluruhan dia baik-baik saja. Dia bisa mengenaliku meski kesulitan untuk bicara," jawab Kent.Pria bertubuh besar itu sebenarnya jarang menunjukkan ekspresi atas apa pun yang terjadi di hadapannya, tetapi kali ini berbeda. Musibah yang dialami Angela cukup telak mengenai hatinya. Saat ini dia dalam keadaan sangat marah sebenarnya. Akan tetapi, dirinya juga seorang profesional yang harus bisa memisahkan masalah pribadi dengan perkerjaan. Meski jantungnya terasa ingin meledak, Kent berusaha untuk tampak tenang agar bisa menyelidiki kasus pembakaran apartemen Angela dengan baik. Di samping itu, kasus pembunuhan berantai ini juga tetap harus jadi prioritas agar tidak ada lagi korban berjatuhan."Sial! Siapa pelaku ini sebenarnya? Berani sekali menyerang rumah petu

  • Red Shoes Murderer   Bab 28, Darah Kering di Gantungan Kunci

    Kilatan cahaya dari mobil polisi menyilaukan mata dini hari itu. Seorang tunawisma memberitahu patroli tentang penemuannya di taman kecil yang selalu gelap tanpa ada lampu taman seperti taman kota pada umumnya.Saat ditelusuri, benar kata tunawisma itu. Mayat gadis itu di letakkan begitu saja tepat di jalan masuk menuju taman. Seperti korban-korban sebelumnya, korban kali ini juga memiliki ciri-ciri yang sama.Sambil berkacak pinggang, Kent menghela napas panjang."Pelaku semakin percaya diri," komentar Lionel. Ternyata dokter forensik itu sudah berdiri di sampingnya sejak beberapa saat lalu."Benar. Seolah menantang dan mengejek kita karena masih belum mampu menangkapnya," sahut Kent.Seorang petugas mendekat."Seperti korban sebelumnya, tidak ada tanda pengenal, Pak. Tapi, bisa dipastikan dia adalah jemaat gereja X," lapor petugas bernama Jimmy itu."Bagaimana kau tahu? Apakah dari pakaiannya?" tanya Kent."Benar. Setiap ming

  • Red Shoes Murderer   Bab 27, Tanpa Jeda

    Jam sudah menunjukkan waktu pukul 3 dini hari ketika Kent Bigael menapakkan kaki di halaman rumah sakit. Sepasang kakinya yang panjang bergerak cepat menuju instalasi gawat darurat tempat dimana Angela sedang dirawat saat ini.Beberapa menit yang lalu ia mendapat kabar, Angela kritis karena ledakan di apartemennya. Kent yang baru saja hendak memejamkan mata langsung melompat dari tempat tidur, kemudian melarikan mobilnya dalam kecepatan penuh menuju rumah sakit.Rasa cemas dan was-was terpancar jelas di wajahnya."Joey!"Kent berseru dengan suara kuat begitu dirinya telah berada di dalam ruang IGD. Ia terus meneriakkan nama belakang Angela sambil menyibak satu persatu gorden yang menutupi ranjang."Maaf, Pak. Anda mencari siapa? Biar saya bantu," tawar seorang paramedis.Tangannya membentang di hadapan Kent, menghalangi pria bertubuh besar itu untuk menyibak gorden lebih banyak. Ia mengerti pria itu dalam keadaan panik, tapi sikapnya telah m

  • Red Shoes Murderer   Bab 26, Ledakan di Tengah Malam

    "Sebelumnya saya minta maaf. Apakah sesuatu terjadi pada Charlotte?"Wanita itu akhirnya mengajukan pertanyaan yang sejak awal mengusik pikirannya. Selama tinggal di komplek perumahan itu, ia belum pernah sekalipun melihat ataupun mendengar petugas kepolisian datang mengunjungi dan menanyai warga. Apalagi polisi dari unit pembunuhan. Wanita itu yakin, sesuatu hal yang tidak wajar pasti telah terjadi.Suasana hening sejenak, karena Kent tidak langsung menjawab. Namun Angela yang tidak sabaran, langsung menjawab pertanyaan itu dengan cepat."Ya, kemarin sore, dia ditemukan tewas di Inwood Hill Park."Wanita itu kaget dan spontan membentuk salib dengan jari di dadanya."Ya, Tuhan. Berarti itukah alasan mereka bertanya-tanya tentang Charlotte sebelum pindah?" tanyanya pada diri sendiri dengan suara samar, nyaris berbisik.Namun, ternyata masih cukup nyaring di telinga Kent Bigael. Pria bertubuh besar itu pun langsung balik bertanya dengan cepat.

  • Red Shoes Murderer   Bab 25, Kesaksian

    Alan Parkhust berperawakan sedang. Kulitnya putih pucat, dengan beberapa tatto di lengan kanan dan kirinya. Dilihat dari sudut mana pun, tidak ada hal yang menarik dari pria itu. Sorot matanya licik, dan dia juga sering menunjukkan senyum sinis. Satu-satunya pesona pria itu hanyalah suaranya yang merdu. Saat ia berbicara, nadanya tenang, kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar manis dan hangat. Mungkin itu yang membuat para gadis dengan mudah termakan rayuannya.Saat ini, dia terpaksa menunda semua hasrat gombalnya itu, karena sekarang dia harus berurusan dengan para penyidik. Terkait atau tidak, keterangannya dibutuhkan untuk mengungkap kematian Charlotte."Haruskah kau berbuat sejauh ini?" serangnya pada David yang baru saja memasuki ruangan itu."Ini masih kurang, Bung. Seharusnya aku mematahkan kakimu sejak lama," jawab David dingin.Bukannya diam, Alan justru mengeluarkan suara tawa yang penuh dengan ejekan."Lalu apa yang kau tunggu? La

  • Red Shoes Murderer   Bab 24, Muslihat Keji

    Jam di dinding baru saja menunjukkan pukul enam pagi, tapi David sudah berada di ruang rapat kantor Unit Pembunuhan NYPD. Wajahnya yang tampan terlihat pucat, ia duduk gelisah dengan jari yang tidak berhenti mengetuk meja. Sesekali helaan napas panjang disertai hembusan yang kuat terdengar dari mulutnya. Suara langkah kaki di luar ruangan terdengar semakin jelas. David menoleh, memindai lewat dinding kaca untuk melihat pemilik langkah kaki itu, tapi belum sempat ia melihat sosok itu dengan jelas, Kent Bigael muncul dari pintu. "Ada apa sampai kau memintaku datang sepagi ini?" tanyanya langsung, begitu melangkah masuk, lalu bergabung bersama David, duduk berhadapan di depan meja rapat. David tidak langsung menjawab, ia mengeluarkan amplop besar dari tas, lalu memberikannya kepada pimpinan gugus tugas itu. "Ini laporan forensik dari dokter Garcia, Pak," ujarnya. Kent menerima amplop itu, tanpa melepaskan pandangan dari wajah David. Pengalaman se

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status