Brian Wale, pria bertubuh tegap dengan wajah rupawan. Rambutnya kemerahan, sepasang netra berwarna coklat, tapi senyumnya terlihat kikuk. Ia terlihat seperti orang yang sedang ketakutan karena saat berbicara terdengar gugup. Gerak tubuhnya pun selalu terlihat gelisah.
Kent dan Angela memperkenalkan diri, lalu duduk di depan meja kerja lelaki itu.
"Apakah Anda mengenal liontin ini?" tanya Kent. Langsung tanpa basa-basi, dengan nada mengintimidasi.
Ia membuka telapak tangannya, sebuah liontin tergantung pada jari-jarinya.
Brian mengenakan kacamatanya, lalu mencondongkan wajah, memangkas jarak antara dirinya dengan liontin itu.
"Sepertinya buatan sanggar ini. Maaf ... boleh saya memegangnya? Jika memang buatan kami ... pasti ada kode ... di belakangnya," jawab Brian dengan gugup.
Kent menyerahkan liontin itu ke tangan Brian. Bergegas pria itu membalikkan liontin itu, lalu menyorotnya menggunakan kaca pembesar.
"1717," gumamnya. "Sebentar, Pak. Saya periksa dulu di daftar produksi kami," ujarnya seraya memutar tubuh, menghadap monitor yang ada di sisi kanannya.
Setelah beberapa saat, ia kembali buka suara.
"Benar, Pak. Liontin ini buatan kami. Satu bulan yang lalu dipesan khusus oleh Naomi Heithcer," jelas Brian.
"Apakah Anda memiliki biodata pemesan?" tanya Kent lagi.
"Ya, pasti. Sanggar kami mewajibkan pelanggan memberikan beberapa informasi pribadi seperti nama, alamat, nomor telepon, alamat surel, dan akun media sosial," jawab Brian lagi, sambil menyodorkan formulir pemesanan yang masih kosong.
Kent meraih kertas itu, membaca isinya dengan detail.
"Apakah ini wajib diisi?" tanya Kent.
"Tidak semua kolom, Pak. Hanya untuk nama, alamat dan nomor telepon saja, selebihnya optional. Namun, saya sarankan mereka untuk mengisi karena secara berkala kami akan memberikan penawaran khusus via media sosial dan surel."
"Apakah Naomi mengisi lengkap formulir ini?" tanya Angela.
"Benar, Bu," jawab Brian serius.
"Bisa kami minta salinannya?" tanya Angela lagi.
"Tentu, saya akan buat salinannya untuk Anda," jawab Brian. Setelah itu ia membuka arsip, mencari formulir pemesanan atas nama Naomi. Ia langsung menyalakan mesin fotocopy mini miliknya, lalu membuat salinan file itu.
"Maaf, jika saya boleh tahu. Apakah terjadi sesuatu dengan Nona Naomi?" tanya Brian hati-hati, seraya menyerahkan salinan file itu ke tangan Angela.
"Pagi tadi, ia ditemukan tewas mengenaskan di taman bunga," jawab Kent dengan tatapan serius memindai setiap perubahan pada wajah Brian Wale.
Brian tercekat, pupilnya membesar karena kaget.
"Ya, Tuhan," desisnya sambil membuat gerakan salib di dada.
"Terimakasih atas waktu Anda, Tuan Brian. Jika ada sesuatu yang Anda ingat tentang korban jangan sungkan untuk menghubungi kami," ujar Kent seraya bangkit.
Angela ingin mencegah, ia rasa masih ada beberapa hal lagi yang perlu dipertanyakan pada lelaki itu.
Namun, Kent sudah terlanjur melangkah keluar. Angela pun segera undur diri dari hadapan Brian.
"Hei, kenapa kau buru-buru pergi? Masih ada beberapa hal yang belum kita tanyakan," protes Angela.
"Bukan dia orangnya," sahut Kent dingin.
"Bagaimana kau bisa yakin?" cecar Angela.
"Jika memang dia orangnya, dia pasti berusaha menyembunyikan informasi tentang korban. Sebisa mungkin ia tidak akan mau terlibat dengan kasus ini," jawab Kent.
"Bagaimana jika dia berpura-pura?" tanya Angela lagi, masih tidak puas.
"Ekspresi wajah mungkin bisa kau buat-buat, tapi tidak dengan matamu, Detektif Joey. Dari mata pria itu aku tahu, dia tidak tahu apa-apa tentang kasus ini," tandas Kent dengan dominan.
"Yah, semoga saja kau benar," sahut Angela mengalah.
"Aku pasti benar," kata Kent tidak mau kalah.
***
Lionel Garcia bersandar pada lemari besi sambil menatap nanar pada jasad yang terbujur kaku di meja pemeriksaan.
Hasil autopsi pada tubuh itu membuatnya merinding. Selama lima belas tahun karirnya di bidang forensik, belum pernah ia berhadapan dengan pelaku yang cerdas dan cermat seperti sekarang ini.
Tidak ada satu sidik jari pun ditemukan pada tubuh itu. Jika saja Lionel bukan ahli forensik yang berpengalaman ia mungkin tidak akan pernah menyadari titik kecil di tengkuk gadis itu merupakan jejak hipodermis berukuran kecil.
Berkat ketelitiannya itu, Lionel berhasil menemukan midazolam di dalam darah gadis itu.
Lionel yakin, dosis yang digunakan pelaku hanya setengah tabung hipodermis itu. Pelaku sengaja melumpuhkan gadis itu tanpa menghilangkan kesadarannya sepenuhnya. Itu adalah jawaban pasti mengapa tidak ditemukan bekas-bekas perlawanan di tubuh itu.
Ia mendebas kasar lalu meraih plastik transparan yang berada di belakangnya.
Kent dan Angela tiba tepat saat Lionel hendak menutup jasad Naomi dengan plastik transparan.
"Kalian datang tepat waktu," ujar Lionel seraya membuka plastik itu kembali.
"Kau sudah dapatkan hasilnya?" tanya Kent.
"Penyebab kematian adalah sayatan pada arteri di leher. Waktu kematian sekitar pukul lima pagi," jawab Lionel.
"Lalu apa penjelasan logis atas tidak adanya tanda-tanda perlawanan di tubuh gadis ini?" tanya Kent lagi.
Lionel memperlihatkan hasil pemeriksaan darah kepada Kent.
"Midazolam, mirip dengan Rohypnol. Tidak berwarna dan tidak berbau," jawab Lionel.
Angela menghela napas panjang. Saat bertugas di unit narkoba ia sudah sering mendengar penggunaan Rohypnol di kalangan pelaku pemerkosaan.
Namun, akhir-akhir ini penggunaan obat bius ini semakin berkurang karena Rohypnol produksi terbaru sudah diformulasi khusus akan berubah warna jika diteteskan pada cairan. Akibatnya para calon korban segera mengetahui sebelum pelaku sempat beraksi.
Sayangnya, ilmu pengetahuan selalu menemukan cara untuk mengganti satu metode dengan metode lainnya. Habis rohypnol muncullah midazolam. Bukan hanya sekadar obat bius yang membuat korban kehilangan kesadaran, obat ini juga mampu melumpuhkan semua persendian.
"Jadi ... Maksud Anda, si pelaku menambahkan midazolam ini ke dalam minumannya?" tanya Angela.
Lionel menggeleng.
Ia meraih kepala Naomi, mengangkat rambut bagian belakangnya, memperlihatkan luka kecil yang nyaris menyerupai tahi lalat kecil.
"Obat itu disuntikkan dengan jarum yang sangat kecil," ujarnya.
Kent dan Angela menghela napas panjang beriringan. Mereka saling pandang dengan gundah.
"Hanya orang gila yang berkeliaran di tempat umum dengan jarum hipodermis di tangannya," desis Kent berang.
"Apakah sulit untuk melakukannya dengan tepat?" tanya Angela.
"Seharusnya, iya," jawab Lionel. "Namun, zaman sekarang segala sesuatunya bisa dipelajari asal ada kemauan. Ditambah dengan ketekunan berlatih, seseorang pasti bisa melakukannya dengan tepat," sambungnya lagi.
"Gila!" Angela mengumpat tanpa sadar.
"Itu belum seberapa," timpal Lionel. "Kalian lihat kaki ini?" tanyanya kemudian.
"Ya, ada apa dengan itu?" tanya Kent penasaran.
Lionel menghela napas panjang. Berusaha untuk meringankan beban yang memenuhi rongga dadanya.
"Aku menemukan serpihan kayu ulin. Pelaku tidak menggunakan martil biasa."
"Lantas?"
"Bantalan rel kereta api."
"Postmortem?"
Lionel lagi-lagi menggeleng.
"Sama dengan sayatan di leher ... premortem," jawab Lionel dengan wajah sendu.
"Sial!" maki Kent dengan rahang mengeras.
Ia tidak tahu lagi mencari kata yang tepat untuk menggambarkan kekejaman pelaku.
Kaki korban di pukuli hingga hancur, setelah itu lehernya di sayat hingga kedalaman arteri. Semua itu dilakukan disaat korban masih dalam keadaan sadar.
Korban tidak bisa menjerit, korban tidak bisa melarikan diri karena tubuhnya lumpuh. Korban hanya bisa menyaksikan perbuatan sadis itu sambil menjerit di dalam hati.
"Aku bersumpah. Akan aku tangkap bajingan ini dengan kedua tanganku sendiri," ujar Kent emosi, sambil mengepalkan kedua tangannya hingga memutih.
"Oh, ya, hampir saja lupa!" seru Lionel, sambil berlari menuju meja yang berada di sudut ruangan. Ia membuka laci dengan cepat, lalu mengeluarkan kantong plastik bening dari dalamnya.
"Ini, aku temukan di dalam mulutnya," ujar Lionel seraya menyerahkan kantong plastik itu ke tangan Kent.
Di dalamnya terdapat satu potongan kertas dengan gambar yang telah buram kena air ludah.
Kent membawa kantong plastik itu ke wajahnya, mengamati lebih dekat.
"Apakah ini potongan foto?" tanyanya.
"Tepatnya, potongan majalah," jawab Lionel.
Angela mendekat, turut mengamati potongan kertas yang ada di dalam plastik itu. Namun, ia tetap tidak memiliki jawaban tentang gambar itu.
"Aku yakin, antara gambar ini, dan angka yang dirajah pada tungkai Naomi pasti memiliki kaitan erat. Bisa jadi ... petunjuk tentang korban berikutnya," ujar Kent.
"Maksudmu ... kita sedang berhadapan dengan pembunuh berantai?" tanya Angela tidak percaya.
Kent tersenyum sinis.
"Hanya pembunuh berantai yang mau merepotkan diri meninggalkan petunjuk misterius kepada kita," jawab Kent.
"Dan kau bisa pegang kata-kataku. Dalam tiga hari kedepan dia akan mengirimkan mayat lagi kepada kita," tandas Kent lagi.
"Kalau begitu ... Saat ini dia sudah bersama korban berikutnya?" pekik Angela panik.
"Ya ... dan sedang memburu calon korban berikutnya lagi."
Dengan langkah ringan aku menuju tempat itu. Hari ini aku merasa berbahagia, karena satu malaikat telah kubebaskan dari belenggu iblis berwujud sepatu merah itu. Aku buka pintu sambil bersenandung kecil, gadis lainnya langsung menyambutku dengan tatapan memelas. Dia Valencia, yang masih berada di bawah pengaruh obat itu. "Halo, Cia Cantik. Apa kabar? Kau menungguku?" sapaku dengan senyum ramah. Mata indahnya bergetar, aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tapi pengaruh obat itu masih kuat. Melumpuhkan semua syarafnya sehingga ia tak mampu bergerak dan berkata-kata. "Kau lapar?" tanyaku. "Bertahanlah, sayang. Kau harus puasa agar ritual pembebasanmu berjalan lancar," kataku memberi penjelasan, sambil membelai rambutnya. Aku meraih tas kecil yang berisi hipodermis, kembali mengisi tabung kecil itu hingga setengahnya. "Hari mulai larut, tidurlah C
Keluarga Heitcher tidak bisa dikatakan kaya, bahkan mungkin terlalu berlebihan jika dikatakan sederhana. Kediaman mereka terletak di kawasan kumuh, dimana rumah-rumah berjejer rapat dengan halaman yang sempit. Tidak ada yang benar-benar menyolok dari rumah-rumah itu, kecuali satu dan dua di antaranya berusaha memberikan sentuhan berbeda seperti cat yang norak dan ornamen-ornamen natal yang ditempelkan di pintu. Rumah keluarga Heitcher adalah salah satu yang menyolok itu. Bagian pintu di cat warna oranye, kusen pintu dan jendela berwarna biru tua. Lupakan tentang aturan nuansa warna dan gradasi warna yang membuat matamu nyaman. Bisa terlihat berbeda saja bagi mereka sudah cukup bagus. Matthew Heitcher, pria paruh baya dengan tubuh ringkih. Badannya tinggal kulit pembalut tulang, tanpa ada satu pun otot yang terlihat. Sesekali terdengar batuk yang sangat menyiksa dadanya. Setiap kali ia terbatuk, air matanya pasti keluar, sementara jari-jarinya yang kurus akan memegang
Olivia membeku dengan wajah pucat. Ia tahu, saat ini dirinya benar-benar telanjang di hadapan Kent Bigael. Memang benar gosip yang ia dengar selama ini, Kent Bigael adalah "Malaikat Maut-nya para Tersangka". Tidak ada satu pun tersangka yang bisa lolos dari mata elangnya yang tajam. Dan kali ini Olivia membuktikan sendiri semua gosip itu bukanlah rumor tak berdasar. "Aku bertanya, Olivia," tegur Kent, masih dengan suara rendahnya. "T-t-t-ti-dak ada y-y-yang aku sembunyikan, Pak," jawab Olivia gugup. Getaran suaranya sangat jelas terdengar. Kent tersenyum sinis, menatap Olivia dengan tatapan tajam menukik. "Aku sudah bilang, kan? Coba sebutkan lagi, siapa aku, Olivia?" "Kent Bigael, Malaikat Maut-nya para tersangka," cicit Olivia. "Nah! Kau sudah tahu. Mengapa masih belum berkata jujur?" desak Kent. Olivia masih diam, duduk mematung tanpa suara. Namun, keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. "Jadi kau memilih u
Suasana Central Park seperti biasanya, selalu ramai oleh pengunjung, terutama di musim semi ini. Rindangnya pepohonan dan bunga-bunga yang bermekaran memberikan pemandangan yang menyejukkan mata. Bagaikan dejavu, Kent dan Angela kembali mengulagi peritiwa yang sama. Berhadapan dengan mayat tanpa identitas di sebuah taman di tengah-tengah kota. Tepat di bawah patung perunggu, gadis itu ditemukan tak bernyawa dalam kondisi yang mengenaskan. Tubuhnya terbaring kaku dengan tangan dan kaki terikat. Di lehernya terdapat luka sayatan yang mengenai arteri. Sepasang kakinya mengenakan sepatu berwarna merah, dipukuli hingga remuk tak berbentuk. Di tungkai yang tersisa lagi-lagi ada rajahan angka yang membentuk angka tiga. Bedanya, kali ini ia mengukir senyum di wajah gadis itu dengan menjahit bibirnya menggunakan benang warna merah. "Ada kartu identitas?" tanya Kent."Tidak," jawab Angela. "Tidak ada saku, dan celah untuk meletakkan dompet," sambungn
"Maksud Anda, pelaku meninggalkan sandi di mulut korban?" tanya Endrico. Kent mengangguk."Sembilan puluh sembilan persen, aku yakin pelaku meninggalkan pesan berupa sandi di mulut korban," jawab Kent optimis. "Bagaimana kita bisa memecahkan sandi yang hanya dipahami pelaku?" tanya Benyamin pesimis. "Jika kalian pernah ikut pramuka, kalian pasti mengenali sandi ini," jawab Kent kemudian. Ia mengambil marker, lalu menggambarkan pola sandi di papan tulis. Semua mata terpaku, tertuju pada gambar yang dibuat oleh Kent sambil menerka dan mengingat sejumlah sandi yang ada di pramuka. "Well ... sudah ada gambaran?" tanya Kent sambil meletakkan marker di sakunya. "Bukankah itu sandi kotak?" Keira yang baru saja masuk dengan beberapa gelas minuman tiba-tiba ikut menjawab. Di belakangnya Brad Jewel menyusul, lalu duduk sembarangan di kursi yang kosong. "Bingo," puji Kent seraya mengangkat ibu jarinya ke arah Keira. "Oh
Rumah Adam Hawkins berada di kawasan kelas menengah. Rumah-rumah berjejer rapi dalam ukuran beragam. Namun, tidak ada yang begitu besar. Halamannya tidak bisa dikatakan luas, hanya cukup menampung satu mobil keluarga berukuran sedang. Sementara di bagian dalam pagar beberapa tanaman tumbuh tak terawat. Beberapa petugas berdiri di depan pagar rumah, memastikan target tidak lagi bisa melarikan diri. Angela sampai di rumah itu, memperlihatkan kartu pengenalnya, lalu masuk ke dalam rumah. Di dalamnya, tepat di sofa ruang tamu, seorang pemuda duduk terpekur di hadapan seorang wanita paruh baya yang sedang memasang wajah bengis. Dia mendelik tidak senang melihat kedatangan Angela. "Selamat sore, Ny. Hawkins. Saya Angela Joey dari Unit Pembunuhan NYPD," ujarnya memperkenalkan diri, seraya memperlihatkan tanda pengenalnya. Paras garang itu langsung melunak. Ekspresinya tidak lagi terlihat mengancam. "Oh, akhirnya Anda sampai juga, Detektif Joey. Saya
Pada usia 15 tahun, ketika para remaja mulai merasakan jatuh cinta. Membuat janji temu di bioskop, lalu menghabiskan akhir pekan dengan sebuah kecupan di kening. Namun, tidak begitu halnya dengan Kent Bigael.Ya, begitulah orang-orang mengenalnya sekarang. Detektif Kent Bigael. Pria menjelang 40 tahun, bertubuh tinggi besar, dengan bekas luka di beberapa bagian tubuh.Tidak ada satu pun orang yang tahu jika Kent Bigael yang dijuluki 'Malaikat Maut' itu dulunya adalah seorang remaja manja, putra konglomerat Manhattan dengan nama lahir Brian Burnout. Ayahnya, Kevin Burnout pemilik sejumlah perusahaan besar di Manhattan.Kent Bigael kecil hidup bergelimang harta dan kemewahan. Akan tetapi, tidak pernah tampil di depan publik. Seolah-olah memiliki firasat buruk, Kevin Burnout merahasiakan identitas putra tunggalnya itu dari khalayak ramai. Dia tidak mengizinkan putranya diliput oleh media. Dia bahkan menyiapkan home schooling untuk pendidikan anaknya. Hanya keluarga
Namanya Valencia Gonzalez, usia 27 tahun, berkerja sebagai tenaga administrasi di MNE Ekspress. Sejak orang tuanya meninggal dunia, Valencia tinggal bersama keluarga pamannya, Raul Gonzalez, di kawasan Low East Side.Raul Gonzalez, pria berdarah Mexico bertubuh sedang. Di usianya yang menyentuh angka 60, wajahnya masih terlihat tampan, dengan lingkar manik berwarna coklat. Wajahnya ramah, tatapannya pun terlihat hangat. Satu kekurangannya yang terlihat jelas. Ia jelas termasuk suami yang berada dalam barisan suami-suami takut istri.Hilda Chavez, wanita berusia lima puluhan yang tidak bisa dikatakan ramah. Senyumnya sedikit, sehingga terkesan dingin dan galak. Di lehernya tergantung kalung dengan liontin salib berukuran besar, seolah ingin menegaskan keyakinan yang ia anut.Saat Angela memperlihatkan foto Valencia kepada pasangan suami istri itu, hanya Raul yang menunjukkan gurat kesedihan di matanya, sedangkan Hilda hanya melirik tipis, tanpa reaksi yang berart
Kent menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri, sekarang ia kembali fokus pada penjelasan wanita yang ada di hadapannya itu. Ia tak sabar ingin mendengar informasi yang busa dijadikan petunjuk untuk menangkap pelaku."Oh, panti asuhan yang pernah terbakar sekitar sepuluh tahun yang lalu itu, bukan?" jawab Kent."Benar," jawab Madam Smith."Saat itu saya bertugas sebagai pemimpin panti, dibantu oleh beberapa pekerja yang bertugas sebagai tukang masak, supir, dan pesuruh. Ada dua belas orang anak yang kami asuh saat itu. Empat orang perempuan, sisanya laki-laki. Suatu hari, seorang anak perempuan yang paling besar mengamuk tanpa alasan yang jelas. Dia membakar panti sehingga menyebabkan banyak korban meninggal, tewas terbakar tanpa bisa menyelamatkan diri."Sampai di situ ia berhenti sejenak untuk mengatur napas. Namun, sebelum ia melanjutkan cerita, Kent terlebih dahulu menyela."Anda bilang seorang anak perempuan membakar panti tanpa alasan ya
"Penyintas?" gumam Kent, dengan tatapan nyaris tak percaya.Sungguh ia sangat mengharapkan munculnya tokoh penyintas ini untuk membuka identitas pelaku. Informasi dari penyintas bisa dikatakan sembilan puluh sembilan benar. Mengantongi informasi itu ibarat menemukan jalan tol yang mulus dan bebas hambatan untuk menangkap pelaku."Berikan alamat Anda, Nyonya. Saya akan segera ke sana," pinta Kent dengan penuh semangat.Wanita itu menyebutkan alamatnya, dan Kent mencatat alamat itu di dalam kepalanya. Ia bergegas memasukkan ponsel itu ke sakunya lalu pamit pada Angela yang sejak tadi penasaran dengan sosok yang menelepon Kent."Telepon dari siapa, Pak?" tanya Angela."Aku belum bisa katakan, sebaiknya kamu tidak penasaran tentang itu. Aku pergi dulu, Joey. Ada sesuatu yang harus segera kuperiksa. Kamu tidak apa 'kan aku tinggal sendiri?"Angela tertawa, merasa aneh dengan sikap Kent yang tiba-tiba sangat protektif pada dirinya.
"Hasil tes DNA menunjukkan 99,75% identik dengan korban kedua," lanjut David."Yes!" sorak Kent dengan suara tertahan."Kalau boleh tahu, di mana Anda dapat gantungan kunci ini, Pak?" tanya David penasaran.Kent mengambil semua barang bukti itu dari tangan David, lalu menyimpannya di dalam laci di bawah mejanya. Tak lupa, ia menguncinya agar aman."Nanti aku akan katakan padamu. Sekarang aku ingin kamu merahasiakan hal ini dari siapa pun. Aku akan menjebak pelaku itu untuk menyerahkan diri," kata Kent.Malam itu Kent tidak pulang ke rumah. Ia mematikan semua lampu, lalu bersembunyi di ruang rapat. Ia yakin sekali, pelaku pasti berusaha menemukan gantungan kuncinya yang hilang itu. Namun, sampai pagi menjelang tidak ada satu pun yang datang ke kantor malam itu.Keesokan paginya, Kent dikejutkan oleh Keira yang mulai bertugas membersihkan ruangan."Ya, Tuhan. Pak Kent?! Bapak tidur di sini?" seru Keira kaget.Kent menguap lebar,
Sementara David pergi, Kent lanjut memimpin rapat tim gugus tugas."Pak, bagaimana kondisi Angela? Apakah ... dia baik-baik saja?" tanya Endrico khawatir."Luka bakarnya cukup parah, tetapi secara keseluruhan dia baik-baik saja. Dia bisa mengenaliku meski kesulitan untuk bicara," jawab Kent.Pria bertubuh besar itu sebenarnya jarang menunjukkan ekspresi atas apa pun yang terjadi di hadapannya, tetapi kali ini berbeda. Musibah yang dialami Angela cukup telak mengenai hatinya. Saat ini dia dalam keadaan sangat marah sebenarnya. Akan tetapi, dirinya juga seorang profesional yang harus bisa memisahkan masalah pribadi dengan perkerjaan. Meski jantungnya terasa ingin meledak, Kent berusaha untuk tampak tenang agar bisa menyelidiki kasus pembakaran apartemen Angela dengan baik. Di samping itu, kasus pembunuhan berantai ini juga tetap harus jadi prioritas agar tidak ada lagi korban berjatuhan."Sial! Siapa pelaku ini sebenarnya? Berani sekali menyerang rumah petu
Kilatan cahaya dari mobil polisi menyilaukan mata dini hari itu. Seorang tunawisma memberitahu patroli tentang penemuannya di taman kecil yang selalu gelap tanpa ada lampu taman seperti taman kota pada umumnya.Saat ditelusuri, benar kata tunawisma itu. Mayat gadis itu di letakkan begitu saja tepat di jalan masuk menuju taman. Seperti korban-korban sebelumnya, korban kali ini juga memiliki ciri-ciri yang sama.Sambil berkacak pinggang, Kent menghela napas panjang."Pelaku semakin percaya diri," komentar Lionel. Ternyata dokter forensik itu sudah berdiri di sampingnya sejak beberapa saat lalu."Benar. Seolah menantang dan mengejek kita karena masih belum mampu menangkapnya," sahut Kent.Seorang petugas mendekat."Seperti korban sebelumnya, tidak ada tanda pengenal, Pak. Tapi, bisa dipastikan dia adalah jemaat gereja X," lapor petugas bernama Jimmy itu."Bagaimana kau tahu? Apakah dari pakaiannya?" tanya Kent."Benar. Setiap ming
Jam sudah menunjukkan waktu pukul 3 dini hari ketika Kent Bigael menapakkan kaki di halaman rumah sakit. Sepasang kakinya yang panjang bergerak cepat menuju instalasi gawat darurat tempat dimana Angela sedang dirawat saat ini.Beberapa menit yang lalu ia mendapat kabar, Angela kritis karena ledakan di apartemennya. Kent yang baru saja hendak memejamkan mata langsung melompat dari tempat tidur, kemudian melarikan mobilnya dalam kecepatan penuh menuju rumah sakit.Rasa cemas dan was-was terpancar jelas di wajahnya."Joey!"Kent berseru dengan suara kuat begitu dirinya telah berada di dalam ruang IGD. Ia terus meneriakkan nama belakang Angela sambil menyibak satu persatu gorden yang menutupi ranjang."Maaf, Pak. Anda mencari siapa? Biar saya bantu," tawar seorang paramedis.Tangannya membentang di hadapan Kent, menghalangi pria bertubuh besar itu untuk menyibak gorden lebih banyak. Ia mengerti pria itu dalam keadaan panik, tapi sikapnya telah m
"Sebelumnya saya minta maaf. Apakah sesuatu terjadi pada Charlotte?"Wanita itu akhirnya mengajukan pertanyaan yang sejak awal mengusik pikirannya. Selama tinggal di komplek perumahan itu, ia belum pernah sekalipun melihat ataupun mendengar petugas kepolisian datang mengunjungi dan menanyai warga. Apalagi polisi dari unit pembunuhan. Wanita itu yakin, sesuatu hal yang tidak wajar pasti telah terjadi.Suasana hening sejenak, karena Kent tidak langsung menjawab. Namun Angela yang tidak sabaran, langsung menjawab pertanyaan itu dengan cepat."Ya, kemarin sore, dia ditemukan tewas di Inwood Hill Park."Wanita itu kaget dan spontan membentuk salib dengan jari di dadanya."Ya, Tuhan. Berarti itukah alasan mereka bertanya-tanya tentang Charlotte sebelum pindah?" tanyanya pada diri sendiri dengan suara samar, nyaris berbisik.Namun, ternyata masih cukup nyaring di telinga Kent Bigael. Pria bertubuh besar itu pun langsung balik bertanya dengan cepat.
Alan Parkhust berperawakan sedang. Kulitnya putih pucat, dengan beberapa tatto di lengan kanan dan kirinya. Dilihat dari sudut mana pun, tidak ada hal yang menarik dari pria itu. Sorot matanya licik, dan dia juga sering menunjukkan senyum sinis. Satu-satunya pesona pria itu hanyalah suaranya yang merdu. Saat ia berbicara, nadanya tenang, kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar manis dan hangat. Mungkin itu yang membuat para gadis dengan mudah termakan rayuannya.Saat ini, dia terpaksa menunda semua hasrat gombalnya itu, karena sekarang dia harus berurusan dengan para penyidik. Terkait atau tidak, keterangannya dibutuhkan untuk mengungkap kematian Charlotte."Haruskah kau berbuat sejauh ini?" serangnya pada David yang baru saja memasuki ruangan itu."Ini masih kurang, Bung. Seharusnya aku mematahkan kakimu sejak lama," jawab David dingin.Bukannya diam, Alan justru mengeluarkan suara tawa yang penuh dengan ejekan."Lalu apa yang kau tunggu? La
Jam di dinding baru saja menunjukkan pukul enam pagi, tapi David sudah berada di ruang rapat kantor Unit Pembunuhan NYPD. Wajahnya yang tampan terlihat pucat, ia duduk gelisah dengan jari yang tidak berhenti mengetuk meja. Sesekali helaan napas panjang disertai hembusan yang kuat terdengar dari mulutnya. Suara langkah kaki di luar ruangan terdengar semakin jelas. David menoleh, memindai lewat dinding kaca untuk melihat pemilik langkah kaki itu, tapi belum sempat ia melihat sosok itu dengan jelas, Kent Bigael muncul dari pintu. "Ada apa sampai kau memintaku datang sepagi ini?" tanyanya langsung, begitu melangkah masuk, lalu bergabung bersama David, duduk berhadapan di depan meja rapat. David tidak langsung menjawab, ia mengeluarkan amplop besar dari tas, lalu memberikannya kepada pimpinan gugus tugas itu. "Ini laporan forensik dari dokter Garcia, Pak," ujarnya. Kent menerima amplop itu, tanpa melepaskan pandangan dari wajah David. Pengalaman se